Anda di halaman 1dari 6

Konsep Pajak Al-Syatibi

Pemikiran ekonomi yang berlandaskan atas ajaran Islam sudah dimulai sejak zaman
Rasulullah SAW dan para sahabat. Setela di zaman rasul dan sahabat banyak cendikiawan-
cendikiawan muslim yang juga menerapkan dan mengembangkan teori-teori ekonomi dalam
kehidupan baik masyarakat luas maupun secara kenegaraan. Banyak tokoh-tokoh pemikir
ekonomi Islam yang terkenal di dunia diantaranya adalah ibnu khaldun, yusuf
qhardawi, Al-syatibi dan masih banyak tokoh pemikir ekonomi Islam lainnya. Pemikiran
ekonomi yang dikemukakan oleh Al-syatibi. Beberapa focus pemikiran ekonomi oleh Al-
syatibi adalah berkaitan dengan konsep maqasid syariah, tentang teori kebutuhan, tentang
kepemilikan dan pajak.

Di era sekarang masih banyak pelaku-pelaku ekonomi yang dalam aktifitas


ekonominya sering keluar dan melanggar prinsip dasar ekonomi Islam. Perilaku konsumsi
yang mengedepankan kesenangan dari pada manfaat atau maslahah adalah salah satu
tindakan yang masih sangat sering terjadi dilingkungan masyarakat, lebih mementingkan
keinginan dari pada kebutuhan, memaksakan sesuatu keinginan yang dikuasi oleh hasrat atau
nafsu semata.

Al-Syatibi yang yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad AL-
lakhmi AL-Ghanati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya yang jelas, ia berasal dari suku arab lakhmi.
Beberapa pandanggan Al-Syahtibi di Bidang Ekonomi.

1. Objek Kepemilikan Pada dasarnya, Al-Syahtibi mengakui hak milik individu. Namun, Ia
menolak kepemilikan individu terhadap sumber daya yang dapat mengguasai hajat hidup
orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah opjek kepemilikan dan penggunaannya
tidak bisa di miliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, dia membedakan dua macam air,
yaitu; air yang dapat di jadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sunggai, air yang di
jadikan sebagai objek kepemilikan seperti air yang di beli atau termasuk bagian dari
sebidang tanah milik individu.
2. Pajak Bagi Al-Syatibi adanya pemerintahan yang mengatur rakyat merupakan salah
satu maslahah dharuriah yang harus dipenuhi pemerintah, diwujudkan guna memenuhi
maslahah dunia para rakyatnya. Dalam pandanggan Al-Syahtibi, pemunggutan pajak
harus di lihat dari sudut pandang maslahah (kepentinggan umum). Dengan menggutip
pendapat para pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Al-farra,” ia menyatakan bahwa
memeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat.
Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa
mengalihkannya kepada baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka
sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karna itu pemerintah dapat menggenakan pajak-
pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah di kenal dalam
sejarah Islam.
3. Wawasan Modern Teori Al-Syahtibi Dari pemaparan konsep Maqashid Al-Syari’ah di
atas, terlihat jelas bahwa syariah mengginginkan setiap individu memperhatikan
kesejahteraan mereka. Al-Syahtibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan
tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa di tuntut untuk mencari
kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyerahkan
kemaslahatan seperti didefinisikan Syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama
untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.1

Menurut Asy-Syatibi Pajak atau dzarībah itu sebenarnya merupakan harta yang
difardhukan Allah SWT kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka,
di mana Allah telah menjadikan seorang Imam sebagai pemimpin bagi mereka, yang bisa
mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-objek tertentu dengan mengikuti
kebijakannya. Harta yang dikumpulkan ini disebut, dengan pajak atau dzarībah. Apabila
pajak akan dipungut oleh pemerintah dari para penduduknya maka harus meletakkan
beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya : negara benar-benar sangat
membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, tidak ada sumber lain yang bisa
diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al-usyr, kecuali dari pajak, harus ada
persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat. Sehingga pemerintah
menjadikan pungutan pajak ini sebagai pungutan yang bersifat permanen, melainkan
dipungut sesuai dengan kebutuhan Negara.2 Pemungutan pajak harus dilakukan
berdasarkan keuntungan umum. Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Al-Farra, menjaga
kepentingan umum secara dasar adalah tugas masyarakat. Jika masyarakat tidak dapat
memenuhi tugas tersebut, mereka dapat beralih ke Baitul Mall dan menggunakan kekayaan

1
Suharyono and Septian Kurniawan, “Pemikiran Al-Syatibi Dalam Bidang Ekonomi,” El-Kahfi |
Journal of Islamic Economics 3, no. 01 (2022): 39–45, https://doi.org/10.58958/elkahfi.v3i01.100.
2
Muhammad Rafi, “Iqtishady (Jurnal Ekonomi Syari’ah) Vol 3 Edisi 2 Tahun 2022 KONSEP PAJAK
MENURUT IBNU KHALDUN DAN RELEVANSINYA TERHADAP SISTEM PERPAJAKAN DI
INDONESIA” 3 (2022): 16–29.
mereka sendiri untuk mencapai tujuan tersebut. sehingga pemerintah dapat mengenakan
pajak baru kepada rakyatnya, pajak yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah Islam. 3

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Pajak menurut pandangan asy-Syatibi dikenal dengan nama adh-dharibah. Konsep


pajak yang dikemukakan oleh Asy-Syatibi tertuang dalam Kitab al-Muwafaqat. Beliau
berpendapat bahwa pajak adalah: Pajak atau dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh
Allah SWT kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Allah SWT
telah menjadikan seorang imam atau pemetintah. sebagai pemimpin bagi mereka, yang bisa
mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-objek tertentu dengan mengikuti
kebijakannya. Harta yang dikumpulkan ini disebut dengan pajak atau dharibah. Begitu pula
diperbolehkan menyebutnya dengan sebutan harta yang difardhukan, maupun sebutan-
sebutan yang lain Secara singkat, dharibah dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut dari
masyarakat muslim yang telah memiliki penghasilan lebih dan digunakan untuk kepentingan
umum.

Menurut Asy-Syatibi, pajak yang dipungut dari masyarakat harus dilihat dari sudut
pandang kemaslahatannya. Imam Asy-Syatibi memandang bahwa salahsatu tanggungjawab
masyarakat adalah memelihara kepentingan umum. Asy-Syatibi juga berpendapat bahwa
negara membolehkan memungut pajak dan mebuat tarif baru dalam penetapan pajak terhadap
warga negaranya walaupun hal tersebut belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara
diberikan kewenangan untuk menetapkan tarif pajak, jenis pajak, maupun ruang lingkup
pajak yang lainnya. Namun, dalam jenis pajak dharibah, negara tidak bisa memungutnya
secara bebas. Ada beberapa persyaratan yang diajukan oleh Imam Asy-Syatibi dalam
melaksanakan jenis pajak ini, antara lain adalah:

1. Muslim Berbeda dengan kharaj yang dipungut dari masyarakat nonmuslim, jenis pajak
dharibah harus dipungut dari masyarakat muslim. Sebab untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan yang telah difardhukan oleh syara’ semata-mata difardhukan kepada kaum
muslimin, sehingga dharibah tidak boleh dipungut selain dari kaum muslimin.

3
Naflah Rifqi, Siska Eni Listia, and M Sa Akbar, “Prinsip-Prinsip Ekonomi Perspektif Islam : Tinjauan
Maqashid s Yari ’ Ah Dan Implementasinya” 1, no. 4 (2023): 52–62.
2. Kaya Pemungutan dharibah dari kaum muslimin berasal dari sisa nafkah atau sisa atas
pemenuhan kebutuhan mereka serta dari harta orang kaya. Walaupun demikian, orang
kaya ini masih dikhususkan lagi, bila harta kekayaan wajib pajak tidak bisa memenuhi
kebutuhannya maka tidak ada pungutan dharibah bagi mereka walaupun sudah mencapai
satu periode. Kemudian akan dipungut ketika harta kekayaan wajib pajak melebihi
kebutuhannya, baik berupa modal ataupun keuntungan. Bagi para petaniyang memiliki
alat-alat pertanian, maka itu tidak digolongkan sebagai modal.
3. Defisit Sumber pendapatan negara yang tetap adalah zakat, ghanimah, kharaj dan jizyah.
Imam asy-Syatibi mengunakan dharibah sebagai salah satu pendapatan negara setelah
zakat, ghanimah, kharaj dan jizyah. Pemungutan dharibah bisa dilaksanakan ketika bait al-
maal benar-benar kekurangan kas atau mengalami defisit yang tidak bisa dicukupi oleh
zakat, ghanimah, kharaj dan jizyah. Dharibah tidak boleh dipungut dari kaum muslimin
selama di dalam bait al-maal masih ada harta untuk pmenuhan kebutuhan. Dengan kata
lain, dharibah adalah instrumen terakhir yang dapat digunakan dalam memenuhi
kebutuhan negara dan masyarakatnya.
4. Adil Negara harus mengedepankan rasa keadilan dalam melaksanakan dharibah. Suatu
negara diperbolehkan memungut dharibah setelah para umaro bersama para ulama
bersepakat untuk melaksanakan instrumen tersebut. Pemerintah tidak boleh memiliki
tujuan untuk memperkaya dirinya sendiri lewat pemungutan pajak ini, akan tetapi
pemerintah harus punya tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemaslahatan
masyarakatnya. (konsep Pajak)

Secara terminologi, maqashid berarti makna-makna dan hikmah-hikmah dan


sejenisnya yang dikehendaki Tuhan dalam tiap syariat baik umum maupun khusus, guna
memastikan maslahat hamba-Nya. Maksud dari “makna” di sini adalah sebab, maksud dan
sifat. “Hikmah” berarti sifat, sifat syariat Islam yaitu mendapatkan maslahah. Dikehendaki
tuhan dalam tiap syariat dimaksudkan bahwa tuhan menginginkan dalam syariat-Nya. Arti
dari baik umum dan khusus adalah mencakup syariat umum yang berisi tentang dalil-dalil
syariah dan khusus berisihukum-hukum. Sedangkan makna dari “guna” memastikan maslahat
hamba-Nya adalah bahwa apa yang yang disyariatkan Tuhan tidak lain untuk
maslahat hamba-Nya di dunia dan akhirat.
Kontribusi Al-Syatibi Dalam Kebijakan Fiskal

Bagi Al-Syatibi adanya pemerintahan yang mengatur rakyat merupakan salah satu
maslahah dharuri yang harus dipenuhi. Pemerintah diwujudkan guna memenuhi maslahah
dunia para rakyatnya. Maslahah akhirat tidak akan terwujud jika maslahah dunia tidak
terpenuhi.Maka dari itu wujud pemerintahan merupakan maslahah dharuri bagi manusia.
Segala kebijakan pemerintah juga harus bertujuan maslahah sebagaimana kaidah fiqh
tasharrufu al-imam manuthun bi al-maslahah segala macam perbuatan pemimpin harus
berlandaskan maslahah rakyatnya. Guna mempraktekkan maslahah dalam pemerintahan, al-
Syatibi memiliki beberapa pemikiran mengenai kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal mencakup
tiga aspek, yaitu: (1) belanja negara, (2) pajak, dan (3) biaya rumah tangga. Dalam bagian ini
akan dijelaskan mengenai kebijakan fiskal menurut al-Syatibi.

Kebijakan Mengenai Belanja Negara Al-Syatibi memiliki pemikiran mengenai


asas-asas manajemen belanja negara. Ia berpendapat bahwa manajemen belanja negara harus
memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut adalah maqashid syariah harus ditegakkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu, ia berargumen bahwa kepentingan
publik terdiri dari tiga kategori, yaitu: primer (dharuriyah), sekunder (hajjiyah), dan
pelengkap (tahsiniyah). Secara lebih terperinci, Al-Syatibi menjelaskan bahwa belanja negara
harus memenuhi kebutuhan primer yang mencakup lima dimensi fungsi. Lima dimensi
tersebut adalah fungsi keagamaan (din), fungsi kebutuhan dasar (nafs), fungsi Pendidikan
(aql), fungsi ketahanan dan pemberdayaan keluarga (nasl), dan fungsi ekonomi (mal).
Segenap klasifikasi kebutuhan yang dipaparkan al-Syatibi menunjukkan bahwa manajemen
belanja negara bertujuan syar’ah yang focus pada kesejahteraan masyarakat atau kebahagiaan
di dunia dan akhirat.

Kebijakan Mengenai Pajak tidak hanya dalam hal belanja negara, Al-Syatibi juga
menegakkan maslahah dalam pemungutan pajak. Ia berpendapat bahwa pemungutan pajak
harus berasaskan maslahah sebagaimana yang diajarkan oleh pendahulunya, Imam al-
Ghazali dan Ibnu al-Farra‟. Ia berargumen bahwa kepentingan umum atau maslahah
bersama adalah tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapai
maslahah bersama diperlukan adanya bantuan dari orang yang lebih kepada orang yang
membutuhkan, seperti bantuan orang kaya untuk orang miskin. Demi memudahkan dan
meratakan distribusi harta, pemerintah dibolehkan untuk membangun baitul mal
yang bertugas memungut pajak dari berbagai pihak meskipun pajak belum pernah ada
dalam sejarah Islam. Hal ini dibolehkan karena pajak semata-mata untuk maslahah umat.
Namun jika pajak sudah tidak berlandaskan maslahah bahkan mendzolimi masyarakat, maka
pemungutan pajak harus dihentikan.

Kebijakan Mengenai Biaya Rumah Tangga Dalam hal biaya rumah tangga, Al-
Syatibi memiliki pemikiran dalam hal regulasi upah minimum. Ia berpendapat
bahwa syariah meliputi aqidah, amaliyah dan juga khuluqiyah. Regulasi upah minimum
masuk ke dalam amaliyah yang harus dikerjakan sesuai dengan ajaran Islam. Upah minimum
rakyat diregulasi berdasarkan kebutuhan mereka di dunia. Penentuan kebutuhan
rakyat tersebut harus sesuai dengan maqashid syariah. Penentuan kebutuhan manusia
dilakukan dengan maqashid syariah karenanya indicator terlengkap untuk kebutuhan.
Menurut Maslow, kebutuhan seseorang tidak dapat dipenuhi secara bersamaan namun
bertahap sesuai dengan hirarkinya. Maslow memiliki konsep hierarchy of needsyang
berarti kebutuhan manusia berjenjang berdasarkan skala prioritasnya. Hirarki tersebut
adalah kebutuhan fisiologi, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan
penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Jika dianalisa mendalam, Nampak bahwa
hirarki Maslow sepenuhnya telah terkandung dalam maqashid Syariah Bahkan konsep
maqashid yang dipaparkan al-Syatibi memiliki keunggulan yaitu meletakkan agama
sebagaifactor utama dalam elemen kebutuhan.4

4
Nabila; Syamsuri Zatadini, “Konsep Maqashid Syariah Menurut Iman Asy-Syatibi,” Jurnal Masharif
Al-Syariah: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah 4, no. 1 (2019): 1–14.

Anda mungkin juga menyukai