Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

AYAT LARANGAN MENYUAP HAKIM DAN MEMAKAN HAK ORANG


LAIN

(QS. al-Baqarah [2]: 188, QS. al-Nisa’ [4]: 29 -30, QS. Hud [11]: 85)

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam

Dosen Penganmpu : Dr. Syahrullah, MA.

Disusun oleh:

Kelompok 3

Aliyah Zahiroh Marin 11210340000048

Muhammad Musyarrof 11210340000228

Indri Nurafifah Fauzi 11210340000231

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAT ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah yang telah memberikan
kemudahan dan kelancaran kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah Tafsir
Ahkam. Shalawat dan juga salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam, dengan judul
Ayat Larangan Menyuap Hakim Dan Memakan Hak Orang Lain. Semoga makalah ini
dapat membantu kita untuk mengerti akan topik bahasan tersebut.

Dalam proses penyusunan makalah, kami menyadari betapa banyaknya kekurangan


di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan agar
selanjutnya kami dapat Menyusun makalah dengan lebih baik lagi.

Demikianlah penyusunan makalah ini, mohon maaf atas segala kekurangan. Atas
perhatian, saran, dan kritik dari dosen maupun pembaca sekalian, kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 23 Maret 2023


Penulis

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................. 1
1.3 TUJUAN .......................................................................................................................... 2
BAB 2 ISI ................................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Suap ................................................................................................................ 3
2.2 Penafsiran Ayat-Ayat Larangan Menyuap Hakim ........................................................... 4
2.3 Pandangan Mufasir Tentang Memakan Hak Orang Lain................................................. 6
2.4 Implikasi Hukum Yang Diperoleh Dari Pandangan Mufasir ......................................... 10
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 12
3.2 Saran ............................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam berhubungan di masyarakat seharusnya dilakukan hal yang saling
menguntungkan, bukan merugikan. Kemashlahatan bersama menjadi orientasi yang
sepatutnya dijunjung tinggi. Apabila terdapat pihak yang dirugikan, Islam
memperingatinya dengan keras. Karena hal tersebut telah disinggung dalam ayat al-Qurán,
Allah SWT. mengingatkan orang-orang beriman untuk berlaku baik dengan jalan yang
telah ditetapkan tanpa mendzalimi, Janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu
dengan jalan yang batil. Ayat ini sekaligus mengkritik kebiasaan masyarakat jahiliah
sebelum datangnya Islam yang dianggap pertama kali bermuamalah secara batil. Menurut
al-Qurtubi, jalan batil itu yang dilakukan dengan tidak benar (bi ghair haqq).

Permasalahan harta, seakan-akan menjadi permasalahan yang tidak berkesudahan.


Permasalahan ini bukanlah masalah sepele, sebab bagaimana pun juga kita tetap butuh harta
sebagai bekal dan tetap waspada terhadap fitnahnya. Di zaman sekarang kita menyaksikan
banyak orang yang tidak peduli halal atau haramnya dalam mencari rezeki. Hingga muncul
penilaian, bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan ditentukan dan
diukur dengan harta.

Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha. Mencari rizki
dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu yang halal. Akan tetapi,
fenomena yang kita saat ini, tidak jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram
atau makruh dalam pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap,
sogok menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka terima.

1.2 RUMUSAN MASALAH


• Apa pengertian dari suap (risywah)?
• Bagaimana penafsiran ayat-ayat larangan menyuap hakim?
• Bagaimana pandangan mufasir tentang memakan hak orang lain?
• Bagaimana implikasi hukum yang diperoleh dari pandangan mufasir?

1
1.3 TUJUAN
• Mengetahui pengertian suap (risywah).
• Mengetahui penafsiran ayat-ayat larangan menyuap hakim.
• Mengetahui perbedaan pandangan mufasir tentang memakan hak orang lain.
• Mengetahui implikasi hukum yang diperoleh dari pandangan mufasir.

2
BAB 2

ISI

2.1 Pengertian Suap


Suap dalam bahasa syariat disebut dengan riswah. Selain itu, suap disebut juga
dengan sogok atau memberi uang pelicin. Suap adalah memberi uang dan sebagainya
kepada petugas/pegawai, dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan.
ُ ‫ يَ ْر‬- ‫ َرشَا‬yang masdarnya ٌ ‫َر ْش َوة ٌ \ ِر ْش َوة‬
Dalam bahasa Arab, kata risywah berasal dari kata ‫شو‬
ٌ ‫ \ ُر ْش َوة‬berarti ‫ ال َج ْع ُل‬yaitu upah, hadiah, komisi, atau suap. ِ

Di dalam Lisan al ‘Arab Ibnu Mandzur menyebutkan perkataan Abul ‘Abbas


berkaitan dengan asal kata risywah.

‫الر ْش َوة مأْخوذة من رشا الفرخ إذا مدّ رأْسه إلى ٱدأ ُ ِ ّمه لتزق‬
ُّ

“Kata Rusywah / Risywah diambil dari konteks anak burung yang menjulurkan kepalanya
ke dalam mulut induknya seraya meminta makanan yang berada di paruh induknya untuk
disuapkan.”

Ada beberapa penjelasan Ulama tentang makna risywah (suap), diantaranya:

َ ‫ص ل ِْل َحاك ِِم أ َ ْو‬


َ ُ‫ أ َ ْو يَحْ مِ لَه‬، ُ‫غي ِْر ِه ِليَحْ ُك َم لَه‬
ُ‫علَى َما ي ُِريد‬ ُ ‫ َما يُعْطِ ي ِه الش ْخ‬: – ‫الر ْش َوة ُ – ِب ْال َكس ِْر‬ ُّ ِ‫قَال ْالفَيُّوم‬
ِّ : ‫ي‬

Al-Fayyumi rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan


oleh seseorang kepada hakim atau lainnya, agar hakim itu memenangkannya, atau agar
hakim itu mengarahkan hukum sesuai dengan yang diinginkan pemberi risywah”.
[Misbâhul Munir dinukil dari al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]

َ ‫صلَةُ ِإلَى ْال َحا َج ِة ِب ْال ُم‬


‫صانَ َع ِة‬ ْ ‫ ْال ُو‬: ُ ‫الر ْش َوة‬ ِ ‫َوقَال ا ْب ُن األْث‬
ّ ِ : ‫ِير‬

Ibnul Atsîr rahimahullah berkata, “Risywah (suap) adalah sesuatu yang


menghubungkan kepada keperluan dengan bujukan”. [Misbâhul Munir dinukil dari al-
Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]

Itu adalah makna secara lughah (bahasa), adapun menurut istilah:

ِ ‫ أ َ ْو ِإلحْ قَا‬، ‫ق‬


‫ق بَاطِ ٍّل‬ َ ‫طى ِإل ْب‬
ٍّ ّ ‫طال َح‬ َ ‫َما يُ ْع‬

3
Risywah (suap) adalah: sesuatu yang diberikan untuk membatalkan kebenaran atau
untuk menegakkan atau melakukan kebatilan (kepalsuan; kezhaliman). [al-Mausû’ah al-
Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 22/219]

Ibnu Abidin mengutip kitab al-Fath bahwa bentuk risywah terbagi menjadi empat,
yaitu:

1. Risywah yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu
risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2. Risywah terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar,
karena dia mesti melakukan hal itu.(haram bagi yang memberi dan menerima),
3. Risywah untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak
kemudaratan dan mengambil manfaat. Risywah ini haram bagi yang mengambilnya
saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan
pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-
bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan
tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kezhaliman. Oleh karena itu
haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezhaliman dan
sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun, bila tidak
disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang
diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa).
Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena
ketamakannya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh
sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud rdh.
4. Risywah untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan
haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak
kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta
untuk melakukan yang wajib.1

2.2 Penafsiran Ayat-Ayat Larangan Menyuap Hakim


Hukum suap sudah jelas haram baik itu dalam al-Qur’an, sunnah, maupun ijma.
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT. berfirman dalam QS. al-Baqarah [2] : 188.

1
Haryono, Risywah (Suap-Menyuap) dan Perbedaannya dengan Hadiah Dalam Pandangan Islam (Kajian
Tematik Ayat dan Hadis Tentang Risywah), Al-Mashlahah, Jurnal Hukum, 440-441

4
﴾١٨٨ ﴿ َ‫اإلثْ ِم َوأ َ ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ ِ ‫ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل َوت ُ ْدلُوا ِب َها ِإلَى ْال ُحك ِام ِلت َأ ْ ُكلُوا فَ ِريقًا مِ ْن أ َ ْم َوا ِل الن‬
ِ ْ ‫اس ِب‬

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]
: 188)
Ayat ini melarang semua individu dalam umat Islam memakan harta sesama dengan
jalan yang tidak benar. Hal itu mencakup judi, penipuan, perampasan, pengingkaran hak,
dan cara lain yang tidak berkenan di hati isi pemilik, atau yang di haramkan oleh syariat
meskipun seseorang memberikannya dengan kerelaan hati (misalnya upah pelacur, upah
peramal, harga arak, babi, dan sebagainya yang tergolong permainan yang haram).

Termasuk kategori “memakan dengan jalan yang batil” antara lain: hakim
memenangkan anda dalam sangketa, sementara Anda tahu bahwa Anda berada di pihak
yang salah. Ayat ini secara terang menyatakan bahwa dosa ditanggung oleh orang yang
makan sementara ia tahu bahwa ia zalim dalam makanan tersebut. Adapun orang yang tidak
tahu tidak berdosa. Barang haram tidak berubah menjadi halal gara-gara keputusan hakim,
sebab ia hanya memutuskan berdasarkan bukti lahiriah. Namun mesti demikian, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para fuqoha mengenai masalah ini.

Abu Hanifah berkata: keputusan hakim terhitungnya valid dalam masalah akad dan
pembatalanya, secara lahiriah dan batiniah, sebab tugas hakim adalah memutuskan perkara
dengan kebenaran.2 Jadi, kalau hakim memutuskan dengan dasar saksi mengenai
pembuatan akad atau pembatalanya, keputusannya itu valid dan berlaku, dan itu terhitung
seperti akad yang dibuat oleh kedua pihak sejak mula, meskipun para saksinya adalah saksi
palsu. Contohnya, seorang lelaki menggugat seorang Wanita bahwa ia telah menikahinya,
tapi si Wanita mungkir, lalu si lelaki mendatangkan dua orang saksi palsu yang menguatkan
gugatannya, lantas hakim memutuskan bahwa keduanya sudah melakukakn akad nikah…
maka telah halal bagi lelaki itu untuk menggauli si Wanita. Seandainya hakim memutuskan
perceraian, keduanya harus di pisahkan (diceraikan), meskipun si lelaki mungkir bahwa
dirinya telah menceraikan istrinya. Validitas keputusan hakim seperti ini terkait dengan
syarat:

2
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir: Akidah, Syariah, & Manhaj Jilid 1, (Depok: Gema Insani), hal 409

5
1. Ia tidak tahu bahwa para saksi itu adalah saksi palsu

2. Perkara itu tergolong perkara yang ia punya wewenang untuk mengadakan akadnya.

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa putusan hakim berlakuu secara lahirian tidak
secara batiniah, berkenaan dengan harta dan hukum-hukum lainnya. Jadi, putusan hakim
tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal dan tidak mengadakan hak-
hak, melainkan sekedar menampilkan dan manampaknya dalam kenyataan. Dalilnya
adalah hadits Ummu salamah, yang dari sana di ambil kaidah yang berbunyi, “nahnu
nahkumu bizh-zhaahir, wallahu yatawallas- saraa’ir (kita membuat putusan atas dasar
bukti-bukti lahiriah, sedangkan urusan hati berada ditangan Allah) inilah yang benar
seacara umum.

Memberi suap kepada hakim terhitung sebagai perbuatan membuang-buang harta.


Orang beriman tidak dibenarkan menyuap hakim agar membuat putusan yang memberinya
lebih dari apa yang menjadi haknya atau apa yang bukan haknya.

Ahlus-Sunnah sepakat bahwa barangsiapa mengambil sesuatu yang bisa disebut


maal (harta), Sedikit ataupun banyak, maka perbuatan itu membuatnya tergolong orang
fasik, dan haram baginya mengambil barang tersebut

2.3 Pandangan Mufasir Tentang Memakan Hak Orang Lain


Terdapat beberapa ayat mengenai memakan hak orang lain, salah satunya adalah QS.
An-Nisa [4] : 29-30. Allah SWT. berfirman :

َ ُ‫اض مِ ْن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أ َ ْنف‬


َ‫س ُك ْم ۚ إِن َّللا‬ ٍّ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنُوا ََل ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَاطِ ِل إَِل أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬
َ ً ‫ارة‬
﴾٣٠ ﴿ ‫ِيرا‬ ً ‫ع َلى َّللاِ يَس‬ َ َ‫َارا ۚ َو َكانَ َٰذَلِك‬
ً ‫صلِي ِه ن‬ْ ُ‫ف ن‬َ ‫س ْو‬ َ َ‫ظ ْل ًما ف‬
ُ ‫عد َْوانًا َو‬ُ َ‫﴾ َو َم ْن يَ ْفعَ ْل َٰذَلِك‬٢٩ ﴿ ‫َكانَ بِ ُك ْم َرحِ ي ًما‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS. Al-Nisa [4] : 29-30)
Terkait ayat 29 surah al-Nisa’ ini, Ibn Jarir al-Thabari menjelaskan, diantara bentuk
kebathilan dalam mendapatkan penghidupan adalah melakukan aktivitas yang diharamkan
atau dilarang Islam, seperti riba atau berjudi. Keduanya terlarang karena merugikan pihak-

6
pihak tertentu.3 Allah memberikan ilustrasi aktivitas yang dibenarkan dan saling
menguntungkan, yaitu perniagaan, Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku “suka
sama suka” (saling ridha) inilah yang dihalalkan, bahkan dipraktikan Rasulullah SAW.
dalam kesehariannya.

Wahbah Az-Zuhaili (Az-Zuhaili Wahbah, 1997: 84) menafsirkan ayat tersebut


dengan kalimat janganlah kalian ambil harta orang lain dengan cara haram dalam jual beli,
(jangan pula) dengan riba, judi, merampas dan penipuan. Akan tetapi dibolehkan bagi
kalian untuk mengambil harta milik selainmu dengan cara dagang yang lahir dari keridhaan
dan keikhlasan hati antara dua pihak dan dalam koridor syari’. Tijarah adalah usaha
memperoleh untung lewat jual beli. Taradhi (saling rela) adalah kesepakatan yang sama-
sama muncul antar kedua pihak pelaku transaksi, jual beli tanpa ada unsur penipuan.

Al Maraghi (Mustafa Al-Maraghi, 2004) menjelaskan makna kata al-bathil dalam


ayat tersebut berasal dari kata-kata al-bathlu dan buthlan yang bermakna sia-sia dan
kerugian. Sedangkan menurut syara’ adalah mengambil harta tanpa imbalan yang benar dan
layak serta tidak ada keridhaan dari pihak yang diambil. Atau menghabiskan harta dengan
cara yang tidak benar dan tidak bermanfaat. Termasuk katagori al-bathil: mengundi nasib,
al-ghasy, khida’, riba dan ghabn. Begitu juga menghabiskan harta pada tempat yang haram,
dan menghabiskannya pada tempat yang tidak bisa diterima oleh logika sehat.

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah SWT. melarang
kamu dari memakan harta saudaramu sesama muslim dengan bathil, atau mengambilnya
tanpa disertai alasan yang benar, dan dengan bentuk perampasan dan penganiayaan. Yang
kesemuanya menyebutkan bahwa prilaku memakan harta secara batil ialah prilaku yang
mendatangkan kezaliman bagi orang lain.4 Barangsiapa yang mengerjakan hal itu secara
aniaya dan melampaui batas, niscaya ia akan mendapatkan balasan dan hukuman dari Allah
SWT.

Bentuk-bentuk memakan harta kaum mukminin secara bathil diantaranya yaitu:5

1. Dengan penipuan (Manipulasi)

3
Dr. Nurul Huda Maarif, Mengerti rahasia dan makna ayat-ayat “Ya Ayyuhalladzina Amanu”, Hal 112
4
Taufik, Memakan Harta Secara Batil (Perspektif Surat An-Nisa: 29 dan At-Taubah: 34),Vol 17, Jurnal Ilmiah
Syariáh, 2018, hal 250
5
Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi, Tafsir Ayat-ayat Ya Ayyuhalladzina Amanu, Hal 235

7
Islam mengharamkan hal tersebut dengan segala macam bentuknya dalam jual
beli, dan seorang muslim dituntut untuk senantiasa memegang kejujuran dalam segala
urusan, karena nasehat dalam agama itu lebih mahal dari segala bentuk usaha.
Rasulullah SAW. bersabda, “Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya, “Untuk
siapakah, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Untuk Allah, Rasul, pemimpin umat
Islam dan masyarakat umum.”

Menipu itu adalah haram hukumnya, dan Imam Adz-Dzahabi menghukumi


manipulasi, tindakan makar, dan penipuan adalah sebagai salah satu dosa besar.
penipuan (kebohongan) telah menjadi hal yang sulit untuk dipisahkan dalam kehidupan
sebagian besar para pedagang, dan sangat jarang ditemukan pedagang yang tidak
melakukan penipuan (kebohongan).

2. Dengan suap (sogokan)

Ketahuilah, wahai umat Islam, suap (sogokan) adalah penyakit yang paling
bebahaya dan menyebabkan kehancuran masyarakat, karena tradisi suap itu tidak akan
menyebar dalam masyarakat kecuali akan meruntukkan sendi-sendi masyarakat
tersebut, merendahkan tingkatan moral, dan menjadikan masyararakat terkotak-kotak
antara penguasa dan orang-orang yang dikuasai, sehingga orang-orang yang berada
dalam kebenaran akan merasa gelisah, karena ia tidak akan memperoleh haknya kecuali
dengan cara menyogok sebagai sarana untuk memperoleh haknya.

Dampak buruk suap, yaitu :

• Suap sangatlah membahayakan. Janganlah ditanya bahaya apa yang dihasilkan dari
suap ini? bahayanya jelas dan tidak dapat terhitung. Cukuplah sabda Nabi SAW.
menjelaskan tentang akibat suap ini,
• “Allah melaknat orang yang memberikan suap, yang menerima, dan yang menjadi
perantara antara keduanya.”
• Suap dapat menghilangkan kehormatan, menghancurkan hak, menyebarkan
kebodohan, melunturkan semangat dan kesungguhan dalam bekerja, memudarkan
keinginan untuk menunaikan kewajiban, meluaskan ketololan, kelemahan,
penipuan dan khianat, melumpuhkan kemaslahatan umat, memandulkan akal
orang-orang yang cerdas, membekukan bakat para pemikir, dan melemahkan tekad
dan asa para pejuang.

8
Terkadang, suap mempergunakan ‘baju’ lain, seperti dalam bentuk pemberian,
hadiah, pemebebasan hutang, berserikat dalam tanah, atau menjadi perantara dalam
sesuatu dan lain sebagainya,akan tetapi seluruh rekayasa ini tidak dapat menghilangkan
hakekatnya.

3. Dengan melakukan pencurian

Pencurian adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan dzalim dari


tempat penjagaannnya. Ada pula yang mendefinisikan pencurian adalah mengambil
harta yang nilainya serupa dengan seperempat dinar dari tempatnya. Andai saja diyat
jinayat itu senilai seperempat dinar, maka niscaya akan bnayaklah tangan-tangan yang
terpotong. Dan andai saja nishab wajibnya potong tangan itu adalah lima ratus dinar,
maka niscaya akan banyaklah orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap
harta(karena baru dipotong tangan kalau mencuri dalam jumlah yang banyak).

4. Dengan jalan riba

Allah SWT. berfirman, “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah


dan tinggalkan lah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Selain itu, terdapat pula ayat mengenai memakan hak orang lain pada QS. Hud [11]
: 85. Allah SWT. berfirman:

ِ ‫اس أ َ ْشيَا َء ُه ْم َو ََل ت َ ْعث َ ْوا فِي ْاأل َ ْر‬


﴾٨٥ ﴿ َ‫ض ُم ْف ِسدِين‬ ُ ‫َويَا قَ ْو ِم أ َ ْوفُوا ْالمِ ْكيَا َل َو ْالمِ يزَ انَ ِب ْال ِقسْطِ ۖ َو ََل ت َ ْب َخ‬
َ ‫سوا الن‬

“Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan
adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
(QS. Hud [11] : 85)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa pada kata ِ‫“ َويَا قَ ْو ِم أ َ ْوفُوا ْالمِ ْكيَا َل َو ْالمِ يزَ انَ ِب ْال ِقسْط‬Dan
Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil,
adalah perintah untuk memenuhi (sesuai ukuran) setelah sebelumnya, Allah SWT.
Melarang dengan tegas untuk melakukan kecurangan dalam timbangan. Kata ‫أ َ ْوفُوا‬

9
(cukupkanlah artinya menyempurnakan. ِ‫ ِب ْال ِقسْط‬artinya adalah dengan adil dan sesuai
hak. Maksudnya adalah meletakkan setiap bagiannya masing-masing, bukan memenuhi
alat timbangan dan alat takar. Bahkan Allah bermaksud agar kalian tidak mengurangi
bentuk timbangan dari yang semestinya. kemudian pada kalimat ‫اس أ َ ْشيَا َء ُه ْم‬ ُ ‫َو ََل ت َ ْب َخ‬
َ ‫سوا الن‬
“dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka”, maksudnya
adalah jangan kalian kurangi sesuatu dari hak yang semestinya. Selanjutnya pada
ِ ‫ َو ََل ت َ ْعث َ ْوا فِي ْاأل َ ْر‬dan “janganlah kamu membuat kejahatan di muka
kalimat َ‫ض ُم ْف ِسدِين‬
bumi dengan membuat kerusakan” maksudnya adalah Allah SWT menjelaskan bahwa
perilaku cunrang dalam timbangan dan takaran merupakan perbuatan yang sangat
merusak di muka bumi.6

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi Syuaáib melarang mereka agar tidak
mengurangi timbangan atau menakar untuk orang lain. Kemudian ia memerintahkan
mereka agar menepati timbangan dan takaran secara adil atau jujut, baik menerima atau
memberi. Nabi Syuáib juga melarang mereka agar tidak berbuat congkak di bumi dengan
melakukan kerusakan, karena pada waktu itu mereka sering menjanggal.7

2.4 Implikasi Hukum Yang Diperoleh Dari Pandangan Mufasir


Apabila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa
istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antara hal tersebut adalah:
1. Hadiah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau ala
sabilil ikram. Perbedaannya dengan risywah adalah, jika risywah diberikan dengan tujuan
untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai
penghargaan dan rasa kasih sayang.
2. Hibah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan
imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa Ar-Raasyi yaitu
pemberi suap memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan
Al-Waahib atau pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
3. Shadaqoh, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan
keridhoaan dan pahala dari Allah Swt. Seperti halnya zakat ataupun infaq. Perbedaannya
dengan risywah adalah bahwa seseorang yang bersedekah ia memberikan sesuatu hanya

6
Al Qurthubi, Tafsir Al-Qurtubi, Jilid 9, ditahkrij oleh Mahmud Hamid Utsman, (Jakarta:Pustaka Azzam), hal 193
7
Alvi Fauziah, dkk, Takaran dan Timbangan Yang Adil Dalam Perdagangan Sesuai Al-Qurán Surat Hud Ayat 85,
Jurnal Ilmu Al-Qurán dan Tafsir

10
karena mengharapkan pahala dan keridhoaan Allah semata tanpa unsur keduniawian yang
dia harapkan dari pemberian tersebut.

Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima
kasih dan lain-lain, sebagaimana hadits di atas. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja di luar gaji
dan dana resmi dan legal yang terkait dengan jabatan atau pekerjaan merupakan harta ghulul atau
korupsi yang hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama ‘hadiah’ dan tanda ‘terima kasih’ akan
tetapi dalam konteks dan perspektif syariat Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan
sebagai ‘risywah’ atau syibhu risywah yaitu semi suap, atau juga risywah masturoh yaitu suap
terselubung dan sebagainya. Bahkan Rasulullah SAW melaknat pelaku suap atau pun yang
disuap.

ِ ‫ ُواْل ُم ْرتَش‬،‫الراشِى‬
‫َى‬ َ ‫هللا‬ ُ ‫ لَ َعنَ َر‬: ‫هللا ب ِْن قا َ َل‬
ِ ‫س ْو ُل‬ ِ ‫ع ْب ِد‬ ُ ‫ع ْن‬
َ ‫ع َمر‬ َ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi,
1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-
Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (…dan perantara
transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya
bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]

Tidak dapat diragukan lagi bahwa pelaku dan penerima suap berdosa dan berhak
mendapatkan cacian, celaan, dan siksaan karena membantu di dalam melakukan perbuatan
dosa dan melampaui batas. Kecuali ada hal yang dianggap darurat hingga diperbolehkan.

11
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Suap adalah memberi uang dan sebagainya kepada petugas/pegawai, dengan harapan
mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan. Dalam bahasa Arab, kata risywah berasal
ُ ‫ يَ ْر‬yang masdarnya ‫ َر ْش َوة \ ِر ْش َوة \ ُر ْش َوة‬berarti ‫ ال َج ْع ُل‬yaitu upah, hadiah,
dari kata ‫ َرشَا‬- ‫شو‬
komisi, atau suap. ِSedangkan secara terminologi, risywah adalah suatu yang diberikan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
membenarkan yang batil atau salah atau menyalahkan yang benar.

Permasalahan risywah ini banyak dibahas didalam ayat al-Qur’an, salah satu nya dalam
surat al-Baqarah ayat 188, surat al-Nisa’ ayat 29-30, dan surat Hud ayat 85. Risywah sudah
barang tentu haram hukumnya. Mau bagaimanapun keadaan nya, dalam arti kata suap
adalah suatu jalan menuju keburukan, suatu jalan yang bathil. Maka na’udzunillah kita
berlindung kepada Allah dari melakukan suap, atau pun menyaksikannya.

3.2 Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan
tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan
sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian
dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

12
DAFTAR PUSTAKA

al-Qurthubi. (n.d.). Tafsir Ahkam Jilid 9. Jakarta: Pustaka Azzam.


az-Zuhaili, W. (2005). Tafsir Al-Munir: Akidah, Syariah, & Manhaj Jilid 1. Jakarta: Gema
Insani.
Buhairi, S. M. (2005). Tafsir Ayat-ayat Ya Ayyuhal-Ladzina Amana. (L. M. H. Abdurrahman
Kasdi, Trans.) Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Fauziah, A., Iffah, P. K., & Kurniawan, R. R. (n.d.). Takaran dan Timbangan yang Adil dalam
Perdagangan Sesuai Al-Qurán Surat Hud Ayat 85 . Ilmu Al-Qurán dan Tafsir.
Haryono. (2017). RISYWAH (SUAP-MENYUAP) DAN PERBEDAANNYA DENGAN
HADIAH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (Kajian Tematik Ayat dan Hadis
Tentang Risywah). Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam.
Maarif, N. H. (2018). Seruan Tuhan untuk Orang-orang Beriman. Jakarta: Zaman.
Taufiq. (2018). Memakan Harta Secara Batil (Perspektif Surat An-No=isa: 29 dan At-Taubah:
34). Jurnal Ilmiah Syariáh, 249-250.

13

Anda mungkin juga menyukai