Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KELOMPOK

HUKUM ZAKAT DAN PAJAK

“Pendapat Ulama Seputar Pajak”

Di Susun dalam Rangka Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Hukum Zakat dan Pajak

Nama Mahasiswa :

Muhammad Chandra 15421034

Safi’ul Amir

Muhammas Sandy Malik Ibrahin

Alwiz Qorni 15421106

Dosen Pengampu :

Muhammad Miqdam Makfi

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS ILMU AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada hakikatnya, tidak satu makhluk pun, termasuk binatang, tidak mempunyai
rezeki, namun yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara meraih rezeki yang sudah
disediakan itu dan bagaiana cara mendistribusikannya. Dengan sistem yang tepat,
rezeki yang sudah ada itu tentu akan mencukupi kebutuhan seluruh makhluk.1
Dalam konsep Islam, pemenuhan kepentingan sosial merupakan tanggung
jawab pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan, memelihara,
dan mengoperasikan public utilities untuk menjamin terpenuhinya kepentingan sosial.
Hal ini dapat terlihat pada masa-masa awal Islam. Di masa Rasul, ketersediaan air
bersih bagi tiap rumah tangga menjadi perhatian utama negara. Pada masa-masa
setelahnya, di awal abad Hijriah, sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan
kekhalifahan Islam, negara banyak melakukan pembangunan dan pemeliharaan jalan,
jembatan, dan kanal irigasi yang pada saat itu merupakan kebutuhan utama masyarakat.
Pada dasarnya, merealisasikan kepentingan publik merupakan kewajiban
kolektif pemerintah dan masyarakat. Karena Islam mewajibkan suatu masyarakat untuk
membuat serangkaian pengaturan yang dapat memastikan pemenuhan kebutuhan
seluruh anggota masyarakat. 2
Terbitnya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan(PPh) diharapkan dapat
menjadi solusi atas adanya dualisme pemungutan zakat dan pajak. Dalam kedua
Undang-Undang ini, zakat diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi pajak?
b. Bagaimana pendapat ulama mengenai kebolehan pajak?

1
Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 47
2
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 1-
2.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama ُ‫( ْالعُ ْش ُر‬Al-Usyr), atau
ُ ‫( ْال َم ْك‬Al-Maks), atau bisa juga disebut ُ‫( لض َِّر ْيبَ ُة‬Adh-Dharibah), yang artinya adalah ;
ُ‫س‬
“Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”. Atau suatu ketika bisa
disebut ُ‫( ْالخ ََرا ُج‬Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-
pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.
ْ ُ‫احب‬
Sedangkan para pemungutnya disebut ُ‫ُال َم ْك ِس‬ ِ ‫ص‬َ (Shahibul Maks) atau ‫ار‬ َّ َ‫ْالع‬
ُُ ‫ش‬
(Al-Asysyar). Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang
dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”.
Adapun definisi pajak menurut istilah ada beberapa pendapat mengenai hal ini
diantaranya adalah ada pendapat dari tiga ulama’ yaitu :
a. Yusuf Qardhawi berpendapat:
Pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus
disetorkan kepada negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi
kembali dari negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum di satu pihak dan untuk merealisasisebagian tujuan ekonomi.3
b. Gazi Inayah berpendapat :
Pajak adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan tertentu.
Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan ketentuan si pemilik harta dan dialokasikan
untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk memenuhi tuntutan
keuangan bagi pemerintah.4
c. Abdul Qadim Zallum berpendapat :

3
Yusuf Qardhawi, Fiquz Zakah, Muassasat ar-Risalah, Beirut, Libanon,Cet.Ke.II,1973,Terj.Oleh Salman Harun
(Jilid 1), Didin Hafiduddin dan Hasanuddin (jilid 11), Hukum Zakat (Jakarta: PT Pustaka Litera AntarNusa, Cet
KE v, 1999), HLM.998.
4
Gazi Inayah, Al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Dharibah, Dirasah Muqaranah, 1995, Edisi terj. Oleh
Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang zakat dan pajak, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Cet.I, 2003), hlm.1.
Pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt kepada kaum muslim untuk
membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan
atas mereka, pada kondisi baitul mal tidak ada uang/harta.
d. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., mendefinisikan pajak sebagai berikut :
Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan
undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imabalan yang
secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran
umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah,
untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.5

B. Macam-Macam Pajak
Diantara macam pajak yang sering kita jumpai ialah :
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah
dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
2. Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan
penghasilan seseorang.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
4. Pajak Barang dan Jasa
5. Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
6. Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi)
atau badan lain semisalnya.
7. Pajak Transit/Peron dan sebagainya.

C. Pendapat Ulama Mengenai Pajak


Untuk memenuhi kebutuhan negara dalam berbagai hal, seperti menanggulangi
kemiskinan, menggaji tentara, dan lain-lain yang tidak terpebuhi dari zakat dan
sedekah, maka harus muncul alternatif lain. Terdapat dua alternatif pilihan dalam
merespon hal tersebut, yaitu pajak dan hutang. Selama hutang mengandung
konsekuensi riba, maka pajaklah alternatif yang lebih baik dan utama.

5
Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 25.
Dari alternatif tersebut, kemudian muncul berbagai respon ulama yang beberapa
diantaranya membolehkan pembayaran pajak dan ada juga yang tidak membolehkan
pajak. Diantara beberapa ulama yang membolehkannya diantaranya yaitu:
1. Abu Yusuf, dalam kitabnya Al-Kharaj :
Semua khulafa ar-rasyuidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz
dilaporkan telah menekankan bahwa pajak itu harus dikumpulkan dengan
keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat
untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa
untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang
terbebani.
2. Ibnu Khaldun, dalam kitabnya Muwaddimah:
Beliau merefleksikan arus pemikiran para sarjana Muslim yang hidup pada
zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang merata dengan
mengutip sebuah surat dari Thahir Ibn Husain kepada anaknya yang menjadi
seorang gubernur di salah satu provinsi:
“Oleh karena itu, sebarkanlah pajak pada semua orang dengan keadilan dan
pemerataan, perlakukan semua orang sama dan jangan memberi perkecualian
kepada siapapun kerena kedudukannya di masyarakat atau kekayaan, dan
jangan mengecualikan kepada siapapun sekalipun petugasmu sendiri atau
kawan karibmu atau pengikutmu. Dan jangan kamu menarik pajak darai orang
melebihi kemampuan membayarnya.”
3. Ibnu Taimiyah, dalam Majmuatul Fatawa, mengatakan:
“Larangan penghindaran pajak sekalipun itu tidak adil berdasarkan argumen
bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan
mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain.”6
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan, para ulama’ dan ekonom Islam
membolehkan pajak karena adanya kondisi tertentu, dan juga syarat tertentu,
misalnya harus adil, merata, tidak membebani rakyat, dan lain-lain. Menurut
para ulama’ yang membolehkan pajak sistem perpajakan yang adil apabila
memenuhi tiga kriteria.:

6
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2007), hal. 183-185.
a. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar
diperlukan untuk merealisasikan maqashid.
b. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan
rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata kepada
semua orang yang mampu membayar
c. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan
yang karenanya pajak diwajibkan.

Jika melanggar ketiga kriteria diatas maka pajak seharusnya


dihapus, dan pemerintah mencukupkan diri dengan sumber-sumber
pendapatan yang jelas ada nashnya serta kembali kepada sistem
anggaran berimbang(balance budget)

Ulama lain yang menyatakan bahwa pajak adalah suatu pungutan yang
sifatnya Haram, antara lain:

1. Dr. Hasan Turobi dari Sudan, dalam bukunya Principle of Governance,


Freedom, and Responsibility in Islam, menyatakan:
Pemerintahan yang ada di dunia Muslim dalam sejarah yang begitu lama
“pada umumnya tidak sah”. Karena itu, para fuqaha khawatir jika
diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alat
penindasan.7

D. Pemerintah Berhak Atas Rakyatnya


Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281) ;
“Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong
orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-
orang kaya (untuk menolong fakir-miskin) apabila tidak ditegakkan/dibayar zakat
kepada fakir-miskin..” Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan firman Allah.

ُ‫سبِي ِل‬ َ َ‫اُالقُ ْر َب ٰىُ َحقَّه َُُو ْال ِم ْسكِين‬


َّ ‫ُواُْبنَ ُال‬ ْ َ‫َوآتُِذ‬

7
Ibid., hal. 186
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin, dan orang yang dalam perjalanan ….” [Al-Isra : 26]

Dalam ayat di atas dan nash-nash semisalnya, seperti Al-Qur’an surat An-Nisa
; 36, Muhammad : 42-44 dan hadits yang menunjukkan bahwa : “Siapa yang tidak
mengasihi orang lain maka dia tidak dikasihi oleh Allah” [HR Muslim : 66], semuanya
menunjukkan bahwa orang-orang fakir dan miskin mempunyai hak yang harus
ditunaikan oleh orang-orang kaya. Dan barangsiapa (di antara orang kaya melihat ada
orang yang sedang kelaparan kemudian tidak menolongnya, maka dia tidak akan
dikasihi oleh Allah: 8

8
]. Lihat Iqadh Al-Himmam Al-muntaqa Jami’ Al-Ulum wal Hikam hal. 157
BAB III

PENUTUP

Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu kiranya kita mengingat kembali bahwa
kemiskinan, kelemahan, musibah yang silih berganti, kekalahan, kehinaan, dan lainnya ; di
antara sebabnya yang terbesar tidak lain ialah dari tangan-tangan manusia itu sendiri. [Ar-Rum
: 41]

Di antara manusia ada yang terheran-heran ketika dikatakan pajak adalah haram dan
sebuah kezhaliman nyata. Mereka mengatakan mustahil suatu negara akan berjalan tanpa
pajak. Ketergantungan kita kepada diterapkannya pajak, merupakan salah satu akibat dari
pelanggaran ayat di atas, sehingga kita disiksa dengan pajak itu sendiri. Salah satu bukti kita
melanggar ayat di atas adalah betapa banyak di kalangan kita yang tidak membayar zakatnya
terutama zakat mal. Ini adalah sebuah pelanggaran. Belum terhitung pelanggaran-pelanggaran
lain, baik yang nampak atau yang samara.

Kalau manusia mau beriman dan beramal shalih dengan menjalankan semua perintah
(di antaranya membayar zakat sebagaimana mestinya) dan menjauhi segala laranganNya (di
antaranya menanggalkan beban pajak atas kaum muslimin), niscaya Allah akan berikan janji-
Nya yaitu keberkahan yang turun dari langit dan dari bumi.

Bukankah kita menyaksikan beberapa negeri yang kondisi alamnya kering lagi tandus,
tetapi tatkala mereka mengindahkan sebagian besar perintah Allah, maka mereka mendapatkan
apa yang dijanjikan Allah berupa berkah/kebaikan yang melimpah dari langit dan bumi, mereka
dapat merasakan semua kenikmatan dunia. Sebaliknya, betapa banyak negeri yang kondisi
alamnya sangat strategis untuk bercocok tanam dan sangat subur, tetapi tatkala penduduknya
ingkar kepada Allah dan tidak mengindahkan sebagian besar perintah-Nya, maka Allah hukum
mereka dengan ketiadaan berkah dari langit dan bumi mereka, kita melihat hujan sering turun,
tanah mereka subur nan hijau, tetapi mereka tidk pernah merasakan berkah yang mereka
harapkan. Allahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA

Gusfahmi. 2007. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada.

Qardhawi, Yusuf.1973. Fiquz Zakah. Beirut: Muassasat ar-Risalah. Terj.Oleh Salman Harun
(Jilid 1), Didin Hafiduddin dan Hasanuddin (jilid 11), Hukum Zakat (Jakarta: PT
Pustaka Litera AntarNusa, Cet KE v, 1999).
Inayah, Gazi1995. Al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-Dharibah. Dirasah Muqaranah.
Edisi terj. Oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah.2003. Teori Komprehensif tentang
zakat dan pajak. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Huda, Nurul, dkk. 2016. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Jakarta:
Kencana.

Mas’udi, F Masdar. 1992. Agama Keadilan: Risalah Zakat(Pajak). Jakarta: Pustaka Firdaus.

Huda, Nurul, Ahmad Muti. 2011. Keuangan Publik Islam Pendekatan Al-Kharaj(Imam Abu
Yusuf). Bogor: Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai