Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji sukur kami haturkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan rencana
dan tanpa hambatan yang berarti. Makalah ini berjudul RIBA. Salawat serta salam
kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga para sahabat serta
pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman. . Makalah ini di susun dalam rangka
memenuhi tugas Ekonomi Syariah studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Mataram.
Penulis menyadari bahwa dalam menysun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapakan kritik dan saran guna
sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.





Mataram,10 November 2011

Penulis








2




DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ..................................................................................................... 2
Daftar Isi .............................................................................................................. 3
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 4
a. Latar Belakang ............................................................................................... 4
BAB II. ISI ........................................................................................................... 6
a. Pengertian Riba .............................................................................................. 6
b. Dasar Hukum Riba ......................................................................................... 6
c. Macam-macam Riba ...................................................................................... 14
d. Hal Yang Menimbulkan Riba ........................................................................ 15
e. Contoh Praktek Riba ...................................................................................... 15
f. Pendapat Ulama Fiqih Tentang Illat Riba ...................................................... 16
g. Ringkasan Dari Perbedaan Pendapat Ulama .................................................. 19
h. Dampak Riba ................................................................................................. 20
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 21












BAB I
3

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya,
terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum
larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse,
dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun.
Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun,
selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog,
cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang
merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa
terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.
Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu.
Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai
pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar
Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat
dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi
bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari
masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman
adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga
yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi
penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama
Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat
dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk
riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan
tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti.
berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi
deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila
4

akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka
yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha
yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh
peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada
deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi
sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya
adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh
pihak bank.
Sejarah Riba
Orang Yahudi mengharamkan riba sesama mereka tetapi menghalalkannya kalau
dilakukan pada pihak lain. Hal inilah yang mendorong umat Yahudi memakan riba
dari fihak lain dan menurut al-Qur'an, perbuatan semacam ini dikatakan sebagai hal
memakan riba.
Menurut Muhammad Assad, dalam The Message of the Qur'an dinyatakan, bahwa setelah
dibebaskan oleh Nabi Musa dari belenggu perbudakan Fir'aun, bangsa Yahudi
mendapatkan berbagai kenikmatan hidup. Tetapi sesudah itu, terutama setelah masa
Nabi Isa, bangsa Yahudi mengalami malapetaka dan kesengsaraan dalam sejarah
mereka.
Salah satu sebabnya adalah karena mereka suka menjalankan praktek riba dan memakan
harta manusia secara batil. Dalam kitab orang Yahudi sendiri (Taurat dan Zabur) telah
dilarang praktek-praktek riba.
Allah Swt berfirman, Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih. (An-Nisa`: 160-161)



BAB II
5

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RIBA
1. Pengertian secara bahasa :
a) (bertambah) yaitu meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan
b) (berkembang/berbunga) yaitu membungakan harta uang atau yang lainnya
yang dipinjamkan kepada orang lain
c) Berlebihan atau menggelembung
2. Pengertian secara istilah :
a. Menurut Ulama Hanabilah : Pertambahan sesuatu yang dikhususkan.
b. Menurut Ulama Hanafiyah : Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran
harta dengan harta.
c. Menurut al-Mali : Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak
diketahui perimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan
mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
d. Menurut Abdurrahman al-Jaiziri : Akad yang terjadi dengan penukaran tertentu,
tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara atau terlambat salah satunya.
e. Menurut Syaikh Muhammad Abduh : Penambahan-penambahan yang diisyaratkan
oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya),
karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran
tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara atau terlambat salah
satunya.

B. DASAR HUKUM
1. Al-Quran
- Allah Swt berfirman, Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
6

larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
Ibnu Katsir rh berkata, Allah Swt menyebutkan perihal orang-orang yang
memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil serta
melakukan usaha syubhat. Melalui ayat ini Allah Swt memberitakan keadaan
mereka kelak saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat
dihimpunnya semua makhluk.
Untuk itu Allah Swt berfirman, Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila.
Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari
kiamat nanti melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat
tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
mereka sangat buruk. (Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Abbas ra mengatakan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba)
dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik.
Ibnu Katsir rh mengatakan bahwa sesungguhnya mereka menghalalkan hal
tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariatnya,
dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli,
karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh
Allah di dalam Al-Quran.
Mereka berkata, sesungguhnya jual beli sama dengan riba. Hal ini jelas
merupakan pembangkangan terhadap hukum syara yakni menyamakan yang halal
dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk
menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah
membedakan antara jual beli dan riba secara hukum.
Firman Allah Swt, Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah.
7

Ibnu Katsir rh berkata bahwa barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan
Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu
kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan
sebelum ada larangan.
Riba itu bisa menghapus pahala jihad. Ummu Bahnah (ibu dari Zaid ibnu Arqam)
pernah berkata kepada Siti Aisyah ra, istri Nabi Saw, Hai Ummul Muminin,
kenalkah engkau dengan Zaid ibnu Arqam?. Siti Aisyah ra menjawab, Ya. Ia
berkata, Sesungguhnya aku menjual seorang budak kepadanya seharga 800 secara
ata. Lalu ia memerlukan dana, maka aku kembali membeli budak itu dengan harga
600 sebelum tiba masa pelunasannya.
Siti Aisyah ra menjawab, Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang kamu
lakukan, alangkah buruknya jual beli kamu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa
semua jihadnya bersama Rasulullah Saw akan dihapuskan dan benar-benar akan
dihapuskan (pahalanya) jika tidak mau bertaubat. (HR Ibnu Abi Hatim) (Tafsir
Ibnu Katsir)
Firman Allah Swt, Orang yang kembali mengambil riba) yakni kembali
melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berarti ia pasti terkena
hukuman dan hujjah mengenainya. Karena itulah firman Allah Swt selanjutnya,
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Bab riba merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama.
Amirul Muminin Umar bin Khatthab ra pernah berkata, Seandainya saja
Rasulullah Saw memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami
tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut
masalah riba.
Maksudnya adalah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran
masalah riba. Hukum syariat dengan tegas menyatakan bahwa semua sarana yang
menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya karena semua
sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram.
Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya
wajib pula.
Ibnu Abbas ra berkata, Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah
Saw adalah ayat mengenai riba. (Riwayat Bukhari)
8

- Allah Swt berfirman, Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah
[177]
. Dan
Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa
[178]
. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 276)
[177]. Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau
meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah
memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau
melipatgandakan berkahnya.
[178]. Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah menghapuskan riba dan melenyapkannya.
Hal ini terjadi dengan cara melenyapkan riba secara keseluruhan dari tangan
pelakunya atau dicabut berkah hartanya sehingga ia tidak dapat memanfaatkannya
melainkan menghilangkannya di dunia dan di akhirat kelak Dia akan menyiksanya.
Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya riba itu sekalipun (hasilnya) banyak
tetapi akibatnya akan menyusut. (HR Ahmad)
Umar bin Khatthab ra ketika menjabat sebagai Amirul Muminin keluar menuju
masjid, lalu beliau melihat makanan yang digelar. Maka ia bertanya, Makanan
apakah ini?. Mereka menjawab, Makanan yang didatangkan buat kami. Umar
berkata, Semoga Allah memberkati makanan ini, juga orang yang
mendatangkannya.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa sesungguhnya si pengirim makanan ini telah
menimbun makanan kaum muslimin, Umar bertanya, Siapa pelakunya?. Mereka
menjawab bahwa yang melakukannya adalah Farukh maula Usman dan si Fulan
maula Umar.
Maka Khalifah Umar memanggil keduanya, lalu Umar bertanya kepada
keduanya, Apakah yang mendorong kamu berdua menimbun makanan kaum
muslim?. Keduanya menjawab, Wahai Amirul Muminin, kami membelinya
dengan harta kami dan menjualnya.
Umar berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda,
Barangsiapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslim,
niscaya Allah akan menghukumnya dengan kepailitan atau penyakit kusta.
Maka Farukh berkata saat itu juga, Aku berjanji kepada Allah, juga kepadamu
bahwa aku tidak akan mengulangi lagi menimbun makanan untuk selama-lamanya.
Adapun maula (bekas budak) Umar, ia berkata, Sesungguhnya kami membeli dan
9

menjual dengan harta kami sendiri. Abu Yahya berkata, Sesungguhnya aku
melihat maula Umar terkena penyakit kusta. (Riwayat Imam Ahmad) (Tafsir Ibnu
Katsir)
Dan menyuburkan sedekah, Ibnu Katsir rh berkata bahwa ayat ini dapat
dibaca yurbi berasal dari rabasy syai-a, yarbu arbahu yurbihi artinya memperbanyak
dan mengembangkan serta menumbuhkan.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa yakni Allah tidak menyukai orang yang hatinya banyak ingkar lagi
ucapan dan perbuatannya banyak berdosa.
Orang yang melakukan riba itu pada hakikatnya tidak rela dengan rezeki halal
yang dibagikan oleh Allah untuknya. Ia kurang puas dengan dengan apa yang
disyariatkan oleh Allah untuknya yaitu usaha yang halal.
Untuk itu ia berusaha dengan cara memakan harta orang lain secara batil melalui
berbagai usaha yang jahat. Ia adalah orang yang ingkar kepada nikmat yang
diperolehnya, lagi suka aniaya dengan memakan harta orang lain secara batil.
- Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 278-279)
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt berfirman seraya memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang
mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan
hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya.
Untuk itu Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian
selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.
Dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) yakni tinggalkanlah harta
kalian yang ada di tangan orang lain berupa lebihan dari pokoknya sesudah adanya
peringatan ini. Jika kalian orang-orang beriman yaitu jika kalian beriman kepada
apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian yaitu penghalalan jual beli dan
pengharaman riba. (Tafsir Ibnu Katsir)
10

Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba) maka ketahuilah
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian yakni barangsiapa yang masih
tetap menjalankan riba dan tidak mau menanggalkannya maka sudah merupakan
kewajiban bagi Imam kaum muslimin untuk memerintahkan bertaubat kepadanya.
Jika ia mau bertaubat maka bebaslah ia tetapi jika masih tetap maka lehernya
dipancung. (Tafsir Ibnu Katsir)
Al-Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya berkata, Demi Allah, sesungguhnya
rentenir-rentenir (bankir-bankir) itu benar-benar orang-orang yang memakan riba.
Sesungguhnya mereka telah memaklumatkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil niscaya imam
diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertaubat. Jka mereka mau bertaubat
maka bebaslah mereka tetapi jika mereka tetap melakukan riba maka
dimaklumatkan perang terhadap mereka. (Riwayat Ibnu Abu Hatim) (Tafsir Ibnu
Katsir)
Qatadah rh berkata bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti
yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di
manapun mereka berada. Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba karena
sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena
itu janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah Swt
karena takut jatuh miskin (Riwayat Ibnu Abi Hatim) (Tafsir Ibnu Katsir)
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya maksudnya kalian
tidak menganiaya orang lain karena mengambil riba darinya dan tidak pula dianiaya
karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan
melainkan sesuai apa adanya. (Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda
[228]
] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran 3 : 130)
[228]. Yang dimaksud riba di sini ialah riba nasi'ah. Menurut sebagian besar ulama
bahwa riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang
mukmin memberlakukan riba dan memakan riba yang berlipat ganda. Allah Swt
juga memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa supaya mereka
11

menjadi orang-orang yang beruntung dalam kehidupan dunia dan akhirat kelak.
(Tafsir Ibnu Katsir)
- Allah Swt berfirman, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan
harta benda orang dengan jalan yang batil. (Q.S. An-Nisa 4 : 161)
Ibnu Katsir rh berkata bahwa Allah Swt telah melarang mereka (yahudi)
melarang melakukan riba tetapi mereka menjalankannya dan menjadikanya sebagai
pekerjaan mereka, lalu mereka melakukan berbagai macam pengelabuan untuk
menutupinya dan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang bathil. (Tafsir
Ibnu Katsir)
Allah Swt berfirman, Di antara Ahli kitab ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di
antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar,
tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang
demikian itu lantaran mereka mengatakan: "tidak ada dosa bagi kami terhadap
orang-orang ummi
[206]
. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka
mengetahui. (Q.S. Ali 'Imran 3 : 75)
[206]. Yang mereka maksud dengan orang-orang ummi dalam ayat ini adalah orang
Arab.
Ibnu Katsir rh berkata tentang Q.S. Ali Imran 75 bahwa Allah Swt
memberitakan perihal orang-orang Yahudi bahwa di antara mereka ada orang-orang
yang khianat, dan Allah Swt memperingatkan kaum mukmin agar bersikap waspada
terhadap mereka, jangan sampai terperdaya.
- Allah Swt berfirman, Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
(Q.S. Ar-Rum 30 : 39)
2. As-Sunnah
Rasulullah Saw bersabda, Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan.
Sahabat bertanya, Apakah itu ya Rasulullah?. Jawab Nabi, (1) Syirik
(mempersekutukan Allah), (2) Berbuat sihir, (3) Membunuh jiwa yang diharamkan
Allah kecuali yang haq, (4) Makan harta riba, (5) Makan harta anak yatim, (6)
Melarikan diri dari medan perang saat berjihad dan (7) Menuduh wanita mukminah
yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina. (HR Bukhari)
12

Diriwayatkan dari Ibnu Masud ra bahwa Rasulullah Saw telah melaknat pemakan
riba, yang mewakili, saksinya dan penulisnya. (HR Abu Dawud)
Rasulullah Saw bersabda, Satu dirham uang riba yang dimakan seseorang,
sedangkan orang tersebut mengetahuinya, dosa perbuatan tersebut lebih berat daripada
dosa enam puluh kali zina. (HR Ahmad)
Rasulullah Saw bersabda, Riba memiliki enam puluh pintu dosa, dosa yang paling
ringan dari riba ialah seperti dosa yang berzina dengan ibunya. (HR Ibnu Jarir)
Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, dua saksinya, dua penulisnya, jika mereka
tahu yang demikian, mereka dilaknat lidah Muhammad Saw pada hari kiamat. (HR
Nasai)
Emas dengan emas sama berat sebanding dan perak dengan perak sama berat &
sebanding. (HR Ahmad)
3. Ijma
Ijma artinya kesepakatan semua ulama mujtahidin dari ummat Muhammad SAW pada suatu
masa, atas suatu hukum syariat. Jadi, apabila para ulama itu telah sepakat baik di masa
sahabat maupun sesudahnya atas salah satu hukjm syariat, maka kesepakatan mereka
adalah merupakan ijma, sedang melaksanakan apa yang mereka sepakati adalah wajib.

Dalilnya, bahwa nabi SAW telah memberitakan, bahwa para ulama kaum muslimin takkan
sepakat atas satu kesesatan. Jadi kesepakatan mereka adalah merupakan kebenaran. Dalam
Musnadnya (6 396),

Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Bashrah al-Ghifari RA, bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
Aku telah meminta kepada Allah Azza Wa Jalla agar ummatku tidak menyepakati suatu
kesesatan, maka permintaanku itu Dia perkenankan.

Contohnya ialah ijma para sahabat RA, bahwa kakek mengambil seperenam harta
peninggalan si mayi, bila ada anak lelaki, sedang ayah mayit itu tidak ada.

Kedudukan Ijma' dalam Fiqih Islam

13

Sebagai rujukan hukum, ijma menempati urutan ketiga. Artinya, apabila kita tidak
mendapatkan hukum dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah
para ulama kaum muslimin telah ijma. Apabila ternyata demikian, maka ijma mereka
kita ambil dan kita laksanakan.
Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam.

C . MACAM-MACAM RIBA
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual-beli.
Riba hutang-piutang terbagi menjadi 2 yaitu
1. riba qardh dan
2. riba jahiliyyah.
Sedangkan riba jual-beli terbagi 2 juga yaitu
1. riba fadhl dan
2. riba nasiah.
Berikut penjelasannya :

a. riba hutang piutang ( yad )
Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
b. riba jual beli ( bai)
Riba jual beli dibagi menjadi 2 bagian yaitu riba fadhl dan riba nasiah (Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, juz 2 hal. 129)
1. Riba al-fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah Tambahan zat harta pada akad jual beli
yang diukur dan sejenis.
14

Dengan kata lain, riba fadhl adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang
diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-
barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan
berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.
Oleh karena itu, jika melaksanakan akad sharf (penukaran) antar barang yang sejenis,
tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Larangannya adalah
menukar atau menjual komoditi yang sama (terkait dengan 6 komoditi yaitu emas, perak,
gandum, biji-bijian, garam dan kurma) dengan jumlah yang berbeda.
2. Riba nasiah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasiah adalah Memberikan kelebihan terhadap
pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding
utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan
yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. (Alauddin al-Kasani, Badai ash-
Shanai fi Tartib Asy-Syarai, juz 5 hal. 183)
Riba nasiah adalah melebihkan pembayaran atau barang yang dipertukarkan,
diperjualbelikan atau diutangkan karena adanya tambahan waktu pembayaran atau
penyerahan barang baik yang sejenis ataupun tidak.


D. HAL YANG MENIMBULKAN RIBA
1. Tidak sama nilainya
2. Tidak sama ukurannya menurut syara, baik timbangan, takaran maupun ukurannya
3. Tidak tunai di majelis akad

E. CONTOH PRAKTEK RIBA
- Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzaraah : ialah menyewa lahan dengan
bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan dari lahan itu
- Muzabanah : ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan
pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak).
- Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah
masak (ijon).
15

Sesungguhnya ketiga hal di atas dan yang semisal dengannya diharamkan karena adanya
persamaan yang tidak diketahui atau disebut juga mufadalah (ada kelebihan pada salah
satu pihaknya).
- Segala sesuatu yang menjurus ke riba adalah haram dan semua sarana yang
membantunya.
- Pertukaran uang yang tidak sama nilai intrinsiknya (misal 100 dinar emas indonesia
dengan 100 dinar emas dubai tapi ketika ditimbang ada selisih 2 gram)maka 2 gram
tsb adalah riba karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)
- Pinjaman uang dengan lebih (pinjam 10 dinar, dikembalikan ditambah 10% dari pokok
pinjaman, jadi 11 dinar)maka yang 10% dari pokok pinjaman tsb (1 dinar) adalah riba
karena tidak ada imbangannya (tidak tamasul/sama nilainya)
- Pertukaran 1 liter beras ketan dengan 2 liter beras organik maka pertukaran tersebut
adalah riba karena beras harus diktukar dengan yang sejenis dan tidak dilebihkan.Maka
solusinya adalah beras ketannya dijual dulu kemudian uangnya dibelikan beras organik
atau dikonversikan ke nilai uang hingga sama nilainya.
- Seseorang yang menukar 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk
riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukarkan 5 gram
emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba
sebab walaupun harganya sama, ukurannya berbeda.

F. PENDAPAT ULAMA FIQIH TENTANG ILLAT RIBA
Ulama sepakat menetapkan riba fadhl pada 7 barang yaitu emas, perak, gandum, syair
(biji-bijian), kurma, garam dan anggur kering. Pada benda-benda ini, adanya tambahan
pada pertukaran sejenis adalah diharamkan.
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda :
Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, syair dengan syair, kurma
dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di
tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia
terjatuh dalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama. (HR.
Muslim)

Adapun pada barang selain itu, para ulama berbeda pendapat :
16

- Imam Malik mengkhususkannya pada makanan pokok
- Menurut pendapat masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada
setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang
- Imam Syafii berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak serta
makanan meskipun tidak ditimbang
Perbedaan antar madzhab lebih detail sbb :
1. Madzhab Maliki
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah
harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan, mereka berbeda pendapat dalam
hubungannya dengan riba nasiah dan riba fadhl.
Illat diharamkannya riba nasiah dalam makanan adalah sekadar makanan saja
(makanan selain untuk mengobati), baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur
penguat (makanan pokok) dan kuat disimpan lama atau tidak kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang
sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
Alasan utama Malikiyah menetapkan illat di atas antara lain apabila riba dipahami
agar tidak terjadi penipuan di antara manusia dan dapat saling menjaga, makanan
tersebut haruslah dari makanan yang menjadi pokok kehidupan manusia yakni makanan
pokok seperti gandum, padi, jagung dan lain-lain.
2. Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar atau
ditimbang serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam
dan anggur kering. Dengan kata lain jika barang-barang yang sejenis dari barang-barang
yang telah disebut di atas seperti gandum dengan gandum ditimbang untuk
diperjualbelikan dan terdapat tambahan dari salah satunya, terjadilah riba fadhl.
Adapun jual beli pada selain barang-barang yang ditimbang seperti hewan, kayu dan
lain-lain tidak dikatakan riba meskipun ada tambahan dari salah satunya seperti menjual
1 ekor kambing dengan 2 ekor kambing sebab tidak termasuk barang yang bisa
ditimbang. (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal. 185)
Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadits shahih Said al-Khudri
dan Ubadah ibn Shanit ra bahwa Nabi Saw bersabda, emas dengan emas, keduanya
sama (mitslan bi mitslin), tumpang terima (yadan bi yadin), (apabila ada) tambahan
adalah riba, perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima, (apabila ada)
17

tambahan adalah riba, gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima,
(apabila ada) tambahan adalah riba, syair dengan syair, keduanya sama, tumpang
terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, kurma dengan kurma, keduanya sama,
tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba, garam dengan garam, keduanya
sama, tumpang terima, (apabila ada) tambahan adalah riba.
Di antara hikmah diharamkannya riba adalah untuk menghilangkan tipu menipu di
antara manusia dan juga menghindari kemudharatan. Asal keharamannya adalah Sadd
Adz-Dzarai (menurut pintu kemudharatan).
Namun demikian tidak semuanya berdasarkan sadd adz-dzarai tetapi ada pula yang
betul-betul dilarang seperti menukar barang yang baik dengan yang buruk sebab hal
yang keluar dari ketetapan harus adanya kesamaan (mitslan bi mitslin).
Ukuran riab fadhl pada makanan adalah sha sebab menurut golongan ini, itulah
yang telah ditetapkan syara (Alauddin al-Khuskhafi, Ad-Durul Mukhtar, juz 4, hal.
188). Oleh karena itu dibolehkan tambahan jika kurang dari sha.
Illat riba nasiah adalah adanya salah satu dari 2 sifat yang ada pada riba fadhl dan
pembayarannya diakhirkan. Riba jenis ini telah biasa dikerjakan oleh orang jahiliyah
seperti seseorang membeli 2 kg gandum pada bulan Muharram dan akan dibayar
menjadi 2,5 kg gandum pada bulan Safar.
3. Madzhab Syafii
Illat riba pada emas dan perak adalah harga yakni kedua barang tersebut dihargakan
atau menilai harga suatu barang. Illat pada makanan adalah sesuatu yang bisa dimakan
dan memenuhi 3 kriteria sbb :
a. Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
b. Makanan yang lezat atau dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan
dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti tin dan anggur kering
c. Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan
yakni obat. Ulama Syafiiyah antara lain beralasan bahwa makanan yang
dimaksudkan adalah untuk menyehatkan badan termasuk pula obat untuk
menyehatkan badan.
Dengan demikian riba dapat terjadi pada jual beli makanan yang memenuhi kriteria
di atas. Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafiiyah, jual beli harus
memenuhi kriteria :
18

a. Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan
datang
b. Sama ukurannya
c. Tumpang terima
Menurut ulama Syafiiyah, jika makanan tersebut berbeda jenisnya seperti menjual
gandum dengan jagung, dobolehkan adanya tambahan, berdasarkan pada hadits
Rasulullah Saw bersabda, Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam, keduanya
sama, tumpang terima. Jika tidak sejenis, juallah sekehendakmu asalkan tumpang
terima.
Selain itu, dipandang tidak riba walaupun ada tambahan jika asalnya tidak sama
meskipun bentuknya sama, seperti menjual tepung gandum dengan tepung jagung.
4. Madzhab Hambali
Pada madzhab ini terdapat 3 riwayat tentang illat riba, yang paling masyhur adalah
seperti pendapat ulama Hanafiyah hanya saja ulama Hanabilah mengharamkan pada
setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
Riwayat kedua adalah sama dengan illat yang dikemukakan oleh ulama Syafiiyah.
Riwayat ketiga, selain pada emas dan perak adalah pada setiap makanan yang
ditimbang, sedangkan pada makanan yang tidak ditimbang tidak dikategorikan riba
walaupun ada tambahan. Demikian juga pada sesuatu yang tidak dimakan manusia.
Hal ini sesuai dengan pedapat Saib bin Musayyib (Ibnu Qudamah, Al-Muhtaj, juz 4,
hal. 3-5) yang mendasarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah Saw bersabda, Tidak
ada riba kecuali pada yang ditimbang atau dari yang dimakan dan diminum. (HR
Daruquthni)

G. RINGKASAN DARI PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA
Perbedaan pendapat di kalangan ulama di atas menyebabkan adanya beberapa perbedaan
lainnya sbb :
1. Berkaitan dengan Riba Fadhl
Ulama Hanafiyah membolehkan adanya tambahan pada makanan yang tidak
ditimbang sebab tidak ada illat riba yaitu timbangan.
Menurut Ulama Syafiiyah, hal itu tidak boleh sebab meskipun tidak ditimbang, tetap
termasuk jenis makanan.
19

Sesuatu yang tidak termasuk makanan tetapi ditimbang dan diukur,menurut ulama
Hanafiyah tidak boleh ada tambahan sedangkan menurut ulama Syafiiyah dibolehkan
karana bukan termasuk makanan.
2. Berkaitan dengan Jenis
Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli yang berkaitan dengan jenis :
a. Jual beli tepung dengan sejenisnya
Seperti tepung gandum dengan tepung gandum, ulama Hanafiyah dan Hanabilah
membolehkannya sedangkan ulama Malikiyah dan Syafiiyah melarangnya.
b. Jual beli dengan hewan
Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf membolehkan jual beli daging yang dapat
dimakan dengan hewan sejenisnya sebab sama dengan menjual sesuatu yang
ditimbang dengan sesuatu yang tidak ditimbang.
Ulama Malikiyah, Hanabilah dan Syafiiyah melarangnya seperti menjual daging
kambing dengan kambing sebab Rasulullah Saw sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Baihaqi, melarang jual beli sesuatu yang masih hidup dengan sesuatu
yang sudah mati.
Perbedaan-perbedaan lainnya tentu saja masih banyak, baik yang berkaitan dengan
riba fadhl maupun dengan riba nasiah.

H. DAMPAK RIBA
1. Kekayaan hanya berputar di segelintir orang saja
2. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin
3. Mustahik (penerima zakat) semakin meningkat dan muzakki (pembayarzakat) semakin
menurun
4. Terjadinya over produksi
5. Monopoli
6. Penimbunan barang
7. Matinya sedekah
8. Pengurangan timbangan
9. Makanan semakin tidak berkualitas dan syubhat
10. Cara penawaran barang (iklan) dusta
11. Sumpah palsu
12. Kerusakan harga
20

DAFTAR PUSTAKA

http://katolisitas.org/2010/03/23/bolehkan-menarik-bunga-dari-peminzaman-uang/
http://de-kill.blogspot.com/2008/11/riba-dalam-islam.html
http://asysyariah.com/riba.html
http://www.bloggerlombok.com/2011/03/makalah-riba.html
http://muhammad-taswin.blogspot.com/2011/11/makalah-riba.html
http://www.titokpriastomo.com/fiqih/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh-
contoh-riba.html

Anda mungkin juga menyukai