Anda di halaman 1dari 7

sebagai agama dan negara (Al-Islam Din wa Daulah), merupakan sebuah topik yang amat

kontroversial dan sering dijadikan pembahasan dalam wacana pemikiran Islam. Islam sebagai
negara merupakan bentuk lain dari Islam dan dunia (Al-Islam wa Dunyah). Agama bukan sekedar
keyakinan terhadap pencipta, melainkan agama mencakup segala lini kehidupan yang ada, baik di
dunia maupun akhirat. Awal mula timbulnya perdebatan ini terjadi dalam suasana ketika dunia Islam
telah pecah-belah atas negara dan bangsa (nation and state).
Herbert Spencer dalam bukunya First Principles mengutarakan bahwa pada dasarnya agama berisi
“keyakinan akan adanya sesuatu yang mahakekal yang berada di luar intelek”. Senada dengan hal
tersebut, Max Muller dalam Introduction to Science of Religions yang diterbitkan di London, melihat
semua agama sebagai “usaha untuk memahami apa yang tak dapat dipahami dan untuk
mengungkapkan apa yang tak dapat diungkapkan, sebuah keinginan kepada sesuatu yang tidak
terbatas”.
Dari gagasan keduanya dapat dipastikan bahwa agama (Islam) tidak bisa dipisahkan dengan aspek
apapun, begitu pula dalam pembahasan kenegaraan. Agama (Islam) membimbing umatnya untuk
menuju apa yang telah menjadi esensi dasar dari penciptaan.
Menurut Hasan al-Banna, orang yang beranggapan bahwa Islam tidak berurusan sama sekali
dengan politik, atau sebaliknya politik tidak ada sangkut pautnya dengan agama, adalah suatu
gagasan yang keliru. Demikian halnya dengan Ahmad Amin (1886-1956) dalam Yaum Al-Islam,
menulis bahwa Islam tidak menginginkan antara agama dengan politik itu terpisah karena fungsi dari
agama untuk memperbaiki sistem politik yang ada dan membimbing para pemimpin menuju
kemaslahatan masyarakat.
Sebagaimana tertulis dalam sejarah, Eropa pernah terjerumus ke dalam perang, yang ditimbulkan
karena mereka secara sengaja memisahkan politik dari agama. Hal itu menyebabkan politik terlepas
dari norma-norma dan etika.
Sistem pemerintahan tidak bisa lepas dari hukum sebagai benteng kemasyarakatan. Menurut
Rasyid Rida, hukum adalah prasyarat rasional kehidupan sosial yang tertib, yang menunjukkan
adanya integrasi moral dan kebudayaan suatu masyarakat. Hukum seperti inilah yang mampu
membentengi masyarakat dari anarki moral dan serangan budaya asing.
Terkait dengan wacana hukum, Hasan al-Banna mengatakan bahwa Islam sudah memberikan
prinsip legislasi dan rincian hukum di berbagai bidang, baik itu kehartabendaan maupun kriminal,
perdagangan maupun kenegaraan. Untuk itu, tidaklah masuk akal apabila hukum yang berlaku
dalam masyarakat Islam bertentangan dengan ajaran agamanya. Maka beliau menawarkan
pentingnya Islamisasi Qonun, dalam artian menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif.
Al-Quran sebagai undang-undang yang mengatur segala bentuk kegiatan umat manusia mencakup
seluruh aspek. Baik itu bidang ekonomi, pendidikan, hukum maupun politik. Khususnya dalam hal
politik, telah tersurat dalam QS. Al-Maa’idah: 49:
“… dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.” [QS. 5: 49]
Sebenarnya manusia hanyalah pelaku dari undang-undang kehidupan, Al-Quran adalah pedoman
dari undang-undang manusia, sedangkan Allah SWT merupakan konseptor kehidupan di dunia yang
wajib diimani, bukan dikritik buta. Jadi kemajuan suatu bangsa baru akan terwujud apabila
pemerintahan mampu memahami pedoman kehidupan yang telah ditetapkan sang pencipta.
Agama tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan negara atau pemerintahan politik. Sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Ibnu Taymiyyah dalam Maj’mu Al-Fatawa juz 28 hal 394, apabila negara
dipisahkan dari agama ataupun sebaliknya negara dipisah dari agama, maka keadaan masyarakat
niscaya akan hancur. Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Seperti Imam al-Ghazali
memisalkan agama adalah pondasi dan negara adalah bangunannya. Sebuah bangunan tidak akan
bisa berdiri tegak tanpa adanya pondasi.
Permisalan di atas merupakan sanggahan dari yang dikatakan Robert Audi dalam bukunya “Agama
dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal”, ia memberikan gagasan bahwa agama tidak boleh
mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Agama
hanya boleh mengatur hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya, sedangkan hubungan antara
manusia dengan manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri.
Kemajuan suatu bangsa tergantung dari sistem pemerintahan yang diterapkan, yang mana keadilan
bukan hanya slogan semata, kesejahteraan rakyat bukan sekedar janji tertulis dan terucap,
demokrasi politik yang tidak lagi bermartabat dijadikan tameng persembunyian dari kebejatan
akhlak. Semuanya perlu adanya landasan ideologi yang benar dan bukti nyata menguntungkan
antara pemerintahan dan rakyat.
Akidah Islamiah
Hubungan antara agama dengan negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada akidah
Islamiyah, bukan akidah yang lain. Akidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara
menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara
sangatlah erat, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna
dalam kehidupan. Agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna
dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi
yang parah dalam beragama.
Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara
yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
Sebagai kesimpulan dari paparan di atas, pemikiran trilogi (din, dunyah, dan daulah) beserta dengan
bermacam yang berkaitan dengan itu, membuktikan bahwa kedudukan Islam yang telah menempati
segala ranah sosial dan memasuki berbagai segi kehidupan manusia terus sejalan. Ini bisa dijadikan
solusi terhadap tantangan pemikiran Islam modern. Yang pertama, kemungkinan adanya anggapan
bahwa agama hanya menyibukkan diri pada keyakinan semata. Kedua, kemungkinan kehidupan
sosial politik yang menganaktirikan agama atau memberi tempat yang sempit bagi peran agama.
Sebagaimana kita yakini, bahwa Nabi Muhammad saw, adalah Nabi dan Rasul terakhir
yang diutus Allah swt kepada segenap umat manusia di alam jagat raya ini. Nabi yang
mu’jizatnya Al Qur’an, imamnya Al Qur’an, akhlaqnya Al Qur’an, dan penghias
dadanya, cahaya hatinya juga penghilang kesedihannya adalah Al Qur’an Beliau diutus
dengan tugas menyampaikan risalah Islam sekaligus sebagai rahmatan lil’alamin (sebagai
rahmat bagi seluruh alam semesta) yang penuh dengan contoh teladan utama.

Risalah Muhammad SAW, tidaklah berakhir pada rumus-rumus kaidah filsafat yang
universil dan abstrak, yang dilepaskan mengapung di awang-awang untuk di lihat dan
dikagum-kagumi atau dalil-dalil theologi untuk dikunyah-kunyah sambil duduk manis.

Tujuan risalah adalah untuk “menghidupkan kesempurnaan “ manusia sehingga benar-


benar hidup!. Risalah Muhammad SAW membina pribadi sebagai “social being‘
mencetak ummat yang mempunyai corak dan tujuan hidup yang tentu. Hidupnya
berisikan amal yang shalih, pancaran iman; keduan kakinya terpancang di bumi , jiwanya
menjangkau langit.

Saat ini kita sedang dihadapkan dengan sebuah pernyataan dan kenyataan, bahwa bangsa
ini sedang menghadapi krisis Multi Dimensional, apalagi di tahun 2019 yang identik
dengan tahun politik, begitu parah krisis yang dihadapi baik bersifat lisan maupun
perbuatan, sehingga susah mengambil benang merahnya sisi mana yang lebih dominan
dan mana yang harus didahulukan, penyebaran berita tidak benar (HOAX) menjadi
tradisi di kalangan masyarakat, bahkan belum ditemukan solusi yang jitu dalam
penyelesaiannya, akhirnya bangsa ini berada dalam posisi bias. Padahal Allah swt dalam
firmatnya:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)

Dalam Ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk taat kepada-Nya,
dan juga taat Kepada Rasul-Nya dan ulil amri. Namun taat kepada ulil amri tidak
semutlak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, karena terkadang ada ulil amri yang tidak taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan untuk ingkar kepada
ulil amri tersebut, sebagaimana Allah memerintahkan untuk mengingkari Thaghut,
karena ia selalu memusuhi Nabi dan kaum muslimin, termasuk Thaghutjuga ialah orang
yang menetapkan hukum secara hawa nafsu dan juga menyembah berhala. Karena itu
juga ulil amri diharuskan menetapkan perkara harus dengan jalan ijtihad dan
musyawarah, tidak boleh secara hawa nafsu.
Pada ayat lain Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti
menang. (QS. Al-Maidah: 56)

Padahal kalau kita berkaca kepada krisis yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW pada
masanya, justru dengan mudah beliau menyelesaikannya, nyaris penyelesaiannya tanpa
kekerasan dan pemaksaan, justru hanya dengan penerapan akhlakul karimah sebagai
andalannya. Strategi yang dilakukan oleh Rasulullah, sesuai dengan sabdanya ‘Ibda’
Binafsik yang artinya “Mulailah dari diri anda“.

Islam dan Negara

Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Ajarannya mengatur berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Nilai-nilai Islam dapat dipakai untuk mencapai kemajuan
dan kedamaian, bukan hanya oleh muslim tetapi juga oleh non-muslim. Islam bukan
agama yang menjadi ancaman bagi golongan tertentu, tetapi Islam adalah sumber
keadilan yang melindungi masyarakat dari tindakan kezaliman, serta membangun
keharmonisan antar umat beragama dalam bernegara. Etika bernegara dalam Islam jelas
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mengutamakan prinsip musyawarah,
sebagaimana firman Allah Swt: “Bermusyawarahlah untuk berbagai urusan.” (QS. Ali
Imran: 159).

Al-Quran sebagai way of life umat Islam telah menggambarkan sebab-sebab kehancuran
sebuah negara, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan kami tidak membinasakan suatu
negeri, kecuali penduduknya melakukan kedhaliman.” (QS. al-Qashash: 59). Tindakan
zalim yang dilakukan oleh penduduk merupakan faktor hancurnya negara, dan
kehancuran bangsa ditandai dengan rusaknya moral masyarakat. Sedangkan inti moral
masyarakat adalah terletak pada kemampuan bersikap adil dan tidak menzalimi, karena
akhlak yang paling tinggi adalah ketika dapat menjaga diri dari perbuatan menyakiti
orang lain, baik secara lisan maupun perbuatannya.

Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda: “Muslim yang sejati adalah yang dapat menjaga
keselamatan manusia dan mukmin yang sejati adalah yang dapat memberi aman kepada
manusia.” (HR. an-NasaaI). Di samping itu, Al-Quran juga mengingatkan para pembesar
dalam sebuah negara agar menjauhkan dari tipu daya jahat, karena tipu daya mereka,
menjadi sebab hancurnya negara, sebagaimana firman-Nya: “Dan demikian pada setiap
negeri kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri
tersebut. Padahal mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.” (QS. al-
An’am: 123).
Setiap orang yang telah diberi amanat oleh negara untuk menduduki sebuah jabatan,
sekurang-kurangnya memiliki dua tanggung jawab: Pertama, tanggung jawab sebagai
warga negara dan kedua, tanggung jawab sebagai pelaksana amanat negara. Kelalaian
dan ketidakpedulian terhadap tanggung jawab, menjadi sebuah kesalahan besar bagi
seorang pejabat negara, karena nadi kehidupan rakyat berada dalam genggamannya.

Pada sisi lain kita juga mengetahui hak dan kewajiban seorang warga negara, di antara
hak warga negara adalah mendapat perlindungan keamanan, keadilan dalam hukum,
mendapatkan pendidikan dan jaminan kesehatan, memperoleh jaminan kesejahteraan dan
kehidupan yang layak, kebebesan dalam memeluk agama dan beribadah sesuai dengan
keyakinan masing-masing, mendapatkan jaminan kebebasan dalam berpendapat dan
berbicara, mendapatkan hak pilih pada PILPRES, PILEG ataupun PILKADA, dan lain
sebagainya. Begitu juga dengan kewajiban warga negara yang juga selurus, sebanding
dengan hak yang diperoleh yaitu berkewajiban membela negara (NKRI), kewajiban
membayar pajak, mematuhi undang-undang atau aturan yang berlaku dan lain
sebagainya.

Oleh karena itu, sikap kedewasaan dan kesadaran dalam bernegara mutlak diperlukan
oleh setiap warga negara terutama umat muslim, supaya negara dapat berdiri tegak dan
aman. Rasa nasionalisme dan hubbul wathan juga mesti ditumbuhkan. Konflik yang
terjadi dalam sebuah negara, menandakan sendi-sendi nasionalisme telah rapuh. Konflik,
sesungguhnya merupakan senjata pemusnah paling ampuh, baik konflik vertikal maupun
konflik horizontal, dan konflik horizontal lebih berbahaya, karena bukan hanya
menghancurkan umat, tetapi juga menghancurkan negara dan bangsanya secara total.

Sikap dalam Bernegara

Dari terjemahan surat An-nisa ayat 59 di atas, kita dapat mengambil beberapa intisari
pelajaran yang sangat berharga mengenai sikap seorang muslim dalam berbangsa dan
bernegara, pertama, kita diwajibkan untuk menjalankan perintah Allah yang telah
diwahyukan melalui Al-Qur`an, kita diperintahkan-Nya untuk tetap terus berpegang
teguh kepada Al-Qur`an dan menjadikannya sebagai landasan dari perilaku kita
khususnya dalam konteks ini yaitu berbangsa dan bernegara karena Al-Qur`an
merupakan primary source dari segala permasalahan. Dalam berbangsa dan bernegara,
kita harus yakin bahwa dengan mengikuti serta mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur`an,
konsep berbangsa dan bernegara kita sesuai dengan perintah Allah.

Kedua, kita diperintahkan untuk menaati Rasulullah yang telah membimbing kita melalui
ajaran-ajarannya, salah satunya adalah “sunnah” yang merupakan perkataan, perbuatan,
dan diamnya nabi atas suatu perkara. “Sunnah” dalam kaitannya dengan Al-Qur`an
merupakan sumber hukum kedua setelahnya yang mempunyai banyak fungsi salah
satunya adalah menerangkan ayat Al-Qur`an yang bersifat umum dan memperkuat serta
memperkokoh pernyataan dari ayat Al-Qur`an. Terakhir, kita diperintahkan untuk taat
kepada kalangan yang memegang otoritas baik dalam pemerintahan, masyarakat atau
keluarga, tetapi prinsip ketaatan ini harus memenuhi prasyarat atau dengan kata lain
bersifat tanpa reserve,artinya pemimpin itu harus ditaati selama dia menjalankan perintah
Allah dan Rasulnya.

Berbangsa dan bernegara menurut Al-Qur`an hanya sebagai alat untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT, oleh karena itu berbangsa dan bernegara harus diyakini merupakan
salah satu ibadah yang tidak kalah pentingnya dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena
ini kaitannya dengan bangsa, negara serta entitas pendukungnya yaitu warga negara.

Berbangsa dan bernegara mempunyai berbagai variable-variable yang saling mendukung


satu dengan yang lainnya, dari sekian banyak variable itu ada beberapa variable yang
harus kita perhatikan yaitu persatuan dan kesatuan yang merupakan aspek penting dalam
kesatuan konsep berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal bahwa Al-Qur`an
memerintahkan persatuan dan kesatuan secara jelas, sejelas Allah menyatakan dalam Al-
Qur`an surat Al-Anbiya ayat 92 “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu”. Dari
persatuan dan kesatuan itu, sikap memiliki atau nasionalisme akan rasa kebangsaan dan
kenegaraan kita akan terasah dan semakin tajam.

Jadi, jelas bahwa setiap negara lahir dan berdiri sesungguhnya karena didasari oleh suatu
cita-cita dan tujuan yang ingin diraihnya dalam penyelenggaran bernegara bagi
kehidupan masyarakat. Cita-cita yang ingin diraih itu diwujudkan dalam bingkai
kebangsaan dan kenegaraan sebagai pijakan awal arah perjuangan.tanpa memiliki cita-
cita dan tujuan, maka kita akan kehilangan arah dalam merealisasikannya. Terlepas dari
itu semua, ada hal yang lebih penting, yakni landasan, pola pikir dan pijakan yang
merupakan langkah awal sebelum melangkah lebih jauh ke arah tujuan dan cita-cita harus
benar-benar terbingkai dalam frame yang jelas, dalam kaitan ini jelaslah bahwa bingkai
keislaman melalui nilai-nilai Al-Qur`an harus menjadi langkah awal dalam berbangsa dan
bernegara, karena sudah jelas bahwa Al-Qur`an dengan segala mukjizatnya merupakan
solusi yang aplikatif yang dapat menjawab permasalahan Bangsa Indonesia selama ini,
sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-A`raaf ayat 52 yang artinya: “Dan
sesungguhnya kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al-Qur`an) kepada mereka yang
kami telah menjelaskannya atas dasar Pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.”

Diakhir khutbah ini marilah kita pertanyakan kembali: bagaimana sikap


habluminannas kita antar sesama, terutama dalam bernegara. Di zaman globalisasi ini,
banyak orang yang mengaku islam tapi akhaknya tidak seperti yang diajakan Rasulullah
saw. Banyak orang yang akhlaknya sudah rusak karena pengaruh sekularisme, dan
pengaruh-pengaruh lain dari barat. Sangat memprihatinkan keadaan tersebut. Jika
generasi penerus bangsa memiliki sikap atau perilaku tidak bagus, lalu mau jadi apa
negara kita ini? Jika disuatu saat nanti, indonesia dipenuhi budaya yang seperti ini, warga
tidak memiliki sikap (akhlak) seperti memilih presiden yang tidak berakhlak. Bisa anda
bayangkan keadaan negeri kita jika keadaannya seperti itu? Dari kasus tersebut, salah
satu sikap yang penting yang harus kita ketahui adalah sikap dalam bernegara.

Bagaimana seharusnya sikap kita sebagai manusia yang taat kepada Allah menjalankan
kewajiban sebagai seorang warga negara dalam suatu negara? Bernegara di dalam islam
sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. banyak hal yang harus kita lakukan untuk
memenuhi kewajiban kita sebagai hamba Allah dan juga sebagai Warga negara. Patuh
terhadap aturan negara juga merupakan salah satu yang Allah perintahkan. Pertanyaannya
sekarang adalah, sudahkah kita menjadi orang yang dapat digolongkan sebagai pengikut
Rasulullah Saw atau belum, atau bahkan bertentangan dengan sifat dan sikapnya?

Inilah yang mungkin patut untuk kita renungkan masing-masing. Siapapun kita dan
apapun profesi atau pekerjaan kita, masih terbuka bagi kita untuk merubah pola pikir dan
pola tindak kita untuk mencoba mengikuti jejak para pengikut Rasulullah Saw. yang telah
mendahului kita. Demikian uraian khutbah ini dengan harapan agar kita senantiasa
tergugah dengan sentuhan ayat-ayat Allah Swt. dan berusaha merubah pola hidup kita,
menjadi sosok yang mau mengikuti sifat dan sikap Rasulullah Saw.

Anda mungkin juga menyukai