Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sesuai dengan

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hukum Islam?
2. Apa saja ruang lingkup hukum Islam?
3. Apa saja ciri-ciri hukum Islam?
4. Apa tujuan hukum Islam?
5. Apa saja macam-macam kekuasaan Negara di bawah Khalifah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi hukum Islam.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum Islam.
3. Agar mengetahui ciri-ciri hukum Islam.
4. Untuk mengetahui tujuan adanya hukum Islam.
5. Agar mengetahui macam-macam penguasa Negara di bawah Khalifah.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Hukum Islam

1|Hukum Islam dan Kekuasaan


Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama
Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu
mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu adalah hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda dalam
masyarakat serta alam sekitarnya. Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan
itu diatur oleh seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut
hukm jamaknya ahkam.
2. Ruang Lingkup Hukum Islam
Jika dibandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum Barat yang
membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum public, maka
sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan
(dengan tajam) anatara hukum perdata dengan hukum publik.
Karena menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi
public dan pada hukum publik ada segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum
itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalnya, (1)
munakahat, (2) wirasah, (3) mu’amalat, (4) jinayat atau ukubat, (5) al-ahkam as-
suthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7) mukhasamat.
Jika bagian-bagian hukum Islam bidang muamalah di atas dibandingkan dengan
susunan hukum Barat seperti yang telah menjadi tradisi diajarkan dalam Pengantar
Ilmu Hukum di tanah air kita, maka butir (1) dapat disamakan dengan hukum
perkawinan butir, (2) dengan hukum kewarisan, (3) dengan hukum benda dan
hukum perjanjian, perdata khusus, butir (4) dengan hukum pidana, butir (5)
dengan hukum ketatanegaraan yakni tata Negara dan administrasi Negara, butir (6)
dengan hukum internasional, butir (7) dengan hukum acara.

3. Ciri-ciri Hukum Islam


Dari uraian di atas dapat ditandai ciri-ciri (utama) hukum Islam, yakni :
a. Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
2|Hukum Islam dan Kekuasaan
b. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau
akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
c. Mempunyai dua istilah kunci yaitu (1) syariat dan (2) fiqh. Syariat terdiri dari
wahyu Allah dan Sunnah Nabi Muhammad, fiqh adalah pemahaman dan hasil
pemahaman manusia tentang syariah.
d. Terdiri dari dua bidang utama yaitu (1) ibadah dan (2) muamalah dalam arti
yang luas. Ibadah bersifat tertutup karena telah sempurna dan muamalah dalam
arti khusus dan luas bersifat terbuka untuk dikembnagkan oleh manusia yang
memenuhi syarat dari masa ke masa.
e. Strukturnya berlapis, terdiri dari (1) nas atau teks Al-Qur’an, (2) Sunnah Nabi
Muhammad (untuk syariat), (3) hasil ijtihad yang memenuhi syarat tentang
wahyu dan sunnah, (4) pelaksanaannya dalam praktik baik (i) berupa keputusan
hakim, maupun (ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat (untuk
fiqh).
f. Mendahulukan kewajiban dari hah, amal dari pahala.
g. Dapat dibagi menjadi (1) hukum taklifi atau hukum taklif yakni al-ahkam al-
khamsah yang terdiri dari lima kaidah, lima jenis hukum , lima kategori hukum,
lima penggolongan hukum yaitu ja’iz, sunnat, makruh, wajib dan haram, dan
(2) hukum wadh’I yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau
terwujudnya hubungan hukum.
h. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam dimana pun mereka berada,
tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau Negara pada suatu masa
saja.
i. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan
jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan kemanusiaan secara
keseluruhan.
j. Pelaksanaanya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan akhlak umat
Islam.

4. Tujuan Hukum Islam


Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil

3|Hukum Islam dan Kekuasaan


(segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang
tidak berguna bagi hidup dan kehidupaan. Dengan kata lain, tujuan hukkum Islam
adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan
sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk
kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388)
merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3)
akal, (4) keturunan, (5) harta, yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum
Islam lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-
maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah.1
5. Kekuasaan Negara di Bawah Khalifah
Di dalam sejarah pemerintahan Islam, kekuasaan tertinggi adalah di tangan
khalifah. Khalifah menjadi penguasa tertinggi yang mengatur segala urusan
pemerintahan. Meskipun demikian, khalifah dibantu oleh lembaga-lembaga yang
berada di bawah kekuasaanya, seperti wizarah, kitabah, hijabah, qadla, dan lain-
lain. Sebab jika khalifah tidak membentuk lembaga-lembaga Negara yang bertugas
membantu urusan pemerintahannya, maka pengorbanan Negara menjadi kacau dan
berantakan. Karena itulah, dalam sejarah pemerintahan Islam, muncul lembaga-
lembaga Negara yang berada di bawah kekuasaab khalifah.
a. Wazir
Kata wazir terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah. Di dalam al-Qur’an
surat Al-Furqan, wazir secara jelas disebutkan dalam konteks Nabi Harun
yang diangkut menjadi wazir-nya Nabi Musa, sebagimana firman Allah
berikut:
“Kami telah menajdikan Harun saudara (Musa) sebagai wazir
(pembantu)-nya”. (QS. Al-Furqan: 35).
Dalam surat lain disebutkan:
“dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu)
Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku” (QS. Thaha:
29-31).
Sedangkan di dalam hadis disebutkan sebagai berikut:
“Jika Allah menghendaki atas seorang amir kebaikan, Dia menjadikan
baginya seorang pembantu (wazir) yang jujur dan benar; jika ia lupa,

1
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam (Cet. 19, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 42-61.

4|Hukum Islam dan Kekuasaan


ia mengingkatkannya dan jika ia hangat, ia membantunya. Jika Allah
menghendaki atasnya selain yang demikian, Dia menjadikan baginya
wazir yang jahat atau buruk. Jika ia lupa, ia tidak mengingatkannya dan
jika ia ingat, ia tidak membantunya” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan
Ibn Hibban).
Wazir adalah orang yang diangkat oleh penguasa tertinggi
pemerintah yang membangun tugas-tugas berat, membantunya
memberi saran dan menjadi rujukan dalam masalah-masalah tertentu.
Jabatan inilah yang disebut wizarah.
Jabatan wizarah dikenal di kalangan kaum muslimin sejak masa
hidup Rasulullah. Dalam sejarah Rasulullah disebutkan bahwa Abu
Bakar dan Umar dijadikan oleh Rasulullah sebagai wazir beliau. Ketika
Rasulullah wafat, kaum muslimin memilih Abu Bakar menjadi khalifah
dan ia menjadikan Umar wazirnya. Kemudian diteruskan oleh Utsman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Dinasti Umayyah, wizarah merupakan pangkat
paling tinggi di seluruh dinasti tersebut. Wazir memiliki hak
pengawasan umum terhadap semua persoalan, di samping bertindak
dengan kekuatan konsultatif dan semua persoalan lain yang sifatnya
defensive atau otensif. Dia juga mempunyai hak pengawasan terhadap
departemen kemiliteran, kewajiban membagi gaji militer pada setiap
permulaan bulan dan lain-lain.
Pada Dinasti Abbasiyah muncul, kedaulatan (kekuasaan raja)
berkembang. Pangkat-pangkat kerajaan semakin banyak dan tinggi.
Waktu itu, kedudukan wazir semakin besar dan bertambah penting. Dia
menjadi utusaan dalam melaksanakan kekuasaan eksekutif. Pangkatnya
menarik perhatian orang. Setiap orang tunduk kepadanya. Pengawasan
tehadap tata buku dipercayakan kepada wazir, sebab fingsinya menuntut
supaya dia membagi gaji tentara.
Pada waktu itu, wizarah telah terbagi kepada wizarah eksekutif
(wizarah tanfidz) dan ini telah terjadi ketika raja mengontrol sendiri
persoalan yang dihadapinya (dan wazir melakukan keputusan-
keputusannya). Kemudian wizarah utusan (wizarah tafwidl), yang
terjadi ketika wazir menguasai raja dan khalifah diutu untuk
5|Hukum Islam dan Kekuasaan
melaksankan tugas-tugas khalifah. Hal ini menyebabkan timbulnya
pendapat yang berbeda apakah dua wazir akan ditunjuk dalam waktu
yang sama dalam wizarah utusan.
Adapun perbedaan anatara wizarah tanfidz dan wizarah tafwidl
adalah sebagai berikut:
1. Wizarah tafwidl boleh ikut campur dalam masalah peradilan,
sedangkan wizarah tanfidz tidak boleh.
2. Wizarah tafwidl boleh mengangkat gubernur dan pejabat-
pejabat tinggi Negara, wizarah tanfidz tidak boleh.
3. Wizarah tafwidl bisa menjadi panglima tertinggi dan
mengumumkan perang, wizarah tanfidz tidak mempunyai
kekuasaan seperti itu.
4. Wizarah tafwidl mempunyai wewenang untuk menguasai
harta Negara dan mengeluarkan dari baitul mal, sedangkan
sedangkan wizarah tanfidz tidak mempunyai wewenang
seperti itu.

Dari perbedaan tugas tersebut, mengakibatkan adanya


perbedaan di dalam persyaratan bagi wizarah tafwidl dan wizarah
tanfidz. Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut:

1. Wizarah tafwidl haruslah orang-orang yang beragama


Islam, wizarah tanfidz bisa non-muslim.
2. Wizarah tafwidl di syaratkan tahu tentang hukum-hukum
Islam.
3. Tahu tentang startegi dan taktik perang dan tahu cara-
cara mengurus keuangan Negara menjadi persyaratan
untuk wizarah tafwidl dan tidak jadi syarat untuk wizarah
tanfidz.

Dengan demikian kekuasaan wizarah tafwidl ini amat besar dan


perlu dibedakan dengan kekuasaan imam. Perbedaan-perbedaan itu
adalah sebagai berikut:

6|Hukum Islam dan Kekuasaan


1. Imam bisa menunjuk penggantinya, seperti kasus
penunjukan Umar oleh Abu Bakar, wizarah tafwidl tidak
bisa melakukan hal yang seperti itu.
2. Imam bisa meletakkan jabatan dengan langsung kepada
rakyatnya, wizarah tafwidl tidak bisa.
3. Imam bisa memecat orang-orang yang diangkat oleh
wizarah tafwidl dan wizarah tafwidl tidak bisa memecat
orang0orang yang diangkat oleh imam.

Oleh karena itu, barangkali wizarah tafwidl bisa diartikan


dengan orang yang meminta bantuannya oleh imam serta diserahi
tugas mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sesuai
dengan pendapat ijtihadnya.

b. Qodhi
Jabatan hakim merupakan kedudukan yang berada di bawah khilafah. Ia
suatu lembaga yang tersedia untuk tujuan menyelesaikan gugatan serta
memutuskan perselisihan dan pertikaian. Bagaimanapun, ia tetap berjalan
sepanjang rel hukum syar’iyyah yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Oleh karena itu, jabatan hakim merupakan bagian tugas dari
khilafah, dan secara umum berada di wilayahnya.
Hakim-hakim itu ada tiga bagian. Pertama, hakim untuk memutuskan
persengketaan antar umat manusia dalam muamalat dan hukuman-
hukuman. Hakim-hakim untuk urusan ini dipilih dari kaum muslimin yang
adil dan ahli fiqh. Kedua, hakim untuk memutuskan hak jama’ah dan perlu
segera diputuskan dan dilaksanakan. Hakim-hakim dalam urusaan ini
haruslah orang adil dan ahli fiqh. Hakim ini juga dinamakan muhtasib.
Ketiga, hakim untuk mengajukan perselisihan yang terjadi antara rakyat dan
Negara, atau salah seorang pegawainya, dan untuk memutuskan teks-teks
perundang-undangan dan legalitas materi undang-undang dasar serta
konstitusi undang-undang dan legalitasnya. Hakim-hakim untuk urusan ini
disyaratkan dari orang-orang Islam yang adil, ahli fiqh dan ijtihad. Mereka
dinamakan hakim-hakim pengaduan (qudhatul mazhalim).
Pada masa khalifah, tugas hakim terbatas hanya menyelesaikan gugatan
diantara para penggugat. Lalu, secara bertahap masalah lain dilimpahkan

7|Hukum Islam dan Kekuasaan


kepadanya lebih banyak sesuai dengan kesibukan khalifah dan raja-raja.
Akhirnya jabatan hakim mencakup di samping menyelesaikan gugatan
pemenuhan sebagai hak-hak umum bagi kaum muslimin, juga mengurusi
harta benda orang gila, anak yatim, orang pailit dan tidak mampu yang
berada di bawah pengawasan para wali, mengurusi surat wasiat dan wakaf
kaum muslimin, mengawinkan perempuan yang tidak punya wali,
mengurusi jalan serta bangunan, menguji barang-barang bukti, pengacara-
pengacara, dan mengganti tugas pengadilan, berusaha menyempurnakan
pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan tahan uji atau
tidaknya mereka. Semua ini menjadi bagian dari kedudukan dan tugas
seorang hakim.
c. Katib
Menurut al-Ghazali, jabatan ini disebut departemen surat-menyurat
resmi dan tulis-menulis. Jabatan ini tidak begitu penting di dalam
kedaulatan, karena banyak Negara yang sama sekali tidak membutuhkan,
bahkan sengaja membuangnya. Misalnya dinasti-dinasti dimana kemurnian
kebudayaan Badui (Bedouin) belum dipengaruhi, perkembangan (kerajinan
tangan) cukup menonjol.
Salah satu fungsi jabatan sekretaris ialah tawqi’. Maksudnya, sekretaris
duduk di depan raja selama berlangsung pengadilan dan penetapan
hukuman dalam forum-forum umum, dan sekretaris mencatat seringkali
dengan kata-kata singkat dan begitu mengenai sasaran ketetapan yang
diterimanya dari raja mengenai pengaduan yang diajukan. Selanjutnya,
ketetapan itu dikeluarkan sebagaimana adanya, atau dibuatkan salinan
dalam bentuk dokumen yang menjadi milik pengadu. Orang yang
memberikan tawqi’ perlu sekali memiliki pengetahuan yang dalam
mengenai balaghah, sehingga tawqi’-nya benar.
Ketahuilah bahwa orang yang bertugas memangku fungsi ini haruslah
terpilih dari kalangan atas, berbudi halus, menguasai banyai ilmu, dan
memiliki kemampuan berbahsa (balaghah) yang baik. Dia pasti akan
berhadapan dengan cabang-cabang prinsipil ilmu pengetahuan, sebab hal
semacam ini akan ditemukan dalam pertemuan dan forum pengadilan raja.
Ditambah lagi, untuk bergaul dengan raja-raja, seseorang dituntut bertindak
sopan dan sopan memiliki pembawaan dari sifat mulia. Dia juga harus
8|Hukum Islam dan Kekuasaan
mengetahui rahasia balaghah suatu perkataan, mampu menulis surat, dan
dapat segera menemukan kata-kata yang mencakup arti yang dimaksudkan.
d. Hajib
Dalam Dinasti Bani Umayyah dan Bani Abbas, gelar penjaga hajib
(penjaga pintu) terbatas pada orang yang melindungi raja dari kesibukan
menemui rakyat umum dan tidak member jalan masuk kepada mereka untuk
menemuinya, atau (diperbolehkan masuk) hanya melalui jalan dan waktu-
waktu yang sudah ditentukan. Pada waktu itu, jabatan hajib (penjaga pintu)
lebih rendah daripada fungsi lain, sebab wazir dapat campur tangan sesuai
dengan pendapat yang dipandangnya layak. Demikianlah situasi
keseluruhan periode Bani Abbas. Di Mesir, penjaga pintu dipimpin oleh
orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, yang disebut naib.
Dalam Dinasti Bani Umayyah di Andalusia, hajib (penjaga pintu) adalah
orang yang melindungi raja dari rombongan khusus danrakyat. Dia adalah
perwira penghubung antara raja dan para wazir serta pejabat rendahan.
Dalam Dinasti Bani Umayyah, jabatan penjaga pintu benar-benar
merupakan kedudukan yang amat tinggi, sebagaimana terlihat dalam sejarah
mereka. Misalnya, Ibnu Hadid dan lainnya yang merupakan penjaga-
penjaga pintu Dinasti Bani Abbas.
Akhirnya, setelah Dinasti Bani Umayyah berada dibawah kekuasaan
bangsa lain, orang yang berkuasa disebut penjaga pintu (hajib), sebab
jabatan penjaga pintu merupakan satu-satunya jabatan yang mulia.
Demikian ikhwal al Manshur ibn Amir dan para putranya. Setelah mereka
mulai berada dalam kemuculan dan perkembangan kekuasaan raja,
muncullah raja-raja thawaif (reyes de taifas) menggantikan mereka. Mereka
tidak meninggalkan gelar kerajaan. Sebagian besar dari mereka
menggunakan gelar dan nama raja, dan tak dapat mengelak menyebut gelar
hajib dan dzu-wizaratayn (yang memiliki dua wizarah), maksudnya wizarah
“pedang” dan wizarah “pena”. Dengan hijabah, mereka beragumentasi pada
tugas melindungi raja dari kerumunan orang-orang awam dan elit, dan
dengan dzul-wizaratayn pada cakupannya terhadap dua jabatan “pedang”
dan “pena”.
Dalah daulah Turki di Mesir, gelar penjaga pintu (hajib) diberikan
kepada penguasa (hakim) dari kalangan yang memperoleh kekuasaan (ahl
9|Hukum Islam dan Kekuasaan
al syawkah), yaitu orang-orang Turki. Penguasa tersebut melaksanakan
hukum di kalangan penduduk kota. Jumlah hajib sangat banyak di sana.
Bagi orang Turki, jabatan hajib lebih rendah daripada naib yang memiliki
yurisdiksi umum terhadap kelas yang berkuasa dan rakyat jelata.
Naib memiliki kekuasaan mengangkat atau menurunkan pejabatan
tertentu pada waktu yang tepat. Dia dapat member dan menentukan gaji.
Perintah dan titahnya dilaksanakan sebagaimana titah raja. Dia wakil raja
dalam segala hal. Penjaga pintu (hajib), dissamping itu memiliki yurisdiksi
terhadap berbagai kelas rakyat jelata, dan terhadap tentara apabila ada
pengaduan kepada mereka. Mereka dapat memaksa orang yang tidak mau
tunduk pada keputusan mereka.2

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.
Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya,

2
Syarif, Mujar Ibnu, Fiqh Siyasah (Jakarta: Erlangga, 2008), h. 308-323.

10 | H u k u m I s l a m d a n K e k u a s a a n
karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Kekuasaan
Negara di bawah Khalifah terdiri dari Wazir, Qodhi, Katib, dan Hajib.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.

Syarif, Mujar Ibnu, Fiqh Siyasah. Jakarta: Erlangga, 2008.

11 | H u k u m I s l a m d a n K e k u a s a a n

Anda mungkin juga menyukai