Anda di halaman 1dari 12

MATA KULIAH UMUM PAI

TUGAS KELOMPOK

MATERI KULIAH

“PAJAK DALAM ISLAM”

Dosen Pengampun: Dedy Hamdani, S.Si.

NAMA MAHASISWA:
Reza Fairuz Sikumbang (H1A02007)
Imes Yekti Syahrani (H1A020014)
Rofifah Dinda (H1A020044)
Abiyasya Dinnil Haq (H1A020063)
Insyiah Lailatul Ilmi (H1A020074)
Syella Deniecha Ade Tama (H1A020101)
Pegi Melanti Adri (H1A020103)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
PAJAK DALAM ISLAM
(Kelompok 13)

1. Pengertian pajak secara umum dan menurut pandangan islam


 Pajak didefinisikan sebagai kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh
pemerintah atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan
tertentu (Inayat, 2003)
 Pajak  menurut  syariah, secara etimologi pajak berasal dari bahasa arab disebut dengan
istilah dharibah, yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul,
menerangkan atau membebankan. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah dalam
penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama memakai
dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai kewajiban. Hal ini tampak jelas
dalam ungkapan bahwa jizyah dan kharaj dipungut secara dharibah, yakni secara
wajib. Bahkan sebagian ulama menyebut kharaj merupakan dharibah.Jadi, dharibah
adalah harta yang dipungut secara wajib oleh negara untuk untuk selain jizyah dan
kharaj, sekalipun keduanya secara awam bisa dikategorikan dharibah.
 Kata pajak dalam bahasa Arab disebut Adh-Dharibah yang artinya pungutan yang
ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak. Menurut Imam Al Ghazali, pajak ialah apa
yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan Muslim) kepada orang-orang kaya
dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan
masayarakat dan neagra secara umum) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.
2. Fungsi Pajak
 Fungsi Budgetair (Sumber Keungan Negara)
Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber
penerimaan pemerintah untuk membiyai pengeluaran baik rutin maupun
pembangunan. Sebagai sumber keungan negara, pemerintah berupaya memasukkan
uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara
ekstentifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan
peraturan berbagai berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain.
 Fungsi Regularend (pengatur)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.
Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun
luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka
melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi
untuk produk luar negeri.
 Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa
dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat,
pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
 Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua
kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat
membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Pada prinsipnya, dana pajak digunakan untuk kesejahteraan umum seluruh
masyarakat dalam suatu negara. Sehingga pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi
dan stasbilisasi secara efektif. Selain dalam rangka menjaga keberlangsungan roda
pemerintahan, pajak juga harus lebih diprioritaskan untuk hal-hal yang bisa dirasakan
langsung oleh masyarakat. Jadi secara umum pajak mempunyai fungsi sebagai public
service dan jaminan sosial bagi masyarakat.
Kesejahteraan merupakan tujuan pokok dari semua pengeluaran pemerintah,
maka semua proyek infrastruktur sosial dan fisik yang membantu merealisasikan
tujuan ini melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat, penciptaan lapangan pekerjaan
dan pemenuhan kebutuhan pokok, dapat memberikan prioritas dari proyek-proyek
yang tidak memiliki kontribusi demikian. Diantara proyek infrastruktur yang sangat
diperlukan, menghapus kesulitan dan penderitaan yang disebabkan oleh kekurangan
gizi, buta huruf, tuna wisma dan epidemi, kekurangan fasilitas kesehatan dan
ketersediaan air bersih, haruslah memjadi prioritas utama.
Begitu juga dalam pembangunan suatu sistem transportasi publik yang efisien,
perlu prioritas yang tinggi. Ketiadaannya menyebabkan kesulitan bagi mayoritas
penduduk, berdampak buruk terhadap efisiensi pembangunan dan menimbulkan
impor berlebihan terhadp mobil dan minyak. Dan sebagai salah satu solusi dari
tingginya impor mobil dan minyak, pemerintah dapat membenahi sistem transportasi
publik kearah yang lebih baik dengan pengadaan kendaraan publik dengan demikian
tidak akan mengurangi tekanan terhadap sumber-sumber devisa, tetapi juga
memberikan pelayanan transportasi yang lebih nyaman kepada mayoritas penduduk,
dengan kemacetan dan polusi udara yang berkurang di kota.
Dalam rangka melakukan pemerataan di setiap bidang kehidupan, pembangunan
pedesaan untuk meningkatkan produktivitas pertanaian, memperluas kewirausahaan
dan kesempatan kerja, serta pemenuhan kebutuhan hidup rakya pedesaan hruslah
diutamakan. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat perkotaan kerena akan mengurangi kepadatan. Selain itu, peningkatan
kemampuan untuk si miskin dalam rangka mencari mata pencaharian yang lebih baik
dapat dilakukan suatu proses pelatiahn dan akses yang lebih baik kepada pendidikan
dan keuangan.

Disamping itu, restrukturisasi sistem finansial dalam rangka pemberian


pembiayaan kepada pengusaha di pedesaan dan di perkotaan untuk meningkatkan
peluang usaha dan meningkatkan produksi barang dan jasa, juga menjadi syarat
penting guna mendukung itu semua. Jadi secara umum, pajak haruslah dapat berdaya
guna dalam rangka meingkatkan kesejahteraan umum.
3. Sebab sebab munculnya pajak dalam islam
Ada beberapa kondisi yang menyebabkan munculnya Pajak:
 Pertama, disebabkan Ghanimah dan Fay’i berkurang (bahkan tidak ada). Pada masa
pemerintahan Rasulullah SAW dan Sahabat, Pajak (Dharibah) belum ada, karena dari
pendapatan Ghanimah dan Fay’i sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran
umum negara. Namun setelah ekspansi Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’i
juga berkurang, bahkan sekarang tidak ada lagi karena kaum Muslim sudah jarang
berperang. Akibatnya,  pendapatan Ghanimah dan Fay’i tidak ada lagi, padahal dari
kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum negara, seperti menggaji
pegawai/pasukan, mengadakan fasilitas umum (rumah sakit, jalan raya,  penerangan,
irigasi, dan lain-lain), biaya pendidikan (gaji guru dan gedung sekolah).  
 Kedua, munculnya Pajak (Dharibah) karena terbatasnya tujuan penggunaan Zakat.
Sungguhpun penerimaan Zakat meningkat karena makin bertambahnya  jumlah kaum
Muslim, namun Zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti
menggaji tentara, membuat jalan raya, membangun masjid, apalagi untuk non Muslim
sebagaimana perintah Allah SWT pada Q.S. At-Taubah [9]:60, “Sesungguhnya zakat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan
hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba  sahaya, untuk (membebaskan) orang
yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allah.  Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Bahkan
Rasulullah SAW yang juga adalah kepala negara selain Nabi, mengharamkan diri dan
keturunannya memakan uang Zakat (Fikhus Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada
batasan waktu (haul ) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sehingga tidak dapat
dipungut sewaktu-waktu sebelum  jatuh tempo. Tujuan penggunaan Zakat telah
ditetapkan langsung oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh RasulNya Muhammad
SAW. Kaum Muslim tidak  boleh berijtihad didalam membuat tujuan Zakat,
sebagaimana tidak boleh  berijtihad dalam tata cara Shalat, Puasa, Haji, dan ibadah
Mahdhah lainnya. Pintu Ijtihad untuk ibadah murni sudah tertutup.
 Ketiga, munculnya Pajak (Dharibah) karena mencari jalan pintas untuk  pertumbuhan
ekonomi. Banyak negara-negara Muslim memiliki kekayaan sumber daya alam
(SDA) yang melimpah, seperti: minyak bumi, batubara, gas, dan lain-lain. Namun
mereka kekurangan modal untuk mengeksploitasinya, baik modal kerja (alat-alat)
maupun tenaga ahli (skill ). Jika SDA tidak diolah, maka negara-negara Muslim tetap
saja menjadi negara miskin. Atas kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil
langkah baru,  berupa pinjaman (utang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek
tersebut, dengan konsekuensi membayar utang tersebut dengan Pajak. d.
 Keempat, sebab munculnya Pajak (Dharibah) adalah karena Imam (Khalifah)
berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika terjadi kondisi kas negara ( Baitul
Mal ) kekurangan atau kosong (karena tidak ada Ghanimah dan Fay’i atau Zakat),
maka seorang Imam (khalifah) tetap wajib mengadakan tiga kebutuhan pokok
rakyatnya yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Jika kebutuhan rakyat itu tidak
diadakan, dan dikhawatirkan akan muncul bahaya atau kemudharatan yang lebih
besar, maka Khalifah diperbolehkan berutang atau memungut Pajak (Dharibah).
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw, ”Diriwayatkan dari Salamah bin Abdullah bin
Mahdhan Al Khathami, dari ayahnya, bahwa ia mempunyai hubungan dekat, bahwa
Rasulullah saw.  Bersabda:” Barang siapa diantaramu yang bangun di pagi hari dalam
18 kegembiraan, sehat badan, dan mempunyai bahan makanan pada hari itu, maka ia
seolah-olah diberikan seluruh dunia ini.”(HR. Tirmidzi). Juga hadits Rasulullah SAW
yang ”Seorang Imam (Khalifah) adalah adalah pemelihara dan  pengatur urusan
(rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya” (HR.
Muslim). Dan juga sebagaimana kaidah ushul fiqh yang mengatakan, ”Segala sesuatu
yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya kewajiban  selain harus dengannya,
maka sesuatu itupun wajib hukumnya.”Jadi dalam hal ini Imam punya dua pilihan,
yaitu utang atau pajak. Utang mengandung konsekuensi riba dan membebani generasi
yang akan datang. Oleh sebab itu, Pajak adalah pilihan yang lebih baik karena tidak
menimbulkan beban  bagi generasi yang akan datang.
Inilah alasan-alasan yang memunculkan ijtihad  baru dikalangan fuqaha, berupa
Pajak (Dharibah). Salah satu dalil yang dijadikan dasar adanya Pajak adalah Hadits
Rasulullah SAW, beliau bersabda, ” Di dalam harta terdapat hak-hak yang lain di
samping Zakat .” (HR Tirmidzi dari Fathimah binti Qais ra., Kitab Zakat, bab 27,
hadits no.659-660 dan Ibnu Majah , kitab Zakat, bab III, hadits no. 1789).
4. Landasan Hukum Pajak di Indonesia
1.  Undang – Undang dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 23 A
“Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.”
2. Undang – Undang nomor 16 tahun 2000 Tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan.
3. Undang – Undang nomor 17 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan (PPh)
4. Undang - Undang nomor 18 tahun 2000 Pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan
pajak penjualan atas barang mewah (PPn dan PPN BM)
5. Undang – Undang no 20 tahun 2000 tentang bea perolehan hak atas tanah bangunan
6. Undang – Undang 12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan dan keputusan
menteri keuangan nomor 201/KMK.04/2000 tentang besarnya penyesuian NJOPTKP
sebagai dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan.
7. Undang – Undang nomor 13 tahun 1985 dan peraturan pemerintah nomor 24 tahun
2000 tentang Bea materai.

5. Hukum Pajak Dalam Islam


Adapun kedua jenis pajak tersebut adalah :
 Pajak yang diambil secara ‘adil dan memenuhi berbagai syaratnya

Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk
memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa,
sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya
kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan
bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan
mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain
tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam
rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-
khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka
menolak kerugian yang lebih besar).

Sebagaimana  Allah ta’ala berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka
Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan
berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga
pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan
pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum
muslimin dengan harta selain zakat dalam islam.Termasuk (pungutan dari) berbagai
fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat dari zakat maal ,
yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan
mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya
(harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak
mencukupi.Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah
disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan
individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi
kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”,
tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil seperti dalam hukum
membayar pajak dalam islam.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah
disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda
sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu
di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para
pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan
2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
 Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas
Pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak
lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara
paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang
terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram
diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian
adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar).
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak,
yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang
berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar
dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan.
Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh
para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat
mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas sebagimana cara
membersihkan harta riba .

Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah
berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan
pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum
muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan
kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan
kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan
ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin.

Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan
festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras,
mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang
jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.

Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwapajak
tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir

Dari kedua uraian diatas dpat diambil sebuah kesimpulan bahwa hukum pajak
dalam islam dapat dipandang dari dua sisi. Dimana pajak yang diambil dengan jalan
keadilan dan tujuan untuk mensejahterahkan kemaslahatan umat kecil, maka pajak
tersebut hukumnya halal. Sebaliknya jika pengambilan pajak dilakukan dengan tujuan
untuk kepentingan elit semata, maka hukum pajak tersebut haram .

Itulah tadi uraian mengenai hukum oajak dalam islam. Semoga dapat
memberikan tambahan ilmu pengetahuan serta juga referensi bagi anda, sekaligus
semoga artikel ini memberikan manfaat.
6. Pendapat kewajiban pajak menurut islam

Terdapat dua pendapat ulama yang berbeda mengenai hal ini,

 pendapat pertama adalah tidak boleh membebankan pajak kepada kaum Muslim
karena umat Islam telah dibebankan dengan zakat. Hal ini diperkuat dengan hadist
Rasulullah SAW :

“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali).


Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari
pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-
Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al
Ghalil no.1761 dan 1459).

Dari hadist di atas, jelas terlihat bahwa pajak yang saat ini dikenakan kepada umat
Muslim tidak seharusnya dipungut karena pemungutan pajak tidak dilandasi dari
musyawarah dengan umat Muslim atas kerelaan hartanya ditarik oleh negara.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S. An Nisa:29)

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya


hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut
diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri
wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju
Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah SAW bersabda: 

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-
benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya
wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu
Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah hal. 715-716)

Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa mereka yang mengambil pajak secara zhalim
adalah mereka yang mengerjakan dosa, untuk itu mereka yang menarik pajak disarankan
untuk segera bertaubat.  Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana
mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” (HR Bukhari kitab Al-
Buyu : 7)

 Sedangkan pendapat kedua, membolehkan dipungutnya pajak dari kaum Muslim


dengan beberapa syarat dan kondisi, diantaranya adalah jika negara benar-benar
membutuhkan dan dalam keadaan genting jika pajak tidak ditarik. Hal ini dilandasi
oleh firman Allah SWT:

Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.”(Q.S. Al Baqarah:177)

Allah SWT menyuruh kita untuk menolong mereka yang membutuhkan, apalagi jika
negara dalam keadaan genting maka seluruh rakyat harus membantu. Jika dalam
posisi seperti ini, maka pajak diperbolehkan untuk dipungut demi keselamatan negara.
Perbuatan ini juga termasuk jihad dengan harta.

Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. At Taubah:41

Itulah dua pendapat dari para ulama mengenai pemungutan pajak. Pajan
sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi kaum non Muslim dan hanya boleh dipungut
jika negara dalam keadaan genting dan tidak terdapat kas sama sekali. Lalu
bagaimana dengan negara yang tetap memungut pajak walaupun kas negara masih
melimpah? Hal seperti ini sebenarnya tidak diperbolehkan karena termasuk
kedzaliman terhadap rakyat. Namun jika pemimpin tersebut adalah seorang Muslim,
maka kita tidak diperbolehkan untuk melawan.

Rasulullah SAW menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa


akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya
tentang sikap kaum muslimin : “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah
SAW menjawab ; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” 

Rasulullah SAW bersabda

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan
juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang
hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau
bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat
kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman
radliyallahu’anhu)

PERTNYAAN DAN JAWABAN


“PAJAK DALAM ISLAM”

1.Benarkah Pajak Bisa Mewakili Zakat?


Jika orang telah bayar pajak, apakah bisa menggantikan kewajiban zakat?
JAWAB:
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah (no. 2980) disebutkan beberapa perbedaan antara
zakat dengan pajak,
[1] Zakat diambil dari harta kaum muslimin, yang Allah wajibkan dengan ketentuan
tertentu. Sementara pajak diwajibkan oleh negara untuk kesejahteraan masyarakatnya.
[2] Zakat diserahkan kepada 8 golongan penerima zakat. Sementara pajak, sama sekali
tidak ada hubungannya dengan 8 golongan penerima zakat.
[3] Batasan zakat dan waktu mengeluarkannya, telah ditentukan oleh syariat. Seorang
muslim tidak boleh mengurangi atau memanipulasi zakat. Sementara pajak, negara
yang menetapkan. Mungkin saja, wajib pajak memanipulasi laporan atau membayar
dengan nilai kurang.
[4] Zakat harus diserahkan secara ikhlas, agar terhitung sebagai amal yang sah. Sementara
pajak, boleh saja diserahkan dengan terpaksa.
[5] Aturan zakat berlaku sama untuk muslim sedunia. Sementara pajak berbeda-beda
antar-negara, tergantung dari kebijakan pemerintah.
Karena itu, pajak tidak bisa mewakili zakat. Dua hal yang semua ketentuannya berbeda.
Sehingga para ulama menegaskan, pajak tidak bisa mewakili zakat.

2. Bagaimanakah sebenarnya pandangan Islam terhadap pajak yang dipungut oleh


sebuah negara muslim atau negara yang mayoritas muslim seperti negara kita,
Indonesia.  Apakah dibolehkan (baca: halal) atau dilarang (baca: haram).
JAWAB:

Ada Tiga Pendapat


Melalui artikel yang pernah saya baca, saya memperoleh informasi bahwa sampai saat
ini pun para ‘alim ulama masih berbeda pendapat mengenai hal ini.  Sebagian ada yang
mengatakan haram hukumnya mengenakan pajak, khususnya kepada kaum muslimin yang
sudah membayar zakat.  Tetapi di sisi lain ada para ahli fiqh yang membolehkan
(menganggap halal).  Masing-masing diperkuat dengan dalil baik dari Al-Qur’an maupun
Al-Hadits.
Di samping kedua pendapat tersebut, ada beberapa ulama dan ahli fiqh yang tergolong
sebagai ulama ‘poros tengah’.  Mereka berpendapat bahwa kewajiban seorang Muslim
atas harta tetap hanya zakat.  Akan tetapi jika terjadi kondisi yang menghendaki adanya
keperluan tambahan (darurah/darurat), maka akan ada kewajiban tambahan berupa
pajak (dharibah).  Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn Al-
Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, dan Mahmud Syaltut.
Dalam sebuah riwayat, dalam kondisi Baitul Mal sedang kesulitan keuangan pun,
umat muslimin waktu itu dikenai kewajiban membayar dharibah(taxes/pajak) oleh
Rasululloh SAW.  Akan tetapi, pada saat kesulitan keuangan sudah
teratasi, dharibah kemudian dihapuskan dan tidak diberlakukan.Alasan utama
diperbolehkannya memungut pajak adalah untuk kemashlahatan umat. Sebab jika dana
milik pemerintah (zaman Rasululloh SAW disebut Baitul Mal) tidak mencukupi untuk
membiayai berbagai pengeluaran, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kemadharatan. 
Padahal mencegah kemadharatan juga merupakan kewajiban.
Menurut ulama poros tengah, meskipun diperbolehkan namun pajak tidak boleh
dipungut dengan cara paksa dan kekuasaan semata.  Pemungutan pajak harus diimbangi
dengan pelaksanaan tugas negara yang menjadi kewajibannya terhadap warga misalnya
memberikan rasa aman, pengobatan, pendidikan, dan lain sebagainya.  Dengan kata lain,
pajak menurut ulama poros tengah harus dipandang oleh negara sebagai sebuah amanah
sehingga wajib dibelanjakan (digunakan) secara jujur dan efisien untuk merealisasikan
maqasid (tujuan) negara memakmurkan dan memashlahatkan umat (warga negara).

3. Bagaimana hukum orang yang bekerja di kantor pajak atau bea cukai??
JAWAB:
Hukum bekerja di perusahaan pajak statusnya dilihat dari jenis pajak yang dipungut,
rinciannya adalah:
Pertama: kalau kemaslahatan penarikan pajak tersebut masih mengindahkan aturan
syariat, tidak memberatkan rakyat karena terlalu tinggi misalnya; kemudian harta tersebut
dibelanjakan demi kemaslahatan kaum muslimin seiring dengan habisnya anggaran umum
negara (baitul mal); maka barulah seseorang boleh bekerja sebagai pegawai pajak.
Kendatipun demikian, ia tetap harus berlaku adil, menghindari kezaliman, mewaspadai
iming-iming suap yang ditawarkan kepadanya, dan hendaklah meringankan jumlah pajak
atau bahkan menggugurkannya.
Kedua: Jika negara yang bersangkutan menarik pajak dari rakyatnya tanpa
imbalan/kompensasi apa-apa (spt PBB, PPN dan Bea Cukai atas barang perniagaan milik
kaum muslimin); atau jika si pegawai perpajakan tersebut harus tunduk kepada undang-
undang yang menyelisihi syariat (sebagaimana realita di negeri kita); maka hukumnya
tidak boleh bekerja di bagian perpajakan jika kondisinya demikian. Sebab Allah berfirman
yang artinya, “Janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al
Maidah: 2).

4. Bagaimana sistem perpajakan islam pada masa rasul?


JAWAB:
Pendapatan negara diperoleh dari lima sumber, yaitu harta rampasan perang
(ghanimah), harta kekayaan yang diambil dari musuh tanpa melakukan peperangan (fai),
zakat, pajak tanah (kharraj), dan pajak kepala (jizyah). Kecuali dua sumber pertama,
yang lainnya merupakan sumber penghasilan tahunan.Sedangkan pada masa sekarang,
umumnya penerimaan negara hanya diperoleh dari pajak dan zakat. Namun, tidak semua
negara di dunia memasukkan zakat dalam instrumen penerimaan di kas negara. Sementara
itu, untuk sumber pendapatan berupa ghanimah dan fai tidak lagi diterapkan.Penerimaan
dari zakat ini hanya dibebankan kepada penduduk Muslim, selain merupakan kewajiban
dalam ajaran Islam. Para penduduk dari kalangan Muslim pun juga dikenakan beban
pajak. Sementara itu, terhadap penduduk non-Muslim, Rasulullah selaku kepala negara
dan pemerintahan hanya menerapkan sistem pungutan pajak berupa jizyah dan kharraj. 

1. Apakah membayar pajak kendaraan bermotor, pajak bumi & bangunan atau pajak
yang lain termasuk shodaqoh jariyah juga ?
JAWAB:

Hukum pajak diperselisihkan oleh para ulama. Ketika penarikan pajak dilakukan
secara zalim, maka para ulama sepakat akan keharamannya. Tapi jika pemungutan pajak
manfaatnya kembali kepada kaum muslimin maka sebagian ulama membolehkannya
dengan memperhatikan syarat-syarat yang ketat. Melihat syarat-syarat ketat ini hampir
dipastikan bahwa pajak yang ada di hari ini tidak memenuhi persyaratan tersebut. Dan kita
sebagai rakyat tidak dibenarkan di zaman ini untuk melawan dan membangkang kepada
penguasa karena madharat yang timbul justru akan semakin parah.
Adapun status harta yang kita bayarkan sebagai pajak ini apakah bernilai sedekah ?
Kami tidak tahu dengan pasti, mungkin nanti akan dibantu oleh bapak dalam
menjawabnya, tapi yang jelas setiap harta dan hak yang terampas dari kita secara zalim,
maka kelak Allah Ta’ala akan menariknya dan mengembalikannya kepada kita, Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“Sungguh semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya pada hari kiamat. Sampai
diqishas kambing yang tidak bertanduk kepada kambing yang bertanduk.” (HR. Ahmad
7404, Muslim 6745).

Anda mungkin juga menyukai