Anda di halaman 1dari 9

KEUANGAN PUBLIK ISLAM MENGENAI

USHR, MUSTAGHLAH, GANIMAH, KHUMS, DAN NAWAIB

Disusun Oleh :

Ervanda Revonnarta 17081194002


Andriansyah Sulistyo Maulana 17082294016
Sulistyo Wiki Aprianto 17081194036
Luqman Maulana 17081194060
Feri Afdani 17081194062
Habib Amrullah 17081194064
Calvin Abdila B. 17081194072

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2019
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Fiscal policy merupakan program perpajakan dan pengeluaran pemerintah yang dapat
digunakan untuk menstimulasi ekonomi. Kebijaksanaan fiskal adalah suatu istilah yang
berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah, yang meliputi politik
penerimaan (antara lain dari pajak) dan pengeluaran (antara lain belanja rutin) pemerintah.
Adapun menurut Mannan, kebijakan fiskal adalah langkah pemerintah untuk membuat
perubahan-perubahan dalam sistem perpajakan atau dalam pembelanjaan, yang bertujuan
untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi negara. Dari berbagai definisi di
atas dapat ditarik benang merah, bahwa kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah
terhadap penerimaan dan pengeluaran negara untuk mencapai tujuantujuannya. Artinya,
kebijakan fiskal merupakan suatu gambaran yang bisa terjadi dalam berbagai sistem
ekonomi. Oleh karena instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah penerimaan
dan pengeluaran negara, maka kebijakan fiskal erat kaitannya dengan target keuangan negara
yang ingin dicapai. Dengan kata lain, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang ingin dicapai oleh pemerintah.

Di dalam Ekonomi Islam, Bayt al-Mal merupakan institusi khusus yang menangani
harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum muslim yang berhak
menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun
harta benda lainnya, yang kaum muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta
tersebut adalah hak Bayt al- Mal. Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk
orang-orang yang berhak menerimanya, untuk maslahat kaum muslim dan pemeliharaan
urusan mereka, merupakan kewajiban atas Bayt al-Mal. Bayt al-Mal dengan pengertian
seperti ini tidak lain adalah sebuah lembaga. Jadi, Bayt al-Mal adalah tempat penampungan
dan pengeluaran harta, yang merupakan bagian dari pendapatan negara.

Rasulullah dan para khulafau ar-rasyidin dalam mengatur kebijakannya dalam hal
struktur APBN negara menjadikan beberapa objek sebagai pendapan negara, yaitu kharaj, fai,
ghanimah, zakat, khums, ushr dan lain sebagainya. Sedangkan dari beberapa pendapatan
tersebut, dialokasi kepada hal yang bertujuan untuk kemaslahatan umum.
BAB II

Pembahasan

A. Ushr

Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan
keuangan negara (al-mawārīd al-māliyyah li al-dawlah). Berdasarkan perolehannya, sumber-
sumber pendapatan negara tersebut menurut WahhabKhalaf dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah).
Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi/tanah), jizyah (pajak jaminan
keamanan atas non-Muslim), dan ushur (pajak ekspor dan impor).

Secara umum, semua jenis komoditas perdagangan yang masuk ke negaraIslam


merupakan objek ushur. Ketentuan-ketentuan dasar mengenai ushur yang digariskan oleh
Abu Yusuf dalam kitabnya adalah sebagai berikut.1

1. Barang-barang wajib pajak adalah yang dimaksudkan sebagai komoditas


perdagangan.
2. Bila pedagang adalah seorang Muslim, maka besarnya pajak adalah 2,5persen (pajak
dihitung berdasarkan jumlah total komoditas).
3. Bila pedagang adalah seorang dhimmy, besarnya pajak adalah 5 persen.
4. Bila pedagang adalah orang asing, besarnya pajak adalah 10 persen.
5. Pajak boleh dibayarkan dalam bentuk uang cash maupun barang.
6. Batas minim barang wajib pajak adalah sama dengan ketentuan nishabdalam zakat,
yaitu senilai dengan 200 dirham.
7. Bila pedagang tinggal selama lebih dari satu tahun, maka komoditasnyaakan
dikenakan pajak lagi.
8. Pedagang Muslim dan dhimmy hanya dikenakan sekali pajak untukkomoditas yang
sama.
9. Bila pedangang asing telah pulang ke negaranya dan kemudian kembalilagi, maka
dikenakan pajak lagi.
10. Bukti pembayaran pajak harus menyebutkan jumlah pajak yang dibayarkan, nilai
barang kena pajak, dan tanggal.
11. Pajak dikenakan untuk perdagangan antar propinsi di negara Islam.

1
Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” hlm. 126
12. Besar kecilnya beban pajak mempertimbangkan kebijakan yang berlaku dinegara-
negara lain.
13. Barang-barang yang dinilai hanya sedikit dibebaskan dari pajak.
14. Barang-barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pajak atau dibebani pajak dengan
pertimbangan lain.

Dari ketentuan-ketentuan umum di atas, terlihat bahwa salah satu faktor penentu tingkat
pajak adalah status para pedagang, yakni status kewarganegaraannya dan agamanya.
Pembedaan tersebut adalah sesuatu yangwajar untuk realitas sosio-politik saat itu, bahkan
sangat adil. Kenyataannya para pedagang dhimmy memang lebih banyak membutuhkan
perlindungan dari paraperampok dibandingkan dengan kaum Muslim. Di samping itu juga
harusdipertimbangkan bahwa pedagang Muslim harus membayar zakat untukkomoditas
mereka, sedangkan dhimmy hanya berkewajiban membayar ushr ketika mengadakan
aktifitas perdagangan lintas batas saja.Terlepas dari zakat, yang dapat diklasifikasikan
sebagai kewajibanreligius, pajak yang lebih besar yang diberlakukan untuk pedagang
asingdibandingkan pajak untuk warga negara sendiri mengindikasikan adanya bisnis
“nasional.” Dalam sistem kebijakan publik modern, sistem ushr sangat miripdengan
kebijakan subsidi. Lebih jauh, penggunaan pajak insentif, dalam artimemberikan peluang
yang lebih besar kepada kalangan pedagang nasional untuktumbuh lebih cepat serta
melindungi mereka dari kompetitor asing, merupakanimplikasi nyata dari sistem ushr
periode klasik.

Al-ushr, dalam pengertiannya sebagaimana dipraktekkan pada masa awal,bisa jadi akan
kehilangan relevansinya dengan kontek kebijakan ekonomi saat ini,terutama bila dilihat dari
sisi persaudaraan universal Islam (ukhuwah Islāmiyah).Abdul Mannan menilai ushr sebagai
kendala bagi perdagangan internasional danbertentangan dengan norma Islam yang tidak
mengenal diskriminasi dalam perdagangan.2 Namun menurutnya dari sisi lain, yakni melihat
kondisi negara-negara Islam yang miskin dan sedang berkembang, praktek modern bea
cukaidapat diterima sejauh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalamkenyataannya,
“versi modern” dari ushr ini masih banyak diterapkan olehberbagai negara untuk melindungi
produksi dalam negeri.

2
M. Abdul Mannan,Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: DanaBhakti Wakaf,1993),
hlm. 250.
B. Mustaghlah
Mustaghlah adalah salah satu instrumen penerimaan keuangan publik dimana pada masa
saat ini biasa digunakan sebagai perumpamaan dari pendapatan perusahaan BUMN.

C. Ghanimah Dan Khums

Selain zakat, khumus adalah salah satu pilar penting dalam perekonomian Islam yang
dianjurkan untuk dipenuhi oleh setiap Muslim. Tetapi, jika zakat sudah begitu populer di
kalangan kaum Muslim, lain halnya dengan khumus. Bahkan tidak sedikit yang
memahaminya dengan keliru. Padahal pada masa permulaan Islam, kedua sistem ekonomi
Islam tersebut - zakat dan khumus-, yang bertujuan mensejahterakan masyarakat, dijalankan
dengan lancar dan baik.

Khumus secara bahasa berarti ―seperlima‖. Sedangkan secara istilah adalah salah
satu kewajiban penting dalam agama Islam yang berkaitan dengan harta benda yang harus
dikeluarkan seperlimanya oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan. Ayat yang menjadi
landasan tentang khumus adalah QS. Al-Anfal [8]:41:

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya
dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. AlAnfal:41).

Ayat ini berbicara tentang ganimah, sebagai perincian pesan ayat pertama QS. al-
Anfal. Pada ayat pertama mereka bertanya tentang al-anfal dan dijawab bahwa al-anfal
adalah milik Allah, dan Rasul Saw diberi wewenang untuk membaginya atas petunjuk Allah,
maka ayat ini mengemukakan petunjuk pembagian tersebut. Mayoritas ulama Sunni
mempersempit makna dan menafsirkan kata ganimah –atau ganimtum dalam ayat di
atassemata sebagai hasil rampasan perang sebagaimana tampak pada terjemahan di atas.

Harta Ghanîmah atau al-Anfâl (‫ )األنفال أو الغنيمة‬secara etimologi berari rampasan


perang atau harta yang diambil masyarakat Muslim dalam sebuah peperangan dengan bentuk
yang syah dan dibolehkan dalam agama (halal). Harta ghanîmah disebut pula dengan al-
Anfâl, alNuhbah dan al-Salab
Jadi jelaslah bahwa harta ghanîmah itu ada dalam Islam dan harta tersebut sah untuk
dipakai setelah ada pembagian untuk Allah dan Rasul-Nya yaitu 1/5 bagian(Khums).
Pembagian harta ghanîmah menurut Amirul Mukminin Umar Ibn al-Khaththab adalah hanya
diperuntukan bagi mereka yang ikut berperang, ”maka untuk yang menggunakan kuda
diberikan 3 bagian dan yang berjalan kaki hanya satu bagian.

Harta ghanîmah atau al-anfâl adalah harta yang diperoleh dari musuh-musuh Islam
melalui peperangan dan pertempuran. Dihalalkannya harta ghanîmah sesuai dengan petunjuk
Allah dalam al-Qur’an surat al-Anfâl ayat 69.

“Artinya: ”Maka makanlah oleh kamu sekalian dari apa yang telah aku berikan
kepada kalian (harta ghanimah) yang halal lagi baik, dan bertaqwalah kamu kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Zat Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dengan diturunkannya ayat ini jelaslah bahwa hukum harta ghanîmah adalah harta
yang halal untuk dimakan dan halal juga untuk dikonsumsi. Harta tersebut selain halal juga
baik. Artinya harta ghanîmah baik dalam bentuk fisiknya juga halal dalam pemakaiannya.

pandangan Sayyid Quthb, misalnya, ketika menafsirkan ayat di atas :

"Untuk masa sekarang, masalah ghanimah secara umum bukan lagi merupakan realitas
keislaman yang kita hadapi. Kita sekarang tidak lagi menghadapi masalah ini. Kita tidak
berada dalam pemerintahan, kepemimpinan dan umat Islam yang sedang berperang di jalan
Allah lalu mendapatkan banyak ghanimah yang harus didistribusikan sedemikian rupa.
Zaman telah berputar dan kembali ke fase di mana Islam menghadapi masalah kemanusiaan
untuk pertama kalinya. Manusia kini telah kembali ke zaman jahiliyah sebagaimana asal
mereka dulu. Islam pun kini telah kembali ke fase awal di mana ia harus menyeru manusia
untuk masuk ke dalamnya; menyeru mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menyeru mereka untuk bersatu di bawah
kepemimpinan Islam guna membangun kembali agama ini dalam kehidupan manusia; serta
menyeru mereka supaya loyal secara total terhadap komunitas dan kepemimpinan Islam
tersebut".

Inilah persoalan nyata yang dihadapi Islam sekarang. Tidak ada persoalan lain. Tidak
ada persoalan ghanimah sebab tidak ada perang sekarang. Manhaj Islam adalah manhaj yang
realistis (waqi'i). Ia tidak mengurusi persoalan yang tidak benar-benar ada (terjadi). Ia tidak
mengurusi masalah ini (pembagian ghanimah) yang dari segi kenyataan tidak ada wujudnya.
Yang kini dituntut dari para mujtahid adalah berijtihad untuk meng-istinbath hukum guna
memecahkan berbagai persoalan yang nyata. Hanya ijtihad semacam itu yang bernilai karena
memiliki momentum dan realitasnya yang nyata.

Sementara mazhab Ja‘fari yang dianut kaum Syi‘ah memahami ganimah dalam ayat
di atas tidak sekedar harta rampasan perang. Mereka berargumentasi dengan pendekatan
kebahasaan maupun riwayat-riwayat yang berbicara mengenai khumus. Secara etimologi,
ganimah berarti apa yang diperoleh seseorang atau sekelompok orang lewat usaha. Dalam
hadis-hadis Nabi Saw juga, kata ganimah seringkali diartikan tidak dalam pengertian
rampasan perang sebagaimana hadis-hadis berikut ini:

1. “Abdullah bin Amr berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa ganimah majelis-majelis
dzikr? Beliau menjawab: Ganimah majelis-majelis dzikr adalah surga dan surga.”
2. “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila kalian memberikan zakat,
maka jangan lupa (mengharap) pahalanya dengan berkata: Ya Allah, jadikanlah zakat ini
sebagai magnam (keuntungan) dan janganlah menjadikannya sebagai hutang. “

Dalam hadis-hadis tersebut, maka yang dimaksud ganimah adalah keuntungan, bukan
rampasan perang. Dalam doa shalat hajat yang terkenal, ada kalimat aku memohon ganimah
untuk segala kebajikan. Ganimah di situ artinya keuntungan lebih.

Selain dalam Al-Quran, khumus juga disebutkan dalam banyak keterangan dari
Sunnah Nabi Saw, bahwa beliau memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan
penghasilan selain rampasan perang. Diantara hadis tersebut adalah sebagai berikut:

“Beliau bersabda: Yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa bulan
Ramadhan, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan (al-magnam)...

Dalam hadis di atas mereka diperintahkan untuk mengeluarkan seperlima dari al-
magnam. Tentu yang dimaksud adalah kelebihan penghasilan bukan rampasan perang, karena
mereka justru selalu menghindari peperangan. Ketika Nabi Saw. mengutus ‗Umar bin Hazm
ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan khumus di samping zakat. Begitu pula
ketika beliau menulis surat kepada kepala-kepala suku.
Jadi jika mengacu pada pengertian bahwa khums dan ghanimah ialah kelebihan dari
penghasilan jika dilihat pada masa sekarang maka khums dan ghanimah sama hal nya seperti
dengan pajak Penghasilan. Pajak penghasilan dikenal sebagai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
25 atau PPh 25 adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau
badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional,
atau regresif. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu
Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799.
Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada
tahun 1643, di mana dasar pengenaan pajak adalah " A person's faculty, personal faculties
and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusetts dasar pengenaan pajak didasarkan pada
"returns and gain". “Personal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak
penghasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak
penghasilan badan.

D. Nawaib

Rasulullah pernah menentukan pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan
pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa
darurat yang disebut dengan Nawaib. Dan hal itu ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
Nawaib adalah pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam
rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, seperti.Nawaib hanya
diberlakukan Rasulullah pada kondisi tertentu seperti ketika kekurangan biaya untuk
pembiayaan perang seperti yang terjadi pada perang Tabuk.

Dari pengertian tersebut maka nawaib pada masa sekarang hampir mirip dengan pajak
atas kekayaan meskipun terdapat banyak perbedaan didalam penerapan nya yaitu pajak atas
kekayaan tidak hanya dikenakan kepada muslim saja tapi juga kepada non muslim, selain itu
pajak atas kekayaan tidak diberlakukan untuk keadaan darurat.. pemerintah di banyak negara
mencoba melakukan ‘intervensi’ untuk mengatasi persoalan ketimpangan ekonomi ini, salah
satunya melalui instrumen pajak atas kekayaan (wealth tax). Meskipun pajak atas kekayaan
merupakan instrumen fiskal yang sudah cukup lama dikenal. Secara umum, pajak atas
kekayaan merupakan pajak yang dikenakan atas kepemilikan terhadap suatu kekayaan.
Adapun, menurut IMF (2013), pendekatan dalam mementukan objek pajak kekayaan terbagi
menjadi tiga, yaitu berdasarkan nilai harta tersebut (asset base), transfer kekayaan (asset
transfer) dan kenaikan nilai suatu asset (capital gains).
BAB III
Penutup

A. Kesimpulan

Rasulullah dan para khulafau ar-rasyidin dalam mengatur kebijakannya dalam hal
struktur APBN negara menjadikan beberapa objek sebagai pendapan negara. Sedangkan dari
beberapa pendapatan tersebut, dialokasi kepada hal yang bertujuan untuk kemaslahatan
umum.

Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variabel seperti warisan yang memiliki
ahli waris, hasil sitaan, denda, hibah, atau hadiah dari negara sesama Islam serta bantuan-
bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat, baik dari negara luar maupun lembaga-lembaga
keuangan dunia.

Anda mungkin juga menyukai