Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TAFSIR AL-QUR’AN

“TAFSIR AYAT AL-QUR’AN TENTANG RIBA”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6 :

1. MAULA AL IIHWAN

2. AZMI FUADI

3. SYUKUR MUGIONO

JURUSAN EKONOMI SYAHRIAH

DOSEN PENGAMPU : IBU SITI AFIFAH, M.Ag.

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL (STIK)


TAHUN AJARAN 2022 - 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahi robbil `alamin, segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam, atas
taufik dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini, guna
memenuhi tugas mata kuliah Studi Tafsir Ekonomi, yang penulis beri judul “TAFSIR
AL-QUR”AN “AYAT- AYAT TENTANG RIBA”
            Makalah ini disusun dan sebagian besar hanyalah sebuah kutipan-kutipan ,
yang berdasarkan beberapa sumber, yang penulis nukil dari beberapa website,
sebagaimana tercantumkan dalam daftar pustaka. Serta beberapa ulasan pribadi, yang
merupakan analisis dari penulis.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas makalah ini.
Kepada pengasuh pondok pesantren jlamprang, Romo kyai Muhammad Afandi yang
telah membrikan banyak kontribusi bagi kami, kedua orang tua kami yang telah
mendorong atas pembuatan makalah ini, dosen pembimbing kami, Ibu Siti Afifah,
M.Ag., dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai
hal.
            Harapan penulis, semoga makalah yang sederhana ini mempunyai setitik
manfaat, bagi penulis pribadi khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun masih penulis butuhkan, untuk
menghasilkan karya-karya lain yang lebih baik. Amiin Ya Robal `Alamin.

Jlamprang, 25 Juni 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................I

DAFTAR ISI ..................................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1

A. LATAR BELAKANG .........................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH .....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................2

A. PENGERTIAN RIBA ......................................................................................................2

B. HUKUM RIBA ................................................................................................................2

C. JENIS – JENIS RIBA ......................................................................................................5

D. FAKTOR PENYEBAB RIBA .........................................................................................6

BAB III PENUTUP ........................................................................................................7

A. KESIMPULAN ....................................................................................................7

B. DAFTAR PUSAKA .............................................................................................8

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

  Al-Qur’an merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam dalam


berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan
pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an, kemampuan tertentu guna mengasilakan pemahaman
yang baik mengenai berbagai perilaku kehidupan manusia.
            Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia
untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau moralitas dalam syari’at
Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini untuk dimanfaatkan oleh manusia
dengan cara yang telah dihalalkan oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang
mengandung riba.
            Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah). Riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah
satu pihak dalam suatu transaksi. Pada dasarnya transaksi riba dapat terjadi dari transaksi
hutang piutang, namun bentuk dari sumber tersebut bisa berupa pinjaman, jual beli dan
lain sebagainya. Para ulama menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba,
disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya merugikan orang lain,
hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama.
       Bahkan dapat dikatakan tentang pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran
Islam. Dalam makalah ini, penyusun akan memaparkan topik-topik yang berhubungan
dengan riba mulai dari: Pengertian. Ayat Riba.Hukum Riba, Jenis-jenis Riba, Faktor
Penyebab diharamkannya Riba dan Dampak yang timbul dari riba.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian Riba?
2. Bagaimana Hukum Riba?
3. Apa saja jenis-jenis dari Riba?
4. Apa saja Faktor Penyebab memakan dan diharamkan perbuatan Riba?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN RIBA


Riba adalah istilah yang berasal dari Bahasa Arab nama’ yang artinya berkembang
atau ziyadah yang berarti tambahan. Pengertian riba menjadi suatu penambahan nilai atau
bunga yang melebihi jumlah pokok dari sebuah pinjaman (utang) saat dana itu
dikembalikan berdasarkan asal katanya.
Sistem riba yang diterapkan dalam transaksi keuangan dilarang sebagaimana
tercantum dalam Quran. Dasar hukum riba melarang umat Islam untuk melakukan
transaksi yang mengandung unsur riba. Hal ini tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat
276, Al-Baqarah ayat 278, dan An-Nisa ayat 161.
Mengacu pada dasar hukumnya, melakukan transaksi yang mengandung riba
adalah haram dan harus dihindari oleh umat Islam. Karena itulah, hukum syariah Islam
yang menghindari adanya riba dalam transaksi finansial sudah mulai diadaptasi oleh bank
dan lembaga keuangan di Indonesia.

2.2 HUKUM RIBA


  Adapun hukum “ riba” , ulama sepakat  mengharamkannya sesuai dengan
penjelasan al- Quran . Berikut salah satu dalil keharaman riba dalam surah

 Al- Baqarah ayat 275.

  ‫ع ِم ْث ُل ال ِّربَا‬Bُ ‫س ٰ َذلِ َك بَِأنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي‬ Bُ َ‫ش ْيط‬
ِّ ‫ان ِمنَ ا ْل َم‬ َّ ‫ اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَت ََخبَّطُهُ ال‬B‫الربَا‬ ِّ َ‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُون‬
‫اب‬
Bُ ‫ َح‬B‫ص‬ْ ‫ا َد فَُأو ٰلَِئ َك َأ‬BB‫ ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َمنْ َع‬B‫سلَفَ َوَأ ْم‬ َ ‫ فَ َمنْ َجا َءهُ َم ْو ِعظَةٌ ِمنْ َربِّ ِه فَا ْنتَ َه ٰى فَلَهُ َما‬B‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬
‫ر ُه ْم فِي َها َخالِدُون‬Bِ ‫النَّا‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”.(QS Al Baqarah:275)
                       

2
Penjelasan Ayat

َ ‫ش ْي‬
ّ ‫طانُ ِمنَ ا ْل َم‬
- ‫س‬ ِّ َ‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُون‬
َّ ‫ اَل يَقُو ُمونَ ِإاَّل َك َمايَقُو ُم الَّ ِذي يَت ََخبَّطُهُ ال‬B‫الربَا‬
            Dikatakan kepada orang yang menggunakan harta (uang) orang lain: Akalahu wa
Hadhamahu, artinya ia menggunakan uang tersebut dengan leluasa karena tidak ada
harapan uang tersebut bisa dikembalikan lantaran ia telah memakannya.
            Yang dimaksud dengan keadaan orang-orang yang memakan riba di dunia ini,
seperti orang yang sengaja melakukan perbuatan lantara mereka gila, karena mereka
dimabukkan oleh kecintaan harta. Dan, setelah harta mampu memperbudak pikirannya,
maka jiwanya menjadi ganas, ingin sekali mengumpulkan harta sebanyak mungkin, dan
harta menjadi tujuan pokok kehidupannya. Mereka menganggap tidak perlu susah-susah
dengan menjalankan riba, dan meninggalkan usaha lainnya. Sehingga, jiwa mereka keluar
dari garis pertengahan yang banyak dianut orang.

ٰ
ِّ ‫الربَا َوَأ َح َّل هَّللا ُ ا ْلبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
َ ‫ فَ َمنْ َجا َءهُ َم ْو ِعظَةٌ ِمنْ َربِّ ِه فَا ْنتَ َه ٰى فَلَهُ َما‬B‫الربَا‬
َ‫سلَف‬ ِّ ‫َذلِ َك بَِأنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِم ْث ُل‬
            Jika mereka memakan riba, maka riba akan dianggap sebagai yang dihalalkan,
sama seperti jual beli. Dalam keyakinan si pemakan, hal tersebut sama bolehnya dengan
seseorang menjual barang dagangan yang harganya sepuluh dirham, misalnya dengan
bayaran kontan, atau dua puluh dirham dengan kredit. Karena anggapan membolehkan
tadi, maka dalam keyakinan mereka dibolehkan pula memberikan sepuluh dirham
terhadap orang yang membutuhkannya, dengan syrat ia akan mengembalikannya menjadi
dua puluh dirham setelah setahun. Sebab dibolehkannya ini (dua mu’amalah ini) menurut
keyakinan adalah sama, yakni perbedaan waktu.
Demikianlah alasan mereka, menurut apa yang mereka khayalkan. Padahal menurut
analogi mereka sama sekali tidak benar. Karenanya, Allah berfirman yang menegaskan bahwa
riba adalah haram, sedang jual beli adalah halal. Jual beli dibolehkan karena tidak ada yang
dirugikan dan adanya kerelaan antara penjual dan pembeli. Sedangkan dalam riba diambil secara
paksa, bukan berdasarkan kerelaan.

‫َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا‬


            Allah akan menghukumi masalah tersebut dengan keadilan-Nya. Juga merupakan suatu
keadilan apabila Allah tidak menghukum para pemakan riba sebelum adanya larangan tersebut,
atau belum sampainya nasehat Allah padanya. Dalam ayat ini terkandung isyarat yang
menunjukkan bahwa dibolehkannya hal-hal yang telah lalu dari hasil riba, adalah sebagai
rukhshah lantaran darurat, dan mengambil bunga yang sudah dimakan sebelum adanya larangan
ini, adalah teka yang mulia.

َ َ‫اب النَّا ِر ُه ْم فِي َها َخالِدُون‬ ْ ‫َو َمنْ عَاد فَُأو ٰلَِئ َك َأ‬
ُ ‫ص َح‬
            Siapa saja yang kembali seperti sedia kala, yakni memakan riba setelah adanya
pengharaman, maka orang yang melakukan itu termasuk orang yang tidak mau mendengar
nasehat Allah. Padahal Allah tidak sekali-kali melarang mereka kecuali lantaran hal yang sangat
membahayakan diri mereka. Dan mereka (yang memakan riba), adalah penghuni neraka, yang
tetap didalamnya.

 Pendapat Ulma tentang ‘illat Riba


Ulama sepakat menetapkan Riba Fadhl pada tujuh barang seperti terdapat pada nash,
yaitu emas, perak, gandum syair, kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini,
adanya tambahan pada pertukaran sejenis adalah diharamkan. Adapun pada barang selain
itu, para ulama berbeda pendapat:
1. Zhahiriyah hanya mengharamkan ke tujuh benda tersebut.
2. Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl
terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.

2
3. Imam Syafi’i dan sebagian imam Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl
dikhususkan pada emas, perak, dan makanan meskipun tidak ditimbang.
4. Said ibn Musayyah dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkan pada makanan
jika di timbang.
5. Imam Malik mengkhususkan pada makanan pokok.
  Untuk lebih jelas nya perbedaan pendapat tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
1) Mazhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau
ditimbang serta barang yang sejenis, seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam
dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis tersebut ditimbang
utuk diperjualbelkan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadis sahih dari Said al-
Khudri dan Ubadah Ibn Shanit r.a bahwa Nabi SAW. Bersabda:
“(jual-beli)emas dengan emas, keduanya sama,tumpang terima, (apabila ada) tambahan
adalah riba, (jual-beli) perak dengan perak keduanya sama, tumpang terima (apabila ada)
tambahan adalah riba, (jual-beli) syair dengan syair, keduanya sama, tumpang terima
(apabila ada) tambahan adalah riba, jual beli kurma dengan kurma, keduanya sama,
tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual-beli) garam dengan garam,
keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba.”
2) Mazhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah
harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan mereka berbeda pendapat dalam
hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja
(makanan selain untuk mengibati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur
penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadh pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai
makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan ulama Malikiyah menetapkan illat diatas antara lain, apabila dipahami agar
tidak tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan
tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan
pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
3) Madzhab Syafi’i
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut
dihargakan atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa
dimakan dan memenuhi 3 kriteria sbb :
1 Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok.
2 Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti
ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan
anggur kering.
3 Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki
makanan yakni obat. Ulama Syafi’iyah antara lain beralasan bahwa makanan
yang dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk
menyehatkan badan.

2
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi
kriteria di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah, jual beli harus
memenuhi kriteria :
1. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang
akan
datang.
2. Sama ukurannya.
3. Tumpang Serah terima
Menurut ulama Syafi’iyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual
gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits
Rasulullah Saw bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya
sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang
terima”.Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama
meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.

 Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah
seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada
setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma. Riwayat kedua adalah sama
dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah.
Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang
ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba
walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.Hal
ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib yang mendasarkan pendapatnya pada hadits
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang
dimakan dan diminum”. (HR Daruquthni)

3.2 JENIS - JENIS RIBA


Jumhur ulama membagi riba dalam 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah :
1. Riba al-fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat harta pada akad jual
beli yang diukur dan sejenis” Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu
dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis,
berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya
pada barang-barang yang ditakar dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang
diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang yang
sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
Larangannya adalah menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6
komoditi yaitu emas, perak, gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah
yang berbeda.
2. Riba nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah “Memberikan kelebihan terhadap
pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding

2
utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan
yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”.
Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran atau barang yang dipertukarkan,
diperjualbelikan atau diutangkan karena adanya tambahan waktu pembayaran atau
penyerahan barang baik yang sejenis ataupun tidak.
Namun, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang
piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi menjadi riba qordh dan
jahiliyah, sedangkan kelompok kedua ada dua macam, yaitu riba fadl dan nasi’ah.
1. Riba qardh adalah suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
2. Riba jahiliyah adalah utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam
tidak dapat membayar pada waktu yang ditentukan.
3. Riba fadl adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda. Ini haram berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ karena
merupakan sarana menuju riba nasi’ah.
4. Riba nasi’ah adalah melebihkan pembayaran barang yang dipertukarkan,
diperjualbelikan, atau diutangkan karena diakhirkan waktu pembayarannya
baik yang sejenis maupun tidak.

4.2 FAKTOR PENYEBAB DI HARAMKANYA RIBA

َ‫ ُمْؤ ِمنِين‬ ‫ ُك ْنتُ ْم‬  ْ‫ِإن‬ ‫ال ِّربَا‬  َ‫ ِمن‬ ‫بَقِ َي‬ ‫ َما‬ ‫ َو َذ ُروا‬ َ ‫هَّللا‬ B‫اتَّقُوا‬ ‫آ َمنُوا‬  َ‫الَّ ِذين‬ ‫َأيُّ َها‬ ‫يَا‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Sebab Turun Ayat Di atas ialah :
Ibnu Abbas berkata “Suatu ketika, bani mughirah mengadu kepada gubernur makkah,
Attab bin Usaid bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani Amr bin Auf dari
penduduk Tsaqif. Kemudin, bani Amr bin Auf meminta penylesaian tagihan riba mereka. Atas
konflik ini, Atab mengirim surat laporan kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah ayat
ini”(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Mandah)

Penjelasan Ayat Di atas ialah :


Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya
adalah  untuk  meninggalkan.  Di  dalam  ushul  fiqih  larangan  terhadap
sesuatu  adalah  berarti  perintah  untuk  berhenti  mengerjakan  sesuatu
tersebut.  Dalam  hal  ini  larangan  untuk  mengerjakan  riba  berarti perintah untuk berhenti
mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Riba secara bahasa bermakna :  Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara
linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan
kata riba Diantaranya : Al-Baqarah ayat 276, Al-Baqarah ayat 278, dan An-Nisa ayat 16,
Dan ayat yang lainya.
•  Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada

2
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah
teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.
•  Riba diharamkan dalam semua agama samawi. Riba dilarang dalam Yahudi, Nasrani
dan Islam.
•  Macam-macam riba yaitu: Riba Jahiliyah, Riba Qardhi, Riba Fadli, dan Riba Nasi’ah.
•  Dampak Riba pada ekonomi: Riba (bunga) menahan pertumbunhan ekonomi dan
membahayakan kemakmuran nasional serta kesejahteraan individual. Riba (bunga)
menyebabkan timbulnya kejahatan ekonomi (distorsi ekonomi) seperti resesi, depresi,
inflasi dan pengangguran.
DAFTAR PUSAKA
https://www.296.web.id/2019/04/tafsir-ekonomi-ayat-ayat-tentang-
riba.html
https://www.linkaja.id/artikel/definisi-riba
https://an-nur.ac.id/pengertian-riba-dasar-hukum-jenis-jenis-cara-
menghindari-riba-dan-hikmah-diharamkannya-riba/
https://money.kompas.com/read/2022/03/10/211250426/apa-itu-riba-
pengertian-jenis-contoh-dan-hukumnya-dalam-islam?page=all

Anda mungkin juga menyukai