Anda di halaman 1dari 6

Perlukah Pemungutan Jizyah di Negara-negara Mayoritas

Muslim di Era Sekarang?


(Tafsir Surah At-Taubah ayat 29)
Kun Khoiro Umam Al Muafa

Beberapa tahun yang lalu, banyak polemik yang bersumber dari sebagian kelompok Islam radikal
terkait jizyah. Mereka mengklaim bahwa bentuk pemerintahan Indonesia yang bersifat Demokrasi
ialah tidak sesuai dengan Islam, dan hendak menggantinya menjadi kekhilafahan Islam. Sehingga
otomatis orang non-Muslim yang tinggal di dalam negara Indonesia akan dikenai pajak jizyah.
Dalam sejarahnya, praktik pelaksanaan jizyah sebenarnya sudah lama muncul, namun dengan
istilah lain. Hal ini merupakan bentuk dari pembayaran upeti kepada pihak yang berkuasa agar dapat
diberikan hak untuk hidup dan mendapat perlindungan. Hal seperti ini terjadi dikarenakan pada
zaman dulu peperangan merupakan cara untuk memperlebar daerah kekuasaan, sehingga mereka
yang kalah diharuskan membayar kepada mereka yang menang ketika perang.1
Sesuai dengan tujuan penggunaannya, jizyah adalah pajak yang dipungut dari penduduk non-
Muslim di negara-negara Muslim sebagai biaya perlindungan jiwa, harta benda, kebebasan beragama,
dan dibebaskan dari tugas militer serta diberikan jaminan sosial. Selain itu, jizyah juga sebagai
penyeimbang atas usaha mereka membela negara dan melindungi mereka atau sebagai penyeimbang
bahwa mereka mendapatkan apa yang umat Islam dapatkan, baik kemerdekaan, pelestarian harta,
kehormatan dan agama.2
Ketentuan tentang jizyah didasarkan pada Al-Qur'an, sebagaimana ter-maktub dalam ayat Alquran
surah at-Taubah ayat 29,
َ ْ ‫اّٰلل َو َر ُس ْو ُ هل َو ََل يَد ِْي ُن ْو َن د ِْي َن‬
‫اْل ِق‬ ُ ‫اْلَ ْو ِم ْاَلٰخِر َو ََل ُُيَر ُم ْو َن َما َح ذر َم ه‬
ْ ََ ‫َ ُ ذ ْ َ َ ُْ ُْ َ ه‬
ِ ِ ِ ‫قات ِلوا اَّلِين َل يؤمِنون بِاّٰللِ وَل ب‬
َ ُ َ َ ْ َ ٰ‫م َِن ذاَّل ِْي َن ا ُ ْوتُوا الْكِت‬
ُ ‫ب َح هّٰت ُي ْع‬
ࣖ ‫اْل ْزيَة ع ْن يذ ٍد ذوه ْم َصاغ ُِر ْون‬ ِ ‫وا‬ ‫ط‬
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang
tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan
Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan
tunduk.” (QS. At-Taubah [9]: 29)
Perintah jizyah sendiri turun ketika peristiwa perang Tabuk. Di mana perang tersebut dipimpin
langsung oleh Rasulullah saw. dalam menghadapi bangsa Romawi. Pada peristiwa ini lah kemudian
turun QS. at-Taubah ayat 29 yang menjelaskan mengenai kewajiban berperang bagi kaum Muslim
melawan Kafir dan adanya perintah pemungutan jizyah. Ayat ini diturunkan pada tahun kesembilan
Hijriyah ketika Islam telah menyebar dan diperkuat dengan penguasaan kota Makkah oleh kaum
Muslim. Kaum Muslim pun kehadiran banyak delegasi suku-suku Arab yang mengakui Nabi
Muhammad saw. Ayat ini merupakan ayat pertama yang diturunkan tentang perintah memerangi ahli
kitab, setelah ayat sebelumnya dari Allah Swt. berbicara tentang larangan memasuki Masjidil Haram
bagi orang musyrik dan memutus hubungan dagang dengan mereka.3

1
Risa Pramita Wilda Fitria, “Relevansi Penerapan Jizyah Bagi non-Muslim pada Masa Sekarang,” As-Syifa:
Journal of Islamic Studies and History Vol. 2, no. 1 (2023): hal. 47.
2
Risa Pramita Wilda Fitria, “Relevansi Penerapan Jizyah Bagi non-Muslim pada Masa Sekarang,” hal. 48.
3
Dedy Sumardi, “Legitimasi Pemungutan Jizyah dalam Islam: Otoritas Agama dan Penguasa,” Media Syari’ah
Vol. 17, no. 2 (2013): hal. 237.
1
Adanya kekhawatiran di kalangan umat Islam bahwa keadaan ini akan merugikan perekonomian
mereka, maka ayat ini diturunkan untuk menghilangkan kegelisahan karena sebagai imbalannya umat
Islam dapat memungut jizyah dari ahli kitab. Kemudian seiring berjalannya waktu, konsep jizyah
lama kelamaan dianggap kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan kehidupan
bernegara antara kaum Muslim dan non-Muslim tidak ada peperangan seperti pada awal
perkembangan Islam. Sehingga kemudian muncul pendapat-pendapat dari kalangan ulama
kontemporer yang mengkaji ulang mengenai relevansi dari konsep jizyah ini.

Pengertian Jizyah
Jizyah secara bahasa berasal dari kata (jazaya) yang berarti memberikan upah/pahala atas apa
yang dilakukan seseorang. Orang Arab mengatakan, jazaa-yajzii, jika seseorang memberikan
ganjaran/ pahala atas apa yang diberikan kepadanya. Kata jizyah sendiri terbentuk dari kata mujaazah
menurut pola fi’lah, dan artinya, “Mereka membayarnya dengan imbalan jaminan keselamatan yang
diberikan kepada mereka.”
Sedangkan secara istilah artinya, “Pajak yang diberikan oleh Ahl al-Kitab pada umumnya – juga
dibayar oleh orang Majusi menurut pandangan mayoritas ahli hukum dan Musyrik menurut
pandangan sebagian dari mereka – sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan kepada mereka
oleh kaum Muslim. Dan jika kaum Muslim gagal menjaga mereka, maka pajak dikembalikan kepada
mereka.” Adapun yang wajib membayar jizyah tersebut ialah Ahl al-Dzimmah, yaitu kelompok
masyarakat non-Muslim yang hidup di daerah Muslim (Dar al-Islam). Dan ini telah berulang dalam
sejarah Islam.4
Selain itu, menurut A. Djazuli dalam buku Fiqih Siyasahnya, jizyah dikategorikan sebagai iuran
negara yang diwajibkan kepada para Ahl al-Kitab setiap satu tahun sekali. Iuran ini bertujuan sebagai
imbalan bagi orang-orang Muslim yang membela dan melindungi mereka. Jizyah diistilahkan juga
dengan pajak yang diwajibkan kepada semua laki-laki non-Muslim, merdeka, baligh, berakal, sehat,
dan kuat.5
Pembayaran jizyah sendiri dikhususkan kepada golongan tertentu saja dan tidak diwajibkan
kepada golongan lain. Dengan rincian sebagai berikut:
• Dipungut dari laki-laki, dan tidak dipungut dari perempuan;
• Dikumpulkan dari pria dewasa yang telah mencapai pubertas, dan bukan dari anak-anak;
• Dihimpun dari kalangan laki-laki yang sehat saja, dan tidak dikumpulkan dari yang sakit
dan yang mengalami hambatan sehingga tidak bisa berperang;
• Dikumpulkan dari orang kaya dan tidak dikumpulkan dari orang miskin. Bahkan orang-
orang miskin Ahl al-Kitab, Majusi, dan Musyrik pun dapat mengambil kebutuhan mereka
dari Baitul Mal jika mereka berada di negara yang menerapkan syariat Islam.
Artinya, jizyah hanya diambil dari laki-laki yang mampu ikut berperang, dan bukan dari mereka
yang mampu memusatkan perhatian pada ibadah.6
Menurut Imam Hanafi dan Hanbali, besaran pungutan jizyah disesuaikan dengan kemampuan
orang yang dibebani, orang kaya diwajibkan membayar 48 dirham, golongan menengah diwajibkan
membayar 24 dirham sedangkan orang miskin hanya diwajibkan membayar 12 dirham. Ketentuan ini
didasarkan pada apa yang dilakukan oleh Umar ra. Imam Syafi'i berpendapat dan sebagian riwayat

4
Raghib As-Sirjani, Bangkit Dan Runtuhnya Andalusia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), hal. 72.
5
A. Djazuli, Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah (Jakarta:
Kencana, 2013), hal. 229.
6
As-Sirjani, Bangkit Dan Runtuhnya Andalusia, hal. 72.
2
dari Ahmad, “Bahwasannya ada ketentuan minimal saja, yaitu satu dinar, adapun maksimal tidak
ditentukan, hal ini diserahkan kepada ijtihad para gubernur.”7
Pendapat Imam Malik dan salah satu riwayat dari Ahmad dan ini kuat, “Sesungguhnya tidak ada
batas minimal dan batas maksimal, persoalannya diserahkan kepada ijtihad para gubernur untuk
menentukan kewajiban bagi tiap-tiap pribadi sesuai dengan keadaannya”. Seseorang tidak boleh
dibebani di luar kemampuannya. Ashhaab as-Sunan meriwayatkan dari Muadz ra. bahwa Nabi saw.
ketika diutus ke Yaman memerintahkannya untuk memungut jizyah dari seseorang yang telah baligh
sebesar satu dinar atau harga mu’afirah (sejenis pakaian di Yaman).8
Mengenai klasifikasi istilah kaya, sedang, dan miskin tidak ada bukti sejarah yang
mengungkapkan hal tersebut. Namun dalam tafsir Al-Tahawi disebutkan bahwa orang yang memiliki
harta 10.000 dirham atau lebih termasuk dalam kategori orang kaya, sedangkan orang yang memiliki
harta senilai 200 dirham ke atas disebut golongan menengah, dan orang yang memiliki harta kurang
dari 200 dirham diklasifikasikan sebagai orang miskin.9

Sebab dan Tujuan Jizyah


Untuk dapat memahami filosofi sebab jizyah memang harus memahami konteks dan latar
belakang sosio-historis ayat Alquran yang mendasari ketentuan hukum atau tashri’ al-jizyah tersebut,
yaitu QS. al-Taubah ayat 29.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ayat tersebut merupakan perintah untuk
memerangi orang-orang Ahl al-Kitab, baik dari kalangan orang yang beragama Yahudi, Nasrani
maupun Majusi selain kaum pagan Arab sampai mereka menyatakan kalah dan mohon perlindungan
serta tunduk kepada undang-undang pemerintahan Islam dengan membayarkan pajak jizyah, dan
untuk selanjutnya mereka diberikan kedudukan sebagai Ahl adz-Dzimmah.10
Perintah perang dari ayat di atas bukan bersifat ofensif, tetapi sebaliknya, bersifat defensif. Ini
dikarenakan orang-orang Yahudi Ahl al-Kitab selalu melanggar perjanjian damai untuk hidup
berkeadilan dan berkeamanan dalam negara Madinah yang heterogen dan baru saja dibangun
berdasarkan piagam yang telah disepakati bersama.11
Menurut al-Zamakhsyari, jizyah dalam ayat tersebut merupakan perimbangan bagi non-Muslim
atau dzimmiy untuk tidak dibunuh. Artinya, mereka dilindungi dan diberi keamanan hidup sebagai
penduduk yang memiliki hak dan kewajiban di tengah-tengah pemerintahan Islam untuk melakukan
peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Al-Zamakhsyari menafsirkan ungkapan ( ‫حتى‬
‫ ) يعطوا الجز ية عن يد‬bahwa mereka menyerahkan jizyah tersebut secara rela dan kontan. Selanjutnya,
ungkapan ( ‫ ) وهم صاغرون‬dimaksudkan bahwa mereka harus menyerahkan jizyah tersebut dengan
dasar ketundukan dan menyerahkan sendiri kepada pemerintah.12
Menurut al-Maraghi, kewajiban membayarkan jizyah atas Ahl al-Kitab itu merupakan jaminan
bagi kebebasan untuk hidup sesuai dengan ajaran keyakinan mereka dalam wilayah negara Islam

7
Nurul Hidayati, “‘Usyur Dan Jizyah dalam Kajian Ekonomi Islam,” Tawazun: Journal of Sharia Economic
Law Vol. 1, no. 1 (31 Maret 2018): hal. 80.
8
Nurul Hidayati, “‘Usyur Dan Jizyah dalam Kajian Ekonomi Islam,” hal. 81.
9
Nurul Hidayati, “‘Usyur Dan Jizyah dalam Kajian Ekonomi Islam,” hal. 81.
10
Mahmud bin ’Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1995), Jil. 2, hal.
254–255.
11
Muflikhatul Khairah, “Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan Non-Muslim dalam Prespektif Fikih
Klasik,” Al-Qanun Vol. 10, no. 2 (2007): hal. 384.
12
Mahmud bin ’Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasysyaf, Jil. 2, hal. 255.
3
secara aman. Ungkapan ( ‫ ) عن يد‬menunjukkan bahwa jizyah diwajibkan atas yang mampu dan
memiliki penghasilan yang cukup.13
Al-Jurjawi mengatakan, bahwa keadilan Islam tampak ketika suatu wilayah telah dikuasai Islam,
maka semua penduduknya diwajibkan untuk menjaga kedaulatan dan kewibawaan negara. Bagi kaum
muslim, di samping berkewajiban membayar zakat, mereka diwajibkan berjuang mempetahankan
ideologi negaranya. Sedangkan kaum non-Muslim yang menjadi dzimmi, juga sama diupayakan dan
diwajibkan seperti kewajiban penduduk Muslim. Namun bagi kaum non-Muslim tersebut ada
kewajiban membayar jizyah sebagai kompensasi kewajiban bela negara.14
Dalam lingkup fikih, Syekh Ibrahim al-Baijuri, pembesar mazhab Syafi’i dalam kitab Hasyiyah
Baijuri ‘ala Fath al-Qarib menyatakan, jizyah adalah pajak yang dikenakan kepada non-Muslim yang
menetap di negara Islam sebagai imbal balik dari perlindungan umat Islam atas keselamatan mereka
dan harta mereka di negara Islam.
Abu Walid al-Baji, pembesar mazhab Maliki dalam kitab Ahkam al-Fushul fi Ahkam al-Ushul
menyatakan, jizyah adalah pajak yang diambil dari non-Muslim sebagai imbal balik atas menetapnya
mereka di negara Islam serta sebagai imbal balik atas perlindungan dan penjagaan umat Islam kepada
mereka.
Syamsuddin al-Qarafi, pembesar mazhab Maliki dalam kitab Anwar al-Buruq fi Anwar al-Furuq
lebih jauh menyatakan, “Bentuk penjagaan yang wajib diberikan kepada non-Muslim yang membayar
pajak jizyah adalah seandainya ada seseorang Kafir dari luar daerah Islam datang ingin membunuh
salah satu non-Muslim yang membayar pajak jizyah maka kita harus melindunginya dengan segenap
nyawa dan harta kita.”15
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dipahami, bahwa disebabkannya jizyah bagi kaum dzimmi
adalah sebagai imbal balik dari menetapnya mereka di negara Islam dan atas perlindungan yang
diberikan Islam kepada mereka. Juga untuk memberikan rasa keadilan pada mereka sebagai warga
negara yang sama-sama diikutsertakan dalam bertanggung jawab terhadap keberlangsungan negara.

Perlukah Jizyah pada Masa Sekarang?


Abu Yusuf yang merupakan ulama yang memerintah sebagai hakim pada masa kekuasaan Harun
al-Rasyid berpendapat bahwasannya pembayaran jizyah oleh non-Muslim bukanlah hukuman atas
kekafiran mereka terhadap Islam, karena hal ini bertentangan dengan QS. al-Baqarah ayat 256, yang
menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Jizyah tidak dikenakan pada wanita, anak-
anak, fakir miskin dan mereka yang tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka
juga harus dilindungi dan didukung.
Muhammad Nazeer Kaka Khel menyatakan bahwa kebanyakan negara yang dihuni oleh
mayoritas Muslim saat ini adalah negara sekuler dan tidak memiliki model kerja yang dapat dijadikan
dasar dalam mengkaji hak-hak non-Muslim di negara Islam. Oleh karenanya, dibutuhkan ijtihad baru
untuk meletakkan hak-hak non-Muslim di negara Islam. Agar sebagai agama, Islam bisa tetap berdiri
di atas prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan kesetaraan.16

13
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), Jil. 4, hal. 94–95.
14
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jil. 2, hal. 353.
15
Muhammad Thalhah al Fayyadl, “Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah Untuk Non-
Muslim | NU Online,” diakses pada 17 September 2023, https://islam.nu.or.id/hikmah/ketika-ulama-mesir-menolak-
seruan-menarik-pajak-jizyah-untuk-non-muslim-eq03c.
16
Afrizal El Adzim Syahputra dan Hasanal Khuluqi, “Jizyah Bagi Kafir Dzimmi Perspektif Ulama Klasik Dan
Kontemporer,” Prosiding Muktamar Pemikiran Dosen PMII Vol. 1, no. 1 (2021): hal. 502.
4
Nurcholish Madjid juga memaparkan bahwa dalam menganalisis QS. al-Taubah ayat 29 yang
menjadi dasar konsep jizyah, konsep tradisional syari’ah harus menyertakan maksud dan konteks
(asbab al-nuzul). Dalam kasus ini, konteks dan asbab al-nuzul ayat tersebut adalah perang Tabuk.
Oleh karenanya, konsep jizyah seharusnya hanya diaplikasikan pada masa peperangan, dan tidak
dapat berlaku dalam konteks warga masyarakat damai sebagaimana yang terjadi saat ini. Selain itu,
ia juga menegaskan bahwa jizyah bukanlah tradisi Islam, namun ia diadopsi oleh Islam. Pendapat
Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa jizyah bukan tradisi Islam ini diperkuat dengan argumen
al-San’ani. Ia menyatakan bahwa jizyah tersebut disyariatkan pada tahun kesembilan Hijriyah. Jizyah
memiliki kaitan erat dengan konsep dzimmah. Menurut Akh. Minhaji, sebenarnya dzimmah tersebut
berasal dari tradisi Arab Jahiliyah, yaitu berupa al-jiwar, yang berarti suatu bentuk perlindungan
terhadap individu atau suatu komunitas agar tidak diperangi atau dibunuh.17
Abdul Halim Manshur, salah satu ulama terkemuka Universitas Al-Azhar menyatakan, “Ketika
kita menggali kembali alasan kewajiban membayar pajak jizyah bagi non-Muslim, kita menemukan
bahwa dasar alasan kewajiban membayar pajak jizyah bagi non-Muslim adalah sebagai pengganti
kewajiban orang non-Muslim untuk membela dan melindungi negara islam, karena tugas
mempertahankan dan melindungi negara islam pada masa lalu tidak dipikul oleh non-Muslim, tetapi
hanya dipikul oleh Muslim.”18
Dekan Departemen Qanun dan Hukum Syariah Universitas Al-Azhar itu menambahkan, “Jadi
keadaan jizyah saat ini tidak bisa lagi ditanggung oleh non-Muslim di negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, karena di zaman modern ini kewajiban untuk membela negara tidak
hanya ditanggung oleh umat Islam, tetapi kepada semua orang yang memiliki latar belakang agama
yang berbeda, hal ini tentu saja berbeda dengan masa lalu yang hanya diwajibkan bagi umat Islam
sedangkan non-Muslim dibebani dengan membayar pajak jizyah.”19
Dalam ushul fiqh juga dijelaskan suatu kaidah, “Bila suatu alasan penetapan hukum telah
berubah, maka hukumnya juga akan berubah”. Karena alasan pengenaan pajak jizyah tidak
terpenuhi, kewajiban hukum pajak jizyah tidak dapat digunakan. Selain itu, Dr. Abdul Halim Manshur
yang juga ahli dalam bidang perbandingan sektarian menegaskan, “Dengan sistem negara modern
yang mengedepankan prinsip persamaan antara Muslim dan non-Muslim dalam berbagai aspek hak
dan kewajiban, tentunya hukum pemungutan pajak jizyah tidak dapat diterapkan, berbeda dengan
konteks masa lalu.” Dr. Abdul Halim Manshur juga menyatakan bahwa hukum dalam Alquran dan
hadis memang bersifat dogmatis. Tetapi ada beberapa celah hukum dalam Alquran dan hadis yang
dapat diterapkan ketika alasan penerapannya terpenuhi. Beliau mencontohkan dengan studi kasus
pada masa lalu khalifah Umar bin Khattab yang menggugurkan jatah harta zakat untuk orang-orang
mualaf karena tuntutan zaman ketika itu sesuai ijtihad beliau.20
Kemudian, menurut Abdul Karim Zidan, kewajiban membayar jizyah untuk masa sekarang ini
sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan kebanyakan ahl adz-dzimmah pada masa sekarang sudah
ikut serta dengan orang Islam (mayoritas) dalam membela negaranya. Hal inilah yang menyebabkan
hal itu tidak berlaku lagi. Meskipun hal ini sudah tidak diberlakukan lagi, namun tetap penting untuk
dibahas karena kebanyakan ulama beranggapan bahwa penarikan jizyah merupakan bentuk sanksi
yang diberikan oleh negara Islam kepada ahl adz-dzimmah karena tidak mau masuk Islam.21

17
Nurcholis Madjid, Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Plural (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 150-
153.
18
Muhammad Thalhah al Fayyadl, “Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah Untuk Non-
Muslim | NU Online,”
19
Muhammad Thalhah al Fayyadl, “Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah Untuk Non-
Muslim | NU Online.”
20
Muhammad Thalhah al Fayyadl, “Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah Untuk Non-
Muslim | NU Online.”
21
Abdul Karim Zidan, Pengantar Studi Syari’ah: Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam (Jakarta: Rabbani Press,
2008), hal. 157.
5
Kesimpulan
Mengenai relevansi penerapan jizyah sendiri pada masa ini terjadi perbedaan pendapat. Di mana
ulama kontemporer tidak setuju jika jizyah tetap diterapkan pada masa ini. Hal ini dikarenakan jizyah
ditetapkan ketika umat Islam mengalami peperangan dengan kaum Kafir. Selain itu juga, menurut
ulama kontemporer, hubungan antara umat Muslim dan non-Muslim pada saat ini sudah baik dan
tidak ada peperangan. Selain itu menurut Abdul Karim Zidan kewajiban membayar jizyah untuk masa
sekarang ini sudah tidak berlaku lagi. Hal ini dikarenakan kebanyakan Ahl adz-Dzimmah pada masa
sekarang sudah ikut serta dengan orang Islam (mayoritas) dalam membela negaranya.

Referensi:
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

Al-Zamakhsyari, Mahmud bin ’Umar. Tafsir Al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1995.

As-Sirjani, Raghib. Bangkit Dan Runtuhnya Andalusia. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013.

Djazuli, A. Fiqh Siyasah; Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu- Rambu Syariah. Jakarta:
Kencana, 2013.

Fitria, Risa Pramita Wilda. “Relevansi Penerapan Jizyah Bagi non-Muslim pada Masa Sekarang.”
As-Syifa: Journal of Islamic Studies and History Vol. 2, no. 1 (2023).

Hidayati, Nurul. “‘Usyur Dan Jizyah dalam Kajian Ekonomi Islam.” Tawazun: Journal of Sharia
Economic Law Vol. 1, no. 1 (March 31, 2018): 73.

al-Jurjawi, Ali Ahmad. Hikmah At-Tasyri’ Wa Falsafatuh. Beirut: Dar al-Fikr, n.d.

Khairah, Muflikhatul. “Konsep al-Jizyah dan Status Kewarganegaraan Non-Muslim dalam Prespektif
Fikih Klasik.” Al-Qanun Vol. 10, no. 2 (2007).

Madjid, Nurcholis. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Plural. Jakarta: Paramadina, 2004.

Sumardi, Dedy. “Legitimasi Pemungutan Jizyah dalam Islam: Otoritas Agama dan Penguasa.” Media
Syari’ah Vol. 17, no. 2 (2013).

Syahputra, Afrizal El Adzim, and Hasanal Khuluqi. “Jizyah Bagi Kafir Dzimmi Perspektif Ulama
Klasik Dan Kontemporer.” Prosiding Muktamar Pemikiran Dosen PMII Vol. 1, no. 1 (2021).

Zidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah: Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam. Jakarta:
Rabbani Press, 2008.

Muhammad Thalhah al Fayyadl. “Ketika Ulama Mesir Menolak Seruan Menarik Pajak Jizyah Untuk
Non-Muslim | NU Online.” Diakses pada 17 September 2023.
https://islam.nu.or.id/hikmah/ketika-ulama-mesir-menolak-seruan-menarik-pajak-jizyah-
untuk-non-muslim-eq03c.

Anda mungkin juga menyukai