TUGAS KELOMPOK
MATERI KULIAH
NAMA MAHASISWA:
Reza Fairuz Sikumbang (H1A02007)
Imes Yekti Syahrani (H1A020014)
Rofifah Dinda (H1A020044)
Abiyasya Dinnil Haq (H1A020063)
Insyiah Lailatul Ilmi (H1A020074)
Syella Deniecha Ade Tama (H1A020101)
Pegi Melanti Adri (H1A020103)
Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk
memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa,
sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya
kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan
bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan
mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “tafwit adnaa al-mashlahatain
tahshilan li a’laahuma” (sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam
rangka memperoleh mashalat yang lebih besar) dan “yatahammalu adl-dlarar al-
khaas li daf’i dlararin ‘aam” (menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka
menolak kerugian yang lebih besar).
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka
Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat: 15]
Dengan demikian, salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan
berapa besaran beban berjihad dengan harta kepada setiap orang yang mampu. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga
pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan
pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum
muslimin dengan harta selain zakat dalam islam.Termasuk (pungutan dari) berbagai
fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat dari zakat maal ,
yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan
mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya
(harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak
mencukupi.Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah
disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan
individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi
kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip “al-ghurm bi al-ghunm”,
tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil seperti dalam hukum
membayar pajak dalam islam.
Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah
disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda
sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu
di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para
pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan
2,5% bagi pedagang kaum muslimin.
Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas
Pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak
lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara
paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang
terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram
diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.
Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian
adalah haram atas sesama kalian (untuk dilanggar).
Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak,
yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang
berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar
dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan.
Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh
para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat
mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas sebagimana cara
membersihkan harta riba .
Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah
berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan
pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum
muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan
kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan
kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan
ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin.
Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan
festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras,
mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang
jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.
Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwapajak
tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan elit.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
Zakat itu diambil dari kalangan elit dan dikembalikan kepada kalangan fakir
Dari kedua uraian diatas dpat diambil sebuah kesimpulan bahwa hukum pajak
dalam islam dapat dipandang dari dua sisi. Dimana pajak yang diambil dengan jalan
keadilan dan tujuan untuk mensejahterahkan kemaslahatan umat kecil, maka pajak
tersebut hukumnya halal. Sebaliknya jika pengambilan pajak dilakukan dengan tujuan
untuk kepentingan elit semata, maka hukum pajak tersebut haram .
Itulah tadi uraian mengenai hukum oajak dalam islam. Semoga dapat
memberikan tambahan ilmu pengetahuan serta juga referensi bagi anda, sekaligus
semoga artikel ini memberikan manfaat.
6. Pendapat kewajiban pajak menurut islam
pendapat pertama adalah tidak boleh membebankan pajak kepada kaum Muslim
karena umat Islam telah dibebankan dengan zakat. Hal ini diperkuat dengan hadist
Rasulullah SAW :
Dari hadist di atas, jelas terlihat bahwa pajak yang saat ini dikenakan kepada umat
Muslim tidak seharusnya dipungut karena pemungutan pajak tidak dilandasi dari
musyawarah dengan umat Muslim atas kerelaan hartanya ditarik oleh negara.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(Q.S. An Nisa:29)
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-
benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya
wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu
Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah hal. 715-716)
Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa mereka yang mengambil pajak secara zhalim
adalah mereka yang mengerjakan dosa, untuk itu mereka yang menarik pajak disarankan
untuk segera bertaubat. Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana
mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” (HR Bukhari kitab Al-
Buyu : 7)
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.”(Q.S. Al Baqarah:177)
Allah SWT menyuruh kita untuk menolong mereka yang membutuhkan, apalagi jika
negara dalam keadaan genting maka seluruh rakyat harus membantu. Jika dalam
posisi seperti ini, maka pajak diperbolehkan untuk dipungut demi keselamatan negara.
Perbuatan ini juga termasuk jihad dengan harta.
Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan
berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Q.S. At Taubah:41
Itulah dua pendapat dari para ulama mengenai pemungutan pajak. Pajan
sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi kaum non Muslim dan hanya boleh dipungut
jika negara dalam keadaan genting dan tidak terdapat kas sama sekali. Lalu
bagaimana dengan negara yang tetap memungut pajak walaupun kas negara masih
melimpah? Hal seperti ini sebenarnya tidak diperbolehkan karena termasuk
kedzaliman terhadap rakyat. Namun jika pemimpin tersebut adalah seorang Muslim,
maka kita tidak diperbolehkan untuk melawan.
“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan
juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang
hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau
bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun
punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat
kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman
radliyallahu’anhu)
3. Bagaimana hukum orang yang bekerja di kantor pajak atau bea cukai??
JAWAB:
Hukum bekerja di perusahaan pajak statusnya dilihat dari jenis pajak yang dipungut,
rinciannya adalah:
Pertama: kalau kemaslahatan penarikan pajak tersebut masih mengindahkan aturan
syariat, tidak memberatkan rakyat karena terlalu tinggi misalnya; kemudian harta tersebut
dibelanjakan demi kemaslahatan kaum muslimin seiring dengan habisnya anggaran umum
negara (baitul mal); maka barulah seseorang boleh bekerja sebagai pegawai pajak.
Kendatipun demikian, ia tetap harus berlaku adil, menghindari kezaliman, mewaspadai
iming-iming suap yang ditawarkan kepadanya, dan hendaklah meringankan jumlah pajak
atau bahkan menggugurkannya.
Kedua: Jika negara yang bersangkutan menarik pajak dari rakyatnya tanpa
imbalan/kompensasi apa-apa (spt PBB, PPN dan Bea Cukai atas barang perniagaan milik
kaum muslimin); atau jika si pegawai perpajakan tersebut harus tunduk kepada undang-
undang yang menyelisihi syariat (sebagaimana realita di negeri kita); maka hukumnya
tidak boleh bekerja di bagian perpajakan jika kondisinya demikian. Sebab Allah berfirman
yang artinya, “Janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al
Maidah: 2).
1. Apakah membayar pajak kendaraan bermotor, pajak bumi & bangunan atau pajak
yang lain termasuk shodaqoh jariyah juga ?
JAWAB:
Hukum pajak diperselisihkan oleh para ulama. Ketika penarikan pajak dilakukan
secara zalim, maka para ulama sepakat akan keharamannya. Tapi jika pemungutan pajak
manfaatnya kembali kepada kaum muslimin maka sebagian ulama membolehkannya
dengan memperhatikan syarat-syarat yang ketat. Melihat syarat-syarat ketat ini hampir
dipastikan bahwa pajak yang ada di hari ini tidak memenuhi persyaratan tersebut. Dan kita
sebagai rakyat tidak dibenarkan di zaman ini untuk melawan dan membangkang kepada
penguasa karena madharat yang timbul justru akan semakin parah.
Adapun status harta yang kita bayarkan sebagai pajak ini apakah bernilai sedekah ?
Kami tidak tahu dengan pasti, mungkin nanti akan dibantu oleh bapak dalam
menjawabnya, tapi yang jelas setiap harta dan hak yang terampas dari kita secara zalim,
maka kelak Allah Ta’ala akan menariknya dan mengembalikannya kepada kita, Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“Sungguh semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya pada hari kiamat. Sampai
diqishas kambing yang tidak bertanduk kepada kambing yang bertanduk.” (HR. Ahmad
7404, Muslim 6745).