Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

TAFSIR AYAT MUAMALAH

disusun untuk memenuhi tugas :

MATA KULIAH : TAFSIR AHKAM

DOSEN PENGAMPU : Dr.Iskandar, M.sy

OLEH

MUHAMMAD ARIF AMAANULLAH (2111211039)

HAMADE ISU (2111211012)

MUALIF AMIRUL DJUMAIDI (2111211012)

RAYHAN AZHAR BAYHAQI (2111211040)

PROGRAM STUDI SYARI’AH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG


2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini dengan baik dan tepat waktu.
Tanpa pertolongannya tentu saja kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan benar. Salawat serta salam semoga tetap terlimpah
curahkan kepada junjungan kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafaatnya diakhirat nanti. Sebelumnya kami sangat mengucapkan
banyak syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan nikmat
sehatnya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah dari
Tafsir Ahkam yang berjudul “Tafsir Ayat Muamalah”. Kami tentu menyadari
makalah sederhana ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan yang ada di dalamnya. Untuk itu, kami sangat
mengharapkan kritik serta saran dari para pembaca untuk pembenahan makalah
ini selanjutnya, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih
baik lagi. Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tidak hanya itu, kami juga mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini.

Kupang, 09 Oktober 2022

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................2

A. Ayat,Terjemah,Asbabun nuzul dan tafsir ayat tentang riba.........................2


B. Riba yang haram dalam syariat islam..........................................................13
C. Status Bunga Bank.......................................................................................14

BAB III PENUTUP...............................................................................................17

A. Kesimpulan...............................................................................................17
B. Saran..........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Riba merupakan haram atau dilarang dalam perbankan syariah. Jika riba dengan
jumlah kecil ataupun besar (ganda) maka dianggap tetap hal atau aktifitas yang tidak
boleh dilakukan, sebab sikap dan perbuatan tersebut bisa merugikan selain itu juga
haram untuk semua kalangan masyarakat. Riba jika dijalankan sendiri ataupun
bekerjasama dengan yang terakit riba, itu hal yang tetap diharamkan bagi umat muslim.
Di Indonesia masih terjadi perselisihan akan ragunya bunga bank apakah termasuk
dalam riba atau tidak, tetapi perselisihan ini sudah disepakati oleh Islamic Banker dan
ahli fikih dikalangan dunia. Selain hal tersebut umat Islam haru mempunyai
kepercayaan dan keyakinan dimana sebagai orang muslim jika dalam bertransaksi harus
tidak boleh ada keterlibatn dengan sistem riba. Yang dimaksud dari transaksi ini yakni
bertransaksi uang dimana transfer menggunaka uang dan disaat transaksi tersebut ada
sebuah tambahan. Di Indonesia, sejak perbankan syariah berdiri cukup lama membuat
perbakan syariah semakin pesat dikarenakan banyak perbankan konvensional yang
disyariahkan. Perkembangan-perkembangan dari perbankan syariah ini membuat
masyarakat ingin memilih produk perbankan syariah. Lajunya pertumbuhan ekonomi di
Indonesia sekarang menjadi suatu pusat perhatian dalam sektor industri keuangan. Dari
bagian lain wilayah Indonesia, mayoritas penduduk yang memeluk agam Islam. Dari
mayoritas inilah yang mengakibatkan lajunya perkembangan pola pikir masyarakat akan
keinginan yang lebih mengutamakan memilih perbankan syariah. Tetapi, dari sebagian
masyarakat tersebut juga masih ada belum ada keinginan untuk mengetahui tentang riba
dan pengetahuan akan produk perbankan syariah.

1.2. Rumusan Masalah

Di beberapa uraian yang telah dijelaskan peneliti ini dari latar belakang di atas, sehingga
terdapat rumusan masalah yang akan terjadi serta menemukan fokus dari permasalahan
yakni:

1.Apa saja Ayat-Ayat,Terjemah dan ASBABUN-NUZUL dan Tafsir ayat tentang riba?

2.Contoh Riba yang haram dalam Syariat Islam ?

3.Bagaimana Status Bunga Bank?

1
BAB II
PEMBAHASAN

AYAT-AYAT,TERJEMAHAN DAN ASBABUN-NUZUL TENTANG RIBA

1................................................................................................................................Surat
AL-BAQARAH Ayat (2:275)

ۘ ‫اَلَّ ِذ ۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡونَ ال ِّر ٰبوا اَل يَقُ ۡو ُم ۡونَ اِاَّل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّ ِذ ۡى يَتَ َخبَّطُهُ ال َّش ۡي ٰطنُ ِمنَ ۡال َمسِّ ؕ ٰذ لِكَ بِاَنَّهُمۡ قَالُ ۡۤوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل الر ِّٰبوا‬
َ‫ولٓ ِٕٮك‬
ٰ ُ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َم الر ِّٰبوا ؕ فَ َم ۡن َجٓا َء ٗه َم ۡو ِعظَةٌ ِّم ۡن َّرب ِّٖه فَ ۡانتَ ٰهى فَلَهٗ َما َسلَفَ ؕ َواَمۡ ر ُٗۤه اِلَى هّٰللا ِؕ َو َم ۡن عَا َد فَا‬
٢٧٥ َ‫ار هُمۡ فِ ۡيهَا ٰخلِد ُۡون‬ ۚ ِ َّ‫ص ٰحبُ الن‬ ۡ َ‫ا‬

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti


berdirinya orang yang kesurupan setan karena gila. 1 Yang demikian itu karena
mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat
peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah di perolehnya
dahulu menjadi miliknya[2] dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang
siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.

 ASBABUN-NUZUL Dan Tafsir Ayat

Setelah Allah Ta’ala menceritakan tentang orang-orang yang berbuat


kebajikan, mengeluarkan infak, membayar zakat, serta mengutamakan kebaikan
dan sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan dan kepada kaum kerabat,
yang dilakukan di setiap keadaan dan waktu, kemudian dalam ayat ini Allah
Ta’ala memulai dengan menceritakan tentang orang orang yang memakan riba
dari harta kekayaan orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan, serta berbagai
macam syubhat. Lalu Allah Ta’ala, mengibaratkan keadaan mereka pada saat
bangkit dan keluar dari kubur ada hari kebangkitan.

Firman-Nya (‫)الذين يأكلون الربا ال يقومون إال كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس‬
1
Orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukkan setan. 106) Riba yang sudah
diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

2
maksudnya, mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada hari kiamat
kelak kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan
setan. Yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya. Ibnu Abbas
mengatakan: “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam
keadan gila yang tercekik.” Imam Al- Bukhari meriwayatkan dari Samurah bin
Jundab, dalam hadis panjang tentang mimpi:

‫ َوِإ َذا‬،‫سبَ ُح‬


ْ َ‫سابِ ٌح ي‬ َ ‫وِإ َذا فِي النَّ ْه ِر َر ُج ٌل‬- َ ‫ َأ ْح َم ُر ِم ْث ُل الد َِّم‬:‫سبْتُ َأنَّهُ َكانَ يَقُو ُل‬ ِ ‫ح‬-َ ‫"فََأتَ ْينَا َعلَى نَ ْه ٍر‬
‫ْأ‬
‫سبَ ُح] ثُ َّم يَ تِي َذلِكَ الَّ ِذي‬
ْ َ‫ [ َما ي‬،‫سبَ ُح‬ ْ َ‫سابِ ُح ي‬ َّ ‫ َوِإ َذا َذلِ َك ال‬،ً‫شطِّ النَّ ْه ِر َر ُج ٌل قَ ْد َج َم َع ِع ْن َدهُ ِح َجا َرةً َكثِي َرة‬
َ ‫َعلَى‬
َّ ‫َأ‬
. ‫ نهُ آ ِك ُل ال ِّربَا‬:‫سي ِر ِه‬ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ
ِ ‫قَ ْد َج َم َع ال ِح َجا َرة ِعن َدهُ فيَفغ ُر لهُ فاهُ فيُلقِ ُمهُ َح َج ًرا" َوذك َر فِي تف‬
ْ ْ َ ْ

Artinya: “Maka tibalah kami di sebuah sungai, aku menduga ia


mengatakan, ‘Sungai itu merah semerah darah.’ Ternyata di sungai tersebut
terdapat seseorang yang sedang berenang, dan di pinggirnya terdapat seseorang
yang telah mengumpulkan batu yang sangat banyak di sampingnya. Orang itu
pun berenang mendatangi orang yang mengumpulkan batu itu. Kemudian orang
yang berenang itu membuka mulutnya, lalu ia menyuapinya dengan batu. Dan
dalam menafsirkan peristiwa tersebut dikatakan bahwa ia itulah pemakan riba.”
(HR. Al-Bukhari 7047)

Firman-Nya (‫ )ذل——ك ب——أنهم ق——الوا إنم——ا ال——بيع مث——ل الرب——ا وأح——ل هللا ال——بيع وح——رم الربا‬maksudnya,
mereka membolehkan riba dengan maksud untuk menentang hukum-hukum
Allah Ta’ala yang terdapat dalam syariat-Nya. Bukan karena mereka
mengqiyaskan riba dengan jual beli, sebab orang-orang musyrik tidak pernah
mengakui penetapan jual beli yang telah ditetapkan Allah Ta’ala di dalam Al-
Qur’an. Seandainya hal itu termasuk masalah qiyas, niscaya mereka akan
mengatakan: “Sesungguhnya riba itu sama seperti jual beli.” Tetapi dalam hal ini
mereka mengatakan, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. “Artinya,
keduanya serupa, lalu mengapa Dia mengharamkan yang ini dan menghalalkan
yang itu? Yang demikian itu merupakan penentangan mereka terhadap syariat.
Artinya, yang ini sama dengan ini, dan Dia sendiri telah menghalalkan ini dan
mengharamkanya.

Firman-Nya (‫ )وأح——ل هللا ال——بيع وح——رم الربا‬hal ini mungkin merupakan bagian dari
kesempurnaan kalam sebagai penolakan terhadap mereka atau terhadap apa yang
mereka katakan, padahal mereka mengetahui perbedaan hukum yang ditetapkan
Allah Ta’ala antara keduanya. Dia Mahamengetahui lagi Mahabijaksana. Tidak
ada yang dapat menolak ketetapan-Nya dan Allah Ta’ala tidak dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang telah Ia kerjakan, justru merekalah yang akan
dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang Mahamengetahui segala hakikat dan
kemaslahatan persoalan. Apa yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, maka
Dia akan membolehkannya bagi mereka, dan apa yang membahayakan bagi
mereka, maka Dia akan melarangnya bagi mereka. Kasih sayang Allah Ta’ala
kepada para hamba-Nya lebih besar daripada sayannya seorang ibu kepada anak
bayinya.

Firman-Nya (‫ )فمن ج——اءه موعظ——ة من رب——ه ف——انتهى فل——ه م——ا س——لف وأم——ره إلى هللا‬maksudnya,
barangsiapa yang telah sampai kepadanya larangan memakan riba, lalu ia

3
mengakhirinya ketika syariat sampai kepadanya, maka baginya hasil muamalah
terdahulu. Yang demikian itu didasarkan pada firman-Nya dalam Surah Al-
Maidah ayat 95 yang artinya: “Allah memaajkan apa yang telah berlalu. ” Dan
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat
pembebasan kota Makkah (bahkan pada haji Wada’):

"‫س‬ َ ‫ َوَأ َّو ُل ِربًا َأ‬،‫ضو ٌع ت َْحتَ قَ َد َم ْي هَاتَ ْي ِن‬


ِ ‫ض ُع ِربَا ا ْل َعبَّا‬ ُ ‫" َو ُك ُّل ِربًا فِي ا ْل َجا ِهلِيَّ ِة َم ْو‬
Artinya: “Segala bentuk riba pada masa Jahiliyah diletakkan di bawah
kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan adalah riba ‘Abbas.”
(Lihat kitab Taarikhul Kabir, karangan Al-Bukhari, juz I)

Firman-Nya (‫ )فله ما سلف وأمره إلى هللا‬Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
menyuruh mereka mengembalikan keuntungan yang mereka peroleh pada masa
jahiliyah, tetapi Allah Ta’ala telah memaafkan mereka atas apa yang telah
berlalu. Said bin Jubair dan As-Suddi mengatakan: “Baginya riba yang dahulu
pernah ia makan sebelum diharamkan.” Ibnu Abi Hatim meriwayatkan: bahwa
Aisyah radiallahu anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertutur:

: ْ‫ قَالَت‬.‫ نَ َع ْم‬: ْ‫ َأتَ ْع ِرفِينَ َز ْي َد بْنَ َأ ْرقَ َم؟ قَالَت‬، َ‫ يَا ُأ َّم ا ْل ُمْؤ ِمنِين‬:-‫قَالَتْ لَ َها َأ ُّم ُم َحبَّةَ َأ ُّم َولَ ٍد لِزَ ْي ِد ْب ِن َأ ْرقَ َم‬
َ ِ‫ ب‬: ْ‫ فَقَالَت‬.‫ستِّ ِماَئ ٍة‬
‫ْئس‬ ِ ‫شتَ َر ْيتُهُ قَ ْب َل َم َح ِّل اَأْل َج ِل ِب‬
ْ ‫ فَا‬،‫َاج ِإلَى ثَ َمنِ ِه‬ َ ‫احت‬ ْ َ‫ ف‬،‫فَِإنِّي ِب ْعتُهُ َع ْبدًا ِإلَى ا ْل َعطَا ِء بِثَ َمانِ ِماَئ ٍة‬
‫سلَّ َم ِإنْ لَ ْم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫ول هَّللا‬ِ ‫س‬ ُ ‫ت! َأ ْبلِ ِغي زَ ْيدًا نَّهُ ق ْد ْبط َل ِج َها َدهُ َم َع َر‬
َ ‫َأ‬ َ ‫َأ‬ ِ ‫شتَ َر ْي‬
ْ ‫ْئس َما ا‬ َ ِ‫ت! َوب‬ ِ ‫ش َر ْي‬ َ ‫َما‬
‫ {فَ َمنْ َجا َءهُ َم ْو ِعظَةٌ ِمنْ َربِّ ِه‬،‫ نَ َع ْم‬: ْ‫ستَّ ِماَئ ِة؟ قَالَت‬ ِّ ‫ال‬ ُ‫ت‬ َ
‫ذ‬ ‫خ‬ َ ‫َأ‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ي‬
َ ِ ْ َِ ‫ت‬‫اَئ‬‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ُ‫ت‬ َ
‫ك‬ ‫ر‬ َ ‫ت‬ ْ‫ن‬
َ ‫َ ْ ِ ِإ‬ ‫ت‬ ‫ي‬‫َأ‬ ‫ر‬‫َأ‬ : ُ‫ت‬ ْ
‫ل‬ ُ ‫ق‬َ ‫ف‬ : ْ‫ت‬ َ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ق‬ ‫يَت ُْب‬
.} َ‫سلف‬ َ َ ‫فَا ْنتَ َهى فلهُ َما‬
َ َ

Artinya: “la pernah ditanya oleh Ummu Bahnah, yaitu ummu walad Zaid
bin Arqam, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau kenal Zaid bin Argam?’
‘Ya, aku mengenalnya,’ jawab Aisyah. Ummu Bahnah mengatakan:
‘Sesungguhnya aku telah menjualkannya (untuk Zaid) seorang budak kepada
Atha’ dengan harga 800 dirham (dengan tempo/utang). Lalu aku memerlukan
uang, maka aku membeli kembali (budak itu) (dengan tunai) sebelum sampai
waktu pembayaran (sebelum jatuh tempo) dengan harga 600 dirham (tunai).’
Aisyah pun berkata: ‘Alangkah buruknya pembelianmu, alangkah buruknya
pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada Zaid bahwa ia benar-benar telah
menghapuskan pahala jihadnya bersama Rasulullah, jika ia tidak segera
bertaubat.’ Ummu Bahnah melanjutkan pertanyaan: ‘Bagaimana menurut
pendapatmu, jika aku meninggalkan 200 dirham dan mengambil yang 600.
dirham (sebagai pembayaran hutang)?’ Aisyah menjawab: ‘Ya, boleh.’ ‘Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datangnya larangan), dan urusannya terserah kepada Allah.” (Atsar ini
sudah sangat masyhur dan merupakan dalil bagi orang yang mengharamkan jual
beli a’inah (riba terselubung) serta beberapa hadis lain yang berkaitan dengan
hal itu yang telah ditetapkan dalam masalah hukum. Ummu walad adalah wanita
yang melahirkan anak majikannya)

Firman-Nya (‫ )ومن ع————اد‬maksudnya kembali mengambil riba, dan ia


mengerjakannya setelah sampai kepadanya larangan tersebut, maka wajib
baginya hukuman dan penegasan hujjah atasnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala

4
berfirman (‫)فأولئ——————————————ك أص——————————————حاب الن——————————————ار هم فيه——————————————ا خال——————————————دون‬.

Abu Daud telah meriwayatkan dari Abu Zubair, dari Jabir, ia menceritakan
ketika turun ayat yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran tekanan penyakit gila.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:

ٍ ‫ فَ ْليَْأ َذنْ بِ َح ْر‬،َ‫" َمنْ لَ ْم يَ ْذ ِر ا ْل ُم َخابَ َرة‬


ُ ‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َر‬
"‫سولِ ِه‬
Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka
maklumatkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya.’” (HR. Abu Dawud 3406
dan Al-Hakim 2/286 dari Abu Khaitsam. Dan ia mengatakan, bahwa derajat
hadis itu sahih dengan syarat Muslim, namun Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim tidak meriwayatkannya)

Diharamkan “mukhabarah”, yaitu menyewakan tanah dengan imbalan sebagian


hasil buminya. Demikian juga “muzabanah”, yaitu membeli kurma basah yang
masih ada di pohonnya dengan pembayaran kurma kering yang sudah ada di
tanah. Dan “muhagalah”, yaitu pembelian biji yang masih melekat pada
tangkainya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah. Semuanya itu dan
juga semua praktek yang sejenisnya diharamkan untuk merintangi jalan ke inti
riba, sebab belum diketahui kesamaan dua barang sebelum keduanya kering
betul. Oleh karena itu, para fuqaha mengemukakan: “Ketidaktahuan terhadap
kesamaan, sama seperti hakikat kelebihan.” Dan mereka juga mengharamkan
segala sesuatu yang mereka pahami, sebagai upaya untuk mempersempit jalan
dan berbagai sarana yang mengantarkan kepada riba. Adapun ketidaksamaan
pandangan mereka tergantung pada ilmu yang dikaruniakan Allah Ta’ala kepada
mereka. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Yusuf ayat 76 yang artinya:
“Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang
Mahamengetahui (Allah).”

Masalah riba ini merupakan masalah yang paling rumit menurut kebanyakan
ulama. Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khaththab pernah mengatakan, tiga hal
yang seandainya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan
kepada kami dengan suatu wasiat yang dapat memuaskan kami yaitu dalam
masalah; al-jaddu (bagian warisan kakek), al-kalalah (orang yang meninggal
tidak meninggalkan ayah dan anak), dan beberapa masalah riba. Maksudnya
adalah sebagian masalah yang di dalamnya terdapat percampuran riba,
sedangkan syariat telah menetapkan bahwa sarana yang mengantarkan kepada
yang haram itu pun haram hukumnya, karena sesuatu yang mengantarkan
kepada yang haram adalah haram, sebagaimana tidak sempurna suatu kewajiban
kecuali dengan sesuatu, makanya itu menjadi wajib.

Di dalam Kitab Ash-Sahihain (Al-Bukhari dan Muslim) telah ditegaskan sebuah


hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir, ia
menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:

5
‫ستَ ْب َرَأ لِ ِدينِ ِه‬
ْ ‫تا‬ِ ‫شبَ َها‬ ْ ‫ َوبَيْنَ َذلِكَ ُأ ُمو ٌر ُم‬، ٌ‫"ِإنَّ ا ْل َحاَل َل َبيِّنٌ َوِإنَّ ا ْل َح َرا َم بَيِّن‬
ُّ ‫ فَ َم ِن اتَّقَى ال‬، ٌ‫شتَبِ َهات‬
‫َأ‬
‫ش ُك نْ يَ ْرتَ َع فِي ِه‬ ِ ‫ َكال َّرا ِعي يَ ْرعَى َح ْو َل ال ِح َمى يُو‬،‫ت َوقَ َع فِي ا ْل َح َر ِام‬
ْ ِ ‫شبَ َها‬ُّ ‫ َو َمنْ َوقَ َع فِي ال‬،‫ض ِه‬ ِ ‫َو ِع ْر‬
Artinya: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, yang haram pun telah
jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar (diragukan).
Barangsiapa menjaga dirinya dari perkara yang diragukan, berarti ia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke
dalam keraguan, berarti ia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram, seperti
penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah terlarang,
lambat laun ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Al-Bukhari 52 dan Muslim
1599)

Dan di dalam kitab As-Sunan juga diriwayatkan sebuah hadis dari Al-Hasan bin
Ali radiallahu anhuma, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu‘alaihiwasallam bersabda:

"‫" َد ْع َما يُ ِريبُ َك ِإلَى َما اَل يُ ِريبُ َك‬


Artinya: “Tinggalkan perkara yang engkau ragukan, menuju kepada
perkara yang tidak engkau ragukan.” (HR. At-Tirmidzi 2518 dan Nasai 8/327)

Dalam hadis yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

ُ َّ‫ َو َك ِرهْتَ َأنْ يَطَّلِ َع َعلَ ْي ِه الن‬،‫س‬


:‫ َوفِي ِر َوايَ ٍة‬."‫اس‬ ُ ‫ب َوتَ َر َّددَتْ فِي ِه النَّ ْف‬ِ ‫"اِإْل ْث ُم َما َحا َك فِي ا ْلقَ ْل‬
‫َأ‬
"‫اس َو ْفت َْو َك‬ ُ َّ‫ َوِإنْ َأ ْفتَاكَ الن‬،َ‫ت قَ ْلبَك‬ ِ ‫ستَ ْف‬
ْ ‫"ا‬
Artinya: “Dosa itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu, yang
padanya jiwa menjadi ragu, dan engkau tidak suka bila diketahui orang lain.
Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan: “Mintalah fatwa kepada hatimu,
meskipun manusia telah memberikan fatwa kepadamu.” (HR. Imam Ahmad
4/228 dan Imam ad-Darimi dalam kitab Musnad milik masing-masing dari
keduanya dengan sanad sahih atau hasan)

Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Ayat yang terakhir


kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ayat tentang
riba.” Demikian yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dari Qabishah.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Umar pernah mengatakan: “Ayat yang
terakhir kali turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ayat
tentang riba, dan sesungguhnya beliau telah dipanggil ke hadirat-Nya sebelum
beliau sempat menafsirkannya kepada kami. Oleh karena itu, tinggalkan riba dan
keraguan.” Ia mengatakan bahwa hadis tersebut juga diriwayatkan Ibnu Majah
dan Ibnu Mardawih. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abdullah bin Masud,
dari Nabi, beliau bersabda:

6
:َ‫ َو َزاد‬،‫سنَا ِد ِم ْثلِ ِه‬ ِ ‫ث َع ْم ِرو ْب ِن َعلِ ٍّي ا ْلفَاَّل‬
ْ ‫ بِِإ‬،‫س‬ ْ ‫ َو َر َواهُ ا ْل َحا ِك ُم فِي ُم‬ "‫س ْبعُونَ بَابًا‬
ِ ‫ ِمنْ َح ِدي‬،‫ستَ ْد َر ِك ِه‬ َ ‫"ال ِّربَا ثَاَل ثَةٌ َو‬
َّ ‫يح َعلَى ش َْر ِط ال‬
،‫ش ْي َخ ْي ِن‬ ٌ ‫ص ِح‬ َ :‫ َوقَا َل‬."‫سلِ ِم‬ ْ ‫ض ال َّر ُج ِل ا ْل ُم‬ ‫َأ‬ ‫ُأ‬
ُ ‫ َوِإنَّ ْربَى ال ِّربَا ِع ْر‬،ُ‫س ُرهَا َأنْ يَ ْن ِك َح ال َّر ُج ُل َّمه‬َ ‫"َأ ْي‬
.‫ولم يخرجاه‬
Artinya: “Riba itu ada 73 (tujuh puluh tiga) macam. Hadis ini juga
diriwayatkan Al-Hakim dalam kitabnya, Al-Mustadrak, dari ‘Amr bin ‘Ali al-
Falas, dengan isnad yang sama, dengan tambahan lafaz: “Yang paling ringan
dari riba itu seperti seseorang menikahi ibunya sendiri dan sejahat-jahat riba
adalah mengganggu kehormatan seorang muslim. Al-Hakim mengatakan:
“Hadis tersebut sahih dengan syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim), namun
keduanya tidak meriwayatkannya.” (HR. Ibnu Majah 2275 dan Al-Hakim 2/37)

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu


‘alaihiwasallam pernah bersabda:

"‫ " َمنْ لَ ْم َيْأ ُك ْلهُ ِم ْن ُه ْم نَالَهُ ِمنْ ُغبَا ِر ِه‬:‫اس ُكلُّ ُه ْم؟ قَا َل‬
ُ َّ‫ الن‬:ُ‫ قِي َل لَه‬:‫س َز َمانٌ َيْأ ُكلُونَ فِي ِه ال ِّربَا" قَا َل‬
ِ ‫" َيْأتِي َعلَى النَّا‬

Artinya: “Akan datang suatu masa di mana manusia banyak memakan


riba.” Ditanyakan kepada Rasulullah: “Apakah manusia secara keseluruhan?”
Beliau menjawab: “Yang tidak memakannya pun akan terkena debunya.” (HR.
Ahmad 6/46, Abu Dawud 1131, An-Nasai 7/243 dan Ibnu Majah 2278)

Oleh karena itu, diharamkan segala sarana yang dapat menimbulkan setiap
perkara yang haram. Ahmad meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Setelah ayat-ayat mengenai riba yang terdapat pada akhir Surah Al-Baqarah
turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat ke masjid, lalu beliau
membacakan ayat-ayat tersebut. Selanjutnya beliau mengharamkan perdagangan
khamr.” Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Jama’ah, kecuali At-Tirmidzi,
melalui jalan al-A’masy. (HR. Al-Bukhari 4540/4541, Muslim 1580, Abu
Dawud 3490, An-Nasai 11055, Ibnu Majah 3382 dan Ahmad 6/46,

Demikian pula redaksi dari riwayat Al-Bukhari ketika menafsirkan ayat ini,
maka diharamkanlah perdagangan khamr. Dalam lafaz Al-Bukhari, yang
diriwayatkan dari Aisyah radiallahu anha, ia menceritakan: “Ketika ayat-ayat
yang terdapat pada akhir Surat Al-Baqarah mengenai riba, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam membacakannya kepada umat manusia, lalu beliau
mengharamkan perdagangan khamr.”

Beberapa imam yang membicarakan hadis ini berkata, “Setelah riba dan
berbagai macam sarananya diharamkan, maka khamr dan segala bentuk
perdagangannya pun diharamkan,” sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
shallallahu‘alaihiwasallam dalam Sebuah hadis:

"‫ ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ِه ُم الش ُُّحو ُم فَ َج َّملُوهَا فَبَاعُوهَا َوَأ َكلُوا َأ ْث َمانَ َها‬،َ‫"لَ َعنَ هَّللا ُ ا ْليَ ُهود‬
Artinya: “Allah melaknat orang Yahudi yang telah diharamkan bagi
mereka lemak, namun mereka mencairkannya, lalu menjualnya dan memakan
hasil penjualannya.” (HR. Al-Bukhari 2223 dan Muslim 1582)

7
Telah dikemukakan sebelumnya pada hadis Ali, Ibnu Mas’ud, dan yang lainnya
dalam pelaknatan terhadap muhallil (seseorang yang berpura-pura menikahi
wanita yang sudah ditalak tiga, agar bisa kembali kepada suami yang
menceraikannya) pada penafsiran firman Allah Ta’ala dalam Surah Al-Baqarah
ayat 230 yang artinya: “Sehingga ia menikah dengan suami yang lain. Sabda
Rasulullahshallallahu‘alaihiwasallam:

"ُ‫ َوشَا ِه َد ْي ِه َو َكاتِبَه‬،ُ‫"لَ َعنَ هَّللا ُ آ ِك َل ال ِّربَا َو ُمو ِكلَه‬


Artinya: “Allah melaknat orang yang memakan riba, yang mewakili
transaksi riba, dua orang saksinya, dan orang yang menuliskannya.”

Mereka berpendapat: “Dan janganlah seseorang menyaksikannya dan


menuliskannya kecuali jika diperlihatkan dalam bentuk akad syar’i, padahal
transaksi itu sendiri batal.” Dengan demikian, yang dijadikan sandaran adalah
maknanya, bukan gambaran lahiriahnya. Karena amal perbuatan itu tergantung
pada niatnya. Dalam hadis sahih telah ditegaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:

"‫ َوِإنَّ َما يَ ْنظُ ُر ِإلَى قُلُوبِ ُك ْم َوَأ ْع َمالِ ُك ْم‬،‫ص َو ِر ُك ْم َواَل ِإلَى َأ ْم َوالِ ُك ْم‬
ُ ‫"ِإنَّ هَّللا َ اَل يَ ْنظُ ُر ِإلَى‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian,
dan tidak juga kepada harta kekayaan kalian, melainkan la melihat kepada hati
dan perbuatan kalian.” (HR. Muslim 2564)

Imam Al-‘Allamah Abu ‘Abbas Ibnu Taimiyah telah menyusun sebuah kitab
mengenai Ibthalut-Tahlil yang mencakup larangan menempuh berbagai sarana
yang mengantarkan kepada setiap perkara yang batil. Dan pembahasan tentang
hal itu sudah sangat mencukupi dan memuaskan dalam kitab tersebut.

2................................................................................................................................Surat
AL-BAQARAH Ayat(2:276)

‫هّٰللا‬ َّ ‫ق هّٰللا ُ الر ِّٰبوا َوي ُۡربِى ال‬


ٍ َّ‫تؕ َو ُ اَل يُ ِحبُّ ُك َّل َكف‬
٢٧٦ ‫ار اَثِ ۡي ٍم‬ ِ ‫صد َٰق‬ ُ ‫يَمۡ َح‬

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. 2Allah tidak menyukai


setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.

2
Memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan menyuburkan
sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipatgandakan
berkahnya. 108) Orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.

8
 ASBABUN-NUZUL Dan Tafsir Ayat

Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dia menghapuskan riba, baik


menghilangkannya secara keseluruhan dan tangan pelakunya maupun
mengharamkan keberkahan hartanya, sehingga ia tidak dapat mengambil
manfaat darinya, bahkan Dia melenyapkan hasil riba itu di dunia dan
memberikan hukuman kelak pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam Surah Al-Anfaal ayat 37 yang artinya: “Dan Dia menjadikan yang buruk
itu sebagiannya atas sebagian yang lain, lalu semuanya Dia tumpukkan dan
dimasukkan-Nya ke dalam neraka jahannam.”

Dalam Kitab Al-Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan dan Ibnu Masud,


dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

ِ َ‫"ِإ َّن ال ِّربَا َوِإ ْن َكثُ َر فَِإ َّن عَاقِبَتَهُ ت‬


" ٍّ‫صي ُر ِإلَى قُل‬

Artinya: “Sesungguhnya riba, meskipun pada awalnya banyak, namun


akhirnya akan menjadi sedikit.” (HR. Ahmad 1/395)

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Yang demikian itu dari
sisi muamalah, dan itu jelas bertentangan dengan tujuan mengambil riba supaya
banyak.

Firman-Nya (‫ )يربي الصدقات‬kata itu dibaca dengan memberikan dhammah


pada huruf “ya’”. Kata (‫ )يربي‬tersebut berasal dari kata (‫)ربا الشيء يربو \ أرباه يربيه‬
yang berarti memperbanyak dan mengembangbiakkan. Ada juga yang
membacanya, “yurabbii” dengan memberikan dhammah pada huruf “ya’” dan
disertai dengan tasydid pada “ba’” berasal dari kata “attarbiyyatu”.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ia menceritakan,


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:

" ‫ ثُ َّم يُ َربِّيهَا‬،‫ وَِإ َّن هَّللا َ لَيَ ْقبَلُهَا بِيَ ِمينِ ِه‬،‫يب‬ِّ ‫ َواَل يَ ْقبَ ُل هَّللا ُ ِإاَّل ال‬،‫ب‬
َ ‫ط‬ ٍ ِّ‫ب طَي‬
ٍ ‫من تصدق بعدل تمرة ِم ْن َك ْس‬
‫ َحتَّى يَ ُكونَ ِم ْث َل ْال َجبَ ِل‬،‫صا ِحبِ ِه َك َما يُ َربِّي َأ َح ُد ُك ْم فَلُوَّه‬ َ ِ‫"ل‬

Artinya: “Barangsiapa bersedekah senilai satu kurma yang dihasilkan


dengan usaha yang baik (halal) dan Allah tidak menerima kecuali yang baik,
maka sesungguhnya Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu
memeliharanya untuk pelakunya, seperti halnya seseorang di antara kalian

9
memelihara anak kudanya hingga menjadi sebesar bukit.” (HR. Al-Bukhari
1410/7430. Dan hal yang sama juga diriwayatkan Imam Muslim, Imam At-
Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Firman-Nya (‫ )وهللا ال يحب كل كفار أثيم‬maksudnya, Dia tidak menyukai orang


yang hatinya senantiasa ingkar, yang selalu berbuat dosa baik berupa ucapan
maupun perbuatan. Penyebutan sifat di atas dalam mengakhiri ayat ini sangatlah
tepat. Karena, seorang yang melakukan riba itu pada hakekatnya tidak mau
menerima yang halal yang telah ditetapkan Allah Ta’ala baginya dan tidak
merasa cukup dengan usaha yang halal tersebut. Bahkan ia berusaha memakan
harta orang lain dengan cara yang batil, yaitu dengan berbagai macam usaha
busuk. Dengan demikian, ia telah mengingkari nikmat Allah Ta’ala yang telah
diberikan kepadanya, zalim, dan berbuat dosa dengan memakan harta orang lain
dengan cara yang batil.

3. Surat AL-BAQARAH Ayat (2:277)

ٌ ْ‫صلَ ٰوةَ َو َءاتَ ُو ۟ا ٱل َّز َك ٰوةَ لَهُ ْم َأجْ ُرهُ ْم ِعن َد َربِّ ِه ْم َواَل َخو‬
‫ف َعلَ ْي ِه ْم‬ ۟ ‫ت َوَأقَا ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ ۟ ُ‫وا َو َع ِمل‬
َّ ‫وا ٱل‬
ِ ‫ص ٰـلِ َح ٰـ‬ ۟ ُ‫َّن ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ ‫ِإ‬
٢٧٧ َ‫َواَل هُ ْم يَحْ زَ نُون‬

Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan


salat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak
ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.

 ASBABUN-NUZUL Dan Tafsir Ayat

Selanjutnya Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman kepada Rabb


mereka, yang senantiasa menaati perintah-Nya, selalu bersyukur dan berbuat
baik dengan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Allah Ta’ala berfirman
untuk mengabarkan apa yang telah disediakan untuk mereka berupa kemuliaan,
dan bahwasanya mereka pada hari kiamat kelak termasuk orang-orang yang
beriman.

10
4. Surat AL-BAQARAH Ayat (2:278)

٢٧٨ َ‫ُوا َما بَقِ َى ِمنَ ٱل ِّربَ ٰ ٓو ۟ا ِإن ُكنتُم ُّمْؤ ِمنِين‬
۟ ‫وا ٱهَّلل َ َو َذر‬
۟ ُ‫وا ٱتَّق‬
۟ ُ‫يَ ٰـَٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامن‬
َ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan


sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.

 ASBABUN-NUZUL Dan Tafsir Ayat

Asbabun Nuzul ayat ini adalah: “Bahwa redaksi ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Bani ‘Amr bin Umair dari suku Tsaqif, dan Bani Mughirah dari Bani
Makhzum. Di antara mereka telah terjadi praktek riba pada masa jahiliyah.
Setelah Islam datang dan mereka memeluknya, suku Tsaqif meminta untuk
mengambil harta riba itu dari mereka. Kemudian mereka pun bermusyawarah,
dan Bani Mughirah pun berkata: “Kami tidak akan melakukan riba dalam Islam
dan menggantikannya dengan usaha yang disyariatkan. Kemudian Utab bin
Usaid, pemimpin Makkah, menulis surat membahas mengenai hal itu dan
mengirimkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Maka turunlah
ayat tersebut. Lalu Rasulullah membalas Surat Utab dengan surat yang berisi
ayat ini. Maka mereka pun mengatakan, “Kami bertaubat kepada Allah Ta’ala
dan kami tinggalkan sisa riba yang belum kami pungut.” Dan mereka semua pun
akhirnya meninggalkannya.” (Diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam, Ibnu Juraij,
Muqatil bin Hayan dan As-Suddi. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam
Musnadnya dan Ibnu Mandah, dari Al-Kalbi, dari Abu Shalih, yang bersumber
dari Ibnu Abbas)

Asbabun riwayat lainnya adalah: “Bahwa Bani Tsaqif ini antara lain: Mas’ub,
Habib, Rabi’ah dan Abdu Yalail. Mereka ini termasuk Bani Amr dan Bani
Umair.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah)

Firman-Nya (‫ )ياأيها الذين آمنوا اتقوا هللا‬Allah Ta’ala berfirman seraya memerintahkan
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepada-Nya sekaligus
melarang mereka mengerjakan hal-hal yang dapat mendekatkan kepada
kemurkaan-Nya dan menjauhkan dari keridhaan-Nya. Maksudnya, takutlah
kalian kepada-Nya dan berhati-hatilah, karena Dia senantiasa mengawasi segala
sesuatu yang kalian perbuat.

11
Firman-Nya (‫ )وذروا ما بقي من الربا‬artinya, tinggalkanlah harta kalian yang
merupakan kelebihan dari-pokok yang harus dibayar orang lain, setelah
datangnya peringatan ini.

Firman-Nya (‫ )وإن كنتم مؤمنين‬yaitu, beriman kepada syariat Allah Ta’ala, yang
telah ditetapkan kepada kalian, berupa penghalalan jual beli, pengharaman riba,
dan lain sebagainya. Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang
sangat tegas bagi orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya
peringatan tersebut.

5. Surat AL-BAQARAH Ayat (2:279)

ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬


٢٧٩ َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫ب ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو َرسُولِ ِهۦ ۖ َوِإن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم ٰ َولِ ُك ْم اَل ت‬ ۟ ُ‫وا فَْأ َذن‬
ٍ ۢ ْ‫وا بِ َحر‬ ۟ ُ‫فَ ن لَّ ْم تَ ْف َعل‬
‫ِإ‬

Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu.
Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).

 ASBABUN-NUZUL Dan Tafsir Ayat

Firman-Nya (‫ )فإن لم تفعلوا فأذنوا بحرب من هللا ورسوله‬Ibnu Juraij menceritakan, Ibnu
Abbas mengatakan bahwasanya ayat ini maksudnya ialah, yakinilah bahwa
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Sedangkan menurut All bin
Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas, maksudnya, barangsiapa yang masih tetap
melakukan praktek riba dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas
imam kaum muslimin untuk memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri
darinya, maka keselamatan baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal
lehernya.

Firman-Nya (‫ )وإن تبتم فلكم رءوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون‬maksudnya, kalian tidak
berbuat zalim dengan mengambil pokok harta itu.

Firman-Nya (‫ )وال تظلمون‬maksudnya, karena pokok harta kalian dikembalikan


tanpa tambahan atau pengurangan (yaitu: memperoleh kembali pokok harta).

12
Ibnu Mardawaih meriwayatkan, Imam Asy-Syafi’i memberitahu kami, dari
Sulaiman bin `Amr, dari ayahnya, ia menceritakan, aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َواَل ت‬


" َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫ فَلَ ُك ْم ُرُؤ وسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم اَل ت‬،‫ع‬
ٌ ‫"َأاَل ِإ َّن ُك َّل ِربًا ِم ْن ِربَا ْال َجا ِهلِيَّ ِة َموْ ضُو‬

Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyah itu sudah
dihapuskan. Maka bagi kalian pokok harta [modal] kalian. Kalian tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (HR. Abu Dawud 3334 dan Ibnu Majah
3055)

A. Riba yang haram dalam syariat islam

1. Riba nasi'ah

Dalam nasi'ah, riba adalah kelebihan yang didapatkan dari proses transaksi jual-
beli dengan jangka waktu tertentu. Adapun transaksi tersebut menggunakan dua
jenis barang yang sama, namun terdapat waktu penangguhan dalam
pembayarannya. Contoh riba nasi'ah adalah seorang meminjamkan emas
batangan kepada temannya, namun dia meminta dikembalikan dengan uang
tunai setahun mendatang. Namun karena harga emas naik di masa depan, sang
teman harus membayar dengan nilai lebih tinggi.

2. Riba fadhl

Dalam riba fadl, riba adalah kegiatan transaksi jual beli maupun pertukaran
barang-barang yang menghasilkan riba, namun dengan jumlah atau takaran
berbeda. Contoh riba fadl adalah menukar uang satu lembar pecahan Rp 100.000
dengan uang pecahan Rp 10.000 berjumlah 11 lembar alias nilainya Rp 110.000,
sehingga ada kelebihan Rp 10.000.

3. Riba qardh

Dalam jenis qardh, riba adalah tambahan nilai yang dihasilkan akibat
dilakukannya pengembalian pokok utang dengan beberapa persyaratan dari
pemberi utang. Contoh riba qard adalah ketika bank memberikan pinjaman
sebesar Rp 100 juta, kemudian nasabah atau debitur harus mengembalikannya
dengan bunga 12 persen dalam tempo angsuran 24 tahun.

13
4. Riba jahilliyah

Dalam jahiliyah, riba adalah tambahan atau kelebihan jumlah pelunasan utang
yang telah melebihi pokok pinjaman. Biasanya, hal ini terjadi akibat peminjam
tidak dapat membayarnya dengan tepat waktu sesuai perjanjian.

5. Riba yad

Dalam jenis riba ini, riba adalah hasil transaksi jual-beli dan juga penukaran
barang yang menghasilkan riba maupun non ribawi. Namun, waktu penerimaan
serah terima kedua barang tersebut mengalami penundaan. Contoh riba yad
adalah ketika seorang membeli mobil secara tunai dihargai sebesar Rp 100 juta,
namun saat seorang memutuskan membelinya secara kredit harganya menjadi
Rp 120 juta.

“berbagai penjelasan contoh yang disebutkan di atas maupun pendapat


para ulama, hukum riba adalah haram. Jelas, riba adalah transaksi yang
terlarang dalam Islam.”

B. Status Bunga Bank

Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah,
Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya
sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya
imbalan untuk tambahan ini”. Misalnya, menukarkan 10 kilogram beras ketan dengan
12 kilogram beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp300 ribu
kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp325 ribu. Para
ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer, semua sepakat
akan keharaman riba. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank, juga
mengharamkan riba. (Lihat: Al-Mabsut juz 14 halaman 36, Al-Syarh al-Kabir juz 3
halaman 226, Nihayatul Muhtaj juz 4 halaman 230, Al-Mughni juz 4 halaman 240, Al-
Tafsir al-Wasit juz 1 halaman 513). Dengan demikian dapat dipahami bahwa
perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum
bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank
termasuk riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa ia tidak
termasuk riba. Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua macam bunga:
Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan
atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro,
bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan
harga beli. Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para
peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga

14
kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual. Bunga simpanan dan
bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank.
Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah,
sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah.
Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau
keuntungan yang diterima oleh pihak bank. (Lihat: Ahmad Wardi Muslich, Fiqh
Muamalat, Jakarta: Amzah, halaman 503-504). Para ulama kontemporer berbeda
pendapat tentang hukum bunga bank. Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf
Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan
bahwa bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba. Pendapat ini juga
merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’
Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Adapun dalil
diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat al-Baqarah
ayat 275:

‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir
bin Abdillah: ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم آ ِك َل الرِّ بَا َو ُموْ ِكلَهُ َوكَاتِبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َوقَا َل هُ ْم‬
َ ِ ‫ لَعَنَ َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬
َ َ‫ع َْن َجابِ ٍر ق‬
‫ َس َوا ٌء‬Dari Jabir,

ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan


(mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia
berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994). (Lihat: Yusuf
Qaradhawi, Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-
11; Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga). Kedua, sebagian ulama
kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad
Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa
bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba. Pendapat ini sesuai dengan
fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H,
bertepatan tanggal 28 November 2002 M. Mereka berpegangan pada firman Allah
subhanahu wata’ala Surat an-Nisa’ ayat 29:

ِ َ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَْأ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬
ٍ ‫اط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََر‬
‫اض ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu.” Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang
lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba.
Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan
dengan saling ridha. Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk
menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank,
dibenarkan dalam Islam. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga

15
bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun
tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad. Akan tetapi, tambahan dimaksud
hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga
bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut. Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus
al-Islamiyyah disebutkan:

َ ‫ك الَّتِ ْي تُ َح ِّد ُد الرِّ ب َْح َأ ِو ال َعاِئ َد ُمقَ َّد ًما َحاَل ٌل شَرْ عًا َواَل بَْأ‬
‫س ِب ِه‬ ِ ْ‫ال لَدَى ْالبُنُو‬
ِ ‫ار اَأْل ْم َو‬
َ ‫ِإ َّن ا ْستِ ْث َم‬

Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan


atau bunga di depan hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa. (Lihat: Ali
Ahmad Mar’i, Buhus fi Fiqhil Mu’amalat, Kairo: Al-Azhar Press, halaman 134-158;
Asmaul Ulama al-ladzina Ajazu Fawaidal Bunuk; Fatwa Majma' Buhuts al-Islam bi
Ibahati Fawaidil Masharif) Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun
1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank: Pertama, pendapat yang
mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya
adalah haram. Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba,
sehingga hukumnya adalah boleh. Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank
hukumya syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar
menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam. Dari paparan di
atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah. Ada
ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang
membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba. Tetapi mereka semua
sepakat bahwa riba hukumnya haram. Terhadap masalah khilafiyah seperti ini,
prinsip saling toleransi dan saling menghormati harus dikedepankan. Sebab, masing-
masing kelompok ulama telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan
hukum masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap berbeda.
Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan
kemantapan hatinya. Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia
bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Sedangkan jika hatinya ragu-
ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya. Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:

َ‫ك النَّاسُ َوَأ ْفتُوْ ك‬


َ ‫ص ْد ِر َوِإ ْن َأ ْفتَا‬ ْ ‫اط َمَأ َّن ِإلَ ْي ِه النَّ ْفسُ َو‬
ِ ‫ َواِإْل ْث ُم َماحَاكَ فِي النَّ ْف‬، ُ‫اط َمَأ َّن ِإلَ ْي ِه ْالقَ ْلب‬
َّ ‫س َوتَ َر َّد َد فِي ال‬ ْ ‫البِرُّ َما‬

"Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa
adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan." (HR. Ahmad)

Wallahu A’lam.

16
BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan

Islam dengan tegas melarang umatnya untuk melakukan transaksi jual-beli dan
hutang piutang jika di dalamnya mengandung riba. Larangan tersebut juga
tertulis dalam beberapa ayat Al-Quran maupun hadits. Sehingga, hukum riba
adalah haram.

 Saran

Hendak nya kita sama sama belajar hokum muamalah dalam syariat islam agar
terhindar dari riba.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://quran.com/id/sapi-betina/275-279

https://baitsyariah.blogspot.com/2021/07/tafsir-surah-al-
baqarah-ayat-275-279.html

https://www.kompas.com/wiken/read/
2022/04/09/165051281/apa-itu-riba-dan-mengapa-haram-
begini-dalil-jenis-dan-contohnya?page=all#:~:text=Hukum
%20riba%20dan%20dalilnya&text=Sehingga%2C
%20hukum%20riba%20adalah%20haram,dalam
%20pembayaran%20yang%20diperjajikan%20sebelumnya.

https://islam.nu.or.id/fiqih-perbandingan/ragam-pendapat-
ulama-tentang-hukum-bunga-bank-rDsVp

18

Anda mungkin juga menyukai