Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber dan Tatat Hukum


            Sumber dan tata hukum disini dimaksudkan sebagai tata hukum dalam fiqh siyasah
syar’iyya. Dikalangan umat islam ada pendapat bahwa islam adalah agama yang
komprehensif. Didalmnya terdapat sistem politik dan tata hukum, sistem ekonomi, sistem
sosial dan sebagainya.
            Hal ini diyakini oleh Rasyid Ridha, Hasan al-Bnna dan Al-Maududi yang menyatakan
bahwa islam adalah agama yang serba lengkap oleh sebab itulah dalam bernegara umat islam
hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan dan tidak perlu atau bahkan jangan menirut
sistem ketatanegaraan barat.    Sama halnya dalam sumber dan tata hukum yang dibahas
dalam fiqh siyasah syar’iyah. Sistem yang telah ada dalam Islam khususnya masalah tata
hukum atau politik islam haruslah dijadikan teladan karena telah lama dilaksanakan oleh
Nabi Muhammad SAW dan oleh Khulafa Al-Rasyidin.
     Sayyid Quthb penulis tafsir Al-Qur’an juga berpendapat bahwa islam adalah agama yang
sempurna dan amat lengkap sebagai suatu sistem kehidupan yang tidak saja meliputi tuntunan
moral dan peribadatan tetapi juga sistem politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya, sistem
masyarakat, istem ekonomi dan sebaginya.
    Kajian tentang sumber dan tata hukum dakam fiqh siyasah ini apat kita lihat dulu dari
aspek yang mendukung yaitu agama islam sebenarnya agama yang sempurna karna dalam
kajiannya sudah sangat jelas bahwa agama yang komferhensif. Didalamnya terdapat sistem
politik dan tata hukum.  
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup
bersama beliau di Madinah, jika dikaji dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel
politik di era modern, tidak disangsikan lagi dan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah
sistem politik par excellence. Sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem yang  didasari
konsep religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi
tempat sistem ini berpijak.
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup
bersama beliau di Madinah, jika dikaji dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel
politik di era modern, tidak disangsikan lagi dan dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah
sistem politik par excellence. Sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem yang  didasari
konsep religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi
tempat sistem ini berpijak.
Dengan demikian, sistem yang ada dalam Islam menyandang dua karakter (agama dan
sistem) sekaligus karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan yang
menyangkut masalah materi dan ruhani, serta mengurus perbuatan manusia dalam
kehidupannya di dunia dan akhirat.

B. Kepemimpinan dan batasan-batasanya


Dalam hal mengkaji batasan-batasan ini maka yang berbicara disini salah satunya adalah
Al-Qur’an. Tetapi Al-Qur’an dalam batas tetrettnu tidak memberikan dan menentukan sistem
dan bentuk tertentu dalam hal tata hukum dan bernegara. Tetapi islam hanya memaktubkan
tata nilai dqn dasar-dasarnya demikian pula As-Sunnah. Sebagai contoh Nabi Muhammad
SAW tidak menetapkan prosedur secara rinci mengenai pergantian kepemimpinan dan
kualifikasi kepemimpinan. Prof. C. A. Nallino berkata, ”bahwa Muhammad telah
membangun dalam waktu yang bersamaan, agama (a religion) dan negara (a state). Dan
batas-batas teritorial negara yang dia bangun sepanjang hayatnya”.
C. Keadilan
Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udulan
– wa ‘adalatan (ً‫ َوعَداَلَة‬- ً‫ ) َعد ََل – يَ ْع ِد ُل – َع ْدالً – َو ُع ُدوْ ال‬. Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf
‘ain (‫) َعيْن‬, dal (‫ )دَال‬dan lam (‫)الَم‬, yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa’’ (‫ = اَاْل ِ ْستِ َواء‬keadaan
lurus) dan ‘al-i‘wijaj’ (‫ = اَاْل ِ ْع ِو َجاج‬keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut
mengandung makna yang bertolak belakang, yakni lurus atau sama dan bengkok atau
berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti “menetapkan hukum dengan benar”. Jadi,
seorang yang ‘adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang
sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang
menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada
dasarnya pula seorang yang ‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan
sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Keadilan adalah tujuan umum atau tujuan akhir pemerintahan Islam. Kalangan ahli
hukum dan pemerhati masalah kenegaraan/politik tidak sesering ulam hukum Islam dalam
membicarakan makna keadilan, berikut urgensitas komitmen para penguasa untuk berpegang
teguh dan menerapkannya, termasuk juga para aparat negara yang berhubungan dengan
kepentingan umum. Perintah melaksanakan keadilanbanyak ditemukan secara eksplisit dalam
al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri menjadikan
keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan. Di antaranya Allah berfirman:

             
              
Atinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha melihat.(QS.Annisa:58)

          
       
Artinya:Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.(Q.S AN-Nahl: 90)
Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat
(amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang
berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah
keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap
patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak
dapat dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang
mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.
D. Musyawarah dan syura
a. musyawarah
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara, yaitu berunding,
berembuk, atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Makna dasar dari kata musyawarah
adalah mengeluarkan dan menampakan (al-istihkhraju wa al-izhar). Secara terminologis,
musyawarah diartikan sebagai upaya memunculkan sebuah pendapat dari seorang ahli untuk
mencapai titik terdekat pada kebenaran demi kemaslahatan umum.
Kata musyawarah diambil dari akar kata syin (sy) waw (w), dan ra (r). Ketiga huruf
tersebut membentuk kata syawara, yang awalnya bermakna mengeluarkan madu dari sarang
lebah. Makna ini kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Pada dasarnya, musyawarah
digunakan untuk hal-hal yang bersifat umum atau pribadi. Oleh karena itu, bermusyawarah
sangat dibutuhkan, terutama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, baik oleh
masyarakat secara individu maupun secara umum.
               
           
      
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

ۚ َ‫َوالَّ ِذ ْينَ ا ْستَ َجابُوْ ا لِ َربِّ ِه ْم َواَقَا ُموا الص َّٰلو ۖةَ َواَ ْم ُرهُ ْم ُشوْ ٰرى بَ ْينَهُ ۖ ْم َو ِم َّما َر َز ْق ٰنهُ ْم يُ ْنفِقُوْ ن‬

Artinya:Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka. ( Asy-Syu’araa’: 38).
b. Syura
Pengertian Syura Berbagai macam bentuk sistem pemerintahan yang dipakai di tiaptiap
negara di dunia ini, pendasaran sistem pemerintahan tersebut berakar pada sejarah bangsa-
bangsa itu sendiri dan juga bisa bersumber dari watak penduduk dan sistem ekonomi di suatu
negara tersebut. Misalnya sistem pemerintahan di Inggris yang bersifat perlementer,
sedangkan di Amerika Serikat memakai sistem federal yakni kekuasaan legislatif berada di
tangan kongres. Sekarang dilihat bagaimana pula sistem pemerintahan dalam Islam, jadi
penulis akan kembali pada prinsip-prinsip utama yang telah ditetapkan dan dijadikan sebagai
landasan kehidupan manusia. Salah satu sistem pemerintahan keislaman adalah sistem syura.
Syura merupakan sendi kehidupan dalam sosial dan bernegara yang digunakan sebagai
prinsip yang harus ditegakkan di muka bumi. Syura adalah suatu prinsip yang menegaskan
bahwa semua problematika kekuasaan dapat dibicarakan. Mengenai cara bermusyawarah,
yang perlu dibentuk ialah lembaga permusywaratan, dan di dalamnya harus ada cara
pengambilan keputusan, cara pelaksanaan putusan musyawarah, dan aspek-aspek tata laksana
lainnya, jadi sebagai prinsip musyawarah adalah syari‟at.
Pembahasan mengenai syura ini banyak sekali para ulama yang mengeluarkan pendapat-
pendapatnya dalam mendefenisikan sistem syura tersebut. Defenisi syura memilki dua
pengertian yaitu menampakkan dan memaparkan sesuatu atau mengambil sesuatu. Kata syura
berasal dari bahasa Arab yaitu sya-wa-ra yang secara etimologis berarti mengeluarkan madu
dari sarang lebah. Sejalan dengan ini, kata syura dalam bahasa Indonesia menjadi
“musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari
yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikkan. Hal ini semakna dengan
pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia. Dengan demikian,
keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi
kepentingan kehidupan manusia.
Sedangkan secara istilah dari beberapa ulama telah memberikan defenisi syura yang dikutip
dari buku Muhammmad Iqbal, yakni seperti Ar Raghib al Ashfahani yang mendefenisikan
syura sebagai proses mengemukakan pendapat dengan saling merevisi antara peserta syura.
Menurut Ibnu Al Arabi al Maliki, syura adalah dengan berkumpul untuk meminta pendapat
(dalam suatu permasalahan) dimana peserta syura saling mengeluarkan pendapat yang
dimiliki.
Al-Qur‟an menggunakan kata syura dalam tiga ayat. Pertama, surat Al-Baqarah, 233 yang
membicarakan kesepakatan (musyawarah) yang harus ditempuh suami istri kalau mereka
ingin menyapih anak sebelum dua tahun, ini menunjukkan suami istri dalam memutuskan
sesuatu dalam sebuah rumah tangga atau menyelesaikan masalah dalam rumah tangga harus
dengan cara bermusyawarah. Adapun ayat kedua dan ketiga yaitu surat Ali-Imran 159 dan
Asy-Syura 38 berbicara lebih umum dalam konteks yang luas.
               
           
      
Artinuya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(QS.Ali Imran 159)
Maksud dari ayat ini ialah urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya, Allah memerintah kepada nabi
Muhammad SAW untuk dimusyawarahkan dengan para sahabat. Ayat ini turun berkenaan
dengan 5 Ibid., hlm. 19 32 peristiwa perang Uhud yang membawa kekalahan umat Islam.
F. Tujuan dakwah islamiyah
Secara hakikat dakwah Islamiyah merupakan aktualisasi iman yang dimanifestasikan
dalam kegiatan manusia beriman dalam masyarakat melalui cara tertentu, demi terwujudnya
ajaran Islam dalam segala segi kehidupan, kegiatan tersebut sering disampaikan secara
individu ataupun kelompok melalui berbagai metode dan sarana yang bertujuan memberi
perubahan dalam kehidupan (Jumontoro, 2001). Dalam proses dakwah banyak metode yang
digunakan, namun metode tersebut haruslah sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.
Dakwah merupakan suatu aktifitas yang mulia, menjadi kewajiban bagi setiap muslim,
bertujuan untuk memberikan informasi tentang Islam dan mengajak orang lain agar bersedia
melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan nilai-nilai Islam. (Salmah, 2004) Seorang
da’i dalam usahanya untuk menyebarkan dan merealisasikan ajaran Islam di tengah-tengah
kehidupan manusia, dia akan menghadapi masyarakat yang heterogen. Karena itu metode
dakwah dalam proses dakwahnya pun harus sesuai dengan kadar pengetahuan masyarakat
masing-masing. Adalah kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat beberapa golongan
yang harus dihadapi oleh da’i dengan cara atau metode yang berbeda.
Tujuan utama dakwah adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Yakni dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai Allah SWT sesuai dengan segi
atau bidangnya masing-masing. Dakwah merupakan suatu aktifitas yang mulia, menjadi
kewajiban bagi setiap muslim, bertujuan untuk memberikan informasi tentang Islam dan
mengajak orang lain agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan nilai-
nilai Islam. (Salmah, 2004).

Anda mungkin juga menyukai