PUASA
Dosen Pengampu :
Ahmad Rasyid Nst, S.H.I, M.A.
2021 M/1442 H
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................1
C. Tujuan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
D. Macam-Macam Puasa.............................................................................12
A. Kesimpulan..............................................................................................13
B. Saran........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan hikmah puasa?
2. Apa syarat wajib dan syarat sah puasa?
3. Apa hal-hal yang membatalkan puasa?
4. Apa macam-macam puasa?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum, syarat, rukun, dan hikmah puasa.
2. Untuk mengetahui syarat wajib dan syarat sah puasa.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa.
4. Untuk mengetahui macam-macam puasa.
ii
BAB II
PEMBAHASAN
b. Dasar Hukum
Dalil kewajiban puasa. Allah Ta’ala berfirman,
َ ِٰ﴿يٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت
﴾ ١٨٣ َب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
ii
yang bathil. Siapa yang menyaksikan hilal atau mendapatkan bukti adanya hilal
ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar), maka hendaklah ia berpuasa.
Dari hadis sahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َوإِقَ ِام، ول اللَّ ِه َّ س َش َه َاد ِة أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ اللَّهُ َوأ
ُ َن حُمَ َّم ًدا َر ُس ٍ ْبُىِن ا ِإل ْسالَ ُم َعلَى مَخ
َ
ضا َن ِ و، واحْل ِّج، الز َك ِاة َّ َوإِيتَ ِاء، الصالَِة
َ ص ْوم َر َم َ َ َ َ َّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: (1) bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) berhaji, dan (5) puasa
Ramadhan.” (HR. Bukhari, no. 8 dan Muslim, no. 16).
Begitu pula yang mendukungnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada seorang Arab Badui. Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah bahwa orang Arab Badui
pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pun bertanya,
Bahkan ada dukungan ijmak (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa
Ramadhan. (Lihat At-Tadzhib, hlm. 108 dan Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).
c. Syarat
i. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa ada lima, yaitu: (1) Islam, (2) taklif (baligh dan
berakal), (3) mampu, (4) sehat, dan (5) mukim.
ii. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada empat, yaitu: (1) Islam, (2) berakal, (3) suci dari
semisal haid, dan (4) mengetahui waktu puasa (tidak dilakukan pada
waktu dilarang puasa).
d. Rukun
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan,
ii
ك َع ِن األَ ْك ِل ِ النِّيَّةُ َو: َوفَ َرائِضُ الص َّْو ِم أَرْ بَ َعةُ أَ ْشيَا َء
ُ اإل ْم َسا
اع َوتَ َع ُّم ِد القَ ْي ِء
ِ الج َم ِ َْوال ُّشر
ِ ب َو
“Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari
makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jimak), (4) menahan
diri dari muntah dengan sengaja.”
Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau sampaikan.
Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan diri dari
berbagai pembatal puasa.
...
Catatan dalil
1. Niat berpuasa pada malam hari setiap hari untuk puasa Ramadhan.
2. Meninggalkan pembatal-pembatal.
3. Orang yang berpuasa karena puasa itu tidak tampak dari luar sehingga mesti
ditampakkan. Hal ini berbeda dengan shalat yang masih tampak bentuk dari luar.
Niat berarti al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa.
Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan
melafazkan niat. Niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya. Akan tetapi, lafaz
niat disunnahkan di lisan bersama dengan niat dalam hati. Niat sudah
ii
dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk berpuasa
seperti bersahur untuk puasa atau minum agar tidak haus saat puasa, atau
menghalangi dirinya untuk makan, minum, dan jimak saat mulai terbit fajar. Lihat
Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:173.
Hukum berniat adalah wajib. Puasa Ramadhan tidaklah sah kecuali dengan
berniat, begitu pula puasa wajib atau puasa sunnah lainnya tidaklah sah kecuali
dengan berniat. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka puasanya
tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshah-Ummul Mukminin radhiyallahu
‘anha-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ
ُالصيَ َام َقْب َل الْ َف ْج ِر فَاَل صيَ َام لَه
ِّ تْ َِّم ْن مَلْ يَُبي
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa
untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no.
2454. Syaikh Al-Albani men-sahih-kan hadits ini).
Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan sebelum waktu
zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai berikut,
صلى اهلل عليه- ول اللَّ ِه ُ ت َكا َن َر ُس ْ ََع ْن َعائ َشةَ – رضى اهلل عنها – قَال
ِ
ii
Penulis Kifayah Al-Akhyar berkata, “Wajib berniat di malam hari. Kalau sudah
berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan
jimak (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan sesudah terbit
fajar Shubuh, maka tidaklah sah.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan harus
ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadhan yang
diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekadar niatan puasa mutlak.
Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Niat mesti ada pada setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari
berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena
setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa
yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang
berbeda setiap harinya. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 340-341).
Keempat: Menahan diri dari pembatal puasa dari terbit fajar Shubuh
hingga tenggelam matahari
Allah Ta’ala berfirman,
ii
e. Hikmah Puasa
Pertama: Puasa adalah cara termudah untuk menggapai ketakwaan kepada Allah
karena puasa punya pengaruh kuat dalam menjaga anggota badan secara lahir dan
menguatkan batin.
Kedua: Beribadah kepada Allah dengan meninggalkan berbagai syahwat dan hal-
hal yang disukai sementara waktu. Hal ini untuk membuktikan bagaimanakah
besarnya kecintaan seorang hamba kepada Allah ataukah tidak.
Keempat: Puasa itu membuat sehat seperti dapat menurunkan bobot badan,
mengurangi resiko stroke, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi resiko
diabetes. Manfaat kesehatan ini adalah manfaat ikutan. Namun tetap seseorang
yang berpuasa meniatkan puasanya ikhlas karena Allah, bukan semata-mata ingin
sehat.
Syarat wajib puasa ada lima, yaitu: (1) Islam, (2) taklif (baligh dan berakal), (3)
mampu, (4) sehat, dan (5) mukim.
Catatan dalil
ii
1. Islam, berarti puasa tidak diwajibkan pada orang kafir, artinya orang kafir
tidak dituntut di dunia untuk berpuasa. Namun, ketika di akhirat, orang kafir
dihukum karena kekafirannya.
2. Taklif (dibebani syariat), artinya muslim yang baligh dan berakal. Jika sifat
taklif ini tidak ada, maka tidak dibebani hukum syariat.
3. Mampu,
4. Sehat, dan
5. Mukim.
Tiga hal ini yang menyebabkan wajib puasa. Yang menghalangi puasa adalah
tidak mampu, sakit, atau musafir.
b. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada empat, yaitu: (1) Islam, (2) berakal, (3) suci dari semisal
haid, dan (4) mengetahui waktu puasa (tidak dilakukan pada waktu dilarang
puasa).
Catatan dalil
Pertama: Penentuan awal Ramadhan dengan rukyatul hilal atau bulan Syakban
digenapkan menjadi 30 hari
ii
ketika masih kafir, ia berpuasa, puasanya tidaklah sah sama sekali. Karena puasa
itu cabang dari iman dan akidah, serta butuh niat.
Menurut qaul qadim (pendapat terdahulu) dari Imam Syafii masih boleh
berpuasa pada tiga hari tasyrik bagi orang yang berhaji tamattu’ dan tidak
memiliki hewan untuk disembelih. Sedangkan menurut qaul jadiid (pendapat
terbaru), berpuasa pada hari tasyrik tetap terlarang. Jika kita memilih qaul
qadim (pendapat terdahulu), itu bukan berarti kita membolehkan untuk orang
ii
selain haji tamattu’ untuk puasa saat itu. Bahkan berpuasa saat itu dihukumi
haram. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 253.
3. Puasa pada hari syakk (meragukan)
Yang dimaksud hari meragukan adalah tanggal 30 Syakban. Abu Syuja’ lebih
memilih pendapat makruh bagi yang berpuasa di hari meragukan. Namun,
yang jadi pegangan dalam madzhab Syafii, larangan dari berpuasa pada hari
syakk adalah larangan haram.
Kecuali orang yang punya kebiasaan berpuasa, yaitu bertepatan dengan hari
puasa Daudnya (sehari puasa, sehari tidak) atau puasa Senin-Kamis, maka ia
masih boleh melakukan sunnah tersebut. Lihat Al-Iqna’, 1:413
ii
D. Macam-Macam Puasa
Pertama: Puasa Wajib, adalah puasa Ramadhan, puasa qadha’ dari puasa
Ramadhan, puasa nadzar, puasa fidyah dan kaffarat.
Kedua: Puasa Sunnah, adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dianjurkan untuk
dikerjakan, yaitu:
1. Puasa enam hari pada bulan Syawwal, puasa hari ‘Arafah bagi orang yang
tidak sedang menunaikan ibdah haji.
2. Puasa hari ‘Asyura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram) dengan satu hari
sebelum atau sesudahnya.
3. Puasa hari-hari bidh (putih, yakni hari-hari di saat terjadi bulan purnama),
yaitu hari ke-13, 14 dan 15 pada setiap bulan Hijriyyah.
4. Puasa hari Senin dan Kamis, memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban dan
Muharram.
5. Puasa Nabi Dawud (sehari puasa, sehari tidak puasa) dan puasa sepuluh hari
di bulan Dzulhijjah, dan puasa bagi orang yang belum mampu menikah.
Ketiga: Puasa Makruh, adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dilarang untuk
dikerjakan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat keras, karena tidak sampai pada
tingkat pengharaman. Di antara hari-hari yang dimakruhkan untuk puasa adalah:
1. Puasa hari ‘Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
2. Puasa hari Jum’at saja, uasa hari Sabtu saja.
3. Puasa hari terakhir dari bulan Sya’ban, kecuali jika bertepatan dengan puasa
yang telah biasa dilakukan, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
4. Puasa ad-Dahr. Ini diartikan bahwa harus berbuka pada hari-hari
diharamkannya puasa, jika tidak berbuka pada hari-hari tersebut, maka
diharamkan puasa ad-Dahr.
Keempat: Puasa yang Diharamkan, adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i
dilarang secara mutlak untuk dikerjakan, yaitu:
1. Puasa dua hari raya; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, puasa pada hari-hari
Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 dari bulan Dzul Hijjah.
2. Puasa pada saat haidh dan nifas bagi wanita. Diharamkan bagi wanita
melaksanakan puasa tathawwu’ (sun-nah) jika suaminya melarang untuk
mengerjakan puasa tersebut.
3. Puasanya orang sakit yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan bisa
mengakibatkan kematiannya.1
Lihat kitab Haasyiyah Ibni ‘Abidin (II/373), Bidaayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd (I/298),
Mawaahib al-Jaliil karya al-Khaththab (II/405), al-Majmuu’, karya an-Nawawi (VI/378), al-
Inshaaf karya al-Mardawi (hal. 342).
ii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
-Pengertian, Dasar Hukum, Syarat, Rukun, dan Hikmah Puasa
a. Pengertian Puasa
Secara bahasa, ash-shiyam berarti al-imsak, menahan diri. Secara istilah ash-
shiyam berarti menahan diri dari berbagai pembatal disertai niat, dilakukan oleh
orang tertentu, pada waktu tertentu.
Berarti puasa harus disertai niat. Puasa juga harus menahan diri dari berbagai
pembatal seperti makan, minum, dan hubungan intim (jimak). Tiga hal ini
disepakati oleh para ulama, sedangkan pembatal puasa lainnya masih
diperselisihkan. Yang melakukan puasa adalah muslim, mukallaf (sudah dibebani
syariat), dan pada wanita bebas dari haidh dan nifas. Sedangkan dilakukan pada
waktu tertentu berarti dari terbit Fajar Shubuh hingga tenggelam matahari.
b. Dasar Hukum
Dalil kewajiban puasa. Allah Ta’ala berfirman,
َ ِٰ﴿يٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكتِ َب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت
﴾ ١٨٣ َب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُوْ ۙن
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-
Baqarah: 183). Kata ‘kutiba’ dalam ayat ini berarti diwajibkan.
c. Syarat
1. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa ada lima, yaitu:
(1) Islam,
(2) taklif (baligh dan berakal),
(3) mampu,
(4) sehat, dan
(5) mukim.
2. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada empat, yaitu:
(1) Islam,
(2) berakal,
(3) suci dari semisal haid, dan
(4) mengetahui waktu puasa (tidak dilakukan pada waktu dilarang
puasa).
d. Rukun
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan,
ِ ك َع ِن األَ ْك
لrrr ِ النِّيَّةُ َو: يَا َءrrr ةُ أَ ْشrrr ْو ِم أَرْ بَ َعrrrالص
ُ اrrrاإل ْم َس َّ َ ََوف
ُرائِضrrr
اع َوتَ َع ُّم ِد القَ ْي ِءِ الج َم
ِ ب َو ِ َْوال ُّشر
“Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari
makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jimak), (4) menahan
diri dari muntah dengan sengaja.”
ii
Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau
sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan diri
dari berbagai pembatal puasa.
e. Hikmah Puasa
1. Puasa adalah cara termudah untuk menggapai ketakwaan kepada Allah
karena puasa punya pengaruh kuat dalam menjaga anggota badan secara
lahir dan menguatkan batin.
2. Beribadah kepada Allah dengan meninggalkan berbagai syahwat dan hal-
hal yang disukai sementara waktu. Hal ini untuk membuktikan
bagaimanakah besarnya kecintaan seorang hamba kepada Allah ataukah
tidak.
3. Puasa adalah untuk melatih jiwa untuk bersabar.
4. Puasa itu membuat sehat seperti dapat menurunkan bobot badan,
mengurangi resiko stroke, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi
resiko diabetes. Manfaat kesehatan ini adalah manfaat ikutan. Namun
tetap seseorang yang berpuasa meniatkan puasanya ikhlas karena Allah,
bukan semata-mata ingin sehat.
- Syarat Wajib dan Syarat Sah Puasa
a. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajib puasa itu ada lima:
6. Islam, berarti puasa tidak diwajibkan pada orang kafir, artinya orang
kafir tidak dituntut di dunia untuk berpuasa. Namun, ketika di akhirat,
orang kafir dihukum karena kekafirannya.
7. Taklif (dibebani syariat), artinya muslim yang baligh dan berakal. Jika
sifat taklif ini tidak ada, maka tidak dibebani hukum syariat.
8. Mampu,
9. Sehat, dan
10. Mukim.
b. Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada empat, yaitu:
1. Islam,
2. Berakal,
3. Suci dari semisal haid, dan
4. Mengetahui waktu puasa (tidak dilakukan pada waktu dilarang puasa).
-Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
Yang membatalkan puasa ada 10 hal:
1. Segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh),
2. Segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
3. Segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau
dubur,
4. Muntah dengan sengaja,
5. Menyetubuhi dengan sengaja di kemaluan,
6. Keluar mani karena bercumbu,
7. Haidh,
8. Nifas,
9. Gila dan pingsan pada keseluruhan hari, dan
ii
10. Keluar dari islam (murtad).
-Macam-Macam Puasa
Kita akan membicarakan tentang pembagian puasa dari segi halal dan haram.
Hal itu karena puasa terkadang bisa wajib, terkadang sunnah, terkadang makruh
dan terkadang haram. Pembahasan mengenai hal itu akan diberikan dalam
beberapa permasalahan berikut ini:
Pertama: Puasa Wajib
Puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa qadha’ dari puasa Ramadhan, puasa
nadzar, puasa fidyah dan kaffarat.
Kedua: Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dianjurkan untuk
dikerjakan, yaitu:
1. Puasa enam hari pada bulan Syawwal.
2. Puasa hari ‘Arafah bagi orang yang tidak sedang menunaikan ibdah haji.
3. Puasa hari ‘Asyura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram) dengan satu hari
sebelum atau sesudahnya.
4. Puasa hari-hari bidh (putih, yakni hari-hari di saat terjadi bulan purnama -
ed
), yaitu hari ke-13, 14 dan 15 pada setiap bulan Hijriyyah.
5. Puasa hari Senin dan Kamis.
6. Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban dan Muharram.
7. Puasa Nabi Dawud (sehari puasa, sehari tidak puasa).
8. Puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah.
9. Puasa bagi orang yang belum mampu menikah.
Ketiga: Puasa Makruh
Puasa makruh adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dilarang untuk dikerjakan,
tetapi larangan tersebut tidak bersifat keras, karena tidak sampai pada tingkat
pengharaman. Di antara hari-hari yang dimakruhkan untuk puasa adalah:
1. Puasa hari ‘Arafah bagi orang yang menunaikan ibadah haji.
2. Puasa hari Jum’at saja.
3. Puasa hari Sabtu saja.
4. Puasa hari terakhir dari bulan Sya’ban, kecuali jika bertepatan dengan
puasa yang telah biasa dilakukan, seperti puasa hari Senin dan Kamis.
5. Puasa ad-Dahr. Ini diartikan bahwa harus berbuka pada hari-hari
diharamkannya puasa, jika tidak berbuka pada hari-hari tersebut, maka
diharamkan puasa ad-Dahr.
Keempat: Puasa yang Diharamkan
Puasa yang diharamkan adalah puasa yang oleh nash-nash syar’i dilarang secara
mutlak untuk dikerjakan, yaitu:
1. Puasa dua hari raya; ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.
2. Puasa pada hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 dari bulan Dzul
Hijjah.
3. Puasa pada saat haidh dan nifas bagi wanita.
4. Diharamkan bagi wanita melaksanakan puasa tathawwu’ (sun-nah) jika
suaminya melarang untuk mengerjakan puasa tersebut.
5. Puasanya orang sakit yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan bisa
mengakibatkan kematiannya.
ii
B. Saran
Penulis merasa apa yang sudah dibuat ini masih jauh dari kata sempurna.
Untuk itulah kritik dan saran dari segenap pembaca semua sangat dinantikan oleh
penulis.
ii
DAFTAR PUSTAKA
ii