Anda di halaman 1dari 22

perbandingan hukum

MACAM-MACAM SISTEM HUKUM DI DUNIA


PERTEMUAN KE 9

5. Sistem Hukum Islam.


Adanya beberapa faktor yang sarat mempengaruhi timbulnya
perbedaan-perbedaan di antara sistem-sistem hukum di dunia, sebagaimana
dikemukakan oleh van Apeldoorn, salah satunya adalah seberapa besar
pandangan-pandangan atau ajaran-ajaran dari agama berperan dalam
pembentukan suatu sistem hukum.
Dalam hal sistem hukum Islam ini peran agama Islam sangat mutlak.
Agama Islam, yang diklasifikasikan oleh para ahli sebagai agama wahyu
bersama dengan agama Yahudi dan Nasrani, mempunyai ruang lingkup dan
sistem ajaran yang berbeda dengan agama wahyu yang lainnya itu. Agama
Islam sebagai agama wahyu terakhir mengandung ajaran yang merupakan
satu sistem yang terdiri dari akidah (iman, keyakinan), syariah (hukum) dan
akhlak (moral) yang mengatur segala tingkah laku manusia dalam berbagai
hubungan, baik hubungan manusia dengan Tuhannya (Allah SWT) maupun
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, masyarakat, benda atau mahluk
lainnya. Kerangka dasar dan ruang lingkup ajaran inilah yang membedakan
secara mendasar agama Islam dengan agama-agama lainnya. (Mohammad
Daud Ali, 1998: 31)
Kiranya untuk mempelajari hukum Islam sudah barang tentu tidak
dapat terlepas dari ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri karena dalam
konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukum Islam ini telah ditetapkan
oleh Tuhan, yaitu Allah (Dzat yang menciptakan semua mahluk dan alam
semesta beserta isinya), hal ini merupakan salah satu pendekatan untuk dapat
memahami hukum Islam secara benar.
Istilah religion (Inggris) yang berasal dari kata religio (Latin) menurut
seorang ahli Filologi yang bernama Max Muller, pada awalnya digunakan
untuk yang berarti hanya ”takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan
hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan", hal ini menunjukkan bahwa apa
yang dimaksudkan oleh orang Barat terhadap religion (agama) adalah
mempunyai ruang lingkup mengatur hubungan tetap antara manusia dengan
Tuhan atau dewa-dewa saja. Bagi sebagaian besar orang Barat terutama
perbandingan hukum

yang menganut paham sekuler, menurut pandangan mereka religion ini


hanyalah mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan belaka.
Tidak demikian halnya dengan menurut ajaran Islam, istilah “din”
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran tidak hanya mengandung pengertian
pengaturan hubungan manusia dengan Tuhan saja (bersifat vertikal) tetapi
juga mengandung pengaturan hubungan manusia dengan manusia yang lain
dalam masyarakat dan alam lingkungan hidupnya (yang bersifat horizontal).
Kedua tata hubungan ini merupakan komponen-komponen yang berjalan dan
berjalin dalam sistem ajaran agama. (Mohammad Daud Ali, 1998: 32)

a. Kerangka Dasar Agama dan Ajaran Islam.


Ruang lingkup agama dan ajaran Islam tersebut didukung dan jelas
terlihat pada kerangka dasarnya. Oleh karenanya sebagaimana telah
disampaikan di atas, bahwa untuk mempelajari hukum Islam penting
untuk memahami kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang merupakan
faktor mutlak terbentuknya system hukum Islam itu sendiri.
Yang penting dipahami adalah agama Islam bersumber dari wahyu (Al-
Quran) dan sunnah (Al-Hadist), ajaran Islam bersumber dari ra’yu (akal
pikiran) manusia melalui Ijtihad. Yang dimaksud dengan ajaran Islam di
sini adalah penjelasan agama Islam.
Dengan mengikuti sistematik Iman, Islam, dan Ikhsan yang berasal dari
hadist Nabi Muhammad SAW, kerangka dasar agama Islam, seperti telah
disinggung sebelumnya, terdiri dari: 1) akidah; 2) syariah; dan 3) akhlak.
Pada komponen syariah dan akhlak ruang lingkupnya jelas yaitu
mengenai ibadah, muamalah dan sikap terhadap Allah serta makhluk.
Sedangkan pada komponen akidah, ruang lingkup itu akan tampak pula
jika dihubungkan dengan iman kepada Allah serta para Nabi dan Rasul-
Nya.
1) Akidah, secara etimologis diartikan sebagai ikatan atau sangkutan.
Dalam pengertian teknis makna akidah adalah iman, keyakinan yang
menjadi pegangan hidup setiap pemeluk agama. Dalam hal ini bagi
pemeluk agama Islam selalu ditautkan dengan rukun iman (arkanul
iman) yang merupakan asas seluruh ajaran Islam. Pembahasan
perbandingan hukum

mengenai akidah ini dilakukan oleh ilmu tersendiri yakni ilmu yang
membahas dan menjelaskan tentang kalam Ilahi (mengenai akidah),
atau disebut dengan ilmu tauhid yang membahas tentang ke-esaan
Tuhan atau usuluddi yang membahas dan memperjelas asas agama
Islam.

2) Syariah, dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus


ditempuh (oleh semua umat Islam). Secara teknis, syariah adalah
seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan
sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan
hidupnya. Norma Ilahi yang mengatur tata hugbungan itu berupa:
a) Kaidah ibadah, dalam arti khusus atau yang disebut juga kaidah
ibadah murni, yakni mengatur cara dan upacara (ritual) hubungan
langsung manusia dengan Tuhan. Hal ini bersifat tetap karena
dalam ketentuannya telah pasti ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan
kemudian secara rinci oleh Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam
lingkup ibadah khusus atau ibadah murni tidak mungkin ada
pembaharuan (bid’ah) atau apa yang disebut dengan modenisasi,
yaitu proses yang membawa perubahan (penambahan atau
pengurangan) dan perombakan mengenai kaidah, susunan, cara dan
tata cara beribadah sesuai dengan perkembangan jaman. Yang
mungkin ada hanyalah penggunaan alat-alat yang lebih modern saja
dalam pelaksanaannya.
Amir Syarifuddin menyebut kaidah ibadah ini dengan istilah
“hukum ibadat” (dalam arti khusus) yaitu ketentuan-ketentuan yang
mengatur hubungan lahiriyah antara manusia dengan Tuhan, seperti
sholat, puasa, dan ibadah-ibadah pokok lainnya. Perbedaan ibadat
dengan akidah (i’tiqadiyah) adalah terletak pada hubungan yang
berlaku. I’tiqadiyah dalam bentuk hubungan rohaniah, sedangkan
ibadat adalah hubungan lahiriah.
Ibadat disini dijelaskan dengan kata (dalam arti khusus) karena
yang mengatur hubungan sesame manusia itu juga dapat disebut
ibadat apabila yang demikian itu dilakukan dalam rangka baktinya
perbandingan hukum

kepada Allah SWT, sebagai realisasi dari kehidupan manusia yaitu


semata-mata untuk beribadat kepada Allah. (Amir Syarifuddin,
1990 : 33)
Contohnya: Kaidah-kaidah berkisar bersuci, Rukun Islam
(syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji).
b) Kaidah muamalah, yakni yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lain dan benda dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan
bernegara. Ketentuan Allah (di dalam Al-Quran) yang secara
langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat (muamalah)
ini terbatas pada yang pokok-pokok saja. Demikian pula penjelasan
Rasul (Al Hadist), kalaupun ada, tidak juga terperinci sebagaimana
dalam bidang ibadah. Sehingga perincian lebih lanjut sifatnya
terbuka bagi akal manusia dengan cara ber-ijtihad. Untuk
melakukan ijtihad ini hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang
benar-benar mempunyai kompetensi melakukan ini. Ijtihad ini
dilakukan dalam rangka untuk menentukan kaidah-kaidah secara
terperinci menurut ruang dan waktu. Oleh karenanya perihal
hubungan sosial manusia ini kaidahnya dapat saja berubah dan
diadakan perubahan melalui, misalnya: penafsiran (inter-pretasi)
yang perumusannya disesuaikan dengan masa dan tempat tertentu.

Perihal ini Amir Syarifuddin menyebutnya sebagai “hukum-hukum


muamalat” dalam arti luas yaitu ketentuan-ketentuan yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam
sekitarnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya kaidah yang
memperbolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang
sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3
dihubungkan dengan ayat 129 surat yang sama. Di Indonesia
perubahan kaidah itu dapat dilihat dalam pasal 3 dan 4 Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang menentukan
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki apabila dia
hendak beristri lebih dari seorang.
perbandingan hukum

Mohammad Daud Ali, dalam bidang muamalah yang sifatnya


demikian, yaitu terbuka, maka berlaku asas umum yaitu pada
dasarnya semua perbuatan “boleh” dilakukan, kecuali apabila
perbuatan itu telah ada larangan dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad (Hadist). Contohnya: kaidah larangan membunuh,
mencuri, merampok, berzina, menuduh orang lain melakukan
perzinahan, meminum minuman yang memabukkan, memakan riba
(QS 2:178-179, 5:39, 5:33, 24:4, 2:219, 3:130) dan sebagainya.
Dengan demikian, “kaidah asal” muamalah adalah kebolehan (ja’iz
atau ibahah”. Artinya, semua perbuatan yang termasuk dalam katagori
muamalam, boleh saja dilakukan asal saja tidak ada larangan
melakukan perbuiatan itu. Karena sifatnya demikian, kecuali mengenai
yang dilarang itu, kaidah-kaidahnya dapat berubah sesuai dengan
perubahan jaman. Dalam bidang ini dapat saja dilakukan modernisasi,
asalkan modernisasi itu sesuai atau sekurang-kurangnya tidak
bertentangan dengan hakekat atau jiwa ajaran (agama) Islam pada
umumnya. (Mohammad Daud Ali, 1998:37)

Dalam lingkup syariah ini, baik ibadah dan muamalah, untuk


memahami,mendalami dan merinci syariah agar dapat menjadi
pegangan (norma) hidup manusia (khususnya muslim), baik sebagai
manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial adalah
merupakan cakupan dari ilmu fiqih yang mendalami syariah untuk
dapat dirumuskan menjadi kaidah konkret yang dapat dilaksanakan di
masyarakat.

3) Akhlak, asal kata dari akhlak ini adalah khukuk yang berarti perangai,
sikap, tingkah laku, watak, budi pekerti.Istilah ini mempunyai
hubungan dengan sikap, perangai, tingkah-laku atau budi pekerti
manusia terhadap Khalik (pencipta alam semesta) dan Mahluk (yang
diciptakan). Karena itu, sama halnya dengan syariah, delam garis-garis
besarnya ajaran akhlak juga dapat dibagi dalam dua hal, yakni yang
berkenaan dengan sikap perbuatan manusia terhadap:
perbandingan hukum

a) Khalik yaitu Allah, Tuhan maha Pencipta, Pemelihara dan


Penguasa alam semesta. Ilmu yang mempelajari ini disebut ilmu
tasawuf (ajaran Islam).
b) Sesama mahluk (segala yang diciptakan oleh Khalik), sikap
terhadap sesama mahluk ini mencakup dua hal yaitu:
(1) akhlak terhadap manusia yakni diri sendiri, keluarga, tetangga
dan masyarakat; dan
(2) akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar
lingkungan hidup manusia, yaitu berupa tumbuh-tumbuhan,
hewan, bumi dan air serta udara.

Dari penjelasan mengenai kerangka dasar agama dan ajaran Islam


ini dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai agama mempunyai sistem
sendiri yang bagian-bagiannya saling bekerja sma untuk mencapai satu
tujuan. Sumbernya adalah tauhid yang menjadi inti kaidah. Dari kaidah itu
mengalir syariah dan akhlak Islami. Ketiganya (akidah, syariah dan
akhlak) ini laksana bejana yang berhubungan. Syariah dan akhlak
sebagaimana dijelaskan di atas adalah mengatur perbuatan dan sikap
seseorang baik di lapangan ibadah maupun di lapangan muamalah.

Dari ketiga komponen agama Islam yang menjadi kerangka dasar


agama dan ajaran Islam itu dikembangkan dalam sistem-sistem Islam,
seperti misalnya, sistem hukum Islam, sistem filsafat Islam, sistem
perekonomian Islam, sistem pendidikan Islam, dan sebagainya. Kesemua
sistem ini merupakan kesatuan yang saling menopang dan bekerja sama
untuk mencapai satu tujuan, baik tujuan masing-masing sistem itu sendiri
maupun trujuan sistem agama, ajaran Islam secara keseluruhan.

b. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi
bagian dari agama Islam. Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa
istilah kunci, yang dimaksud adalah: 1) hukum; 2) hukm dan ahkam; 3)
syariah; 4) fiqih dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengan hal-hal
tersebut.
perbandingan hukum

1) Hukum
Dalam upaya memahami tentang hukum, secara umum diperoleh
pengertian bahwa hukum itu merupakan seperangkat peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu
masyarakat dan mempunyai sifat memaksa serta adanya suatu sanksi
yang tegas terhadap yang melanggarnya, baik peraturan dan norma ini
berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh
penguasa. Mengenai bentuknya dapat berupa hukum yang tidak tertulis
sebagaimana hukum adat maupun hukum yang tertulis dalam
perundang-undangan sebagaimana hukum barat (anglo saxon atau civil
law).
Hukum dalam konsepsi seperti hukum barat merupakan hukum yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri
dalam masyarakat tertentu. Demikian juga dalam konsepsi hukum
perundang-undangan (barat), yang diatur oleh hukum hanyalah
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan
benda (kekayaan), manusia dengan masyarakat dan negara.

Dalam konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya


ditetapkan oleh Allah (Dzat yang menciptakan manusia dan alam
semesta beserta isinya), hukum ini tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain, dengan benda, dengan masyarakat dan
negara, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang
hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.
Hubungan-hubungan itu tidak hanya hubungan antara manusia dengan
manusia lain, manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam
semesta, tetapi juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri bahkan
hubungan manusia dengan Tuhan-nya (Allah SWT).
Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu diatur oleh
seperangkat ukuran tingkah laku yang dalam bahasa Arab, disebutnya
“hukm” dan jamaknya disebut dengan “ahkam”.
perbandingan hukum

2) Hukm dan Ahkam.


Istilah hukum yang digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini berasal
dari kata “hukm” dalam bahasa Arab,dipergunakan untuk menilai
tingkah laku atau perbuatan manusia dan benda. Hubungan antara
istilah hukum (bahasa Indonesia) dengan dengan “hukm” dalam
pengertian norma (bahasa Arab), memang sangat erat, hal ini
disebabkan karena setiap peraturan apapun macam dan sumbernya
mengandung norma atau kaidah sebagai intinya. Dalam ilmu hukum
Islam, kaidah itu disebut dengan “hukm”. Itulah sebabnya maka di
dalam perkataan sehari-hari orang berbicara tentang hukum suatu
benda atau perbuatan, yang dimaksudkan adalah suatu patokan,
parameter, ukuran atau kaidah mengenai perbuatan atau benda
tersebut.

Menurut Sajuti Thalib dalam buku Muhammad Daud Ali


mengemukakan bahwa dalam sistem hukum Islam terdapat lima
“hukm” atau kaidah yang dipergunakan sebagai patokan untuk
mengukur perbuatan manusia, baik di bidang ibadah ataupun di
lapangan muamalah. Kelima jenis kaidah tersebut disebut al-ahkam al-
khamsah atau penggolongan hukum yang lima yaitu : 1) ja’iz atau
mubah atau ibahah; 2) sunnat; 3) makruh; 4) fardhu (wajib); 5) haram.

Masyfuk Zuhdi, mengemukakan penggolongan hukum yang lima atau


yang disebut juga lima katagori hukum atau lima jenis hukum ini, di
dalam kepustakaan hukum Islam disebut “taklifi”, yakni norma atau
kaidah hukum Islam yang mungkin mengandung kewenangan terbuka,
yaitu kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan yang disebut dengan ja’iz, mubah atau ibahah. Hukum
taklifi itu mungkin juga mengandung anjuran untuk dilakukan karena
jelas manfaatnya bagi pelaku (sunnat). Mungkin juga mengandung
kaidah yang seyogianya tidak dilakukan karena jelas tidak berguna dan
akan dapat merugikan orang yang melakukannya (makruh). Mungkin
juga mengandung perintah yang
perbandingan hukum

wajib dilakukan (fardhu), dan mengandung larangan untuk dilakukan


(haram). (Mohammad Daud Ali, 1998: 45)
Sedangkan Ja’iz, Mubah atau Ibahah adalah suatu hukum yang
memberikan kebebasan kepada orang mukallaf untuk memilih antara
mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya karena apabila
dilakukan atau tak dilakukan tidak berdosa juga tidak berpahala.
Misalkan: makan, minum, tidur, dan sebagainya.
Masing-masing penggolongan, penjelasan dan katagori hukum ini oleh
para ahli hukum Islam dibagi lagi ke dalam beberapa bagian yang
lebiih rinci dengan menggunakan parameter tertentu yang dapat
dipelajari dalam kitab-kitab “ilmu usul fiqih” yaitu ilmu pengetahuan
yang membahas dasar-dasar pembentukan hukum fiqih Islam.
Penjelasan lebih lanjut mengenai hukum taklifi yang merupakan
bagian hukum syara’ atau hukum syar’I ini akan diuraikan dalam
pembahasan al-ahkam al-khamsah.
Hukum syara’ atau hukum syar’i ini disebut juga hukum syariah.
Hukum syaraiah terdiri dari :
a) Hukum taklifi;
b) Hukum wadh’i, yaitu hukum yang mengandung “sebab”, ”syarat”
dan “halangan” terjadinya hukum dan hubungan hukum.
(1) Sebab, yang menurut rumusannya, nmesrupakan sesuatu yang
tampak dan dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya :
(a) kematian, kematian menjadi sebab adanya hukum
(kewarisan).
(b) akad nikah, menjadi halalnya hubungan suami istri.
Karena rumusannya yang demikian ini, banyak ahli yang
menyamakan sebab ini dengan “illat”, yaitu keadaan yang
mempengaruhi ada atau tidak adanya suatu hukum. Namun ada
juga yang membedakannya, dikarenakan dalam “sebab” ada
hubungan sebab-akibat, seperti contoh di atas itu. Sedangkan
dalam “illat” hubungan sebab –akibat itu tidaklah jelas. Yang
ada dalam “illat” adalah hubungan relevansi antara sebab
dengan hukum; misalnya, hubungan relevansi
perbandingan hukum

antara bepergian dengan hukum yang tidak mewajibkan orang


melakukan ibadah puasa.
(2) Syarat, adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu
hukum. Misalnya :
(a) syarat wajib mengeluarkan zakat harta adalah kalau telah
mencapai “nisab” (jumlah tertentu yang telah ditentukan)
dan “haul” (waktu tertentu);
(b) berwudlu dan menghadap kiblat adalah syarat
sempurnanya shalat seorang muslim.
(3) Halangan atau mani’, adalah sesuatu yang dapat menghalangi
hubungan hukum. Misalnya:
(a) pembunuhan menghalangi kewarisan.
(b) keadaan gila merupakan halangan bagi seseorang
melakukan tindakan atau hubungan hukum. (Mohammad
Daud Ali, 1998 : 45)

3) Syariat
Yang dimaksud dengan syariat atau syariah, secara harfiah adalah jalan
ke sumber air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim.
Syariat merupakan jalan hidup muslim, yang memuat ketentuan-
ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya (Rasulullah), baik berupa
larangan maupun perintah yang meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia.
Dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang
ditetapkan oleh Allah, yang wajib diikuti oleh seluruh orang Islam
(muslim) berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak, baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun dengan sesame manusia dan
benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar inilah yang oleh
Rasulullah (Nabi Muhammad SAW) dijelaskan dan dirinci lebih lanjut.
Oleh karenanya syariat itu terdapat di dalam Al Quran dan kitab-kitab
Hadist. Menurut sunnah (al-qauliyah atau perkataan) Nabi Muhammad
bahwa umat Islam tidak pernah akan tersesat dalam perjalan hidupnya
di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau
perbandingan hukum

berpedoman pada Al-quran dan Sunnah Rasulullah (kitab-kitab hadist


sahih).
Norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Quran masih
tergolong bersifat umum, demikian halnya dengan aturan yang
ditentukan oleh Nabi Muhammad terutama mengenai muamallah,
sehingga setelah Rosulullah wafat, norma-norma hukum yang bersifat
umum itu perlu untuk dirinci lebih lanjut.

Kata-kata yang sangat dekat hubunganannya dengan syariah adalah


syara’ dan syar’i yang diterjemahkan dengan agama. Oleh karena itu
sering kita mendengar tentang hukum syara’, yang dimaksud adalah
hukum agama yaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah dan dijelaskan
oleh Rasul-Nya, yaikni hukum syariah (syariat), kendatipun terkadang
isinya hukum fiqih. Dari perkataan syariah kemudian lahir perkataan
tasyri’, yang artinya pembuatan peraturan perundang-undangan yang
bersumber dari wahyu dan sunnah yaitu yang dikenal dengan sebutan
tasyri’ samawi (samawi = langit), dan peraturan perundang-undangan
yang yang bersumber dari pemikiran manusia, yaitu disebut tasyri’
wadh’i (berasal dari wadhdha’a = membuat sesuatu menjadi lebih jelas
dengan karya manusia).
Dalam membicarakan perihal pemikiran atau penalaran manusia di
bidang hukum adalah lingkup dari Fiqih.

4) Fiqih
Fiqh atau diindonesiakan menjadi fikih/fiqih, artinya adalah paham
atau pengertian. Jika dihubungkan dengan perkataan ilmu yaitu ilmu
fiqih mempunyai pengertian suatu ilmu yang bertugas menentukan dan
menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-
Quran dan ketentuan ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah
Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist untuk diterapkan pada
perbuatan manusia.
Secara difinitif fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah yang digali dengan ditemukan dari dalil-dalil yang
tafsili. (Amir Syarifuddin, 1990 : 15)
perbandingan hukum

Dalam bukunya Hukum Islam – Pengantar Ilmu Hukum dan Tata


Hukum Islam di Indonesia, Mohammad Daud Ali memberikan
penjelasan panjang lebar mengenai Fiqih ini. Dalam pandangan beliau
Ilmu fiqih, selain sebagaimana pengertian di atas, adalah il;muy yang
berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran
dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan
manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban
melaksanakan hukum Islam. Hasil pemahaman tentang hukum Islam
tersebut disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fiqih dan disebut
dengan hukum fiqih. Contoh hukum fiqih yang disampaikannya adalah
: Hukum Fiqih Islam yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh orang
Indonesia yaitu H. Sulaiman Rasjid dalam karyanya “Fiqih Islam”
yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1954. Terdapat juga hukum
fiqih yang ditulis dalam bahasa Arab karya Mohammad Idris As-
Syafi’i (tokoh mazhab hukum fiqih Islam), yaitu : al Umm, artinya
(kitab) Induk.

Dari uraian di atas terdapat dua istilah yang dipergunakan untuk


menunjukkan hukum Islam, yakni: (1) Syariat (shariah) Islam dan; (2)
Fiqih Islam. Di dalam kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris,
Syariat Islam disebut dengan Islamic Law, sedangkan untuk Fiqih
Islam disebutnya dengan Islamic Jurisprudence. Di dalam bahasa
Indonesia, untuk syariat Islam sering didiperdunakan kata hukum
syariat atau hukum syara’, untuk fiqih Islam dipergunakan istilah
hukum fiqih atau hukum (fiqih) Islam. Dalam praktik, kedua istilah itu
sering kali dirangkum dalam kata hukum Islam, tanpa memberikan
penjelasan apa yang dimaksudkan. Hal ini dapat dipahami karena
hubungan keduanya sangatlah erat, dapat dibedakan namnun tidak
mungkin di pisahkan. Syariat adalah landasan fiqih, fiqih adalah
pemahaman tentang syariat. Perkataan syariat dan fiqih ini keduanya
disebutkan di dalam Al-Quran, syariat terdapat di dalam surat Al-
Jatsiah (45):18 dan fiqih di dalam surat Al-Taubah (9) : 122.
Mungkin karena hubungannya yang sangat erat itu, dalam bukunya
“ar-Risalah”, Mohammad Idris As-Syafi’i (Imam Syafi’i)
perbandingan hukum

mengatakan: “Syariat adalah ‘peraturan-peratruran’ yang bersumber


dari wahyu dan ‘kesimpulan-kesimpulan’ yang dapat dianalisis dari
wahyu itu mengenai tingkah laku manusia”. Dalam rumusan Imam
Syafi’i ini terdapat dua hal yang disatukan. Pertama adalah ‘peraturan-
peratruran’ yang bersumber dari wahyu”, yang berarti syariat dan
kedua, ‘kesimpulan-kesimpulan’ yang dapat dianalisis dari wahyu itu’,
yang bermakna fiqih. Karena Indonesia termasuk kawasan yang
mazhab Syafi’i, sangat besar kemungkinannya orang Indonesia
mengikuti rumusan Syafi’i itu. Namun, perangkuman kedua istilah itu
dapat atau bahkan seringkali menimbulkan salah pengertian terutama
apabila dihubungkan dengan perubahan dan pengembangan hukum
Islam. Oleh karena itu, para ahli hukum di Indonesia harus dapat
membedakan mana hukum Islam ysng disebut (hukum) syariat dan
mana pula hukum Islam yang disebut (hukum) fiqih.
Pada prinsipnya perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
(1) Syariat, seperti telah disampaikan dalam uraian terdahulu,
terdapat dalam Al-Quran dan kitab-kitab hadist. Kalau yang
dibicarakan tentang syariat, yang dimaksud adalah wahyu Allah
dan Sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.
Fiqih, terdapat dalam kitab-kitab fiqih. Kalau kita membicarakan
fiqih, yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi
syarat tentang syariat dan hasil pemahaman itu.
(2) Syariat, bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang
lebih luas karena ke dalamnya, oleh banyak ahli dimasukkan juga
akidah dan akhlak.
Fiqih, bersifat instrumental, runga lingkupnya terbatas pada
hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut
sebagai perbuatan hukum.
(3) Syariat adalah merupakan ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-
Nya, oleh karenanya berlaku abadi.
Fiqih adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat
berubah dari masa ke masa tergantung ruang dan waktu.
(4) Syariat hanya satu, sedangkan
perbandingan hukum

Fiqih dapat dimungkinkan lebih dari satu. Misalnya, dapat terlihat


dari adanya aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah
mazahib atau mazhab-mazhab yang ada.xxxxxxxxxxx
(5) Syariat, menunjukkan kesatuan dalam Islam.
Fiqih, menunjukkan keragamannya (sebagaimana terdapat
beberapa kitab fiqih, karya dari : Asaf A.A. Fyzee, 1955:17; H.M.
Rasjidi, 1958:403; Ahmad Ibrahim, 1965:2; M. Khalid Masud,
1977:22; SH. Nasr, 1981:60; Masyfuk Zuhdi, 1987:1).

Di dalam bukunya “Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam”,


Amir Syarifuddin mengemukakan bila hukum itu dihubungkan dengan
Islam atau syara’ maka hukum Islam akan berarti seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua
yang beragama Islam.
Kata seperangkat peraturan menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara
terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Rasul menjelaskan bahwasanya seperangkat peraturan
tersebut digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunnah
Rasul, atau yang populer dengan sebutan syari’at (syariat/syariah).
Kata-kata tentang tingkah laku manusia mukallaf berarti bahwa
hukum Islam mengatur tindakan lahir dari manusia yang telah dikenai
hukum. Peraturan tersebut berlaku dan mempunyai kekuatan terhadap
orang-orang yang meyakini kebenaran wahyu dan sunnah Nabi tersebut;
yang dimaksud dalam hal ini adalah umat Islam.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah
hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian hukum Islam
menurut ta’rif ini mencakup hukum syara’ dan juga mencakup hukum
fikih (fiqih), karena arti syara’ dan fikih terkandung di dalamnya. (Amir
Syarifuddin, 1990 : 18)
perbandingan hukum

c. Ruang Lingkup Hukum Islam.


Di dalam hukum Islam bidang muamalah, tidak membedakan
dengan tajam dan secara tegas antara hukum perdata dan hukum publik
sebagaimana hukum Barat membedakannya atau memisahkannya secara
tegas khususnya sistem hukum civil law (eropa kontinental), justru hukum
Islam hampir mempunyai kesamaan dengan hukum adat di Indonesia. Hal
ini disebabkan karena menurut hukum Islam, pada bidang hukum perdata
terdapat segi-segi hukum publik dan pada hukum publik ada segi-segi
keperdataannya.
Rupanya karena hal seperti itulah sehingga dalam hukum Islam
tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. H.M. Rasjidi dalam Mohammad
Daud Ali mengemukakan bahwa yang disebutkan di dalam hukum Islam
adalah bagian-bagiannya saja, misalkan: 1) munakahat; 2) wirasah; 3)
mu’amalat dalam arti khusus; 4) jinayat atau ukubat; 5) al-ahkam as-
sulthaniyah (khilafah); 6) siyar; dan 7) mukhasamat.
Apabila bagian-bagian dalam hukum Islam tersebut disusun
menurut sistematika hukum Barat yang membedakan antara hukum
perdata dan hukum publik, susunan hukum muamalah dalam arti luas itu
adalah sebagai berikut :
1. Hukum Perdata (Islam) adalah mencakup:
(1) Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.
(2) Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.
HUkum pewarisan Islam ini disebut juga hukum “fara’id”.
(3) Muamalat dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan
dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia soal jual-beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
2. Hukum publik (Islam), mencakup:
(4) Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah
hudud maupun dalam jarimah ta’zir.
Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana.
perbandingan hukum

Jarimah hudud adalah, perbuatan pidana yang telah ditentukan


bentuk dan batas hukumannya di dalam Al-Quran dan Sunnah
Nabi Muhammad (hudud adalah bentuk jamak dari had = batas).
Jarimah ta’zir adalah perbuatan perbuatan pidana yang bentuk dan
ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai
poelajaran bagi pelakunya (ta’zir = ajaran atau pengajaran).
(5) Ah-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang
berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik
pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak dan
sebagainya.
(6) Siyar, yaitu mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan
dengan pemeluk agama dan negara lain.
(7) Mukhasamat, yaitu mengatur perihal peradilan, kehakiman, dan
hukum acara.

d. Ciri-ciri Hukum Islam


Dari uraian-uraian di atas dapatlah ditandai mengenai ciri-ciri (utama)
hukum Islam, yaitu:
(1) Merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam.
(2) Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari
iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
(3) Mempunyai dua istilah kunci, yakni:
(a) syariat, yang nerupakan wahyu Allah dan ketSunnah Nabi
Muhammad; dan
(b) fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia
tentang syariat.
(4) Terdiri dari dua bidang utama, yakni:
(a) ibadah, bersifat tertutup karena telah sempurna; dan
(b) muamalah. yaitu muamalah dalam arti khusus dan luas
adalah bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia
yang memenuhi syarat dari masa ke masa.
(5) Strukturnya berlapis, terdiri dari:
(a) Nas atau teks Al-Quran;
(b) Sunnah Nabi Muhammad (untuk syariat);
perbandingan hukum

(c) Hasil Ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang wahyu


dan sunnah;
(d) Pelaksanaanya dalam praktik mencakup berupa :
(i) berupa keputusan hakim; maupun
(ii) berupa amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat
(untuk fiqih).
(6) Mendahulukan kewajiban daripada hak, mendahulukan amal
daripada pahala.
(7) Dapat dibagi menjadi:
(a) Hukum taklifi atau hukum taklif, yakni al-hakam alkhamsah
yang terdiri dari lima kaidah (lima jenis hukum/ lima
katagori hukum/lima penggolongan hukum) yakni: ja’iz,
sunnat, makruh, wajib dan haram;
(b) Hukum wadh’i, yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat
dan halangan terhadap terjadinya atau terwujudnya hubungan
hukum.
Dalam bukunya Falsafah Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash Shiddieqy,
sebagaimana dikutip Mohammad Daud Ali, menyebutkan beberapa ciri
khas hukum Islam, yang dapat dicatata antara lain:
(8) Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun
mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat
atau negara dan pada suatu waktu saja;
(9) Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga,
rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan
kemanusiaan secara keseluruhan;
(10) Pelaksanaannya dalam praktik digerakkan oleh iman (akidah) dan
akhlak umat Islam.

e. Tujuan Hukum Islam


Secara umum sering kali dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah
kebahagian hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan
mangambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudara, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan lain
perkataan bahwa tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
perbandingan hukum

manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.


Kemaslahatan itu tidak hanya dalam kehidupan di dunia saja tapi juga
untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.
Sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud Ali Abu Ishaq al Shatibi
mengemukakan rumusannya tentang lima tujuab hukum Islam, yakni
memelihara : (1) agama; (2) jiwa; (3) akal; (4) keturunan; dan (5) harta.
Kelima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid
al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah atau kadang disebut al-maqadis
syar’iyah (tujuan-tujuan hukum Islam.

6. Sistem Hukum Lainnya.


a. Sistem Hukum Hibrida.
Yurisdiksi dimana terdapat lebih dari sistem hukum yang hidup
bersama antara satu sama lain kadangkala dilukiskan sebagai yurisdiksi
atau sistem campuran, atau Peter de Cruz menyebutnya dengan sistem
“hukum hibrida”. Hooker, sebagaimana dikutip oleh Peter de Cruz,
menggunakan istilah ‘pluralisme hukum’ untuk melukiskan situasi di
mana dua atau lebih sistem hukum saling berinteraksi, sering kali sebagai
akibat dari adanya kolonialisasi atau pencaplokan. Beberapa yurisdiksi di
mana common law dan civil law sama-sama hadir dan saling berinteraksi
adalah terjadi di beberapa negeri, diantaranya adalah: Afrika Selatan, Sri
Lanka, Skotlandia, Louisiana, Quebec, Philipina, Jepang, Mauritius,
Kamerun, Santa Lusia, dan kepulauan Seychelles.
Kepulauan Seychelles, yang terletak di Samudra Hindia,
memberikan sebuah contoh yang menunjukkan adanya fusi antara civil
law dan common law. Mereka memiliki tradisi civil law yang mengawali
sejarahnya pada tahun 1756 ketika beberapa pemukim asal Perancis
mendudukinya dan menyebarluaskan hukum perdata dan hukum dagang
Perancis secara berturut-turut pada tahun 1808 dan tahun 1809. Tetapi
sebenarnya di kepulauan ini juga mempunyai tradisi common law yang
berawal dari tahun 1814 ketika kepulauan tersebut diserahkan kepada
Inggris. Kepulauan ini termasuk menjadi salah satu koloni Inggris pada
tahun 1903, dan mencapai kemerdekaannya pada tuhun 1976. Oleh sebab
itu, common law Inggris telah telah diperkenalkan dengan dikeluarkan-
perbandingan hukum

nya legislasi setelah kedatangan Inggris, tetapi, meskipun hukum-hukum


ini mengatur administrasi sehari-hari, hukum substabntif Perancis dan
kodifikasi Perancis lah yang terus digunakan untuk membentuk landasan
hukum di kepulauan Seychelles ini. Hukum kasus Perancis juga menjadi
andalan, meskipun tidak ada doktrin preseden yang ketat. Secara umum,
keputusan yudisial di Seychelles ini memiliki otoritas persuasive yang
tinggi dan akan diikuti kecuali ada alasan yang kuat untuk tidak
melakukannya. Sementara hukum Inggris (common law) diaplikasikan
pada cabang-cabang tertentu dari hukumnyaseperti dalam bidang
maritime dan hukum pelayaran, hukum perusahaan, perbankan, acara
perdata dan bisnis. Sebuah hukum perdata yang baru telah diperkenalkan
pada tahun 1976, yang, meskipun di cetak di Inggris, tetapi mengikkuti
struktur dan gaya Hukum Perdata Perancis, namun konteksnya merupakan
perpaduan yang unik antara hukum Inggris dan Perancis yang
diperbaharuiuntuk menyesuaikan dengan kondisi sosial dan ekonomi
modern. (Peter de Cruz, 2010 : 288)

b. Beberapa Konsepsi Hukum Timur.


Makna dari kata hukum adalah sebuah topik yang memiliki banyak
segi di mana banyak para ahli terkenal yang menanggapinya dengan
beberapa konsepsi dan interpretasi berbeda. Tentunya, ada beberapa
konsepsi hukum lainnya selain daripadsa konsepsi non-Barat, seperti
konsepsi hukum Islam, Hindu, Afrika, Cina dan Jepang. Semuanya
didasarkan pada keyakinan agama atau hukum adat. Di sini kami tidak
bermaksud untuk membahas tentang semua ragam hukum ini, tetapi
beberapa pokok penting berkenaan dengan hukum Timur, seperti hukum
Jepang dan Cina. (Peter de Cruz, 2010 : 290)

Terdapat beberapa penjelasan umum yang dapat diberikan


berkenaan dengan hukum-hukum Timur ini yaitu antara lain:
Pertama, sistem-sistem ini secara tradisional memandang hukum sebagai
memainkan peran minor, dalam artian bahwa ia hanya sekadar sarana
lainnya yang dapat digunakan untuk mempertahankan kedamaian dan
tatanan sosial.
Kedua, hukum dan cara lain yang dapat digunakan di pengadilan
tradisional dipandang sebagai jalan terakhir, apabila metode mediasi,
konsiliasi, persuasi dan moderasi lainnya telah gagal. Oleh Peter de Cruz
digambarkan, banyak negara Timur Jauh mengadopsi undang-undang
yang berada pada jalur Romano-Germanic. Tetapi beberapa dari negara ini
kemudian memilih ideologi komunis. Negara-negara seperti Indo-Cina,
Birma (Myanmar), Jepang, Malaysia juga telah mengalami peperangan
besar atau kolonialisasi ataupun pemberontakan, dalam satu suatu bentuk
tertentu, yang telah meninggalkan jejak mereka pada perkembangan dan
komposisi hukum mereka. Jepang menjalani kodifikasi dengan
menggunakan model-model hukum Jerman dan Perancis, kemudian
menjalani Amerikanisasi radikal dalam hukum dan kebudayaannya
sebagai akibat dari Perang Dunia II dalam derajad yang kecil, berakibat
pula pada perkembangan ekonominya yang spektakuler, sehingga tak
disangsikan lagi menjadi sebuah negara terkemuka di dunia. Berbagai
macam pengaruh ini telah meninggalkan sebuah perpaduan konsepsi
hukum dan tradisi hukum Barat dan Timur yang unik di Jepang. Konsepsi
hukum Timur yang mempunyai ciri-ciri khusus adalah konsepsi hukum
Cina dan konsepsi hukum Jepang. (Peter de Cruz, 2010 : 290-302)
UJI PEMAHAMAN MATERI
Pertanyaan :

1. Dalam sistem hukum Islam dikenal istilah Syariah. Jelaskan apa yang dimaksud
dengan syariah!
2. Jelaska apakah yang dimaksud dengan Fiqih, dan apakah peranannya dalam
system hukum Islam.
3. Mengapa dalam perkembangan sistem hukum di dunia dapat memunculkan
sistem hukum baru, yang dikenal dengan sistem hukum Hibrida? Jelaskan.
4. Bagaimanakah Peter de Cruz memberikan penjelasan unruk memberi gambaran
tentang hukum-hukum Timur?

DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, 1990, Angkasa
Raya, Padang.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, 2001,
Pustaka Rizki Putra, Semarang.

Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam, cet. III, 1999, Logos Wacana Ilmu,
Jakarta

Djazuli, A., Kaidah-Kaidah Fikih, 2007, Kencana, Jakarta.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, 2011,
Nusa Media, Bandung.

Ismatullah, Dedi, Sejarah Sosial Hukum Islam, 2011, Pustaka Setia, Bandung.

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, 1985, P.T. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam-Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, 1998, Rajawali Pers, Jakarta.

Peter de Cruz, Perbandingan System Hukum Common Law, Civil Law dan
Socialist Law, Penerjemah : Narulita Yusron, 2010, Nusa Media, Bandung

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, 2012, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sinamo Nomensen, Perbandingan Hukum Tata Negara, 2010, Jala Permata


Aksara, Bekasi.

Soeroso, Bunga Rampai Perbandingan Hukum, 2003, Perpustakaan Nasional.


_______, Pengantar Ilmu Hukum, 2004, Sinar Grafika, Jakarta

Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, 1974, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Sudikno, Mengenal hukum, 1988, Liberty, Yogyakata.

Supomo , Bab-Bab Tentang Hukum Adat, 1968, Penerbitan Universitas, Jakarta:.

Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat (Dulu, Kini dan Akan Datang), 2009, Pelita
Pustaka , Jakarta.

Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. 1979, Alumni,,


Bandung,.

WEBSITE.

https://id.wikipedia.org/wiki/Agama#Etimologi

Anda mungkin juga menyukai