Anda di halaman 1dari 18

HADIST TENTANG GUGATAN DAN PEMBUKTIAN

Makalah ditujukan untuk memenuhi mata kuliah Hadist-Hadist Hukum Keluarga

Dosen Pengampu: Dr. H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag

Disusun Oleh:

1. M. Nur Ilham Ferdiansyah 05040120120


2. Ni’mah Qothrunnada 05040120130
3. Novi Ramadhani 05040120131

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan Allah SWT, karena atas berkat dan limpahan
Rahmat-Nya, maka kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik. Dalam
pembuatan tugas ini, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai “Hadist Tentang Gugatan dan Pembuktian”. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh
dari apa yang kami harapkan.

Laporan ini sudah kami susun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semau pihak yang telah berkontribusi dan
pembuatan laporan ini, antara lain.

1. Dr. H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag selaku dosen dan guru pembimbing
2. Teman-teman yang telah memberi masukan laporan ini menjadi lebih baik

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan

Surabaya, 20 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
A. Latar Belakang.........................................................................................
B. Rumusan Masalah....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................

A. Hadist Tentang Gugatan dan Pembuktian................................................


B. Syara Hadist.............................................................................................
C. Kaitan Hadist dengan Hukum Positif Indonesia......................................

BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP................................................

DAFTAR PUSTRAKA................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam permasalahan perdata gugatan itu mengandung sengketa antara dua atau lebih
yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mana salah satu pihak selaku
penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat untuk mendapatkan putusan dari
pengadilan. Terjadinya gugatan secara universal terjadi setelah pihak tergugat melakukan
pelanggaran hak dan kewajiban yang merugikan pihak penggugat, sedangkan yang
tergugat tidak mau bertanggung jawab untuk memenuhi hak dan kewajiban yang diminta
oleh penggugat, sehingga timbulah sengketa antara penggugat dan tergugat ini.
Dalam mengajukan gugatan kita harus memiliki alat bukti agar hakim bisa
memutuskan sengketa yang diajukan oleh penggugat. Dengan adanya alat bukti hakim
dalam mempertimbangkan secara logis atas kebenaran suatu fakta atau peristiwa
berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku.
Dari pemaparan tersebut kami selaku pemakalah akan menjelaskan mengenai gugatan
dan pembuktian sesuai hadist yang sudah terdapat ketentuan dalam islam, agar para
hakim selaku orang yang memberikan putusan dalam sengketa tidak memutuskan secara
asal-asalan. Sehingga penting untuk kami bahas lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadist tentang gugatan dan pembuktian?
2. Bagaimana sanad hadist tentang gugatan dan pembuktian?
3. Bagaimana syarah hadist tentang gugatan dan pembuktian?
4. Bagaimana ketentuan fiqih tentang gugatan dan pembuktian?
5. Bagaimana ketentuan perundangan yang berlaku tentang gugatan dan pembuktian?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Matan dan Terjemahan Hadist


1. Larangan memutuskan dalam keadaan marah

‫ َح َّدثَنَا آ َد ُم َح َّدثَنَا ُش ْع َب ُة َح َّدثَنَا َع ْبدُ الْ َمكِل ِ ْب ُن مُع َ رْي ٍ مَس ِ ْع ُت‬:٦٦٢٥ ‫حصيح البخاري‬
‫َع ْبدَ َّالرمْح َ ِن ْب َن َأيِب بَ ْك َر َة قَا َل َك َت َب َأبُو بَ ْك َر َة‬
َّ ‫ِإ ىَل ابْ ِن ِه َواَك َن ب ِِس ِج ْس َت َان ِبَأ ْن اَل تَ ْقيِض َ بَنْي َ اثْنَنْي ِ َوَأن َْت غَضْ َب ُان فَِإ يِّن مَس ِ ْع ُت النَّيِب‬
‫ول اَل ي َ ْق ِضنَي َّ َحمَك ٌ بَنْي َ اثْنَنْي ِ َوه َُو غَضْ َبان‬ ُ ‫ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ ي َ ُق‬1
Shahih Bukhari 6625: Telah menceritakan kepada kami [Adam] telah menceritakan
kepada kami [Syu'bah] Telah menceritakan kepada kami [Abdul Malik bin Umair],
aku mendengar [Abdurrahman bin Abu Bakrah] mengatakan, Abu Bakrah menulis
surat untuk anaknya yang ketika itu berada di Sijistan yang isinya: 'Jangan engkau
mengadili diantara dua orang ketika engkau marah, sebab aku mendengar Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Seorang hakim dilarang memutuskan antara
dua orang ketika marah."
2. Hakim mendengar kedua pihak yang berperkara

‫ َح َّدثَنَا َهنَّا ٌد َح َّدثَنَا ُح َسنْي ٌ الْ ُج ْع ِف ُّي َع ْن َزائِدَ َة َع ْن مِس َ ِاك ْب ِن‬:١٢٥٢ ‫سنن الرتمذي‬
‫َح ْر ٍب َع ْن َحن َ ٍش َع ْن عَيِل ٍ ّ قَال‬
‫ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َذا تَ َقاىَض لَ ْي َك َر ُجاَل ِن فَاَل تَ ْق ِض ِلَأْل َّو ِل‬
ُ ‫قَا َل يِل َر ُس‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َحىَّت ت َ ْس َم َع اَلَك َم اآْل َخ ِر فَ َس ْو َف ت َْد ِري َك ْي َف تَ ْقيِض قَا َل عَيِل ٌّ فَ َما ِزلْ ُت قَ ِاض ًيا ب َ ْعد‬
ٌ ‫قَا َل َأبُو ِعيىَس ه ََذا َح ِد‬2
‫يث َح َس ٌن‬
1
A. Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah, Shahih Bukhari, hadist ke- 6625.

2
Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak, Sunan Tirmidzi, hadist ke- 1252.

5
Sunan Tirmidzi 1252: Telah menceritakan kepada kami [Hannad], telah
menceritakan kepada kami [Husain Al Ju'fi] dari [Za`idah] dari [Simak bin Harb] dari
[Hanasy] dari [Ali] ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan
kepadaku: "Jika ada dua orang mengajukan suatu perkara kepadamu maka janganlah
engkau memutuskan hukum kepada orang pertama hingga engkau mendengar
perkataan orang kedua, niscaya engkau akan mengetahui bagaimana engkau
memutuskan hukum." Ali berkata: Setelah itu aku terus menjadi hakim. Abu Isa
berkata: Hadits ini hasan.
3. Pembuktian

‫ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ٌد َأ ْخرَب َ اَن َأبُو ُم َعا ِوي َ َة َع ْن اَأْلمْع َ ِش َع ْن َش ِق ٍيق‬:٢٤٧٢ ‫حصيح البخاري‬
‫َع ْن َع ْب ِد اهَّلل ِ َريِض َ اهَّلل ُ َع ْن ُه قَا َل‬
‫ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َم ْن َحلَ َف عَىَل ي َ ِم ٍني َوه َُو ِفهيَا فَ ِاج ٌر ِل َي ْقتَ ِط َع‬ُ ‫قَا َل َر ُس‬
‫هِب َا َما َل ا ْم ِرئٍ ُم ْسمِل ٍ لَ ِق َي اهَّلل َ َوه َُو عَلَ ْي ِه غَضْ َب ُان‬
‫قَا َل فَ َقا َل اَأْل ْش َع ُث ْب ُن قَيْ ٍس يِف َّ َواهَّلل ِ اَك َن َذكِل َ اَك َن بَيْيِن َوبَنْي َ َر ُج ٍل ِم ْن الْهَي ُو ِد‬
‫ول اهَّلل ِ َصىَّل‬ُ ‫َأ ْر ٌض فَ َج َحدَ يِن فَ َق َّد ْم ُت ُه ىَل النَّيِب ِ ّ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ فَ َقا َل يِل َر ُس‬
‫ِإ‬
‫اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َأكَل َ ب َ ِي ّنَ ٌة قَا َل قُلْ ُت اَل قَا َل فَ َقا َل ِللْهَي ُو ِد ِ ّي ا ْح ِل ْف قَا َل ُقلْ ُت اَي َر ُسو َل‬
‫اهَّلل ِ ًذا حَي ْ ِل َف َوي َ ْذه ََب ِب َمايِل قَا َل فََأ ْن َز َل اهَّلل ُ تَ َعاىَل‬
‫ِإ‬
َ ُ ‫} َّن اذَّل ِ َين ي َْشرَت‬
{ ‫ون ِب َعهْ ِد اهَّلل ِ َوَأيْ َماهِن ِ ْم ثَ َمنًا قَ ِلياًل‬
‫ِإ‬
‫ ىَل آ ِخ ِر اآْلي َ ِة‬3
‫ِإ‬
Shahih Bukhari 2472: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad] telah
mengabarkan kepada kami [Abu Mu'awiyah] dari [Al A'masy] dari [Syaqiq] dari
'Abdullah radliyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Siapa yang bersumpah dengan sumpah curang, dan bermaksud mengambil
3
A. Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah, Shahih Bukhari, hadist ke- 2472.

6
harta seorang muslim maka nanti dia akan berjumpa dengan Allah, sedang Allah
murka kepadanya." Dia berkata: Maka [Al Ays'ats bin Qais] berkata: "Demi Allah,
hadits itu berkenaan dengan aku, yang antara aku dan seorang Yahudi ada sebidang
lahan, lalu dia mempermasalahkannya sehingga aku adukan kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku:
"Apakah kamu memiliki bukti?" Aku katakan: "Tidak." Lalu Beliau berkata kepada si
Yahudi: "Bersumpahlah kamu!" 'Abdullah berkata: Aku katakan: "Wahai Rasulullah,
jika demikian dia akan bersumpah dan membawa hartaku." 'Abdullah berkata: "Maka
Allah menurunkan ayat: {INNAL LADZIINA YASYTARUUNA BI'AHDILLAAHI
WA AIMAANIHIM TSAMANAN QALIILAN} (Sesungguhnya orang-orang yang
menjualjanjinya dengan Allah dan sumpah mereka dengan harga yang murah) hingga
akhir ayat (QS. Ali Imran: 77).
B. Ma’na Mufrodat
1) Larangan memutuskan dalam keadaan marah
 َ ‫ اَل تَ ْقيِض‬: Jangan engkau mengadili
 ‫ غَضْ َب ُان‬: Ketika engkau marah
2) Hakim mendengar kedua pihak yang berperkara
 ‫ ت َْد ِري‬: Akan mengetahui
 ‫ فَ َما ِزلْ ُت‬: Setelah itu menjadi
3) Pembuktian
 ‫ ب َ ِي ّنَ ٌة‬: Bukti
 ‫ َوي َ ْذه ََب ِب َم ِال‬: Membawa hartaku
C. Sanad Hadist
 Sanad Shahih Bukhari 6625
1. Nufai' bin Al Harits bin Kildah
Nama Lengkap : Nufai' bin Al Harits bin Kildah
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Bakrah
Negeri semasa hidup : Bashrah
Wafat : 52 H
2. Abdur Rahman bin Abi Bakrah Nufai' bin Al Harits

7
Nama Lengkap : Abdur Rahman bin Abi Bakrah Nufai' bin Al Harits
Kalangan : Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Bahar
Negeri semasa hidup : Bashrah
Wafat : 96 H
3. Abdul Malik bin 'Umair bin Suwaid
Nama Lengkap : Abdul Malik bin 'Umair bin Suwaid
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu 'Umar
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 136 H
4. Syu'bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
Nama Lengkap : Syu'bah bin Al Hajjaj bin Al Warad
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Bistham
Negeri semasa hidup : Bashrah
Wafat : 160 H
5. Adam bin Abu Iyas
Nama Lengkap : Adam bin Abu Iyas
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Al Hasan
Negeri semasa hidup : Baghdad
Wafat : 220 H
 Sanad Sunan Tirmidzi 1252
1. Ali bin Abi Thalib bin 'Abdu Al Muthallib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf
Nama : Ali bin Abi Thalib bin 'Abdu Al Muthallib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf
Kalangan : Shahabat
Kuniyah : Abu Al Hasan
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 40 H

2. Hanasy bin Al Mu'tamir


Nama Lengkap : Hanasy bin Al Mu'tamir

8
Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Al Mu'tamir
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : -
3. Simak bin Harb bin Aus
Nama Lengkap : Simak bin Harb bin Aus
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Al Mughirah
Negeri semasa hidup : -
Wafat : 123 H
4. Za'idah bin Qudamah
Nama Lengkap : Za'idah bin Qudamah
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Ash Shalti
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 161 H
5. Al Husain bin 'Ali bin Al Walid
Nama Lengkap : Al Husain bin 'Ali bin Al Walid
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 203 H
6. Hannad bin As Sariy bin Mush'ab
Nama Lengkap : Hannad bin As Sariy bin Mush'ab
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu As Sariy
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 243 H
 Sanad Shahih Bukhari 2472
1. Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib
Nama Lengkap : Abdullah bin Mas'ud bin Ghafil bin Habib
Kalangan : Shahabat
Kuniyah : Abu 'Abdur Rahman
Negeri semasa hidup : Kufah

9
Wafat : 32 H
2. Syaqiq bin Salamah
Nama Lengkap : Syaqiq bin Salamah
Kalangan : Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu Wa'il
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 82 H
3. Sulaiman bin Mihran
Nama Lengkap : Sulaiman bin Mihran
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Muhammad
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 147 H
4. Muhammad bin Khazim
Nama Lengkap : Muhammad bin Khazim
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Kuniyah : Abu Mu'awiyah
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 195 H
5. Muhammad bin Salam bin Al Faraj
Nama Lengkap : Muhammad bin Salam bin Al Faraj
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Himsh
Wafat : 227 H
D. Ketentuan Fiqih
Hadist Pertama Tentang Larangan Memutuskan Dalam Keadaan Marah
Menurut sebagian para ulama mengatakan bahwa, mengadili orang lain merupakan
tindakan memberi kepastian hukum atas persoalan yang terjadi pada seseorang.
Sedangkan kepastian hukum itu bisa bernilai benar atau salah. Setiap putusan dalam
persoalan yang menimpa orang lain selalu membawa implikasi dan konsekuensi.
Terkadang konsekuensi itu akan dirasakan dalam waktu yang lama bahkan terkadang
hingga seumur hidup. Itulah mengapa dalam bidang peradilan, seseorang dituntut

10
kelapangan hatinya ketika hendak mengambil keputusan. Jangan mengambil
keputusan saat diri sendiri belum mampu adil dalam mengolah emosi.
Para ulama berbeda pendapat dalam mengistimbatkan hukum mengenai larangan
mengambil keputusan dalam keadaan marah. Apakah itu haram, sehingga keputusan
yang dijatuhkan dalam keadaan marah menjadi tidak sah, atau makruh sehingga
keputusan itu menjadi sah tetapi kurang baik. Berikut pendapat para ulama mengenai
istimbat hukumnya:
a) Ulama jumhur menetapkan bahwa status hukumnya adalah makruh . Imam
Nawawy ketika mesyarahkan kitab Shahih Muslim meletakkan hadits tersebut
kedalam bab “makruh bagi seorang qadhi memutuskan suatu perkara dalam
keadaan marah”. Dan alasan para ulama mengatakan makruh adalah karena ilat
yang menjadi sebab ditetapkannya makruh adalah tepat (marah). Sebab
dikaitkannya dengan marah yang tidak ada hubungannya langsung dengan
larangan menetapkan hukum hal itu semata-mata dikarenakan adanya dugaan
keras bahwasannya kemarahan itu dapat mengganggu ketenangan berfikir dan
mensyaghulkan hati untuk melaksanakan sesuatu yang wajib dilaksanakan. Tidak
salah mengatakan bahwasannya pengambilan keputusan dalam keadaan marah
kadang-kadang memberikan keputusan yang salah dalam mengambil keputusan,
namun tidak semua orang begitu. Namun bisa dikatakan haram apabila kemarahan
itu membuat ketidak mampuan dalam membedakan yang salah dan benar.
Disamping mengemukakan analisa semacam itu, para ulama juga merujuk pada
hadits nabi yang menceritakan bahwasannya pada waktu itu Nabi yang mengambil
keputusan dalam keadaan marah dalam menyelesaikan sengketa yang dialami Az-
Zubair dengan seorang anshor. Sehingga para jumhur ulama berpendapat
bahwasannya hadits tersebut menjadi qariah yang dapat mengalihkan larangan
yang berstatus haram menjadi makruh.
b) Sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa larangan dalam hadits tersebut
adalah haram dan tidak ada qarinah yang mengalihkan kepada makruh. Mengapa
demikian? mereka berpendapat bahwasannya Nabi adalah manusia yang
terpelihara dari mengambil hukum yang salah sehinnga tidak mungkin nabi
memberikan putusan yang salah sekalipun dalam keadaan marah. Atas dasar itulah
sebagian para ulama tersebut menetapkan bahwa keputusan yang diambil dalam
keadaan marah adalah tidak sah atau tidak dapat di jalankan, karena adanya
larangan yang tegas dalam hal itu.

11
c) Ibnu Munir Mengkompromikan dua hadits yang nampak berhalangan itu. Beliau
berpendapat bahwasannya kemarahan Rasullullah itu adalah dalam hal yang haq,
oleh karena itu sipapa saja yang kemarahannya dalam hal yang haq dalam
mengambil keputusan maka keputusannya adalah sah atau berlaku. Jika tidak
demikian maka hal itu adalah haram.
d) Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Umm (6/199), “Yang dapat
difahami ketika marah adalah marah dapat mempengaruhi akal dan pemahaman.
Keadaan apa saja yang dirasakan seseorang dapat mempengaruhi akal dan
pemahamannya maka pada saat itu tidak boleh memutuskan suatu perkara. Jika ia
merasakan sakit, lapar, cemas, sedih atau senang yang berlebihan akan
mempengaruhi pikiran. Atau pada saat itu tabi’atnya sedang enggan memberi
keputusan. Apabila hal itu tidak mempengaruhi akal, pikiran dan tabi’atnya maka
ia boleh melakukannya. Adapun mengantuk dapat menyelimuti hati sebagaimana
orang mabuk. Oleh karena itu orang yang sedang mengantuk, orang yang hatinya
sedang galau, atau sedang sakit tidak boleh memutuskan suatu perkara karena
hatinya sedang diliputi sesuatu.”4
Ketentuan Fiqih Tentang Hakim Mendengar Kedua Pihak Yang Berperkara
Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai
sifat hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan
benar-benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Hendaklah
perkara yang ditahkimkan kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam
bidang pidana dan qishash. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban
melaksanakannya dan karena hukum yang diberikan oleh muhakkam tidak melibatkan
kepada orang-orang lain. Mengingat hal ini maka tahkim itu dapat dilaksanakan dalam
segala masalah ijtihadiyah sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli
Adapun kekuatan hukum keputusan tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu
Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa putusan yang diberikan
oleh hakam harus dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang
berperkara boleh menolak tahkim sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang
ada pula pendapat menyebutkan bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak
harus dituruti oleh pihak yang berperkara.
Apabila pihak yang berperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam,
kemudian mengajukan lagi perkaranya kepada hakam lain dan diberikan putusan yang
4
Imam Ibnu rajab al-Hanbali, “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam”, Darul Haq , 148.

12
berlawanan dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya
putusan sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim
hendaknya mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula
membatalkan putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya.
Kedudukan tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat
tahkim ini terjadi atas kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak, dan dapat pula menolaknya.
Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’
tersebut, harus diterima dan ditaati.
Ketentuan Fiqih Tentang Pembuktian
Pembuktian merupakan bagian hukum acara, baik hukum acara perdata maupun
hukum acara pidana, keberadaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, serta
menempati posisi yang penting dan sangat menentukan bagi hak.im yang nantinya
akan berpengaruh dan jadikan sebagai dasar untuk mengambil sebuah keputusen.
Diperlukannya pembuktian adalah merupakan salah satu wujud untuk mencapai
keadilan hukum yakni dengan menyertakan dan mengemukak.an alat-alat bukti yang
dapat mengungkap suatu kebenaran dan menjadikan terang terhadap permasalahan
yang sedang dicarikan penyelesaiannya di pengadilan. Terkait dengan pembuktian,
dalam hukum Islam telah diatur sedemikian rupa. Dasar hukum pembuktian dalam
hukum Islam didasarkan pada al-Qur'an, hadis, ijtihad para ulama' dan sumber lain
yang masih diperbolehkan dalam lingkup hukum Islam.
E. Penjelasan dan Kandungan Hukum Hadist
 Hadist Pertama Tentang Larangan Memutuskan Dalam Keadaan Marah
1. Penjelasan Hadist
Seorang hakim atau pemimpin hendaklah bijak dalam membuat keputusan.
Jika ada perseteruan antara dua pihak, maka alangkah baiknya jika hakim itu tidak
terbawa emosi dan memutuskan perkara antara mereka dengan kepala dingin.
Hadis di atas secara tegas menunjukkan larangan bagi seorang hakim untuk
memutuskan perkara dalam keadaan marah karena keputusan yang diambil dalam
keadaan seperti itu berpotensi menyimpang dari kebenaran atau menjadikan
seorang hakim tidak mengetahui kebenaran sehingga memberikan keputusan yang
salah.
Meskipun hadis di atas berkaitan dengan hakim ketika hendak mengambil
keputusan, tetapi ia bisa berlaku umum bagi siapa saja ketika hendak mengambil

13
keputusan. Sebagaimana pula, meskipun di dalam hadis hanya menyebutkan
larangan memutuskan perkara dalam keadaan marah, tetapi sesungguhnya larangan
ini mencakup semua hal yang dapat mengubah cara berpikir atau dapat
mengganggu konsentrasi jiwa sehingga menyebabkan keputusan yang diambil
menjadi tidak bijaksana, misalnya terlalu sedih, terlalu bahagia, sangat lapar dan
haus atau sangat mengantuk.
Kondisi seperti ini juga berpotensi untuk mengganggu daya nalar sehingga
memutuskan sesuatu dengan tidak bijaksana. Lalu bagaimana jika seseorang
terlanjur memutuskan sesuatu dengan tidak bijaksana dalam kehidupan ini?
Kalaupun terlanjur memutuskan sesuatu dengan tidak bijaksana, jangan pernah
merasa malu untuk mempertimbangkan kembali dan mengubahnya serta
mengambil keputusan yang lain. Menyesal karena mengambil keputusan yang
salah seharusnya diikuti dengan perbaikan. Kalau tidak, maka penyesalan pertama
akan diikuti dengan penyesalan yang berikutnya.
Seringkali ada orang yang tidak mau mengubah keputusan yang sudah diambil
meskipun ia sadar bahwa keputusan itu salah karena rasa malu atau gengsi.
Mengubah keputusan yang salah adalah sikap yang bijaksana dan jauh lebih baik
daripada membiarkan diri dalam keputusan yang salah.
2. Ketentuan Hukum
Pada hakekatnya hakim wajib untuk selalu mencari kebenaran sehingga dia
harus menjauhkan segala sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan tidak boleh
seorang hakim mengadili suatu perkara itu, dengan sunggu-sungguh jika keadaan
dirinya berubah karena marah dan lapar, sedih yang mencemaskan, amat takut,
mengantuk, amat panas atau dingin, dan sebuk hatinya, sehingga hal itu akan
memalingkannya dari pengertian yang benar dan pemahaman yang cermat maka
hendaknya ia tinggalkan majelis persidangan itu sampai normal kembali, kemudian
boleh melanjutkan persidangan.
Dan hakim hendaklah tidak memutuskan hukum ketika dalam sepuluh
keadaan: 1). Ketika sedang marah, 2). Sedang lapar dan haus, 3). Karena tidak
tidur malam, 4). Ketika sedih, 5). Ketika senang , 6). Ketika sakit, 7). Ketika
sedang menahan kencing dan berak, 8). Ketika sedang mengantuk, 9). Ketika
panas, 10). Dan ketika dingin.5
 Hadits Kedua Tentang Hakim Mendengar Kedua Pihak Yang Berperkara
5
Husain, al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayatul Ahyar, Juz 3, terj. Ahmad Zaidin, 314

14
1. Penjelasan Hadist
Hadist di atas menjelaskan tentang bagaimana seseorang dalam memutuskan
suatu perkara atau permasalahan antara dua orang yang bertikai, apabila dikaitkan
dengan profesi seorang konselor maka dalam hal ini konselor diposisikan sebagai
mediasi dalm mendamaikan individu yang bertikai, dapat kita simpulkan bahwa
dalam mengentaskan masalah tersebut seorang konselor harus mendengarkan
terlebih dahulu penjelasan dari kedua belah pihak, hal ini bertujuan agar tidak ada
pihak yang dirugikan dengan keputusan yang akan diambil nantinya.
Hadist di atas memiliki kaitan dengan salah satu layanan dalam bimbingan
konseling yaitu layanan mediasi, yang mana layanan mediasi merupakan layanan
konseling yang dilaksanakan konselor terhadap dua pihak atau lebih yang saling
tidak menemukan kecocokan, melalui layanan mediasi ini konselor berusaha
mengantarai atau membangun hubungan diantara mereka, sehingga mereka
menghentikan dan terhindar dari pertentangan yang lebih lanjut yang merugikan
semua pihak.
Dalam hal ini layanan mediasi merupakan suatu proses negosiasi pemecahan
masalah dimana konselor berperan sebagai pihak ketika yang bersifat netral atau
tidak memihak untuk membantu mengentaskan masalah yang dihadapi.
2. Kandungan Hukum
Hukum acara perdata menggariskan bahwa hakim dalam mengadili perkara
harus memperlakukan pihak-pihak yang berperkara secara adil, sama, tidak
memihak, dan didengar bersama-sama. Hakim tidak boleh membeda-bedakan
orang. Asas “kedua belah pihak harus didengar” (horen van beide partijen) lebih
dikenal dengan asas “audi et alteram partem” yang berarti hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar bila pihak lawan
tidak didengar atau diberi kesempatan untuk mengajukan pendapatnya.6
Mendengar kedua belah pihak juga disebut “prinsip kesetaraan” atau “audi et
alteram partem”. Prinsip kedua pihak berhak atas proses pemeriksaan di
pengadilan (audi et alteram partem) bila prinsip tersebut tidak ditunjang oleh
proses pemeriksaan yang memadai, dapat menimbulkan keputusan yang tidak fair.
Dengan aturan yang mengatur hal kedua belah pihak untuk didengar oleh hakim,
berarti harus ada keseimbangan kepentingan tergugat dan penggugat bahwa hak

6
Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata Tahap-tahap Penyelesaian Perdata, Nuansa Aulia, Medan,
2011, 16

15
diadili tidak boleh dirusak dengan fakta tergugat tidak dapat
menghadap pengadilan7
 Hadits Ketiga Tentang Pembuktian
1. Penjelasan Hadist
Dalam hadist ini menjeleskan bahwa setiap perkara harus memiliki bukti yang
benar dan valid dalam sebuah perkara untuk pembuktian. Maka apabila tidak ada
bukti yang kuat untuk pembuktian maka perkara tersebut dianggap bohong dan
salah. Maka hadist ini menerangkan dengan kuat tentang pentingnya bukti dalam
setiap perkara untuk pembuktian.
2. Kedudukan Hadist
Dalam pasal 188 ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa penilaian atas
kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya. Dengan demikian, bukanlah Undang-undang yang menetapkan
apakah sesuatu perbuatan akan dinyatakan sebagai petunjuk, dan sampai di mana
kekuatannya sebagai alat bukti, yang jika ia yakin tentang kesalahan terdakwa,
pasti akan menganggap perbuata-perbuatan tertentu sebagai petunjuk yang
sebenarnya bukan merupakan petunjuk. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa pembuktian dengan petunjuk-petunjuk adalah tidak sesuai dengan sistem
pembuktian menurut undang-undang oleh karena sistem ini membawakan,
bahwa persoalan apakah sesuatu dianggap alat bukti, dan kekuatan mana yang
harus diberikan padanya, haruslah ditentukan oleh Undang-undang dan bukan oleh
hakim.8
Maksud dari pasal 188 ayat (3) KUHAP adalah tidak lain agar Hakim secara
secermat-cermatnya mempertimbangkan segala sesuatu, dan jangan sampai terjadi
bahwa ia akan menganggap sebagai petunjuk hal-hal yang sebenarnya hanya
merupakan sangkaan-sangkaan dan bahwa ia sebagai Hakim yang teliti, dalam
menilai petunjuk-petunjuk tersebut harus mempertimbangkan semua keadaan,
sesuai dengan persyaratan-persyaratan menurut hukum.

BAB III

7
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana, Jakarta, 2012, 168-170.
8
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana hal. 98

16
Penutup

Kesimpulan

Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang akan diadilinya hendaklah menjauhi
larangan-larangan dalam memutuskan perkara, seperti halnya dalam keadaan marah. Dalam
kondisi ini hakim lebih baik menghindari situasi seperti itu. Agar tidak salah dalam
melakukan putusan yang akan diadilinya. Karena ketika marah dapat mempengaruhi akal dan
pemahaman. Keadaan apa saja yang dirasakan seseorang dapat mempengaruhi akal dan
pemahamannya maka pada saat itu tidak boleh memutuskan suatu perkara. Jika ia merasakan
sakit, lapar, cemas, sedih atau senang yang berlebihan akan mempengaruhi pikiran. Atau
pada saat itu tabi’atnya sedang enggan memberi keputusan. Apabila hal itu tidak
mempengaruhi akal, pikiran dan tabi’atnya maka ia boleh melakukannya. Adapun mengantuk
dapat menyelimuti hati sebagaimana orang mabuk. Oleh karena itu orang yang sedang
mengantuk, orang yang hatinya sedang galau, atau sedang sakit tidak boleh memutuskan
suatu perkara karena hatinya sedang diliputi sesuatu. Begitu pula dengan hakim yang harus
mendengar kedua belah pihak yang berperkara, agar adil dalam memberikan putusan. Dan
sebelum memutuskan suatu perkara hendaklah orang yang menggugat perkara tersebut harus
menyertakan bukti-bukti.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar, Husain. Kifayatul Ahyar. Juz 3, terj. Ahmad Zaidin.

Ibnu rajab al-Hanbali, Imam. “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam”. Darul Haq.

Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim. Kencana. Jakarta, 2012.

17
Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak, Sunan Tirmidzi, hadist ke- 1252.

Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah, Shahih Bukhari, hadist
ke- 2472

Samosir, Djamanat. Hukum Acara Perdata Tahap-tahap Penyelesaian Perdata. Nuansa


Aulia. Medan, 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai