Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“KEIMANAN”
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Hadits.

Disusun oleh :
Kelompok 1
Abdul Rahman 2019.01.135

Dosen Pengampu : Wahyudi, M.Pd

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM AL-QUR’AN AL-ITTIFAQIAH
TAHUN AJARAN 2023/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah Hadits
tentang Keimanan dengan baik dan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hadits.
Dalam penyelesaian makalah ini, tidak terlepas dari bantuan semua pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Wahyudi, M.Pd selaku dosen mata kuliah Hadits.


2. Orang tua yang telah memberikan bimbingan dan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan makalah ini.
3. Teman-teman yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan, baik pada teknis penulisaan maupun materi,
mengingat kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan pembuatan makalah ini.
Demikian kata pengantar ini kami buat, mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan.

Serigeni, 1 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI
BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Hubungan Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat (LM: 5)...............................3

2.2 Berkurangnya Iman dan Islam Karena Maksiat (LM: 36)...........................12

2.3 Rasa Malu Sebagian dari Iman (LM: 22).....................................................15

BAB III PENUTUP...............................................................................................18

3.1 Kesimpulan...................................................................................................18

3.2 Saran.............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ikrar dalam hati,
diucapkan dngan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi iman itu
mencakup tiga hal, ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, pengamalan
dengan anggota badan. Jika keadaannya demikian maka iman itu akan bisa
bertambah atau bias saja berkurang. Lagi pula nilai ikrar itu tidak selalu sama.
Ikrar atau pernyataan karena memperoleh satu berita tidak sama dengan jika
langsung melihat persoalan dengan mata kepala sendiri.
Pernyataan karena memperoleh berita dari satu orang tentu berbeda dari
pernyataan dengan memperoleh berita dari dua orang, demikian seterusnya. Oleh
karena itu, Ibrahim A.S. pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh Allah
dalam Al-Quran. “ Ya Rabbku perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman ‘Apakah kamu belum
percaya’. Ibrahim menjawab ‘Saya telah percaya akan tetapi agar bertambah tetap
hati saya’. Iman akan bertambah tergantung pada pengikraran hati ketenangan dan
kemantapannya. Manusia akan mendapatkan hal itu dari dirirnya sendiri maka
ketika menghadiri majlis dzikir dan mendengarkan nasehat di dalamnya,
disebutkan pula perihal surga dan neraka; maka imannya akan bertambah
sehingga seakan-akan ia menyaksikan dengan mata kepala. Namun ketika ia
lengah dan meninggalkan majlis itu maka bias jadi keyakinan dalam hatinya akan
berkurang. Iman juga akan bertambah tergantung pada pengucapan maka orang
berdzikir sepuluh kali tentu berbeda dengan yang berdzikir seratus kali. Yang
kedua tentu lebih banyak tambahannya. Demikian halnya dengan orang yang
beribadah secara sempurna tentunya akan lebih bertambah imannya ketimbang
orang yang ibadahnya kurang.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadits tentang hubungan iman, islam, ihsan dan hari kiamat?
2. Bagaimana hadits tentang berkurangnya iman dan islam karena maksiat?
3. Bagaimana hadits tentang rasa malu sebagian dari iman?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami hadits tentang hubungan iman, islam, ihsan dan hari kiamat.
2. Memahami hadits tentang berkurangnya iman dan islam karena maksiat.
3. Memahami hadits tentang rasa malu sebagian dari iman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat (LM: 5)


‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ بَ ْينَ َما نَحْ نُ ُجلُوْ سٌ ِع ْن َد َرسُوْ ِل هللا‬:‫ض َي هللاُ َع ْنهُ اَ ْيضًا قَا َل‬ ِ ‫ع َْن ُع َم َر َر‬
‫ اَل ي َُرى َعلَ ْي ِه اَثَ ُر ال َّسفَ ِر‬،‫ْر‬ ِ ‫اض الثِّيَا‬
ِ ‫ب َش ِد ْي ُد َس َوا ِد ال َّشع‬ ِ َ‫طلَ َع َعلَ ْينَا َر ُج ٌل َش ِد ْي ُد بَي‬َ ‫َذاتَ يَوْ ٍم اِ ْذ‬
،‫ فَا َ ْسنَ َد ُر ْكبَتَ ْي ِه اِلَى ُر ْكبَتَ ْي ِه‬،‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ َ‫ َحتَّى َجل‬،‫ْرفُهُ ِمنَّا اَ َح ٌد‬
َ ‫س اِلَى النَّبِ ِّي‬ ِ ‫َواَل يَع‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ َ ِ‫ فَقَا َل َرسُوْ ُل هللا‬،‫ يَا ُم َح َّم ُد اَ ْخبِرْ نِ ْي َع ِن ااْل ِ ْساَل ِم‬:‫ َوقَا َل‬،‫ع َكفَّ ْي ِه َعلَى فَ ِخ َذ ْي ِه‬‰َ ‫ض‬ َ ‫َو َو‬
،َ‫ َوتُْؤ تِ َي ال َّز َكاة‬،َ‫صاَل ة‬ َّ ‫ َوتُقِ ْي َم ال‬،ِ‫ اَاْل ِ ْسالَ ُم اَ ْن تَ ْشهَ َد اَ ْن اَل اِلَهَ اِاَّل هللاُ واَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُوْ ُل هللا‬: ‫َو َسلَّ َم‬
َ :‫ قَا َل‬. ‫ َوتَ ُح َّج ْالبَيْتَ اِ ِن ا ْستَطَعْتَ اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل‬، َ‫ضان‬
ُ‫ فَ َع ِج ْبنَا لَهُ يَ ْساَلُه‬. َ‫ص َد ْقت‬ َ ‫َوتَصُوْ ُم َر َم‬
‫ َو ْاليَوْ ِم‬،‫ َو ُر ُسلِ ِه‬،‫ َو ُكتُبِ ِه‬،‫ َو َماَل ِئ َكتِ ِه‬،ِ‫ اَ ْن تُْؤ ِمنَ بِاهلل‬:‫ قَا َل‬،‫ فَا َ ْخبِرْ نِ ْي َع ِن ااْل ِ ْي َما ِن‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬.ُ‫ص ِّدقُه‬
َ ُ‫َوي‬
‫ اَ ْن تَ ْعبُ َد‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ان‬ َ َ‫ ق‬. َ‫ص َد ْقت‬
ِ ‫ فَا َ ْخبِرْ نِ ْي ع َِن ااْل ِ حْ َس‬:‫ال‬ َ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬.‫َر خَ ي ِْر ِه َو َشرِّ ِه‬ ِ ‫ َوتُْؤ ِمنَ بِ ْالقَد‬،‫ااْل َ ِخ ِر‬
ْ ‫ َم‬:‫ال‬
‫اال َمسُْؤ وْ ُل َع ْنهَا‬ َ َ‫ فَا َ ْخبِرْ نِ ْي ع َِن السَّا َع ِة ق‬:‫ قَا َل‬. َ‫هللاَ َكاَنَّكَ تَ َراهُ فَاِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَاِنَّهُ يَ َراك‬
َ‫ َواَ ْن ت ََرى ْال ُحفَاةَ ْالع َُراة‬،‫ اَ ْن تَلِ َد ااْل َ َمةُ َربَّتَهَا‬:‫ قَا َل‬،‫اراتِهَا‬ َ ‫ فَا َ ْخبِ ِر ْني ع َْن اَ َم‬:‫ قَا َل‬.‫بِا َ ْعلَ َم ِمنَ السَّاِئ ِل‬
َ َ‫ ثُ َّم ق‬،‫ت َملِيًّا‬
َ‫ اَتَ ْد ِريْ ِمن‬،ُ‫ يَا ُع َمر‬:‫ال‬ ُ ‫ فَلَبِ ْث‬،َ‫ ثُ َّم ا ْنطَلَق‬،‫ان‬
ِ َ‫ْال َعالَةَ ِرعَا َء ال َّشا ِء يَتَطَا َولُوْ نَ فِى ْالبُ ْني‬
ُ ‫السَّاِئلُ؟ قُ ْل‬
)‫ ( رواه مسلم‬.‫ فَاِنَّهُ ِجب ِْر ْي ُل اَتَا ُك ْم يُ َعلِّ ُم ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم‬.‫ هللاُ َو َرسُوْ لُهُ اَ ْعلَ ُم‬:‫ت‬
1. Terjemah Hadits
“Dari Umar r.a, berkata: “Suatu ketika kami (para sahabat) duduk didekat
rasulullah saw. Tiba-tiba muncul kepada kami seseorang lelaki mengenakan
pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-
tanda bekas perjalanan dan tak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya.
Ia segera duuik dihadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan
meletakkan kedua tangannya diatas kedua tangan Nabi, kemudian ia berkata: “hai
Muhammad ! beritahukan kepadaku tentang islam”. Rasulullah menjawab: “Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah, dan sesungguhnya Nabi
Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa
dibulan Ramadhan dan engkau menunaikan haji di Baitullah jika engkau telah
mampu melakukannya”. Lelaki itu berkata: “engkau benar”. Maka kami heran, ia
yang bertanya, ia juga yang membenarkannya.

3
Kemudian ia berkata lagi: “beritahukan kepadaku tentang iman”. Nabi
menjawab: “iman adalah engkau beribadah kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir Allah yang baik
dan yang buruk”. Ia berkata: “Engkau benar”.
Dia bertanya lagi: “beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi menjawab:
“ hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,
kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.
Lelaki itu berkata lagi: “ beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari
kiamat itu ”. Nabi menjawab: “ yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang
bertanya”. Dia pun bertanya lagi: “beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya”.
Nabi menjawab: “ jika seseorang budak wanita telah melahirkan tuannya, jika
engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju serta
pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan mewah
yang menjulang tinggi.
Kemudian lelaki itu segera pergi. Akupun terdiam sehingga Nabi bertanya
kepadaku: wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya tadi ?, aku
menjawab: Allah dan Rasulnya lebih mengetahui. Beliau bersabda: “ia adalah
Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian” (H.R. Muslim).

2. Penjelasan Singkat
Dalam hadits di atas, ada empat masalah pokok yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu iman, islam, ihsan, dan hari kiamat. Seseorang tidaklah cukup
hanya menganut Islam saja tanpa mengiringinya dengan iman. Begitu pula
sebaliknya Islam tanpa iman tidaklah berarti. Akan tetapi iman dan Islam juga
belumlah cukup karena harus dibarengi ihsan supaya segala amal ibadahnya
mendapatkan nilai atau berpahala di sisi Allah SWT. Dengan demikian, ia akan
mendapatkan hasilnya, yaita mendapat pahala dari ibadahnya, baik di dunia, dan
terutama di hari kiamat kelak, yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kapan
terjadinya kecuali Allah SWT..

4
Ketiga hal diatas (iman, islam, ihsan) ditambah percaya kepada hari
kiamat, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk
jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga mendapat keridhaan-Nya.
Ihsan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari iman, dan iman memiliki
kedudukan yang legih tinggi dari Islam. Tidaklah keislaman dianggap sah kecuali
jika terdapat padanya iman, karena konsekuensi dari syahadat mencakup lahir
dan bathin. Demikian juga iman tidak sah kecuali ada Islam (dalam batas yang
minimal), karena iman adalah meliputi lahir dan bathin.
Dibawah ini akan dibahas lebih rinci tentang iman, islam, ihsan dan hari
kiamat.
a. Iman
Pengertian dasar dari istilah “iman” ialah “memberi ketenangan hati;
pembenaran hati”. Jadi makna iman secara umum mengandung pengertian
pembenaran hati yang dapat menggerakkan anggota badan memenuhi segala
konsekuensi dari apa yang dibenarkan oleh hati. Iman sering juga dikenal dengan
istilah aqidah, yang berarti ikatan, yaitu ikatan hati. Bahwa seseorang yang
beriman mengikatkan hati dan perasaannya dengan sesuatu kepercayaan yang
tidak lagi ditukarnya dengan kepercayaan lain. Aqidah tersebut akan menjadi
pegangan dan pedoman hidup, mendarah daging dalam diri yang tidak dapat
dipisahkan lagi dari diri seorang mukmin. Bahkan seorang mukmin sanggup
berkorban segalanya, harta dan bahkan jiwa demi mempertahankan aqidahnya.
Dalam hadits di atas di terangkan bahwa iman ialah percaya kepada Allah
SWT., para malaikat-Nya, berhadapan dengan Allah, percaya kepada para Rasul-
Nya, dan percaya pada hari berbangkit dari kubur. Hal itu sesuai dengan firman
Allah SWT:
‫سو ُل بِ َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي ِه ِمنْ َربِّ ِه َوا ْل ُمْؤ ِمنُونَ ۚ ُك ٌّل آ َمنَ بِاهَّلل ِ َو َماَل ِئ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه‬ ُ ‫آ َمنَ ال َّر‬
ِ ‫س ِم ْعنَا َوَأطَ ْعنَا ۖ ُغ ْف َرانَكَ َربَّنَا وَِإلَ ْيكَ ا ْل َم‬
‫صير‬ َ ‫سلِ ِه ۚ َوقَالُوا‬ ُ ‫ق بَيْنَ َأ َح ٍد ِمنْ ُر‬ ُ ‫سلِ ِه اَل نُفَ ِّر‬
ُ ‫َو ُر‬
Artinya:
“Rasul itu mempercayai apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Begitu
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. Dan mereka berkata, ”Kami

5
mendengar dan kami taat, (kami mengharap) ampunan-Mu, dan kepada Engkau-
lah kami kembali.” (Q.S. Al-Baqarah: 285)
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa iman artinya kepercayaan, yang
intinya percaya dan mengakui bahwa Allah itu ada dan Esa, tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Dalam hadits lain, seperti yang diriwayatkan oleh Kahmas dan Sulaiman
At-Tamimi, disebutkan pula beriman kepada qadha dan qadar Allah, baik yang
buruk maupun yang baik. Dengan demikian, jumlah rukun iman, menurut
sebagian besar ulama adalah enam, yang meliputi:
1) Keyakinan tentang adanya Allah SWT.
2) Keyakinan terhadap malaikat-malaikat Allah SWT.
3) Keyakinan tentang kebenaran kitab-kitab yang diturunkan-Nya.
4) Keyakinan tentang kebenaran rasul-rasul utusan-Nya.
5) Keyakinan tentang kebenaran adanya hari kebangkitan dari alam kubur.
6) Keyakinan kepada qadha dan qadar Allah, yang baik maupun yang buruk.
Keimanan dipandang sempurna, apabila ada pengakuan dengan lidah,
pembenaran dengan hati secara yakin dan tidak bercampur keraguan, dan
dilaksanakan dalam perbuatan sehari-hari, serta adanya pengaruh terhadap
pandangan hidup dan cita-citanya.
Dalam Al-Quran dijelaskan tentang kewajiban, sikap, dan tingkat laku
seseorang yang beriman dalam kehidupannya. Selain itu, diterangkan pula dengan
jelas tentang pahala dan kebahagiaan yang akan diterimanya, antara lain
sebagaimana diterangkan dalam ayat:
َ‫ َوالَّ ِذين‬. َ‫ َوالَّ ِذينَ ُه ْم ع َِن اللَّ ْغ ِو ُم ْع ِرضُون‬. َ‫اشعُون‬ َ ‫ الَّ ِذينَ ُه ْم ِفي‬. َ‫قَ ْد َأ ْفلَ َح ا ْل ُمْؤ ِمنُون‬
ِ ‫صاَل تِ ِه ْم َخ‬
‫اج ِه ْم َأ ْو َما َملَ َكتْ َأ ْي َمانُ ُه ْم‬
ِ ‫ ِإاَّل َعلَ ٰى َأ ْز َو‬. َ‫وج ِه ْم َحافِظُون‬ ِ َ‫ُه ْم لِل َّز َكا ِة ف‬
ِ ‫ َوالَّ ِذينَ ُه ْم لِفُ ُر‬. َ‫اعلُون‬
َ‫ فَِإنَّ ُه ْم َغ ْي ُر َملُو ِمين‬.
Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah urang-orang yang beriman, (yaitu orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang orang-orang yang

6
menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Q.S. Al-Mu’minun: 1-6)

‫ِإنَّ َما ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ ٱلَّ ِذينَ ِإ َذا ُذ ِك َر ٱهَّلل ُ َو ِجلَ ۡت قُلُوبُہُمۡ وَِإ َذا تُلِيَ ۡت َعلَ ۡي ِہمۡ َءايَ ٰـتُهُۥ زَاد َۡتہُمۡ ِإي َم ٰـ ۬نًا َو َعلَ ٰى‬
)٣( َ‫صلَ ٰوةَ َو ِم َّما َرزَ ۡقنَ ٰـ ُهمۡ يُنفِقُون‬ َّ ‫) ٱلَّ ِذينَ يُقِي ُمونَ ٱل‬٢( َ‫َربِّ ِهمۡ يَت ََو َّكلُون‬
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat-Na, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakal. (yaitu) Orang-orang yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Al-
Anfal: 2-3)
Dengan demikian, iman saja tidaklah cukup, tetapi harus disertai berbagai
amal saleh agar mendapatkan karunia-Nya sebagai pahala bagi mereka yang
menaati-Nya. Sebaliknya, bagi mereka yang menyombongkan diri dan enggan
beribadah kepada-Nya, ia akan mendapat siksa Allah (Q.S. 4: 172). Bahkan jika
dalam suatu negeri banyak penduduk yang mendustakan berbagai ayat Allah,
negeri itu akan mendapat azab-Nya. (Q.S. 7: 96)
Disamping itu, iman dapat diibaratkan sebagai makanan rohani. Jiwa yang
kosong dari iman akan lemah dan hampa sebagaimana jasad yang tidak diberi
makan. Dengan demikian, iman merupakan inti kehidupan batin dan sekaligus
menjadi penyelamat dari siksa abadi di akhirat kelak.
b. Islam
Islam berasal dari akar kata kerja aslama secara harfiyah berarti kepatuhan
atau tindakan menyerahkan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang
lain.
Islam adalah agama yang dibawa oleh para utusan Allah dan
disempurnakan pada masa Rasulullah SAW. yang memiliki sumber pokok Al-

7
Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. sebagai petunjuk kepada umat manusia
sepanjang masa. (Q.S. 48: 28, dan 5: 3)
Dalam hadits diatas dinyatakan bahwa Islam ialah menyembah kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat,
menunaikan zakat yang difardukan, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Dalam
hadits lain, ditambahkan satu rukun lagi, yakni menunaikan ibadah haji bagi yang
mampu, sebagaimana dinyatakan dalam hadits:
‫ساَل ُم‬ ْ ‫سلَّ َم بُنِ َي اِإْل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْن ُه َما قَا َل قَا َل َر‬ ِ ‫عَنْ ا ْب ِن ُع َم َر َر‬
‫صاَل ِة وَِإيتَا ِء ال َّز َكا ِة َوا ْل َح ِّج‬ َّ ‫سو ُل هَّللا ِ وَِإقَ ِام ال‬ُ ‫ش َها َد ِة َأنْ اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوَأنَّ ُم َح َّمدًا َر‬
َ ‫س‬ٍ ‫َعلَى َخ ْم‬
َ‫ضان‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬
َ ‫َو‬
Artinya:
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa
ilaaha illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat,
membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”. [HR Bukhari].

Berdasarkan hadits diatas, ditemukan rumusan yang selanjutnya dikenal


dengan rukun Islam, yaitu:
1) Syahadat (persaksian keesaan Allah dan kerasulan Muhammad)
2) Mendirikan shalat
3) Menunaikan zakat
4) Puasa pada bulan Ramadhan
5) Menunaikan ibadah haji
Islam adalah kepatuhan menjalankan perintah Allah dengan segala
keikhlasan dan kesungguhan hati. Hal itu sesuai dengan arti kata Islam, yakni
penyerahan. Seorang muslim harus menyerahkan dirinya kepada Allah secara
total karena memang manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Islam adalah agama yang benar dan hanya Islamlah agama yang diterima
disisi Allah SWT..
ْ ‫ ِإنَّ الدِّينَ ِع ْن َد هَّللا ِ اِإْل‬. . . .
‫ساَل ُم‬

8
Artinya:
“Sesungguhnya agama yang benar pada sisi Allah ialah agama Islam.” (Q.S. Ali-
Imran: 19)

ِ ‫ساَل ِم ِدينًا فَلَنْ يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوه َُو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ا ْل َخ‬
َ‫اس ِرين‬ ْ ‫َو َمنْ يَ ْبت َِغ َغ ْي َر اِإْل‬
Artinya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.” (Q.S. Ali-Imran: 85)

Meskipun telas jelas bahwa Islam agama yang benar, tetap saja banyak
manusia yang tidak mau mengikutinya. Hal itu antara lain karena Allah tidak
memberikan petunjuk kepadanya sehingga hatinya menjadi gelap. Di samping itu,
karena mereka tidak mau berusaha untuk mengimani-Nya dan memeluk Islam
sehingga Allah SWT. memberikan siksa-Nya. (Q.S. 6:125, 49: 17)
Orang-orang Islam adalah orang-orang pilihan yang telah diberi petunjuk
oleh Alah SWT. sehingga tidak menyimpang dari kebenaran dan mengukuti jalan-
Nya yang lurus.
Sebagai agama terakhir yang sempurna, umum, dan kekal, Islam
dilengkapi dengan peraturan, bimbingan, dan petunjuk yang diperlukan oleh
manusia yang senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Islam
mengatur hubungan antara makhluk dan manusia dan juga antara manusia dan
alam semesta.
Islam menentukan dan mengatur cara mengabdi kepada Allah SWT.
menurut cara yang diridhai-Nya. Ibadah dalam Islam antara lain bertujuan untuk
merekatkan dan mendekatkan hubungan antara makhluk dengan Khalik, supaya
manusia senantiasa mendapat karunia dan rida-Nya.
Dalam hubungan dengan sesama manusia, islam pun mengatur sikap hidup
dan tingkah laku yang baik, dalam lingkungan yang kecil maupun dalam
lingkungan masyarakat yang lebih luas. Dalam Islam, telah diatur pula hubungan
dengan anggota masyarakat yang berbeda agama, bahkan yang tidak beragama

9
sekalipun. Semuanya bertujuan agar tercipta hubungan yang baik dan harmonis
antarsesama manusia.
Islam pun mengatur hubungan manusia dengan alam dan hewan. Manusia
haruslah memperlakukan hewan secara wajar. Begitu pula dalam mengeksploitasi
alam ia harus mengaturnya sedemikian rupa sehingga tidak merusak lingkungan
dan tercipta lingkungan yang asri dan memberikan kebahagiaan serta
kesejahteraan bagi manusia.
Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa Islam mengatur segala aspek
kehidupan, baik yang berkenaan dengan kepercayaan, ibadah, moral, sosial,
ekonomi, kebudayaan, pemerintahan, hubungan internasional serta pandangan dan
sikap hidup terhadap alam semesta.
Namun demikian, semuanya bergantung pada umat Islam itu sendiri,
apakah mereka mau mengikuti aturan Islam yang akan membawanya kepada
kebahagiaan di dunia, yakni dapat menguasai dunia, dan memperoleh kebahagiaan
di akhirat, atau sebaliknya mendapatkan kehinaan dan kesengsaraan di dunia dan
di akhirat. (Q.S. 24: 55)

c. Ihsan
Ihsan secara bahasa berasal dari akar kata kerja ahsana-yuhsinu, yang
artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk mashdarnya adalah ihsan yang
artinya kebaikan. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat:

َ ‫ ِإنَّ هَّللا َ يَْأ ُم ُر بِا ْل َع ْد ِل َواِإْل ْح‬. . .


‫سا ِن‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan . . .”
(Q.S. An-Nahl: 90)
Dalam arti khusus, ihsan sering disamakan dengan akhlak, yaitu sikap atau
tingkah laku yang baik menurut Islam. Dan terkadang pula diartikan sebagai suatu
kesempurnaan.
Adapun ihsan menurut syari’at, telah dirumuskan oleh Rasulullah SAW.
dalam hadits diatas, yaitu “menyembah kepada Allah seakan-akan engkau

10
melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat.”
Pernyataan “menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya”,
mengandung arti bahwa dalam menyembah kepada-Nya, kitta harus bersungguh-
sungguh, serius, dan penuh keikhlasan, serta melebihi sikap seorang rakyat jelata
ketika menghadapi raja. Dalam hati harus ditumbuhkan keyakinan bahwa Allah
seakan-akan berada di hadapannya, dan Dia melihat dirinya. Sedangkan
pernyataan “jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa Allah
melihatmu,” maksudnya kita harus merasa bahwa Allah selamanya hadir dan
menyaksikan segala perbuatan kita.
Menurut Imam An-Nawawi, ihsan berarti berusaha menjaga tata karma
dan sopan santun dalam beramal, seakan-akan kamu melihat-Nya seperti Dia
melihat kamu. Hal itu harus dilakukan bukan karena kamu meelihat-Nya, tetapi
karena Dia selamanya melihat kamu. Maka beribadahlah dengan baik meskipun
kamu tidak dapat melihat-Nya.
Ihsan merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan diterima atau
tidaknya suatu amal oleh Allah SWT. karena orang yang berlaku ihsan dapat
dipastikan akan ikhlas dalam beramal, sedangkan ikhlas merupakan inti
diterimanya suatu amal ibadah.

d. Hari Kiamat
Percaya kepada hari Kiamat termasuk salah satu rukun iman yang harus
diyakini oleh semua orang yang beriman meskipun tidak ada yang tahu kapan
waktunya. Bahkan Rasulullah SAW. pun tidak mengetahuinya karena hanya
Allah saja yang tahu.
Bagi mereka yang beriman, tidak diketahui terjadinya hari Kiamat tidak
akan mengurangi kadar keimanannya. Mereka justru lebih waspada dan senantiasa
meningkatkan amal kebaikan untuk bekal menghadapi-Nya.
Namun demikian, Rasulullah SAW. memberikan dua tanda terjadinya
kiamat yakni jika hamba sahaya telah melahirkan majikannya, dan jika

11
penggembala onta dan ternak lainnya berlomba-lomba membangun gedung-
gedung yang megah dan tinggi.
Menurut sebagian ahli hadits, tanda-tanda kiamat itu lebih dari dua
sebagaimana terdapat dalam hadits lain. Dengan kata lain, kedua tanda kiamat
tersebut merupakan tanda jangka panjang. Adapun tanda-tanda seperti terbitnya
matahari dari arah barat merupakan tanda jangka pendek.
Akan tetapi, hanya Allah saja yang tahu mengenai datangnya hari kiamat,
sebagaimana tidak ada yang tahu, kecuali Allah saja tentang turunnya hujan; apa
yang ada dalam rahim seorang ibu; apa yang akan terjadi esok hari; dan
dimanakah seseorang akan mati, sebagaimana dinyatakan dalam ayat:
ۖ ‫ب َغدًا‬
ُ ‫س‬ ٌ ‫سا َع ِة َويُنَ ِّز ُل ا ْل َغ ْي َث َويَ ْعلَ ُم َما فِي اَأْل ْر َح ِام ۖ َو َما تَ ْد ِري نَ ْف‬
ِ ‫س َما َذا تَ ْك‬ َّ ‫ِإنَّ هَّللا َ ِع ْن َدهُ ِع ْل ُم ال‬
‫ض تَ ُموتُ ۚ ِإنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬ ٍ ‫ي َأ ْر‬ ِّ ‫س بَِأ‬
ٌ ‫َو َما تَ ْد ِري نَ ْف‬
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari
kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada
dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui
di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Lukman: 34)

2.2 Berkurangnya Iman dan Islam Karena Maksiat (LM: 36)


‫سلَّ َم قَا َل اَل يَ ْزنِي ال َّزانِي ِحينَ يَ ْزنِي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫قَا َل َأبُو ُه َر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ِإنَّ النَّبِ َّي‬
‫ق َوه َُو‬ ُ ‫س ِر‬
ْ َ‫ق ِحينَ ي‬ ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫ق ال‬ ُ ‫س ِر‬ ْ َ‫ب ا ْل َخ ْم َر ِحينَ ي‬
ْ َ‫ش َربُ َها َو ُه َو ُمْؤ ِمنٌ َواَل ي‬ ْ َ‫َو ُه َو ُمْؤ ِمنٌ َواَل ي‬
ُ ‫ش َر‬
َ‫ار ُه ْم فِي َها ِحين‬
َ ‫ص‬َ ‫اس ِإلَ ْي ِه َأ ْب‬
ُ َّ‫ف يَ ْرفَ ُع الن‬
ٍ ‫ش َر‬َ َ‫ب نُ ْهبَةً َذات‬ ُ ‫ َواَل يَ ْنتَ ِه‬:‫ُمْؤ ِمنٌ وزاد في رواية‬
ٌ‫يَ ْنتَ ِهبُ َها َو ُه َو ُمْؤ ِمن‬
1. Terjemah Hadits
“Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Nabi SAW. bersabda, “Tidak akan berzina
seorang pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman. Dan tidak akan
meminum khamar seseorang di waktu meminum jika ia sedang beriman. Dan

12
tidak akan mencuri seseorang di waktu mencuri jika ia sedang beriman. Pada
riwayat lain, ‘Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga
orang-orang membelalakkan mata kepadanya ketika merampas jika ia sedang
beriman.” (Dikeluarkan oleh Bukhari: (74) kitab: “Minuman,”(1) bab: Firman
Allah SWT. “Sesungguhnya khamar, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan
setan….”)

2. Penjelasan Singkat
Orang yang beriman kepada Allah SWT. akan merasa suatu perasaan
segala tingkah lakunya selalu diawasi oleh Dzat Yang Maha Mengetahui, Allah
SWT. Ia memiliki keyakinan bahwa segala amal perbuatannya harus
dipertanggungjawabkan kelak dihadapan-Nya dan ia sendiri yang akan menerima
akibat dari perbuatannya, baik ataupun buruk, sekecil apapun perbuatannya,
sebagaimana firman-Nya:
َ ‫ َو َمنْ يَ ْع َم ْل ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة‬. ُ‫فَ َمنْ يَ ْع َم ْل ِم ْثقَا َل َذ َّر ٍة َخ ْي ًرا يَ َره‬
ُ‫ش ًّرا يَ َره‬
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (benda paling
kecil) niscaya dia akan melihat (balasan)-nya, dan barangsiapa yang
mengerjakan amal kejelekan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihatnya.”
(Q.S. Al-Zalzalah: 7-8)
Oleh karena itu, orang yang benar-benar beriman pasti selalu berusaha
untuk mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuataan yang dilarang-
Nya. Ia tidak mungkin berbuat maksiat dengan sengaja kepada-Nya karena ia
merasa malu dan takut menghadadapi azab-Nya serta takut tidak mendapatkan
rida-Nya.
Sebaliknya, orang yang tidak beriman kepada Allah SWT. akan merasa
bahwa hidupnya didunia tidak memiliki beban apa-apa. Ia hidup semaunya dan
yang penting baginya adalah ia merasa senang dan bahagia. Ia tidak memikirkan
kehidupan setelah mati kelak karena ia tidak mempercayainya. Dengan demikian,
perbuatannya pun tidak terlalu dipusingkan oleh masalah baik ataupun buruk. Dan

13
kalaupun suatu ketika ia melakukan perbuatan baik, bukan karena mengharapkan
rida Allah SWT. karena ia tidak percaya kepada-Nya sehingga Allah SWT. pun
tidak akan memberinya pahala.
Adapun bagi mereka yang menyatakan dirinya beriman, tetapi sering
melakukan perbuatan dosa/maksiat, mereka merasa dan mengetahui bahwa
perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan dosa, tetapi mereka tidak berusaha
untuk mencegah dirinya dari perbuatan tersebut. Hal itu antara lain karena
kuatnya godaan setan dan besarnya dorongan hawa nafsu untuk melakukan
perbuatan maksiat. Dalam keadaan seperti ini, ia tetap beriman, hanya saja
keimanannya lemah (berkurang). Semakin sering melakukan perbuatan dosa,
semakin lemah pula imannya.
Keimanan seseorang adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang

ُ ُ‫اِإل ْي ِمانُ يَ ْزدَا ُد َو يَ ْنق‬, maka seyogianya setiap orang beriman harus berusaha untuk
‫ص‬
selalu memperbaharui keimanan dan keislamannya, antara lain, dengan selalu
mengingat-Nya dan mengerjakan perbuatan yang baik dan diridai-Nya. Dengan
demikian, keimanannya relatif akan stabil.
Selain itu, ia pun harus selalu ingat bahwa sekecil apapun perbuatan
maksiat, apalagi kalau termasuk dosa besar, ia akan mendapatkan balasan-Nya.
Seandainya di dunia dia dapat selamat, ia tidak dapat mengelak dari balasan di
akhirat kelak. Dalam An-Nisa ayat 14 disebutkan:

ٌ ‫سولَهُ َويَتَ َع َّد ُحدُو َدهُ يُ ْد ِخ ْلهُ نَا ًرا َخالِدًا فِي َها َولَهُ َع َذ‬
ٌ‫اب ُم ِهين‬ ُ ‫ص هَّللا َ َو َر‬
ِ ‫َو َمنْ يَ ْع‬
Artinya:
“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-
Nisa: 14)
Namun demikian, jika seorang hamba mau bertobat, selain ia akan
mendapat ampunan Allah, juga dipastikan imannya akan kembali utuh.
‫ت ثُ َّم تَابُوا ِمنْ بَ ْع ِدهَا َوآ َمنُوا ِإنَّ َربَّكَ ِمنْ بَ ْع ِدهَا لَ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬ َّ ‫َوالَّ ِذينَ َع ِملُوا ال‬
ِ ‫سيَِّئا‬

14
Artinya:
“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertobat sesudah itu dan
beriman; sesungguhnya Tuhan kamu, sesudah tobat yang disertai dengan iman
itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-A’raf: 153)
Tentu saja, tobatnya harus betul-betul, tobat nashuha. (Q.S. 66: 8)

2.3 Rasa Malu Sebagian dari Iman (LM: 22)


Dituturkan dari Ibn Umar r.a.
‫ وهو يعظ أخاه‬‰‫ مر على رجل من األنصار‬‰‫حديث ابن عمر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫في الحياء فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم دعه فإن الحياء من اإليمان‬
1. Terjemah Hadits
“Bahwasannya Nabi SAW. melewati (melihat) seorang lelaki dari kaum Anshar
yang sedang menasihati saudaranya karena malu, maka Nabi SAW. bersabda,
“Biarkanlah ia, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” (Dikeluarkan
oleh Imam Bukhari: (2) Kitab “Iman,” (16) bab: “Malu Bagian dari Iman.”)

2. Penjelasan Singkat
Diantara kemahakuasaan Allah SWT. adalah Dia menciptakan manusia
dalam keadaan berbeda-beda, baik dalam bentuk, sifat, dan lain-lain. Bahkan,
pada orang yang berwajah mirip pun pasti terdapat perbedaan dan kekhususan
masing-masing.
Rasa malu merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh manusia, dan
sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan manusia, dengan
binatang. Kadar rasa malu pada tiap-tiap orang berbeda-beda. Ada yang pemalu,
tidak pemalu, dan agak pemalu.
Islam sangat mengakui keberagaman setiap orang, khususnya tentang sifat
malu. Bahkan, sifat malu sebagaimana dinyatakan dalam hadits diatas merupakan
bagian dari iman.

15
Namun demikian, malu yang dimaksud dalam hadits diatas bukan dalam
arti bahasa, tetapi arti malu disana adalah malu dalam mengerjakan kejelekan. Hal
itu dipertegas oleh hadits lain yang artinya :
“Imran bin Hushain r.a., ia berkata, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda,
“Malu itu tidak akan menimbulkan sesuatu, kecuali kebaikan semata.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Tidak heran kalau para ulama mendefinisikan malu dengan:
‫ق‬ َ ‫ق ِذى ْا‬
ِّ ‫لح‬ ِ ‫ح َويَ ْمنَ ُع ِمنَ التَّ ْق‬
ِّ ‫ص ْي ِرفِى َح‬ ٌ ُ‫لحيَا ِء ُخل‬
ِ ‫ق يَ ْب َعث ُ َعلَى ت َْر ِك ْالقَبِ ْي‬ َ ‫َحقِ ْيقَة ُ ْا‬
Artinya:
“Hakikat malu adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan
melakukan sesuatu yang rendah atau kurang sopan.”
Menurut Abul Qasim (Junaid), perasaan malu akan timbul bila
memandang budi kebaikan dan melihat kekurangan diri. Hampir senada dengan
itu, Al-Hulaimy berpendapat bahwa hakikat malu adalah rasa takut untuk
melaksanakan kejelekan. Adapun diantara para ulama, ada yang berpendapat,
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Fathu Al-Bary bahwa
merasa malu dalam mengerjakan perbuatan haram adalah wajib; dalam
mengerjakan pekerjaan makruh adalah sunah; dan dalam mengerjakan perbuatan
yang mubah adalah kebiasaan/adat. Perasaan malu seperti itulah yang merupakan
salah satu cabang iman.
Dengan demikian, malu untuk melakukan perbuatan baik tidaklah
termasuk dalam kategori malu pada hadits ini. Begitu pula malu untuk melarang
orang lain berbuat kejelekan. Padahal Allah SWT. saja tidak malu menerangkan
kebenaran, sebagaimana firman-Nya:
. . .ِّ‫ست َْحيِي ِمنَ ا ْل َحق‬
ْ َ‫ َوهَّللا ُ اَل ي‬. . .
Artinya:
“. . . Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar . . .” (Q.S. Al-Ahzab: 53)
Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi berpendapat bahwa malu dalam
syari’at Islam terbagi atas dua macam, yaitu:

16
a. Malu kepada Allah SWT., maksudnya ialah merasakan nikmat dari Allah
SWT. hingga tidak sampai hati dan malu untuk berbuat maksiat atau melanggar
larangan-Nya.
b. Malu kepada sesama manusia, maksudnya menutup mata dari hal-hal yang
tidak berguna.
Jika manusia telah kehilangan rasa malunya, ia tidak lagi berbeda dengan
binatang. Pepatah seorang ulama kepada putranya, sebagaimana yang dikutip oleh
Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi, layak untuk direnungkan dengan seksama,
“Hai putraku, jika nafsu syahwatmu mengajak berbuat dosa, pandanglah ke atas,
hendaklah kau malu kepada masyarakat langit yang mengawasimu, jika tidak,
tundukkanlah matamu ke bumi dan hendaklah malu kepada penghuninya, dan jika
demikian kau belum dapat melakukannya, maka anggaplah kau sendiri sebangsa
hewan tak berakal.”

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Iman ialah percaya kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, pertemuan
dengan Allah, para Rasul-Nya, percaya kepada hari berbangkit dari kubur, dan
percaya kepada qadha dan qadar. Islam ialah menyembah kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat
yang difardhukan, berhaji, dan berpuasa di bulan Ramadhan; dan ihsan ialah
menyembah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu
melihat-Nya, harus diyakini bahwa Allah melihat kita.
Ketiga hal diatas (iman, islam, ihsan) ditambah percaya kepada hari
kiamat, merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk
jiwa untuk mengabdi kepada Allah sehingga mendapat keridhaan-Nya.
Keimanan seseorang akan terpantul dalam bentuk amal saleh. Oleh sebab
itu, meningkat atau menurunnya amal shaleh yang diperbuat merupakan indicator
menurun dan meningkatnya iman. Orang yang betul-betul beriman tidak mungkin
secara sengaja mengerjakan maksiat. Dengan demikian, seorang mukmin yang
melakukan perbuatan dosa seperti zina, mencuri, membunuh dan kemaksiatan-
kemaksiatan lainnya, berarti dia sedang tidak beriman atau imannya berada dalam
titik terendah. Oleh karena itu, seyogianya setiap orang yang beriman selalu
memperbaharui keimanannya dengan selalu mengingat Allah dan melakukan
berbagai perintah-Nya.
Malu dalam arti sebenarnya (menurut pandangan Islam) adalah malu
dalam melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. dan yang dipandang
jelek oleh manusia. Adapun orang yang merasa malu untuk melakukan perbuatan
baik atau malu menegur orang yang melakukan kejelekan tidak termasuk malu
dalam kategori ini, tetapi justru termasuk perbuatan tercela.

18
3.2 Saran
Dari pembahasan diatas, penulis hanya bisa menyarankan agar pembaca
senantiasa meningkatkan semangat keagamaan dan lebih meningkatkan keimanan
dan lain sebagainya.

19
DAFTAR PUSTAKA
Baqi, Muhammad Fu’ad Abdul. 2018. Shahih Bukhari Muslim (Al-Lu’lu wal
Marjan). Jakarta: Gramedia
http://repository.iainponorogo.ac.id/428/1/STUDI%20HADIS.pdf
https://www.scribd.com/doc/81070824/TUGAS-HADITS
https://web.facebook.com/TAHDIS/posts/205867679546793/?_rdc=1&_rdr
Syafe’i, Rachmat. 2000. Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum).
Bandung: CV Pustaka Setia

20

Anda mungkin juga menyukai