Anda di halaman 1dari 2

House of Khilafah

AQIDAH ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA DAN SUMBER SEGALA PERUNDANG-


UNDANGAN
Contributed by Redaksi
Friday, 13 November 2009
Last Updated Friday, 13 November 2009

AQIDAH ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA DAN SUMBER SEGALA PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi


Pengantar
Dalam negara versi penjajah, yaitu negara demokrasi, agama dipisahkan dari negara. Maka dari itu, agama hanya
berperan sebagai keyakinan pribadi, tak menjadi pengatur kehidupan publik dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun Islam tak mengakui sekularisme dari penjajah kafir. Karenanya, agama dalam negara Khilafah tak hanya menjadi
dasar keyakinan dan amal perbuatan individu muslim, tapi juga menjadi landasan pengaturan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Telaah ini akan mengkaji kitab Muqaddimah Ad-Dustur (2009) karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yang menjelaskan 2
(dua) peran agama --khususnya Aqidah Islam-- dalam Negara Khilafah, yaitu sebagai dasar negara dan sumber dari
segala undang-undang.
Dua peran penting Aqidah Islam ini termaktub dalam Rancangan UUD Negara Khilafah (Masyru' Dustur) pasal 1 yang
berbunyi,"Akidah Islam adalah dasar negara. Segala sesuatu yang menyangkut institusi negara, perangkat negara, dan
pengawasan atas tindakan negara, harus dibangun berdasarkan Aqidah Islam. Aqidah Islam menjadi asas undang-
undang dasar dan perundang-undangan syar'i. Segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-undang dasar dan
perundang-undangan, harus terpancar dari Aqidah Islam." (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 5). Aqidah Islam
Dasar Negara
Aqidah Islam adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadha
serta Qadar baik buruknya dari Allah SWT. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz I hal. 29). Aqidah Islam ini
berpangkal pada dua kalimah syahadat, yaitu kesaksian Laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Sedang pengertian
negara (daulah), adalah institusi pelaksana bagi sekumpulan konsep (mafahim), kriteria (maqayis), dan keyakinan
(qanaat) yang telah diterima oleh sekelompok manusia. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 6).
Maka dari itu, jika dikatakan Aqidah Islam adalah dasar negara Khilafah, artinya segala pengaturan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat tidak boleh lepas dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Tidak boleh ada satu pun konsep
(mafahim), kriteria (maqayis), ataupun keyakinan (qanaat) yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jadi
segala hal yang menyangkut institusi negara (kiyan ad-daulah), perangkat negara (jihaz ad-daulah), dan pengawasan
terhadap negara (muhasabah ad-daulah), tidak boleh didasarkan pada konsep (mafahim), kriteria (maqayis), ataupun
keyakinan (qanaat) yang tidak bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah.Contoh, institusi negara Khilafah tidak boleh
didasarkan pada konsep (mafahim) demokrasi. Sebab demokrasi tidak lahir dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Jadi tak
boleh menyebut bentuk negara Khilafah sebagai republik atau republik Islam. Sebab bentuk republik didasarkan pada
konsep demokrasi yang amat bertentangan dengan Islam. Pertentangannya bukan karena demokrasi menetapkan
kekuasaan sebagai hak rakyat, melainkan karena demokrasi memberikan hak menetapkan hukum kepada manusia. Ini
bertentangan dengan Aqidah Islam yang menegaskan hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum. (QS Al-An'am
: 57).
Contoh lain, institusi negara Khilafah tidak boleh berupa negara-bangsa (nation state). Sebab negara-bangsa didasarkan
pada konsep nasionalisme (qaumiyah) yang tidak bersumber dari dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Negara-bangsa
memandang bahwa unit identitas yang menjadi basis legitimasi berdirinya negara adalah identitas sebagai "bangsa".
Maka negara-bangsa tidak mendapat legitimasi kalau didirikan oleh orang-orang yang multi-bangsa atau trans-nasional.
Ini berbeda dengan negara Khilafah yang basis legitimasinya adalah "umat", bukan "bangsa". Maka negara Khilafah
dapat eksis dan mendapat legitimasi meski didirikan oleh orang-orang multi-bangsa, selama mereka adalah "umat" yang
satu yang diikat oleh Aqidah Islam yang satu.
Pertanyaannya, mengapa dasar negara Khilafah harus Aqidah Islam? Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan 3
(tiga) dalil untuk itu :
(1) karena Rasulullah SAW mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah (pasca hijrah tahun 622 M) berdasarkan Aqidah
Islamiyah. Seperti diketahui, pada saat itu kebanyakan ayat-ayat tasyri' (ayat hukum) belumlah turun. Jadi, ketika
Rasulullah SAW menegakkan Daulah Islamiyah, pastilah tidak berdasarkan ayat-ayat tasyri', melainkan berdasarkan
sesuatu yang lebih mendasar lagi, yakni kalimah syahadat Laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah. Syahadat inilah
yang mendasari kehidupan umat Islam saat itu, baik menyangkut kekuasaan, penyelesaian sengketa dan tindak
penzaliman, maupun pengaturan berbagai interaksi kehidupan. Ringkasnya, syahadat adalah dasar negara.
(2)karena Rasulullah SAW telah mensyariatkan dan mewajibkan jihad untuk menyebarkan kalimat syahadat itu kepada
seluruh umat manusia. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Aqidah Islam sebagai pondasi atau asas kehidupan
bermasyarakat. Sabda Rasulullah SAW,"Aku telah diperintahkan untuk memerangi umat manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah..." (HR Bukhari dan Muslim).
(3) karena Rasulullah SAW telah memerintahkan perang (qital) demi menjaga posisi Aqidah Islam agar tetap menjadi
dasar negara. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, Rasulullah SAW telah mewajibkan umat
Islam mentaati Imam serta melarang mereka memerangi Imam, kecuali,"kalau kamu melihat kekufuran yang nyata." (HR
Bukhari dan Muslim). Atas dasar ketiga dalil inilah, ditetapkan bahwa Aqidah Islam adalah dasar negara. (An-Nabhani,
http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 6 July, 2013, 22:51
House of Khilafah

Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).


Aqidah Islam Sumber Segala Undang-Undang
Aqidah Islam adalah sumber segala bentuk perundang-undangan dalam negara Khilafah. Undang-Undang Dasar
(dustur, constitution) ataupun berbagai macam undang-undang (qanun, act/law) harus bersumber dari Aqidah Islam.
Maksudnya, harus bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan sumber-sumber hukum lain yang ditunjukkan oleh Al-
Qur`an dan As-Sunnah, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).Mengapa segala
undang-undang wajib bersumber kepada Aqidah Islam? Imam Taqiyuddin menerangkan banyak dalil. Dua dalil
terpenting adalah, pertama, karena ada dalil yang mewajibkan umat Islam untuk berhukum pada hukum yang diturunkan
Allah (QS An-Nisaa` : 65; QS Al-Maaidah : 48). Kedua, karena ada dalil yang melarang tegas berhukum dengan selain
yang diturunkan Allah. Firman Allah SWT (artinya) :"Barangsiapa tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah,
maka mereka adalah orang-orang kafir." (QS Al-Maaidah : 44).
Imam An-Nabhani menerangkan tafsir ayat tersebut, apabila seorang muslim menerapkan hukum yang tidak diturunkan
Allah, maka ia menjadi kafir (murtad) jika ia ber-i'tiqad (berkeyakinan secara pasti) akan benarnya hukum itu dan ber-
i'tiqad pula bahwa hukum Islam tidak layak diterapkan. Jika muslim tersebut tidak ber-i'tiqad seperti itu, maka dia tidak
murtad tapi berdosa. (An-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, hal. 8).
Keunggulan Pasal Ini
Pasal yang diterangkan maknanya di atas, akan tampak keunggulannya jika kita bandingkan dengan berbagai UUD lain
yang membicarakan tema sejenis, yakni dasar negara atau sumber undang-undang. Selain kedetilan dan ketelitian
redaksionalnya, kejelasan dalil-dalil yang mendasarinya juga membuat kita mengerti dengan baik bagaimana
mengaplikasikan pasal ini dalam kenyataan nanti.Pasal semacam ini sebenarnya ada juga dalam berbagai UUD di
berbagai negara Dunia Islam. Pada pasal 12 UUD Iran misalnya, ditetapkan, "Agama resmi negara Iran adalah Islam...."
(The official religion of Iran is Islam...). Pasal semacam ini ada juga dalam UUD di Mesir, Irak, Yordania, dan sebagainya.
Semestinya, pasal ini diaplikasikan dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara, yakni dengan menerapkan Islam
dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali.
Namun faktanya, pasal tersebut tidak begitu bermakna dalam kehidupan nyata. Dalam praktiknya, pasal ini hanya
diterapkan dalam bentuk penetapan hari Jumat sebagai hari libur, pengumuman Idul Fitri dan Idul Adha, pengelolaan
ibadah haji, dan semisalnya. Namun Islam tidak diterapkan secara konsisten dalam sistem pemerintahan, sistem
ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Iran sendiri sebagai contoh, tidak menjadikan Islam
sebagai dasar sistem pemerintahan. Iran disayangkan masih mengadopsi bentuk pemerintahan versi penjajah, yaitu
republik. Dalam pasal 1 UUD disebutkan,"Bentuk pemerintahan Iran adalah republik Islam..."(The form of government of
Iran is that of an Islamic Republic). Jadi, negara Iran itu agama resminya Islam tapi bentuk pemerintahannya adalah
pemerintahan versi penjajah.
Contoh lain adalah Kerajaan Arab Saudi. Mungkin orang mengira Arab Saudi adalah negara tauhid, negara salafus
saleh, yang menjalankan Syariah Islam dengan baik. Namun semua klaim ini dibantah habis oleh Syaikh Abu
Muhammad Al-Maqdisi dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufr Daulah As-Su'udiyah (2005). Dalam kitab ini beliau
menunjukkan banyak undang-undang Arab Saudi yang merupakan hukum thaghut. Menurut Syaikh Al-Maqdisi,
penguasa Saudi telah membuat hukum atau berhukum dengan selain Syariah Islam baik dalam ruang lingkup lokal, atau
di kawasan Teluk (Dewan Kerjasama Teluk), atau di kawasan Arab (Liga Arab), atau lingkup internasional (PBB dan
berbagai lembaganya). (hal. 193). Arab Saudi juga melegitimasi bunga bank (riba) ketika ia berinteraksi dengan
perusahaan-perusahaan minyak kawasan Arab atau dengan Bank Dunia (IBRD) (hal. 220). Jadi Arab Saudi merupakan
negara yang mengaku berdasarkan tauhid, tapi sebenarnya memberlakukan hukum-hukum thaghut dan jahiliyah yang
jauh dari tauhid.
Inilah contoh bentuk kegagalan pengaturan negara akibat tidak adanya kejelasan bagaimana meletakkan Islam sebagai
dasar negara dan sumber undang-undang. Wallahu a'lam. [ ]
DAFTAR BACAAN
Al-Badrani, Hisyam, Ad-Dustur Bayna Al-Islamiyah wa Al-Laa-Islamiyyah, (t.t.p. : t.p), 2003Al-Kharbuthli, Ali Hasani, Al-
Islam wal Khilafah, (Beirut : Dar Beirut), 1969
Al-Marakibi, Jamal Ahmad As-Sayyid, Al-Khilafah Al-Islamiyah Bayna Nuzhum Al-Hukm Al-Mu'ashirah, (Kairo : Kulliyah
Al-Huquq Jami'ah Al-Qahirah), 1414 H
Al-Maqdisi, Abu Muhammad, Saudi di Mata Seorang Al-Qa'idah (Al-Kawasyif Al-Jaliyyah fi Kufr Daulah As-Su'udiyah),
Penerjemah Abu Sulaiman, (Solo : Jazera), 2005
Al-Maududi, Abul A'la, The Islamic Law and Constitution, (Lahore : Islamic Publications Ltd), t.t.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Al-Syakhshiyah al-Islamiyah, Juz I, (Beirut : Darul Ummah), 2003
----------, Muqaddimah al-Dustur aw Al-Asbab Al-Mujibah Lahu, Jilid I, (Beirut : Darul Ummah), Cetakan II, 2009
Hawari, Muhammad, 'Isyruuna Nadwah fi Syarh wa Munaqasyah Masyru' Tathbiq Al-Islam fi Al-Hayah, (t.t.p. : t.p), 2002
Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyru' Ad-Dustur Al-Irani, (t.tp. : Hizbut Tahrir), 1979
----------, Naqdh Masyru' Dustur Jumhuriyyah As-Sudan Sanah 1998, (t.t.p : Hizbut Tahrir), 1998
Islamic Republic of Iran Constitution http://www.iranonline.com

http://khilafah1924.org Powered by Joomla! Generated: 6 July, 2013, 22:51

Anda mungkin juga menyukai