PENERIMAAN NEGARA
Dosen Pengampu :
Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS.
Disusun Oleh :
Kelompok 6
Bunga Carolline B1B121048
Devalia Natasa B1B121081
Ismi Ladia Putri B1B121093
Silvia Syahfitri B1B121064
Syukur alhamdulilah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Keuangan Negara dengan judul
“Penerimaan Negara”.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah
ini dapat terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami
miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu sumber penerimaan negara adalah pajak, menurut Mardiasmo (2013:1)
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut
Mukhlis & Simanjuntak (2011), pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
negara yang sangat penting untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur maupun
meningkatkan perekonomian negara. Setiap tahun, pemerintah berusaha untuk
memaksimalkan penerimaan pajak guna membiayai pengeluaran negara.
Semakin tinggi tingkat penerimaan pajak, maka semakin tinggi kemampuan negara
membiayai pembangunan dan sebaliknya. Mulyadi (2011) juga berpendapat bahwa
penerimaan pajak daerah salah satu sumber dana pemerintah daerah. Penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan umum dan pembangunan nasional banyak didanai oleh
sektor pajak.
Jika Pajak dilihat dari wewenang pemungutannya, maka menurut Mardiasmo (2013)
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah
pajak yang dipungut pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
untuk membiayai pembangunan daerah. Pajak daerah memiliki peran penting dalam
meningkatkan penerimaan daerah disamping pendanaan oleh pemerintah pusat. Pajak
daerah memiliki berbagai jenis pajak, mulai dari pajak provinsi hingga pajak
kota/kabupaten. Pemungutan pajak daerah oleh pemerintah daerah provinsi maupun
kota/kabupaten diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang tentang
pajak daerah dan retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan
retribusi daerah, diharapkan dapat lebih mendorong pemerintah daerah terus berupaya
untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Menjabarkan sumber-sumber penerimaan negara
1.2.2 Menjabarkan Distribusi beban Negara
1.2.3 Menjabarkan Sistem perpajakan dan politik pajak
1.2.4 Menjabarkan Pergeseran beban pajak
1.3 Tujuan
Berdasarkan dari perumusan masalah, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui dan menjabarkan: Sumber-sumber Penerimaan Negara, Distribusi Beban Negara,
Sistem Perpajakan Dan politik pajak, Pergeseran Beban Pajak
BAB II
PEMBAHASAN
Pajak sebagai sumber penerimaan negara yang paling utama (fungsi budget) di setiap
negara-negara juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi
kegiatan-kegiatan swasta dalam perekonomian (fungsi pengatur).
Untuk itu pemerintah menekankan kepada masyarakat untuk membayar dan melunasi pajak
yang dikenakan kepada mereka agar keuangan negara dan daerah dapat stabil dalam rangka untuk
meningkatkan dan menstabilkan pembangunan bangsa ini. Wewenang pemungutan pajak ini
sendiri berada pada pemerintah. Dinegara-negara hukum segala sesuatu harus ditetapkan dalam UU.
Seperti Indonesia pemungutan pajak diatur dalam pasal 23A amanemen UUD 1945 yang
menyatakan bahwa :” Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-undang“.
Atas dasar UU dimaksudkan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat ke
Pemerintah, untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapatkan kontraprestasi yang
langsung. Peralihan kekayaan sendiri dapat terjadi karena hibah atau kemungkinan peristiwa
perampasan. Oleh karena itu segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai
contoh pajak harus ditetapkan dengan UU yang telah disetujui oleh DPR.
Adolf Wagner (dalam Sonny Sumarsono, 2010:1) mengamati bahwa pengeluaran negara
secara empiris tidak pernah turun, tetapi setiap tahun selalu meningkat. Keadaan ini dipertegas
dengan melihat bahwa setiap tahunnya
kebutuhan negara dalam menyediakan layanan dasar kepada masyarakat selalu meningkat
karena berbagai alasan seperti masalah sosial, keamanan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan
pemerintah selalu berusaha meningkatkan penerimaan negara setiap tahunnya demi tercapainya
tujuan yang telah diterapkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan negara.
Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya fokus kajian Keuangan Negara sebagian besar
berasal dari sektor Pajak dimana Pajak merupakan Sumber Penerimaan Negara yang berfungsi
efektif dan efisien dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional. Pajak berperan sebagai pengatur
keuangan perekonomian di Negara Indonesia.
Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2020-2022
2.2 Distribusi Beban Negara
Distribusi adalah suatu proses penyamapian barang atu jasa dari produsen
ke konsumen dan para pemakai, sewaktu dan dimana barang atu jasa tersebut
diperlukan. Proses distribusi tersebut pada dasarnya menciptakan faedah
(utility) waktu, tempat, dan pengalihan hak milik.
Hal penting dari inventarisasi sumber-sumber keuangan pemerintahan di
atas adalah pemecahan masalah mengenai prinsip-prinsip yang harus ditempuh
untuk mendistribusikan beban pemerinth kepada anggota-anggota
masyarakatnya. Kita lihat sekarang mengenai sumber penerimaan pemerintah
yang berasal dari pajak karena pajak adalah sumber penerimaan Negara yang
terbesar bagi Negara-negara dimanapun. Pajak disamping sebagai sumber
penerimaan Negara yang utama (fungsi budget) juga mempunyai fungsi lain
yaitu sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan swasta
dalam perekonomian (fungsi pengatur). Sebagai alat anggaran (budgetary)
pajak digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai
kegiatan-kegiatan pemerintah, terutama kegiatan-kegiatan rutin.
Pajak dalam fungsinya sebagai pengatur (regulatory), dimaksudkan
terutama untuk mengatur perekonomian guna menuju pada pertumbuhan
ekonomi yang lebih cepat, mengadakan distribusi pendapatan serta stabilisasi
ekonomi. Tetapi pengertian ini diperluas yaitu untuk mengatur
kegiatan-kegiatan baik kegiatan produsen maupun konsumen dalam mencapai
tujuannnya masing-masing. Dengan melalui system perpajakan pemerintah
dapat menghalangi dihasilkannya barang-barang tertentu yang tidak
dikehendaki oleh pemerintah, dan dapat pula pemerintah mencegah konsumsi
barang-barang tertentu yang diperkirakan akan mengganggu kesehatan atau di
anggap kurang penting oleh pemerintah. Sebaliknya dengan meringankan
beban pajak atau menghapus pajak pemerintah dapat memajukan suatu
kegiatan ekonomi tertentu.
a. Smith’s Conons
Dalam mendistribusikan beban pemerintah atau dengan kata lain
karena kegiatan pemerintah sebagian besar dibiayai oleh penerimaan pajak,
maka berarti ada masalah pengenaaan pajak pada wajib pajak. Dalam
pengenaan pajak itu adam smith telah mengajukan beberapa prinsip bagi
pengenaan pajak yang baik yang disebut dengan Smith’s Conons, yaitu :
1. Prinsip kesamaan / keadila (equity)
Artinya ialah bahwa beban pajak harus sesuai dengan kemampuan
relative dari setiap wajib pajak. Perbedaan dalam tingkat penghasilan
harus digunakan sebagian dasar didalam distribusi beban pajak itu,
sehingga bukan beban pajak dalam arti uang yang penting tetapi beban
riil dalam arti kepuasaan yang hilang.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Pajak hendaknya tegas, jelas dan pasti bagi setiap wajib pajak,
sehingga mudah dimengerti oleh mereka dan juga akan memudahkan
administrasi pemerintahan sendiri.
3. Prinsip Kecocokan/Kelayakan (convenience)
Pajak jangan sampai terlalu menekan seseorang wajib pajak, sehingga
wajib pajak akan dengan suka dan senang hati melakukan pembayaran
pajak kepada pemerintah.
4. Prinsip Ekonomi (economy)
Pajak hendaknya menimbulkan kerugian yang minimal dalam arti
jangan sampai biaya pemungutannya lebih besar dari pada jumlah
penerimaan pajaknya.
Smith’s Conons ini masih dilengkapi oleh sarjana lain dengan satu
prinsip lagi yaitu yang disebut prinsip ketepatan (adequity). Pajak
hendaknya dipungut tepat pada waktunya jangan smapai mempersulit
posisi anggaran belanja.
b. Benefit Approach dan Ability to Pay Approach ?
Pendekatan ini lebih mudah dilaksanakn yaitu pada pokoknya bahwa :
1. Benefit Approach dengan kata lain adalah prinsip pengenaan pajak
berdasarkan atas manfaat yang diterima oleh seorang wajib pajak dari
pembayaran pajak itu kepada pemerintah.
2. Ability to Pay Approach, sering pula disebut sebagai prinsip
kemampuan untuk membayar atau berdasarkan atas daya pikul seorang
wajib pajak. Jadi yang dimaksud ialah bahwa seorang wajib pajak akan
dikenai beban pajak sesuai dengan kemampuannya untuk membayar
pajak. Wajib pajak yang memliki kemampuan membayar yang sama
dikenai pajak yang sama bebannya (horizontal equity), dan wajib pajak
yang kemmpuannya berbeda dikenai pajak yang berbeda pula
bebannya (vertical equity). Kemampuan untuk membayar pajak ini
dapat diketahui dengan melihat besarnya pendapatn baik yang berasal
sdari tenaga kerja maupun yang bersal dari kekayaan serta besarnya
pengeluaran seseorang wajib pajak setelah pengeluaran konsumsi
esensial.
c. Konsep Equal Sacrifice
Sehubungan dengan prinsip kemampuan untuk membayar pajak
berdasarkan atas kesamaan, maka apa yang kita maksud dengan sama
disini adalah pembayarannya dalam arti beban riil (riil burden) yang di
derita seorang wajib pajak. Beban riil ini kita ukur dengan besarnya
kepuasaan atau guna (utility) yang hilang, karena pembayaran pajak
tersebut.
Berhubung untuk mengukur kemampuan membayar pajak dapat dilihat
dari tingkat pendapatan seseorang wajib pajak, maka kita akan
menggunakan anggapan bahwa pengorbanan yang diserahkan oleh wajib
pajak sebagai individu dapat di ukur sebagai fungsi dari pendapatan yang
diserahkannya kepada pemerintah. Jadi jelasnya ialah bahwa kepuasaan
atau guna itu merupakan fungsi dari besarnya pendapatan seseorang.
Prinsip atas dasar pengorbanan ini dapat kita golongkan menjadai tiga
macam yaitu :
1. Kesamaan pengorbanan secara absolute;
2. Kemampuan pengorbanan secara proforsional;
3. Kesamaan pengorbanan secara marginal.
Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mendidtribusikan pendapatan
agar kesejahteraan dapat menyebar ke setiap lapisan masyarakat. Ketidak
sempurnaan pasar dapat menyebabkan penumpukan kekayaan pada salah satu
golongan atau kelompok masyarakat saja. Apa lagi jika penumpukan kekayaan ini
juga terjadi karena adanya monopoli. Akibatnya, kesenjangan antar golongan akan
semakin melebar. Jika hal tersebut dibiarkan, maka bibit-bibit kecemburuan sosil
akan mudah menjadi “bahan bakar” yang efektif untuk meledakan anarki. Hanya
Negara yang bias “memaksa” golongan masyarakat kaya untuk enyisihkan
penghasilannya dengan mewajibkan mereka membayar pajak sesuai dengan
kemampuannya. Hasil pemungutan pajak tersebut digunakan pemerintah atau
Negara menjalankan fungsi distribusi. Melalui pemungutan pajak, Negara bias
menyediakan pelayanan kesehtan yang murah dan pendidikan yang terjangkau
untuk seluruh lapisan masyarakat. Negara juga bias memberikan subsidi atas
pengadaan rumah murah dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
2.4 Sistem Perpajakan Dan Politik Pajak
“Setiap kebijakan tentu telah melalui kompromi antarpihak yang berkepentingan baik
pemerintah sebagai bagian dari aktor politik dan DPR sebagai perwakilan masyarakat
selaku Wajib Pajak,” jelas Prianto kepada Majalah Pajak melalui surat elektronik,
Senin (21/06).
UU KUP mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan beserta perubahannya. UU PPh mengacu pada UU Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya. UU PPN mengacu pada UU
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah beserta perubahannya. Perubahan terakhir dari ketiga
UU tersebut mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Oleh sebab itu, pemerintah telah mengusulkan RUU KUP 2021 yang isinya
seperti omnibus law perpajakan. Meskipun RUU tersebut mengubah UU KUP, isinya
juga akan mengamandemen UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. Di dalam RUU
tersebut juga ada usulan pajak baru berupa Pajak Karbon yang dikenakan atas emisi
karbondioksida. Selain RUU KUP 2021, pemerintah juga sudah menggelontorkan
berbagai alternatif kebijakan agar kondisi ekonomi bisa segera pulih.
Masalah lain yang juga sangat menarik dalam pembicaraan mengenai system
perpajakan ialah bahwa seringkali terjadi suatu jumlah pajak dibayar oleh seorang
wajib pajak dan ternyata yang menderita/memikul beban pajaknya bukan seorang
wajib pajak tersebut. Dengan kata lain wajib pajak tidak sama dengan seorang
pemikul beban pajak. Jadi wajib pajak dapat menggeserkan sebagian atau seluruh
beban pajak itu kepada orang lain. Jadi masalah distribusi beban pajak (incidence of
taxation) adalah masalah mengenai siapa sebenarnya yang memikul beban pajak yang
terakhir setelah terjadi penggeseran. Dalam pengertian ekonomis masalah dapat
tidaknya beban pajak itu digeserkan membawa konsekuensi mengenai macam sifat
pajak. Pajak yang bebannya dapat digeserkan disebut dengan pajak tidak langsung,
sedangkan pajak yang bebannya tidak dapatdigeserkan disebut pajak langsung.
Dalam masalah distribusi beban pajak, dibahas masalah mengenai siapa
sebenarnya yang memikul beban pajak. Kenyataannya, dari pelaksanaan sistem
perpajakan, sering terjadi wajib pajak tidak sama dengan si pemikul beban pajak.
Dalam keadaan seperti itu, terjadi apa yang disebut dengan pergeseran beban pajak.
Pergeseran beban pajak dari wajib pajak ke orang lain dapat dilakukan dengan
menggeser seluruh beban pajaknya atau hanya sebagian saja dari beban
pajaknya. Dalam proses pergeseran beban pajak, dapat dilakukan ke muka, artinya
beban pajak digeserkan kepada konsumen dari produsen. Misalnya, seorang produsen
rokok yang dikenai pajak penjualan atau cukai, ia akan berusaha menggeserkan beban
cukai kepada konsumen rokok, dengan cara menaikkan harga jual rokok. Pergeseran
beban pajak ini dapat pula dilakukan ke belakang, maksudnya dari konsumen
tembakau yang dikenai cukai tembakau oleh pemerintah, menggeserkan beban
pajaknya kepada petani tembakau sebagai produsen tembakau dengan cara menekan
harga belinya. Berapa harga belinya beban pajak yang dapat digeserkan dan berapa
yang harus dipikul wajib pajak dan berapa penerimaan pemerintah dari pajak ini,
merupakan masalah-masalah yang harus dibahas dalam pergeseran beban pajak.
Perbandingan besarnya beban pajak yang harus ditanggung konsumen dan yang
masih dipikul oleh konsumen sesuai dengan elastisitas permintaan barang tersebut dan
elastisitas penawaran sebagai berikut. Pajak langsung dan tidak langsung mempunyai
peranan yang besar terhadap penerimaan dalam negeri di Indonesia. Jumlah dan
persentase penerimaan pajak tidak langsung lebih besar dibandingkan dengan pajak
langsung. Perbedaan antara pajak langsung dan tidak langsung apabila ditinjau dari
segi yuridis-administratif dan dari segi analisis ekonomi. Pajak langsung adalah pajak
yang dikenakan atas surat ketetapan pajak (kohir) dan pengenaannya dilakukan secara
berkala misalnya tiap-tiap tahun (dikenakan pada waktu-waktu yang tertentu,
misalnya pajak penghasilan). Pajak tidak langsung adalah pajak yang pemungutannya
tidak dilakukan berdasarkan surat ketetapan pajak (kohir) dan pengenaannya tidak
dilakukan secara berkala, misalnya pajak penjualan dan lain-lain. Sifat-sifatnya,
antara lain lebih sederhana sehingga biaya pemungutannya rendah, dapat diharapkan
orang yang berpenghasilan rendah ikut membayar pajak, dapat menjamin kontinuitas
penerimaan negara maka negara-negara yang berkembang cenderung memiliki pajak
tidak langsung sebagai sumber penerimaan yang utama. Dengan makin mantapnya
stabilitas perekonomian dan politiknya serta makin majunya pembangunan di negara
tersebut perbandingan proporsi antara pajak langsung dan tidak langsung menjadi
semakin kecil. Artinya peranan pajak langsung akan menjadi semakin penting.
Apabila dilihat dari segi konsumsi, pengenaan pajak langsung, misalnya pajak
pendapatan akan mempunyai pengaruh yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan
pengenaan pajak tidak langsung. Dengan pengenaan pajak langsung, hanya tenaga
beli konsumen yang berkurang dan ini dapat didistribusikan pada daftar konsumsinya
yang lain.
Pajak-pajak yang bebannya dapat digeserkan biasanya adalah pajak penjualan
termasuk cukai. Cukai tembakau misalnya dikumpulkan oleh produsen rokok, tetapi
yang menderita beban pembayaran cukai itu adalah konsumen rokok. Adapun cara
menggeserkan beban pajak tersebut ialah dengan menaikkan harga dari rokok tersebut.
Disini dikatakan bahwa ada penggeseran beban pajak ke depan (forward shifting).
Seandainya produsen rokok itu tidak berhasil menaikan harga rokoknya setelah
dikenakan cukai tembakau, maka ia akan berusaha untuk menggeser beban pajak itu
kebelakangyaitu dengan menekan harga pembelian inputnya (dalam hal ini tembakau)
dari penjual tembakau (petani misalnya). Jadi penggeseran kebelakang (backward
shifting) merupakan lawan dari forward shifting.
Jelasnya perbuatan penggeseran beban pajak adalah perbuatan penghindaran diri
dari pembayaran bebna pajak yang sifatnta lunak, artinya tidak ada sanksi hukumnya
dan banyak orang tidak mempersoalkannya. Oleh karenanya perbuatan pergeseran
beban pajak itu tidak dapat kita katakana melanggar hukum. Sebenarnya proses
penggeseran beban pajak dapat diperinci dalam empat tahap, yaitu :
a. Tahap ke satu, beban pajak terletak pada orang (wajib pajak) yang
mengandalkan perhitungan pembayaran dengan Negara. Ini berhubungan
langsung dengan pengenaan pajak itu sendiri bagi orang yang membayar
pajak di kantor pajak dan disebut dengan : impact of taxation”.
b. Tahap kedua berupa penggeseran beban pajak, ini merupakan proses
antara yaitu, pemindahan beban pajak dari pembayar pajak kepada
pemikul beban pajak. Tahap ini disebut dengan “the shifting of taxation”.
c. Tahap ketiga, timbunya beban moneter yang terlahir setelah terjadi
penggeseran dan beban pajak tidak akan digerakan lagi. Ini disebut dengan
“incidence of taxation”.
d. Tahap keempat, yaitu adanya konsekuensi-konsekuensi ekonomis
dengan adanya “incidence of taxation” yang disebut dengan “effect of
taxation”. Misalnya ; ada kesenjangan yang semakin lebar dalam distribusi
pendapatan dalam arti riil setelah pajak tersebut dikenakan.
Hubungan Perorangan dengan Pasar Industri dan Kesejahteraan
Sering sekali merasa bingung dengan analisis yang kita gunakan di dalam
pembicaraan mengenai penggeseran beban pajak (shifting of taxation). Apa yang
telah kita bicarakan dimuka adalah suatu kejadian yang ada di pasar dari barang
yang dikenai pajak. Jadi mengapa dengan dikenainya pajak penjualan persatuan
barang yang dijual ( specific tax) dapat terjadi penggeseran beban pajak tersebut
kepada konsumen ?
Kita perhatikan disini : Kalau pasar itu merupakan pasar persaingan sempurna,
maka masing-masing penjual/produsen tidak akan dapat menaikan harga
barang-barangnya (menggeser beban pajak) secara sendiri-sendiri. Harga baru
akan dapat dinaikan apabila para penjual bersama-sama berusaha menaikan harga
barang-barang yang dijualnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
http://kistiyani.blogspot.com/2014/12/pengaruh-pajak.html
[3] Menurut Undang-undang No 17 Tahun 2003. Tentang “Keuangn Negara”.
[4] Atep, Bambang. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah. PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004. Hlm 51.
[5] Dwi Sunar Prasetyono. 2012. Buku Pintar Pajak. Laksana. Jogjakarta. Hlm 12-14.
[6] Oyok Abuyamin. 2012. Perpajakn Pusat dan Daerah. Humaniora. Bandung. Hlm 2-3.
[7] Suparmoko. 2003. Keuangan Negara Dalam Teori dan
Praktek. BPFE-YOGYAKARTA. Yogyakarta. Hlm 93-95.
[8] Ibid Hlm 96-100.
[9] Haula, Edi. 2012. Pengantar ilmu pajak, kebijakan dan implementasi di Indonesia. Rajawali pers.
Jakarta. Hlm 39.