Anda di halaman 1dari 9

SEPUTAR REZEKI

N
POIN MATERI PENJABARAN
O
1 Definisi rezeki secara  Secara bahasa razaqa artinya a’thâ (memberi) dan ar-
bahasa rizqu artinya al-‘atha’ (pemberian). (al-Azhari, Ash-Shihah fî al-
Lughah; Zainuddin ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihah; Ibn faris, Maqâyîs
al-Lughah. Semuanya pada bagian razaqa)
 Menurut ar-Razi dan al-Baydhawi, secara bahasa ar-rizqu juga
berarti al-hazhzhu (bagian/porsi), yaitu nasib (bagian) seseorang
yang dikhususkan untuknya tanpa orang lain
 Karena itu, Abu as-Saud mengartikan ar-rizqu dengan al-hazhzhu al-
mu’thâ (bagian/porsi yang diberikan). (ar-Razi, Tafsîr ar-Râzî; al-
Baydhawi, Tafsîr al-Baydhâwî; Abu as-Sa’ud, Tafsîr Abû as-Sa’ûd.
Semuanya pada tafsir QS 2: 3)
 Menurut Ibn Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-
rizqu adalah al-hazhzhu (bagian/porsi). Karena itu, apa saja yang
dijadikan sebagai bagian/porsi (seseorang) dari pemberian Allah
adalah rizq[an]
 Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan
 Dari semuanya itu, ar-rizqu bisa diartikan sebagai: bagian/porsi dari
pemberian Allah kepada seorang hamba berupa apa saja yang bisa
dimanfaatkan sebagai bagian/porsi yang dikhususkan untuknya
2 Penunjukkan makna  Ayat-ayat tentang rezeki lebih banyak menunjuk pada harta baik
ayat-ayat rezeki berupa barang maupun jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi
aneka kebutuhan manusia
 Konteks ayat-ayat bahwa Allah meluaskan dan menyempitkan rezeki
juga lebih menunjuk pada konotasi harta
 Itu pula yang diindikasikan oleh ayat-ayat yang mengaitkan rezeki
dengan konsumsi dan infak (pembelanjaan), karena konsumsi dan
infak hanya terkait dengan harta
3 Rezeki halal dan  Rezeki berbeda dengan kepemilikan
rezeki haram  Kepemilikan adalah penguasaan sesuatu dengan tata cara yang
diperbolehkan syariah untuk menguasai harta
 Jadi, rezeki itu mencakup rezeki yang halal maupun yang haram

1
 Inilah yang menjadi pendapat Ahlus Sunnah sebagaimana yang
ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi. Semuanya dikatakan sebagai
rezeki. Harta yang diambil penjudi dari lawannya dalam perjudian
adalah rezeki. Sebab, rezeki yang halal ataupun haram itu adalah
harta yang diberikan oleh Allah ketika seseorang berbuat untuk
melangsungkan kondisi yang di dalamnya bisa diperoleh rezeki.
(Lihat al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, QS 2: 3; an-
Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, 1/112, Dar al-Ummah, cet.
vi (mu’tamadah). 2003)
4 Rezeki yang  Rezeki bukan hanya yang secara riil dimanfaatkan (dinikmati) oleh
dimanfaatkan dan seseorang
yang tidak  Ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa rezeki manusia adalah apa
dimanfaatkan saja yang ia kuasai baik yang ia manfaatkan maupun tidak (Lihat QS
al-Baqarah [2]: 57, 60; an-Nisa’ [4]: 5; ar-Ra’d [13]: 26; al-Hajj [22]:
34)
 Ayat-ayat itu jelas memutlakkan rezeki untuk menyebut semua yang
dikuasai baik dimanfaatkan (secara riil) maupun tidak. Tidak bisa
dikhususkan pada apa yang dimanfaatkan (secara riil) saja tanpa ada
ayat yang mengkhususkannya, karena ayat-ayat tersebut bersifat
umum dan penunjukannya juga umum
5 Tentang mengambil  Jika orang mencuri, menilap atau merampas harta orang lain, tidak
rezeki orang lain dikatakan ia mengambil rezeki orang itu. Namun, ia mengambil
rezkinya dari orang itu
 Tidak ada seorang pun yang mengambil rezeki orang lain, melainkan
seseorang mengambil rezekinya dari pihak lain
6 Rezeki dan Usaha  Banyak orang menduga, merekalah yang mendatangkan rezeki
mereka sendiri. Mereka menganggap kondisi-kondisi mereka meraih
harta—barang atau jasa–sebagai sebab datangnya rezeki; meskipun
mereka menyatakan, bahwa Allahlah Yang memberikan rezeki.
Profesi atau usaha yang dicurahkan mereka anggap sebagai sebab
datangnya rezeki
 Fakta yang ada sebenarnya cukup jelas menunjukkan kesalahan
anggapan itu. Banyak orang yang telah berusaha dengan segenap
tenaga dan pikirannya, tetapi rezeki tidak datang, bahkan tidak jarang
justru merugi. Sebaliknya, sangat banyak fakta bahwa rezeki datang

2
kepada seseorang tanpa dia melakukan usaha apapun. Ini
menunjukkan bahwa usaha bukan sebab bagi datangnya rezeki.
Rezeki tidak berada di tangan manusia. Allahlah yang menentukan
rezeki itu datang kepada manusia dan Dia memberinya kepada
manusia menurut kehendak-Nya
7 Rezeki semata di  Banyak ayat al-Quran menegaskan secara pasti bahwa rezeki semata
tangan Allah dan ada di tangan Allah dan Allahlah yang memberi rezeki (QS al-
Allahlah yang Baqarah [2]: 172, 212, 254; Ali Imran [3]: 27, 37; al-An’am [6]: 142;
memberi rezeki al-‘Ankabut [29]: 60; ar-Rum [30]: 40; dsb)
 Dia meluaskan dan menyempitkan rezeki seseorang sesuai dengan
kehendakNya (QS ar-Ra’d [13]: 26; al-Isra’ [17]: 30; al-Qashshash
[28]: 82; al-‘Ankabut [29]: 62; ar-Rum [30]: 37; Saba’ [34]: 36; az-
Zumar [39]: 52; asy-Syura [42]: 12)
 Sesuai kehendak-Nya, Dia memberi rezeki kepada seseorang dari
arah yang tidak disangka-sangka. Karena itu, Allah SWT berfirman
(artinya): Mintalah rezeki itu di sisi Allah (TQS al-‘Ankabut [29]:
17)
 Jadi, rezeki semata di tangan Allah dan hanya Allahlah yang
memberi rezeki
 Ini adalah keyakinan yang harus diimani dan mengingkarinya berarti
kufur
8 Upaya mencari rezeki  Adapun dari sisi amal, Allah SWT mewajibkan hamba-Nya untuk
berusaha dan berikhtiar melangsungkan kondisi-kondisi yang di
dalamnya rezeki bisa datang
 Namun, pada saat yang sama, ia harus paham bahwa usaha, ikhtiar
dan kondisi itu bukan sebab bagi datangnya rezeki
 Allah tidak menanyakan tentang datang dan tidaknya rezeki, tetapi
Allah akan menanyakan usaha dan amal hamba untuk mencari rezeki
 Karenanya, Allah menjelaskan mana yang halal dan yang tidak
 Rezeki setiap hamba telah dijamin oleh Allah. Allah pun telah
menetapkan kadar dan takaran bagian atau porsi rezeki tiap hamba
(Lihat: QS Hud [11]: 6)
 Imam Muslim meriwayatkan dari Ibn Mas’ud bahwa pada usia
kandungan 120 hari, Allah mengutus malaikat untuk menuliskan
beberapa ketetapan atas janin itu, termasuk ketetapan rezeki dan

3
ajalnya
 Para ulama menjelaskan, yaitu ketetapan sedikit dan banyaknya
rezeki.  Sedikit dan banyaknya rezeki atau kaya dan miskinnya
seorang hamba tidak akan dihisab oleh Allah karena itu semata
adalah ketetapan Allah
 Allah SWT meluaskan dan menyempitkan rezeki seorang hamba
sesuai kehendak-Nya. Itu adalah ujian bagi hamba (QS al-Fajr [89]:
15-16)
 Kaya dan miskin tidak bersifat baik atau buruk dengan sendirinya;
juga tidak menentukan mulia dan hinanya seseorang. Namun, kaya
dan miskin itu menjadi baik atau buruk, memuliakan atau
menghinakan, ditentukan oleh penyikapan terhadapnya
 Rezeki seorang hamba telah dijamin oleh Allah. Porsi dan takarannya
juga telah ditetapkan. Jika hamba itu memintanya dengan jalan
yang halal ataupun dengan jalan yang haram, Allah
berikan. Namun, Allah akan menanyai tatacara perolehan dan
pembelanjaan harta itu
‫الَ تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َحتَّى يُ ْسَأ َل ع َْن ُع ْم ِر ِه فِي َما َأ ْفنَاهُ َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع َل َوع َْن َمالِ ِه‬
ُ‫ِم ْن َأ ْينَ ا ْكتَ َسبَهُ َوفِي َما َأ ْنفَقَهُ َوع َْن ِج ْس ِم ِه فِي َما َأ ْبالَه‬
“Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada Hari Kiamat
hingga ia ditanya: umurnya dia habiskan untuk apa; ilmunya
diamalkan untuk apa; hartanya dari mana ia peroleh dan
dibelanjakan untuk apa;dan tubuhnya digunakan untuk apa.” (HR
at-Tirmidzi)
 Seret atau tertundanya rezeki hendaknya tidak membuat seseorang
tergesa-gesa lalu memintanya kepada Allah dan mencarinya dengan
jalan yang haram. Rasul saw berpesan:
‫ت َحتَّى تَ ْستَ ْك ِم َل ِر ْزقُهَا فَاتَّقُوْ ا هللاَ َوَأجْ ِملُوْ ا‬
ُ ْ‫ ِإ َّن نَ ْفسًا الَ تَ ُمو‬:‫ث فِ ْي َروْ ِع ْي‬ ِ ‫ِإ َّن رُوْ َح ْالقُ ْد‬
َ َ‫س نَف‬
َّ‫ك َما ِع ْن َدهُ ِإال‬
ُ ‫ص ْي هللاِ فَِإ َّن هللاَ الَ يُ ْد َر‬ ْ ‫ق َأ ْن ت‬
ِ ‫َطلُبُوْ هُ بِ َم َعا‬ ِ َ‫فِ ْي الطَّل‬
ِ ‫ب َوالَ يَحْ ِملَنَّ ُك ْم اِ ْستِ ْبطَا ُء ال ِّر ْز‬
‫بِطَا َعتِ ِه‬
“Malaikat Jibril membisikkan di dalam hatiku, bahwa suatu jiwa
tidak akan mati hingga telah sempurna rezekinya. Karena itu,
bertakwalah kepada Allah dan carilah (rezeki) dengan cara yang
baik—halal, proporsional dan tidak tersibukkan dengannya—dan
hendaklah tertundanya (lambatnya datang) rezeki tidak
mendorong kalian untuk mencarinya dengan kemaksiatan kepada
4
Allah, karena sesungguhnya keridhaan di sisi Allah tidak akan bisa
diraih kecuali dengan ketaatan kepada-Nya.” (HR Abu Nu’aim, al-
Baihaqi dan al-Bazar dari Ibn Mas’ud)
 Keimanan tentang rezeki itu menjadi salah satu kunci seorang tidak
akan tersibukkan dengan dunia, tidak menjadi pemburu harta, bisa
bersikap zuhud, giat beramal, berdakwah amar makruf nahi mungkar
dan ketaatan pada umumnya
 Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya tentang rahasia
zuhudnya. Beliau menjawab, “Aku tahu rezekiku tidak akan bisa
diambil orang lain. Karena itu, hatikupun jadi tenteram. Aku tahu
amalku tidak akan bisa dilakukan oleh selainku,. Karena itu, aku pun
sibuk beramal. Aku tahu Allah selalu mengawasiku. Karena itu, aku
malu jika Dia melihatku di atas kemaksiatan. Aku pun tahu kematian
menungguku. Karena itu, aku mempersiapkan bekal untuk berjumpa
dengan-Nya.”
9 Peringatan bagi  Rasulullah saw bersabda:
pemburu dunia ‫ق هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َأ ْم َرهُ َو َج َع َل فَ ْق َرهُ بَ ْينَ َع ْينَ ْي ِه َولَ ْم يَْأتِ ِه ِم ْن ال ُّد ْنيَا ِإالَّ َما‬
َ ‫َت ال ُّد ْنيَا هَ َّمهُ فَ َّر‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
‫آلخ َرةُ نِيَّتَهُ َج َم َع هَّللا ُ لَهُ َأ ْم َرهُ َو َج َع َل ِغنَاهُ فِي قَ ْلبِ ِه َوَأتَ ْتهُ ال ُّد ْنيَا َو ِه َي‬
ِ ‫َت ْا‬
ْ ‫ب لَهُ َو َم ْن َكان‬
َ ِ‫ُكت‬
ٌ‫َرا ِغ َمة‬
”Siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, Allah
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinannya selalu
membayang di pelupuk kedua matanya; tidak akan datang
kepadanya bagian dari dunia kecuali yang telah ditetapkan
untuknya. Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya,
Allah menghimpunkan untuknya urusannya dan menjadikan
kekayaannya ada di dalam hatinya, dan dunia mendatanginya,
sementara dunia itu remeh dan rendah.” (HR Ibn Majah, Ahmad, al-
Baihaqi, Ibn Hibban, ad-Darimi dll)
 Konsekuensi bagi orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya:
1. Allah menceraiberaikan urusannya. Maknanya, urusannya yang
sudah terhimpun diceraiberaikan oleh Allah
2. Allah menjadikan kemiskinannya terus membayang di pelupuk
kedua matanya. Maknanya, Allah mencabut rasa qanâ’ah dari
hatinya sehingga ia tidak pernah merasa cukup atas rezeki yang ia
peroleh. Orang yang mengejar dunia itu ibarat orang yang

5
meminum air laut. Makin banyak ia minum, rasa hausnya tidak
hilang malah makin haus hingga makin bernafsu pula ia minum
3. Tidak akan datang bagian dari dunia kepadanya kecuali apa yang
telah ditetapkan untuknya. Maknanya, bagian rezeki tiap orang
telah ditetapkan oleh Allah. Bagaimanapun kerasnya seseorang
berusaha mencari tambahan, hal itu tidak bisa menambah apa
yang telah ditetapkan untuknya. Karena itu, orang tipe pemburu
dunia ini akan merasa kelelahan di dunia karena selalu mengejar
rezeki itu
 Konsekuensi bagi orang yang menjadikan akhirat sebagai niat dan
tujuannya:
1. Allah menghimpunkan untuknya urusannya yang tercerai
berai. Maknanya, Allah menjadikannya terhimpun dengan
menyiapkan atau lebih tepatnya memudahkan sebab-sebabnya dari
sisi yang tidak dia sangka
2. Allah menjadikan kekayaannya ada di dalam hatinya. Maknanya,
Allah menjadikannya qanâ’âh dengan merasa cukup dan
berkecukupan sehingga dia tidak ngoyo kepayahan memburu
rezeki dan mengejar dunia
3. Dunia datang kepadanya sebagai sesuatu yang rendah dan remeh
serta tunduk mengikutinya. Artinya, dunia yang telah ditetapkan
untuknya mendatanginya dan tidak berubah menjadi tuan yang
menguasai dan mengendalikan dirinya. Sebaliknya, dunia yang
datang itu, di tangannya tetap menjadi alat untuk mencapai
tujuannya, yaitu akhirat.
 Alhasil, rezeki yang sudah ditetapkan untuk hamba pasti akan datang
kepadanya. Hanya saja, hamba diperintahkan untuk berusaha
mencarinya dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat
 Bagi pencari dunia, mencari rezeki menjadi tujuannya. Yang dicari
dari mengumpulkan harta adalah kelegaan hidup. Pencari dunia bisa
malah merugi dunia dan akhirat. Di dunia kepayahan dan kesusahan
terus mencari dan mengejar harta. Ia tidak merasakan kelegaan
hidup. Meski berlimpah harta, ia akan terus merasa kurang. Karena
disibukkan mengejar harta, ia mengabaikan akhirat sehingga akhirat
pun luput darinya dan tidak bisa ia raih
 Sebaliknya, bagi pencari akhirat, mencari rezeki itu dilakukan dalam
6
rangka ketaatan menjalankan perintah Allah, bukan dengan tujuan
semata mencari rezeki (QS al-Qashash [28]:77)
 Mencari rezeki tetap dia lakukan secara halal; tidak melalaikannya
dari perintah-perintah Allah, amar makruf nahi mungkar dan dakwah
untuk memurnikan ketaatan kepada-Nya; tidak menghabiskan
sebagian besar waktu dan tidak menjadi sesuatu yang paling dominan
dalam hidupnya. Mencari rezeki bukan misi hidupnya
 Dalam hal ini, Allah memperingatkan kita di dalam sebuah hadis
qudsi:
‫ك ُش ْغالً َولَ ْم‬ ُ ‫تَ ْف َعلْ َمَأل‬ َّ‫ك ِغنًى َوَأ ُس َّد فَ ْق َركَ َوِإال‬
َ ‫ت يَ َد ْي‬ َ ‫لِ ِعبَا َدتِي َأ ْمْأل‬ ‫يَا اِ ْبنَ آ َد َم تَفَ َّر ْغ‬
َ ‫ص ْد َر‬
َ ‫َأ ُس َّد فَ ْق َر‬
‫ك‬
”Wahai anak Adam, luangkan waktu untuk ibadah (menjalankan
ketaatan) kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan
kaya dan menyempitkan kefakiranmu. Jika tidak, Aku akan
memenuhi kedua tanganmu dengan kesibukan (mengejar harta) dan
tidak akan menyempitkan kefakiranmu.” (HR at-Tirmidzi, Ibn
Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban)
10 Sekilas tentang zuhud  Al-Jurjani dan al-Munawi menyatakan, “Dalam istilah ahli hakikat,
zuhud adalah membenci (yakni tidak menyukai) dunia dan berpaling
darinya. Dikatakan, zuhud adalah meninggalkan kelegaan dunia demi
mencari kelegaan akhirat. Juga dikatakan, zuhud adalah
mengosongkan hatimu dari apa-apa yang kosong dari tanganmu.”
 Menurut Dr. M. Rawas Qal’aji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqaha’,
zuhud adalah meninggalkan apa yang ada di dunia demi
mengharapkan pahala di sisi Allah; atau hendaknya seseorang lebih
mengharap apa yang ada di sisi Allah dari apa yang ada di tangannya
 Sikap zuhud di dunia itu disyariatkan. Namun, zuhud jangan sampai
dipahami keliru. Pemahaman zuhud yang keliru dinilai turut
berkontribusi terhadap kemunduran umat Islam, yaitu ketika zuhud
dipahami sebagai sikap meninggalkan dunia dalam arti tidak mau
terlibat dalam urusan duniawi, lebih memilih mengasingkan diri dan
abai dengan pengaturan dan apa yang terjadi di masyarakat; atau
dipahami sebagai sikap untuk meninggalkan atau menjauhi dunia
dalam arti tidak perlu bekerja, berusaha atau berbuat demi urusan
dunia. Akibatnya, kegiatan produktif dan inovatif pun

7
lenyap. Akhirnya, kejumudan pun melanda masyarakat. Tentu zuhud
keliru ini justru membahayakan masyarakat dan membuatnya
mundur dan terpuruk
 Zuhud itu bukannya tidak mau makan makanan enak, makan daging,
kue lezat, buah yang enak, atau tidak mau memakai pakaian baru,
pakaian yang bagus, atau tidak berkendaraan dan tidak mau
merasakan kemudahan duniawi lainnya. Allah sendiri menyukai
hamba-Nya yang menampakkan atsar rezeki dan kenikmatan yang
Dia berikan. Zuhud juga bukan menyia-nyiakan harta seperti dengan
membiarkan harta rusak begitu saja, membuang ke sungai,
membakarnya, atau membelanjakannnya secara tidak benar. Abu
Dzar meriwayatkan dari Nabi saw:
“Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan
menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia itu hendaknya
apa yang ada ditanganmu tidak lebih engkau percayai (jadikan
sandaran) dari apa yang ada di tangan Allah, dan hendaknya pahala
musibah jika sedang menimpamu lebih engkau sukai daripada jika
musibah itu tidak ditimpakan kepadamu.” (HR Ibn Majah dan
Tirmidzi)
 Dunia ini adalah perjalanan menuju Allah. Harta dan dunia tidak
selayaknya menghambat perjalanan itu. Harta dan dunia itu adalah
untuk memperbanyak bekal menemui Allah. Karena itu, selayaknya
dunia hanya diambil untuk kepentingan diri sendiri seperti makan,
minum, pakaian, kendaraan, kesenangan, dsb, dalam kadar
sekadarnya saja; karena waspada agar tidak melenakan dan
menyelewengkan dari tujuan. Karena itu, seorang zuhud akan sangat
ringan bahkan dengan riang mengeluarkan harta di jalan kebaikan. Di
sinilah para ulama menggambarkan ciri zuhud
adalah ikhrâj (mengeluarkan), sedangkan ciri cinta dunia
adalah imsâk (menahan). Karena itu, bagi orang zuhud akan sangat
mudah, bahkan senang, menginfakkan harta yang banyak, separuh
bahkan seluruh harta, dalam semua macam kebajikan, untuk
kemajuan dakwah dan kemajuan Islam. Hal itu seperti yang
dilakukan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf
serta para Sahabat dan generasi umat dulu yang tidak lagi hitung-

8
hitungan saat berinfak di jalan Islam

Anda mungkin juga menyukai