Anda di halaman 1dari 13

Telaah kitab kali ini membahas pasal kedua Masyrû’ Dustûr li ad-Dawlah al-Islâmiyyah yang

berbunyi: Negara Islam adalah negara yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam dan
keamanan negara tersebut berada di bawah keamanan Islam. Negara kafir adalah negara yang
di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur dan keamanan negara tersebut berada di bawah
keamanan bukan Islam.

Pasal di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa sebuah negara barulah absah disebut
Negara Islam (Darul Islam) ketika telah memenuhi dua syarat: (1) hukum yang diterapkan di
negara tersebut adalah hukum Islam; (2) kekuasaan (pemerintahan) di negara tersebut
dikendalikan dan dipimpin sepenuhnya oleh kaum Muslim. Dengan demikian, pengkategorian
Negara Islam atau negara kafir tidak didasarkan pada seberapa banyak jumlah penduduk
Muslim atau kafir yang ada di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh hukum yang diterapkan
dan kekuasaan yang mengendalikan negara tersebut. Kategorisasi inilah yang dipilih dan
dianggap paling râjih (kuat) oleh Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya dilakukan pengkajian yang
jernih dan mendalam terhadap realitas Negara Islam dan negara kafir pada masa Nabi saw. dan
Khulafaur Rasyidin, juga setelah dilakukan penelitian dan tarjîh terhadap pendapat para ulama.
Dasar Argumentasi Pasal Kedua

Pertama: realitas negeri Makkah dan Madinah pasca hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah
dan seluruh dunia adalah darul kufur. Setelah Nabi Muhammad saw. dan para Sahabatnya hijrah
ke Madinah dan menegakkan Daulah Islamiyah di sana, maka terwujudlah Darul Islam pertama
kali dalam sejarah kaum Muslim. Adapun Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap
berstatus darul kufur.

Berdasarkan kedua realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Darul
Islam dan darul kufur. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks
negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni shalat
yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Malkah; itu pun harus seijin orang-
orang kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak
mampu menjamin keamanannya secara mandiri; mereka hidup di bawah jaminan keamanan
kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak ditampakkan hukum-
hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir. Karena
itulah, Makkah disebut dengan darul kufur. Ini berbeda dengan Madinah. Di Madinah, hukum-
hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar
negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.

Kedua: bukti lain yang mendukung pasal di atas adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Sulaiman Ibnu Buraidah, yang di dalamnya dituturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
ْ‫اج ِري َْن و أَ ْخ ِبرْ ُه ْم أَ َّن ُه ْم إِن‬ ُ ُ َ َ ‫أ ُ ْد ُع ُه ْم إِلَى اإلسْ الَم َفإِنْ أَ َجابُو‬
ِ ‫َارال ُم َه‬
ِ ‫ار ِه ْم الى د‬ ِ ‫ك فأ ْق ِب ْل ِم ْن ُه ْم و ُكفَّ َع ْن ُه ْم ث َّم أ ْد ُع ُه ْم إِلَى ال َّت َحوّ ِل مِنْ َد‬ ِ ِ
‫اجري َْن‬ِ ‫اج ِري َْن َو َعلَي ِْه ْم َما َعلَى ْال ُم َه‬ ِ ‫ك َفلَ ُه ْم ما ل ِْل ُم َه‬
َ ِ‫َف َعلُوا َذل‬

Serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah
peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (darul kufur) ke
Darul Muhajirin (Darul Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka
bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama
sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya
kewajiban kaum Muhajirin (HR Muslim).

Darul Muhajirin pada riwayat di atas adalah sebutan untuk Darul Islam pada masa Rasulullah
saw. Manthûq hadis di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan
para Sahabat untuk memerangi negeri-negeri yang tidak berada dalam kekuasaan kaum Muslim
meskipun di negeri tersebut telah tampak sebagian syiar Islam. Adanya azan di wilayah tersebut
menunjukkan dengan jelas adanya syiar agama Islam. Hanya saja, Nabi saw. dan para Sahabat
tetap memerangi wilayah tersebut karena kekuasaan negeri tersebut tidak berada di bawah
kendali penguasa Islam.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Darul Islam adalah negara yang di
dalamnya diterapkan hukum Islam, sementara jaminan keamanannya ditanggung dan
dikendalikan sepenuhnya oleh kaum Muslim; tanpa memperhatikan lagi komposisi penduduk
Muslim dan kafirnya.
Pendapat Ulama Mengenai Negara Islam dan Negara Kafir

Dr. Muhammad Khair Haekal menyatakan bahwa sesungguhnya frasa dâr al-Islâm adalah
istilah syar’i yang dipakai untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Frase dâr al-
kufr juga merupakan istilah syar’iyang digunakan untuk menunjukkan realitas tertentu dari
sebuah negara yang berlawanan dengan Darul Islam. Begitu pula istilah dâr al-kufr, dâr as-
Syirk dan dâr al-harb; semuanya adalah istilah syar’i yang maknanya sama1 untuk menunjukkan
realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama (Darul Islam).

Istilah dâr al-Islâm dan dâr al-kufr telah dituturkan di dalam Sunnah dan atsar para Sahabat.
Imam al-Mawardi menuturkan sebuah riwayat dari Nabi saw. bahwa beliau pernah bersabda,
“Semua hal yang ada di dalam Darul Islam menjadi terlarang (terpelihara), sedangkan semua hal
yang ada di dalam dâr asy-syirk telah dihalalkan.”2

Maksudnya, semua orang yang hidup di dalam Darul Islam, harta dan darahnya terpelihara.
Harta penduduk Darul Islam tidak boleh dirampas, darahnya juga tidak boleh ditumpahkan
tanpa ada alasan yang syar’i. Sebaliknya, penduduk darul kufur, maka harta dan darahnya tidak
terpelihara, kecuali ada alasan syar’i yang mewajibkan kaum Muslim melindungi harta dan
darahnya.3

Di dalam kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf dituturkan, bahwa ada sebuah surat yang ditulis oleh
Khalid bin Walid kepada penduduk al-Hijrah. Di dalam surat itu tertulis:
Aku telah menetapkan bagi mereka (penduduk Hirah yang menjalin perjanjian dzimmah), yakni
orang tua yang tidak mampu bekerja, atau orang yang cacat, atau orang yang dulunya kaya lalu
jatuh miskin, sehingga harus ditanggung nafkahnya oleh penduduk yang lain; semuanya
dibebaskan dari pembayaran jizyah, dan mereka akan dicukupi nafkahnya dari harta Baitul Mal
kaum Muslim, selama mereka masih bermukim di Darul Hijrah dan Darul Islam. Jika mereka
berpindah ke negeri lain yang bukan Darul Hijrah maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslim
untuk mencukupi nafkah mereka.4

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw. adalah tempat yang boleh
diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.”5

Berdasarkan riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa frasa dâr al-Islâm adalah istilah syar’i yang
ditujukan untuk menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara. Sebab, di sana ada
perbedaan hukum dan perlakuan pada orang yang menjadi warga negara Darul Islam dan darul
al-kufur.

Para fukaha juga telah membahas kedua istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan
penjelasan para fukaha tersebut, kita dapat memahami syarat atau sifat yang harus dimiliki
suatu negara hingga absah disebut negara Islam. Imam al-Kasai, di dalam kitab Badâi’ ash-
Shanai’, mengatakan:

Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa darul kufur (negeri kufur) bisa berubah
menjadi Darul Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat
mengenai Darul al-Islam, kapan ia bisa berubah menjadi darul al-kufur? Abu Hanifah
berpendapat, Darul; al-Islam tidak akan berubah menjadi darul al-kufur kecuali jika telah
memenuhi tiga syarat. Pertama: telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di
dalamnya. Kedua: meminta perlindungan kepada darul kufur. Ketiga: kaum Muslim dan dzimmi
tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang mereka dapat pertama kali,
yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim.

Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, “Darul al-Islam berubah menjadi darul kufur jika di
dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur.6

Di dalam hâsyiyah (catatan pinggir) Ibnu ‘Abidin atas kitab Ad-Durr al-Mukhtâr Syarh Tanwîr al-
Abshâr disebutkan:

Darul Islam tidak akan berubah menjadi dâr al-harb….(karena) misalnya, orang kafir berhasil
menguasai negeri kita, atau penduduk Mesir murtad kemudian mereka berkuasa, atau
diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur; atau negeri itu mencabut dzimmah (perjanjian
untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), atau negeri mereka dikuasai oleh musuh;
salah satu hal tersebut tidak menjadikan Darul Islam berubah menjadi dar al-harb jika telah
memenuhi tiga syarat. Adapun Abu Yusuf dan Mohammad berpendapat, cukup dengan satu
syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.7
Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar:

Barangkali buah perbedaan di antara dua pendapat tersebut tampak jelas pada masa kita
sekarang ini. Karena itu, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari
wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan terkategori Darul Islam. Sebab, walaupun
penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum
Muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk Darul Islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan
Muhammad serta para fukaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri
Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai Darul Islam, tetapi dâr al-harb. Sebab, di negeri-negeri
itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam.8

Di dalam kamus fikihnya, Syaikh Sa’di Abu Habib menjelaskan tentang Darul Islam dan dâr al-
harb sebagai berikut:

Menurut pengikut mazhab Syafii, dâr al-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (bilâd al-kuffâr)
yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun Darul Islam menurut
pengikut mazhab Syafii adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad
dan Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang
ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan
secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar
jizyah.

Adapun menurut pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, “Darul Islam adalah setiap negeri yang
dibangun oleh kaum Muslim, seperti Bashrah, atau negeri yang ditaklukkan oleh kaum Muslim,
seperti kota Yaman.”9

Abdul-Qadir Audah menyatakan:

Darul Islam adalah negeri yang tampak jelas di dalamnya penerapan hukum-hukum Islam, atau
penduduknya yang Muslim mampu menampakkan hukum-hukum Islam di negeri itu. Termasuk
Darul Islam setiap negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam, atau mayoritasnya
beragama Islam. Juga termasuk Darul Islam setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh
kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan kaum Muslim. Termasuk Darul Islam
juga setiap negeri yang dikuasai dan diperintah oleh non-Muslim, namun penduduknya yang
Muslim masih tetap bisa menampakkan hukum-hukum Islam, atau tidak ada satu pun halangan
yang merintangi mereka untuk menampakkan hukum-hukum Islam.10

Di dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf dituturkan, “Darul-
Islam adalah negeri yang diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan keamanan negeri
itu dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmi.
Adapun dâr al-harb adalah negeri yang tidak diberlakukan di dalamnya hukum-hukum Islam dan
keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim.11
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani merinci apa yang dijelaskan di dalam kitab As-Siyâsah asy-
Syar’iyyah karya Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khalaf sebagai berikut:

Penetapan suatu negeri termasuk Darul Islam atau darul al-kufur harus memperhatikan dua
perkara. Pertama:hukum yang diberlakukan di negeri itu adalah hukum Islam. Kedua: keamanan
di negeri itu harus dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya. Jika suatu negeri memenuhi
dua perkara ini maka ia disebut Darul Islam dan negeri itu telah berubah dari darul kufur menuju
Darul Islam. Akan tetapi, jika salah satu unsur itu lenyap maka negeri itu menjadi darul kufur.
Negeri Islam yang tidak menerapkan hukum-hukum Islam adalah darul kufur. Begitu pula
sebaliknya, jika negeri Islam menerapkan hukum-hukum Islam, namun keamanannya tidak
dijamin oleh kaum Muslim, yakni kekuasaannya, namun dijamin oleh kaum kafir, maka negeri itu
termasuk darul kufur. Oleh karena itu, seluruh negeri kaum Muslim sekarang ini termasuk darul
al-kufur. Alasannya, negeri-negeri itu tidak menerapkan hukum Islam. Suatu negeri juga tetap
disebut darul kufur seandainya di dalamnya kaum kafir menerapkan hukum-hukum Islam atas
kaum Muslim, namun kekuasaannya dipegang oleh kaum kafir. Dalam keadaan semacam ini,
keamanan negeri itu di bawah keamanan kafir, dan secara otomatis ia termasuk darul kufur.12

Menurut Dr. Mohammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang
paling râjih adalah pendapat yang menyatakan, bahwa Darul Islam adalah negeri
yang sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam)
dan pada saat yang sama, keamanan negeri tersebut, baik keamanan dalam dan luar negeri,
berada di bawah kendali kaum Muslim.13

Wallâhu a’lam. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Lihat: Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihâd wa al-Qitâl, 1/660. Lihat pula: Imam asy-Syafii, Al-
Umm, IV/270-271.

2 Imam al-Mawardi, Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 60.

3 Dr. Mohammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/661.

4 Abu Yusuf, Al-Kharâj, hlm. 155-156.

5 Imam Ibnu Hazm, Al-Muhalla, VII/305 [969]

6 Al-Kasai, Badâi’ al-Shanâi’, VII/130.

7 Hâsyiyyah Ibnu ‘Abidîn, III/390.

8 Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarîmah wa al-’Uqûbah fî Fiqh al-Islâmi, hlm. 343.

9 Sa’di Abu Habib, Al-Qâmûus al-Fiqhi, hlm. 470-471.


10 Abdul-Qadir Audah, At-Tasyrî’ al-Jana’i al-Islâmi, 1/ 421.

11 Syaikh ‘Abdul-Wahhab Khalaf, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, hlm. 69.

12 Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/215-216.

13 Dr. Muhammad Khair Haekal, Op. Cit., 1/669.


Dâr al-Islam adalah negeri yang diberlakukan hukum-hukum Islam; dan keamanan negeri itu
dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau
dzimmiy. (Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khallaf (w. 1375 H), al-Siyâsah al-Syar’iyyah, hal. 79, Dâr Al
Qalam, Maktabah Syamilah)

========================================================

Dalam berbagai kesempatan, tidak jarang ketika saya menyampaikan bagaimana pandangan
hukum syara terhadap suatu problem kemasyarakatan, ada orang berkata: “memang
masyarakat akan baik kalau hukum syara’ seperti yang pian jelaskan itu diterapkan, namun perlu
diingat bahwa Indonesia itu bukan negara Islam”. Ungkapan ini seolah-olah ingin mengatakan
bahwa kemaksiyatan itu boleh legal asalkan negaranya bukan negara Islam. Adapula orang yang
takut kalau dalam suatu forum ada kata-kata/pembahasan atau bahkan hanya ucapan “Dâr al-
Islam”,seolah-olah keselamatannya menjadi terancam (begitu suksesnya orba men-stigmatisasi
istilah ini). Padahal kalau mau jujur membaca kitab kitab madzhab yang 4, istilah ini tidaklah
asing.

Sebaliknya ada sebagian kalangan yang begitu “pede” menyatakan bahwa Indonesia ini sudah
negara Islam, sehingga ketika ada orang yang menyatakan pentingnya menegakkan khilafah,
mereka akan menyatakan bahwa hal ini tidak relevan, karena negara Islam (khilafah) sudah
tegak, ya Indonesia ini sudah khilafah, presidennya adalah khalifahnya.

Tulisan ini secara ringkas akan memaparkan definisi Dâr al-Islam dan kapan Dâr al-Islam berubah
menjadi Dâr al-Kufr, sehingga pembaca bisa menilai mana ungkapan yang lebih benar.

==================================================

Definisi (Ta’rif) Syar’iy Dâr al-Islâm

)‫ أو دار الحرب‬،‫ أو دار الشرك‬،‫ كما ان كلمة (دار الكفر‬.‫كلمة (دار االسالم) اصطالح شرعي يدل على واقع معين من البالد‬
‫ اصطالح شرعي يدل على واقع معين من البالد يغاير الواقع االول‬،‫وكلها بمعنى واحد‬

”Sesungguhnya frase Dâr al-Islâm adalah istilah syar’iy yang menunjukkan realitas tertentu dari
sebuah negara. Frase Dâr al-Kufr juga merupakan istilah syar’iy yang menunjukkan realitas
tertentu dari sebuah negara yang berlawanan dengan dâr al-Islâm. Begitu pula istilah “Dâr al-
Kufr, dâr al-syirk, dan dâr al-harb”, semuanya adalah istilah syar’iy yang maknanya sama untuk
menunjukkan realitas tertentu dari sebuah negara yang faktanya berbeda dengan fakta pertama
(dâr al-Islâm) [1].

‫ أي دار االسالم‬، ‫ت دَا ُر ال ِّشرْ كِ َما فِي َها‬ َ ‫اإلسْ َال ِم َما فِي َها َوأَ َب‬
ْ ‫اح‬ ْ ‫ ” َم َن َع‬: ‫َّللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم أَ َّن ُه َقا َل‬
ِ ْ ‫ت دَا ُر‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫ُول‬
َ ‫َّللا‬ ِ ‫ي َعنْ َرس‬
َ ‫ر ُِو‬
‫بينما دارالشرك تجعل‬،‫ في دمائهم و أموالهم…فال تستباح إال بسبب شرعي يوجب استباحتها‬،‫تعصم المستوطنين فيها‬
‫المستوطين فيها محل استباحة في دمائهم و أموالهم…اال بمانع شرعي يوجب العصمة‬..

“Semua hal yang ada di dalam Dâr al-Islam terhalang (terpelihara), sedangkan semua hal yang
ada di dalam Dâr al-syirk telah dihalalkan”. Maksudnya, Negara Islam akan memelihara
penduduknya, baik harta maupun darah mereka…Oleh karena itu, tidak boleh dihalalkan
(dirampas) kecuali dengan sebab syar’iy yang mewajibkan penghalalannya (perampasannya);
berbeda dengan dâr al-syirk yang menjadikan penduduk yang ada di dalamnya sebagai tempat
penghalalan pada darah dan harta mereka…kecuali ada halangan syar’iy yang mewajibkan
pemeliharaan (atas harta dan darah mereka)… [2].

Berubahnya Dâr al-Kufr Menjadi Dâr Al Islâm dan Sebaliknya

Imam ’Alauddin Al-Kasâiy menyatakan:

‫ إ َّن َها ِب َم َاذا‬، ‫اإلسْ َال ِم‬ َ ‫َار إسْ َالم ِب ُظه‬ َ ‫ف َبي َْن أَصْ َح ِاب َنا فِي أَنَّ د‬
ِ ْ ‫َار‬ِ ‫اخ َتلَفُوا فِي د‬ ِ ْ ‫ُور أحْ َك ِام‬
ْ ‫اإلسْ َال ِم فِي َها َو‬ ِ ٍ َ ‫َار ْال ُك ْف ِر َتصِ ي ُر د‬ َ ‫َال خ َِال‬
ْ‫ أَن‬: ‫الثانِي‬ َّ ‫ظهُو ُر أَحْ َكام ْال ُك ْفر فِي َها َو‬
ِ ِ
ُ : ‫ أَ َح ُد َها‬، ‫ِط‬ َ ‫ إ َّن َها َال َتصِ ي ُر د‬: ‫َار ْال ُك ْف ِر ؟ َقا َل أَبُو َحنِي َف َة‬
َ ‫َار ْال ُك ْف ِر َّإال ِب َث َالثِ َش َرائ‬ َ ‫َتصِ ي ُر د‬
َ
َ ‫ َو َقا َل أبُو يُوس‬. ‫ِين‬ ْ َ َ ْ َ ْ ً َ َ َ ُ َّ ْ ُ ْ ً َ ‫َت ُك‬
‫ُف‬ َ ‫ َوه َُو أ َمانُ المُسْ لِم‬، ‫ان اْوَّ ِل‬ ِ ‫ أنْ ال َي ْب َقى فِي َها مُسْ لِ ٌم َوال ِذمِّي م ِمنا ِباْ َم‬: ‫َار الكف ِر َوالثالِث‬ ِ ‫ون ُم َتا ِخ َمة لِد‬
‫ُور أَحْ َك ِام ْال ُك ْف ِر فِي َها‬ ُ
ِ ‫َار ْال ُك ْف ِر ِبظه‬ َّ ‫ َوم َُح َّم ٌد – َر ِح َم ُه َما‬.
َ ‫ إ َّن َها َتصِ ي ُر د‬: ُ‫َّللا‬

Tidak ada perbedaan di kalangan fukaha kami, bahwa Dâr Kufr (negeri kufur) bisa berubah
menjadi Dâr al-Islâm dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda
pendapat mengenai Dâr al-Islâm; kapan ia bisa berubah menjadi Dâr al-Kufr? Abu Hanifah
berpendapat; Dâr al-Islâm tidak akan berubah menjadi Dâr al-Kufr kecuali jika telah memenuhi
tiga syarat. Pertama, telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufr di dalamnya.
Kedua, meminta perlindungan kepada Dâr al-Kufr. Ketiga, kaum Muslim dan dzimmiy tidak lagi
dijamin keamanannya, seperti halnya keamanaan yang pertama, yakni, jaminan keamanan dari
kaum Muslim”. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, “”Dâr al-Islâm berubah
menjadi Dâr al-Kufr jika di dalamnya telah tampak jelas hukum-hukum kufur[3].

( ‫ال تصير دار االسالم دار حرب الخ) أي بأن يغلب أهل الحرب على دار من دورنا أو ارتد أهل مصر وغلبوا وأجروا أحكام‬
،‫ إال بهذه الشروط الثالثة‬،‫ ففي كل من هذه الصور ال تصير دار حرب‬،‫الكفر أو نقض أهل الذمة العهد وتغلبوا على دارهم‬
‫ وهو إظهار حكم الكفر وهو القياس‬،‫ بشرط واحد ال غير‬:‫وقاال‬.

Dâr al-Islâm tidak akan berubah menjadi Dâr al-Harb….(karena) misalnya, orang Kafir berhasil
menguasai salah satu negeri kita, atau penduduk Mesir murtad (bughat) kemudian mereka
berkuasa, dan menerapkan hukum-hukum kufur; atau ahlu dzimmah mencabut dzimmahnya
(perjanjian untuk mendapatkan perlindungan dari Daulah Islam), lalu menguasai negeri mereka.
Semua hal ini tidak menjadikan Dâr Islam berubah menjadi Dâr al-Harb, kecuali dengan tiga
syarat tersebut. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat; cukup dengan satu syarat
saja; yakni tampaknya hukum-hukum kufur di negara itu, dan ini adalah qiyas.. [4] “

Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khallaf menyatakan:

‫ ودار الحرب هي الدار التي تجري عليها‬،‫ ويأمن من فيها بأمان المسلمين‬،‫دار االسالم هي الدار التي تجري فيها أحكام اإلسالم‬
‫ واليأمن من فيها بأمان المسلمين‬،‫أحكام االسالم‬

“Dâr al-Islam adalah negeri yang diberlakukan hukum-hukum Islam; dan keamanan negeri itu
dibawah keamanan kaum Muslim, sama saja, apakah penduduknya Muslim atau dzimmiy.
Sedangkan Dâr al-Harb adalah negeri yang tidak diberlakukan hukum-hukum Islam, dan
keamanan negeri itu tidak dijamin oleh kaum Muslim [5]”.

Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani menyatakan:

‫ والثاني اْمان بأمان‬،‫ أحدهما الحكم باإلسالم‬:‫والحق أن اعتبار الدار دار إسالم أو دار كفر ال بد أن يُنظر فيه إلى أمرين‬
‫ فإنْ تو َّفر في الدار هذان العنصران أي أن ُتحكم باإلسالم وأن يكون أمانها بأمان المسلمين أي بسلطانهم‬.‫المسلمين أي بسلطانهم‬
‫ وكذلك دار اإلسالم إذا لم‬.‫ أمّا إذا فقدت أحدهما فال تصير دار إسالم‬.‫كانت دار إسالم وتحولت من دار كفر إلى دار إسالم‬
‫ بأن كان‬،‫ وكذلك إذا حُكمت باإلسالم ولكن لم يكن أمانها بأمان المسلمين أي بسلطانهم‬،‫ُتحكم بأحكام اإلسال م فهي دار كفر‬
‫ فإنها تكون أيضا ً دار كفر‬،‫أمانها بأمان الكفار أي بسلطانهم‬.

Yang benar, penetapan suatu Negara apakah termasuk dâr Islam atau dâr kufr, harus
diperhatikan di dalam Negara itu dua perkara; pertama, al-hukm bi al-Islâm (memerintah
dengan Islam), dan kedua, keamanan kaum Muslim, yakni kekuasaan mereka. Jika di dalam
Negara tersebut terpenuhi dua unsur tersebut, yakni diperintah dengan Islam, dan keamanan
negeri tersebut di bawah keamanan kaum Muslim, atau di bawah kekuasaan kaum Muslim,
maka Negara itu adalah Negara Islam; dan Negara itu telah berpindah dari Dâr Kufr menuju Dâr
Islam. Adapun jika Negara telah kehilangan salah satu dari dua unsur tersebut, maka ia tidak
menjadi Dâr Islam. Demikian juga, jika Dâr Islam tidak lagi memerintah dengan hukum Islam,
maka ia adalah Dâr Kufr. Demikian juga jika Negara diperintah dengan Islam, namun
keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, yakni tidak di bawah kekuasaan mereka, namun
berada di bawah keamanan orang-orang kafir, atau di bawah kekuasaan mereka, maka Negara
itu menjadi Dâr Kufr juga[6]“

Pendapat Yang Râjih

Menurut Dr. Muhammad Khair Haekal, dari pendapat-pendapat di atas, pendapat yang paling
rajih adalah pendapat yang menyatakan, bahwaDâr al-Islam adalah negeri yang sistem
pemerintahannya adalah sistem pemerintahan Islam (diatur dengan hukum Islam), dan pada
saat yang sama, keamanan negeri tersebut; baik keamanan dalam dan luar negeri, berada di
bawah kendali kaum Muslim[7].

Dalil-Dalil

Pertama, definisi di atas didasarkan pada realitas negeri Makkah dan realitas Madinah pasca
hijrah. Sebelum hijrah ke Madinah, Makkah dan seluruh dunia adalah Dâr al-Kufr. Baru setelah
Nabi Muhammad saw dan para shahabatnya hijrah ke Madinah, dan menegakkan Daulah
Islamiyyah di sana, maka terwujudlah Dâr al-Islam pertama kali dalam sejarah kaum Muslim.
Makkah dan negeri-negeri di sekitarnya tetap berstatus Dâr al-Kufr. Dari sini kita bisa melihat
realitas Makkah sebagaiDâr al-Kufr, dan Madinah sebagai Dâr al-Islâm Berdasarkan kedua
realitas yang bertentangan inilah kita bisa memahami syarat dan sifat Dâr al-Islam dan Dâr al-
Kufr. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan
masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni sholat yang
dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Makkah; itupun harus seijin orang-orang
kafir sebagai penguasa Makkah. Di sisi lain, kaum Muslim yang ada di Makkah tidak mampu
menjamin keamanan dirinya secara mandiri, akan tetapi mereka hidup di bawah jaminan
keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak
ditampakkan hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan
orang kafir; sehingga Makkah di sebutDâr al-Kufr. Keadaan tersebut berbeda dengan Madinah.
Di Madinah, hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan
keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah tangan kaum Muslim.

Kedua, realitas tentang Dâr al-Kufr juga ditunjukkan oleh negeri Habasyah. Habasyah, negeri di
mana kaum Muslim diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk berhijrah ke sana, juga tidak
tampak adanya penerapan hukum Islam oleh masyarakat dan negaranya. Jika di sana tampak
ada sebagian syiar Islam yang dilakukan oleh kaum Muslim yang tinggal di sana; itu pun harus
seijin penguasa kufur. Selain itu, keamanan yang ada di Habasyah berada di bawah kekuasaan
kaum kafir. Saat itu tidak ada khilaf, bahwa Habasyah adalah Dâr al-Kufr.

Ketiga, bukti lain yang mendukung definisi di atas adalah, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Sulaiman Ibnu Buraidah; dimana di dalamnya dituturkan bahwasanya Nabi saw bersabda:

ْ‫َارال ُم َها ِج ِري َْن و أَ ْخ ِبرْ ُه ْم أَ َّن ُه ْم إِن‬ ُ ُ َ َ ‫أ ُ ْد ُع ُه ْم إِلَى اإلسْ الَم َفإِنْ أَ َجـابُو‬
ِ ‫َار ِه ْم الى د‬ِ ‫ك فأ ْق ِب ْل ِم ْن ُه ْم و ُكفَّ َع ْن ُه ْم ث َّم أ ْد ُع ُه ْم إِ َلى ال َّت َحوّ ِل مِنْ د‬ ِ ِ
‫ك َفلَ ُه ْم مــا لِ ْل ُم َها ِج ِري َْن َو َع َلي ِْه ْم َمـا َعلَى ا ْل ُم َهـا ِجري َْن‬
َ ِ‫َف َعلُوا َذل‬

“… Serulah mereka kepada Islam, maka apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan
hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya (Dârul
Kufur) ke Dârul Muhajirin (Dârul Islamyang berpusat di Madinah); dan beritahukanlah kepada
mereka bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan
hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama
seperti halnya kewajiban kaum muhajirin.”

Wajhul Istinbath

Dâr al-Muhajirin, pada riwayat di atas adalah sebutan Dâr Islam pada masa Rasulullah
saw. Manthuq (tekstual) riwayat di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw
memerintahkan para shahabat untuk memerangi negeri-negeri kufur jika mereka tetap menolak
bergabung di bawah naungan Dâr Muhajirin (Daulah Islamiyyah), walaupun di negeri tersebut
tampak sebagian syiar agama Islam.

Syarat-Syarat Dâr al-Islam

Menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh

Keamanan wilayah tersebut dijamin oleh penguasa Muslim (dalam arti ia memiliki kekuatan
untuk menerapkan Islam dalam negeri, dan mengemban dakwah Islam ke luar negeri).

Dalil Syarat Pertama

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َمـا أَ ْن َز َل َّللاُ َفأُولَئ‬


‫ِك ُه ْم ْال َكافِر ُْو َن‬
“Siapa saja yang tidak menerapkan hukum berdasarkan apa yang diturunkan Allah (yaitu Al
Qur’an dan As Sunnah), maka mereka itulah tergolong orang-orang kafir.” [TQS Al-Maidah (5):
44]

َّ ‫ض َما أَ ْن َز َل‬
َ ‫َّللاُ ِإلَي‬
‫ْك‬ َ ‫َّللاُ َو َال َت َّت ِبعْ أَهْ َوا َء ُه ْم َواحْ َذرْ ُه ْم أَنْ َي ْف ِت ُنو‬
ِ ْ‫ك َعنْ َبع‬ َّ ‫َوأَ ِن احْ ُك ْم َب ْي َن ُه ْم ِب َما أَ ْن َز َل‬

“(Dan) Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah
diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau
terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.” (QS Al-Maidah (5):49).

Di dalam sunnah juga dinyatakan bahwasanya menerapkan syariat Islam secara menyeluruh
merupakan kewajiban dan menjadi salah satu syarat agar suatu negara absah disebut sebagai
negara Islam (Dâr al-Islâm). Dalam sebuah hadits yang dituturkan oleh ‘Auf ibnu Malik
dinyatakan, bahwasanya ia berkata:

َّ ‫ أَ َفالَ ُن َن ِاب ُذ ُه ْم ِبال َسيْف ؟ َف َقا َل الَ َما أ َقامُوا فِ ْي ُك ْم ال‬: ‫قِ ْي َل َيـا َرس ُْو َل َّللا‬
‫صالَة‬

“…ditanyakan oleh para sahabat: ‘Wahai Rasulullah tidakkah kita serang saja mereka itu dengan
pedang?’, Beliau menjawab: ‘Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah
masyarakat.” (HR. Imam Muslim).

Dalam riwayat lain juga dituturkan, bahwasanya, saat Ubadah Ibnu Shamit menceritakan
peristiwa bai’at aqabah, ia mengatakan:

ِ ‫ـاز َع اَْمْ َر أَهْ لَ ُه إال ّ أَ ْن َت َر ْوا ُك ْفرً ا َب َواحـا ً عِ ْندَكـــ ُ ْم م َِن‬


ٌ‫َّللا فِ ْي ِه بُرْ َهان‬ َ
ِ ‫َو أنْ الَ ُن َن‬
“Dan hendaknya kami tidak menentang kekuasaan penguasa kecuali (sabda Rasulullah:) ‘Apabila
kalian melihat kekufuran yang terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan
dari Allah SWT.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Dalil Syarat Kedua

Allah swt berfirman:

ً‫ِين َس ِبيْال‬
َ ‫َو لَنْ َيجْ َع َل َّللاُ ْلل َكاف ِِري َْن َعلَى ْالم ُْؤ ِمن‬

“Dan Allah (selama-lamanya) tidak memberikan hak bagi orang-orang kafir untuk menguasai
orang-orang mukmin.” [TQS An Nisâ’ (4): 141]

Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata.:

‫ار‬َ ‫ان إِ َذا َغ َزا َق ْومًا لَ ْم َي ْغ ُز ِب َنا َلي ًْال َح َّتى يُصْ ِب َح َفإِنْ َسم َِع أَ َذا ًنا َكفَّ َع ْن ُه ْم َوإِنْ لَ ْم َيسْ َمعْ أَ َذا ًنا أَ َغ‬ َ َّ‫أَنَّ ال َّن ِبي‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َك‬
‫َعلَي ِْه ْم‬

“sesungguhnya Rasulullah apabila memerangi suatu kaum, tidak memeranginya di waktu


malam, hingga tiba waktu pagi. Maka, apabila beliau mendengar adzan (shubuh)
berkumandang, maka beliau mengurungkan peperangan, dan apabila tidak mendengar suara
adzan beliau melanjutkan rencana perangnya setelah shalat shubuh”. (HR. Imam Ahmad).

Dalam riwayat ‘Isham al Muzaniy dituturkan :

‫ث َج ْي ًشا أَ ْو َس ِري ًَّة َيقُو ُل لَ ُه ْم إِ َذا َرأَ ْي ُت ْم َمسْ ِج ًدا أَ ْو َسمِعْ ُت ْم م َُؤ ِّذ ًنا َف َال َت ْق ُتلُوا أَ َح ًدا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم إِ َذا َب َع‬ ِ َّ ‫ان َرسُو ُل‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫َك‬

“Nabi SAW apabila mengutus tentara atau pasukan perang, beliau selalu berpesan kepada
mereka, “Apabila kalian melihat masjid atau mendengar adzan berkumandang, janganlah kalian
membunuh seorang pun.”(HR. Imam at Tirmidziy)

Hadits-hadits ini menunjukkan, bahwa, bila suatu negeri tidak berada di dalam kekuasaan kaum
Muslim, meskipun di negeri-negeri tersebut terdapat syi’ar Islam (penduduknya mayoritas
Muslim), negeri-negeri tersebut boleh diperangi (didatangi pasukan Rasulullah saw),
sebagaimana telah ditunjukkan oleh perilaku Rasulullah saw. Adzan–dalam riwayat-riwayat di
atas—menunjukkan, bahwa di wilayah-wilayah tersebut ada komunitas kaum Muslim dan juga
syi’ar Islam, akan tetapi karena wilayah (negara) tersebut tidak berada di bawah kekuasaan
kaum Muslim, Rasulullah saw tetap melancarkan serangan militer ke wilayah tersebut. Hanya
saja, supaya tidak ada kekeliruan, yakni memerangi kaum Mukmin sendiri, beliau menunda
penyerangan hingga datangnya waktu Shubuh. Ini ditujukan agar bisa dipilahkan mana orang
kafir dan mana orang Mukmin. [M. Taufik. N.T]

[1] Dr. Muhammad Khair Haekal, al-Jihâd wa al-Qitâl, juz 1, hal. 660; lihat pula pada Imam al-
Syafi’iy, Al-Umm, juz 4, hal. 270-271

[2] Imam al-Mawardiy, Ahkâm al-Sulthâniyyah, hal. 60.; Dr. Muhammad Khair Haekal, al-Jihâd
wa al-Qitâl, juz 1, hal. 661

[3] Al-Kasâiy, Badâi’ al-Shanâi’, juz 7, hal. 130.

[4] Hâsyiyyah Ibnu ‘Âbidîn, juz 3, hal. 390

[5] Syaikh ‘Abd al-Wahhab Khallaf (w. 1375 H), al-Siyâsat al-Syar’iyyah, hal. 79, Dâr Al Qalam,
Maktabah Syamilah.

[6] Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz 2, hal.215-216.

[7] Dr. Muhammad Khair Haekal, Al-Jihad wa al-Qitâl, juz 1, hal. 669

Anda mungkin juga menyukai