Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mu’amalah
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
1. Jihan nabilah Safinatin Najah (23102003)
2. Irsyani Aulia Effendi (23102025)
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2
A. Pengertian Ji’alah, Dasar Hukum Ji’alah, Rukun Ji’alah dan Syarat
Ji’alah ........................................................................................................ 2
B. Pelaksanaan dan Pembatalan Ji’alah ......................................................... 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 9
A. Kesimpulan ................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupannya selalu melakukan kegiatan sehari-
hari, kegiatan tersebut ada yang dilakukan secara individu maupun secara
bersama. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dengan artian
pasti membutuhkan bantuan kepada orang lain.
karena dia sendiri tidak bisa melaksanakan sendiri. Kegiatan yang
tidak bisa dilaksanakan sendiri inilah yang kemudian menyuruh kepada
orang lain yang harus diberi imbalan dalam bentuk upah (ji’alah) atau
pemberian.
Mungkin masih ada masyarakat yang belum mengetahui apa
hukum dari akad ji’alah tersebut. Tidak hanya hukum saja tetapi untuk
pelaksanaan dan juga pembatalan ji’alah juga mungkin masih ada yanng
belum mengetahui. Dengan adanya fenomena tersebut penulis tertarik
untuk memperdalam masalah ji’alah dengan judul “Ji’alah”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ji’alah, dasar hukum, rukun, dan syarat ?
2. Bagaimana pelaksanaan dan pembatalan ji’alah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian ji’alah, dasar hukum, rukun, dan syarat.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan dan pembatalan ji’alah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ji’alah, Dasar Hukum, Rukun, dan Syarat
1. Pengertian Ji’alah
Kata ji’alah secara bahasa berasal dari kata َ جَعَل َ–َيجْعلyang artinya
menjadikan. Upah dalam ji'alah disebut dengan َ جعل. Orang yang
membuat akad ji'alah disebut َجعَ ْل. Lalu apa hubungan dengan kata
ji'alah? Karena orang yang membuat akad ini menjadikan upah
tertentu bagi orang yang bersepakat dan bersedia untuk mengerjakan
pekerjaan yang ditawarkan oleh pembuat akad ini. Istilah ji’alah
dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh para fuqaha yaitu memberi
upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang
hilang, mengobati orang yang sakit, atau seseorang yang menang
dalam sebuah kompetisi. Jadi ji’alah bukan hanya sebatas pada barang
yang hilang namun setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan
seseorang.1
Ji’alah menurut Ibn Rusyd adalah pemberian upah atas sesuatu
manfaat yang diduga akan terwujud. contoh, “jadikan anakku hafal 30
juz dalam waktu 3 bulan akan aku beri upah sekian” lalu seseorang
yang dibebani pekerjaan (maj’ul) tersebut berhasil mewujudkan
permintaan orang yang memberikan pekerjaan (ja’il), Maka ja’il wajib
memberikan upah sesuai dengan apa yang sudah ia (ja’il) janjikan.
Juhmur fukaha bersepakat bahwa hukum ji’alah adalah mubah,
Karena ji’alah diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Ji’alah
merupakan akad yang manusiawi, Karena dalam sehari-hari kita tidak
bisa memenuhi kebutuhan semuanya, Kecuali jika dia memberikan
upah kepada seseorang untuk membantunya.
Ji’alah berbeda dengan ijarah (sewa). Ji’alah akad jasa yang
amalnya tidak maklum (amalnya tidak diketahui) yang diperhatikan
1
Buku karangan Sulaiman rasyid, fiqh islam.
2
adalah hasilnya, akadnya jaiz (boleh sewaktu-waktu dibatalkan tanpa
sepengetahuan pihak yang berakad), tidak meminta kejelasan entah itu
selesainya kapan, pekerjaannya apa dan lain-lain. Karena yang
diminta adalah hasilnya. Dalam kitab matan abu syuja’ diperbolehkan
menggabungkan antara mudah (durasi) dengan amal (pekerjaan).
Contoh, “Kalau kamu bisa menjahitkan baju ini dan selesai dalam
sehari saya beri upahnya sekian kalau lebih dari sehari maka tidak
akan saya bayar”. Sedangkan ijarah, akad jasa yang amalnya maklum
(amalnya diketahui), akadnya lazim (tidak boleh membatalkan tanpa
persetujuan pihak yang berakad), pekerjaannya jelas, jam kerja harus
jelas dan lain-lain.
2. Hukum dasar Ji’alah
Dalam al-Qur’an dengan tegas Allah SWT, Memperbolehkan
tentang akad ji’alah. Hal itu sudah dijelaskan pada firman Allah SWT
dalam QS.Yusuf : 72 yang berbunyi:
ۤ ِ ِ ِر ا ِ ِ ِ قَالواٌنَ ْف ِقدٌصو
ٌَز ِعْي ٌم
َ ٖهِب ٌٌ
نَ ٌٌَوا
َّ ٌجاءٌَبهٌَِٖحْلٌٌٌبَع ْي
َ اعٌالْ َملك ٌَول َم ْن
ََ ْ
Artinya: “Dan siapa yang dapat mengembalikan nya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya”.
Selain dalam Al-Qur’an, hukum diperbolehkan nya akad ji’alah
adalah dalam sebuah hadist shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari yaitu:
3
ٌسيِي َد َنٌل ِد َ
غٌ، اٌَ:يٌأَيُّ َه َّ ِ
اٌالرْهطٌإ َّن َ ض ِه ْم َ
ٌش ْيءٌ،فَأَتَ ْوه ْمٌ،فَ َقالٌو َ
ِ
ٌعْن َدٌب ع ِ
أَ ٌْنٌيَكو َن َ ْ
ٌش ْي رء؟ٌفَ َق َ
الٌ َح رد ٌِمْنك ْم ٌِم ْن َ ِ وسعي ناٌلَهٌبِك ِل ر
ٌش ْيءٌالٌَيَْن َفعهٌ،فَ َه ْلٌعْن َدٌأ َ
ي َ َ َ َْ َ
4
menyembuhkan)?” Maka mereka pun mendatangi para sahabat lalu
berkata, “Wahai kafilah! Sesungguhnya pemimpin kami terkena
sengatan dan kami telah berusaha mencari sesuatu
untuk(mengobati)nya, tetapi tidak berhasil. Maka apakah salah
seorang di antara kamu punya sesuatu (untuk mengobatinya)?” Lalu
di antara sahabat ada yang berkata, “Ya. Demi Allah, saya bisa
meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada
kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena
itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau
memberikan imbalan kepada kami.” Maka mereka pun sepakat untuk
memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi
kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al
Hamdulillahi Rabbil ‘aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia
seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa
merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang
mereka sepakati itu, kemudian sebagian sahabat berkata,
“Bagikanlah.” Tetapi sahabat yang meruqyah berkata, “Jangan
kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu kita sampaikan kepadanya masalahnya, kemudian kita
perhatikan apa yang Beliau perintahkan kepada kita.” Kemudian
mereka pun datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan menyebutkan masalah itu. Kemudian Beliau bersabda, “Dari
mana kamu tahu, bahwa Al Fatihah bisa sebagai ruqyah?” Kemudian
Beliau bersabda, “Kamu telah bersikap benar! Bagikanlah dan
sertakanlah aku bersama kalian dalam bagian itu". (HR. Bukhari No.
2115).2
2
https://pengusahamuslim.com/3238-sayembara-berhadiah-termasuk-1723.html Fiqh
Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus Sunnah (Sayyid Sabiq), Al
Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al Maktabatusy Syamilah.
5
Maksud dari hadits tersebut adalah yang pertama, Hadits ini
termasuk akad ji’alah. Beda dengan ijarah, kalau ijarah seperti dokter.
Jasanya memeriksa, mengobati sembuh tidaknya urusan Allah, tidak
dituntut sampai menyembuhkan, akadnya adalah memeriksa,
mengobati sesuai dengan prosedur kedokteran. Akad nya tidak
digantungkan pada kesembuhan. Ketika Rasulullah berkata َاَصبْت ْم
“kalian benar” artinya sekaligus mengakui kebolehan akad ji’alah.
Yang kedua, Al-Fatihah bisa menjadi ruqyah, bisa digunakan untuk
menyembuhkan sakit (Tergantung yang membaca juga. Tetapi kalau
sudah berkah Al-Qur’an, tidak semua bisa memberikan efek yang
sama). Yang ketiga, ruqyah adalah salah satu metode pengobatan yang
di izinkan (tidak dilarang selama tidak bertentangan dengan syariat).
Yang keempat diperbolehkan menjadikan Al-Qur’an sebagai akad
ji’alah. Contoh, mengajarkan membaca Al-Qur’an. Madzab imam
syafi’i juga membolehkan. Contohnya, muadzin, pengajar tahfid dan
masih banyak lagi.3
3. Rukun Ji’alah
Rukun ji’alah ada empat yaitu sebagai berikut:
a) Sighot yaitu kaliamat yang mengandung arti memberi izin kepada
orang yang akan mengerjakan dan tidak ditentukan waktunya.
b) Ja’il yaitu orang yang berjanji memberikan upah. Ja’il boleh orang
yang kehilangan itu sendiri atau orang lain (contoh, yang
kehilangan tidak ada uangnya lalu dibantu oleh
temannya/diwakilkan).
c) Maj’ul lah adalah orang yang dibebankan pekerjaan oleh ja’il.
d) Ju’ul adalah upah yang dijanjikan oleh ja’il.
4. Syarat Ji’alah
a) Kedua belah pihak wajib baligh, berakal, mengerti hukum ji’alah.
3
https://youtu.be/RudyIiGYj_Y?si=4Yiwz_4G34k-5e4Q Matan abu suja’: ji’alah darul Minhaj.
6
b) Pekerjaan yang diminta dikerjakan adalah mubah. Tidak sah
transaksi ji’alah jika tidak mubah. Contoh, perintah membunuh
seseorang.
c) Upah dalam ji’alah jenis dan ukurannya harus diketahui dan
sesuai dengan apa yang di inginkan oleh maj’ul. Upahnya harus
suci dan jelas sebelum maj’ul melakukan pekerjaannya, sesuai
dengan apa yang diminta oleh maj’ul, telah ditentukan dan
diketahui oleh kedua belah pihak.
d) Maj’ul menyelesaikan pekerjaan yang diminta ja’il dan
menyerahkannya hasil yang diminta ja’il kepada ja’il jika
pekerjaannya sudah selesai.4
4
https://www.wasislanprigel.xyz/2020/06/rukun-dan-syarat-jialah-sayembara.html Abdullah bin
Muhammad ath-Tahyyar dkk. Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab.
Yogyakarta: Griya Arga Permai. 2004.
7
jika yang berhasil menyembuhkan penyakit tersebut bukan per
orangan (dalam jumlah orang banyak) maka harus dibagi rata karena
sama-sama bekerja dan berusaha. Harus jelas, apabila tidak jelas maka
hukumnya tidak sah.5 Ji’alah tidak hanya untuk mencari sesuatu
barang yang hilang tetapi bisa juga untuk menyembuhkan seseorang
seprti pada contoh diatas dan sudah termaktub di dalam hadits riwayat
Imam Bukhari No. 2115. Pelaksanaan ji’alah tidak ada batasan waktu
tetapi jika ja’il berkata “jahitkan baju ini sampai selesai dalam waktu
sehari akan aku berikan upah sekian, jika lebih maka aku tidak akan
memberikan upah” ternyata si maj’ul menyelesaikannya lebih dari
sehari maka dia tidak mendapatkan upah dari ja’il.
2. Pembatalan Ji’alah
Pembatalan Ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang
yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan). Masing-
masing pihak boleh membatalkannya akad sebelum orang yang
dibebankan pekerjaan bekerja. Kalau yang membatalkannya orang
yang bekerja, dia tidak dapat upah sekalipun dia sudah bekerja. Tapi
kalau yang membatalkan itu dari pihak yang menjanjikan upah maka
yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah ia
kerjakan. Kalau masalahnya belum selesai bisa dibawa ke
pengadilan.6
5
Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar, (Bandung: al-
Ma’arif,t,tp.), 705.
6
Buku karangan Sulaiman rasyid, fiqh islam.
8
PENUTUP
A. Kesimpulan
9
diketahui) yang diperhatikan adalah hasilnya, akadnya jaiz (boleh
sewaktu-waktu dibatalkan tanpa sepengetahuan pihak yang berakad), tidak
meminta kejelasan entah itu selesainya kapan, pekerjaannya apa dan lain-
lain. Karena yang diminta adalah hasilnya. Sedangkan ijarah, akad jasa
yang amalnya maklum (amalnya diketahui), akadnya lazim (tidak boleh
membatalkan tanpa persetujuan pihak yang berakad), pekerjaannya jelas,
jam kerja harus jelas dan lain-lain.
Pembatalan ji’alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak. Jika yang
membatalkannya dari pihak maj’ul maka maj’ul tidak mendapatkan upah
sepeserpun selagi dia sudah bekerja. Namun jika yang membatalkannya
dari pihak ja’il, maka maj’ul boleh menuntut apa yang sudah dijanjikan
ja’il.
10
DAFTAR PUSTAKA
https://pengusahamuslim.com/3238-sayembara-berhadiah-termasuk-1723.html
Fiqh Muyassar Fii Dhau’il Kitab was Sunnah (beberapa ulama), Fiqhus
Sunnah (Sayyid Sabiq), Al Mulakhkhash Al Fiqhiy (Shalih Al Fauzan), Al
Maktabatusy Syamilah.
https://www.wasislanprigel.xyz/2020/06/rukun-dan-syarat-jialah-sayembara.html
Abdullah bin Muhammad ath-Tahyyar dkk. Ensiklopedia Fiqh Muamalah
dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta: Griya Arga Permai. 2004.
11