Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KAJIAN TUROTS

PEMBAHASAN TENTANG BAB GADAI DAN BAB ORANG YANG DILARANG UNTUK
MEMBELANJAKAN HARTANYA

Dosen Pengampu : Moh Mardi M.H

Disusun Oleh :
Abd Mu'ti
Abd Rosid
Moh Fauzi
Moch Alvin Faiz

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYAICHONA CHOLIL BANGKALAN

2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, tuhannya seluruh makhluk, milik-Nya lah seluruh langit dan bumi maupun
yang berada diantara keduanya. Dialah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-
Nya. Kami memohon kepadanya untuk mengampuni dosa-dosa kami, baik yang kami ketahui maupun
yang kami tidak ketahui. Shalawat serta salam semoga selalui sampai kepada Rasulullah Saw. Sebaik-
baiknya panutan dan suri tauladan bagi orang yang berharap ridha Allah SWT, dengan cara mengikuti
beliau dan menjauhi segala hal yang berlawanan dengan syariat beliau. Dan juga para sahabat beliau
sebaik-baik umat dari umat ini. Semoga Allah meridhoi mereka semua dan juga orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat, amin.

Kami disini telah membuat makalah sederhana tentang masalah fiqih gadai dan hajr, yang menjadi
rujukan untamanya adalah kitab Fathul Qorib yang banyak dikaji oleh kalangan pondok pesantren NU.
Kami menambahkan sediki menjelasan agar lebih mudah dipahami. Namun, kami paham bahwa makalah
ini masih kurang dari harapan kami, karena keterbatasan ilmu kami, jadi kami mohon maaf jika ada
kesalahan-kesalahan dalam makalah yang kami buat.

Kami ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu membuat makalah ini, dan tanpa
kehendak Allah SWT makalah ini tidak akan mungkin bisa dibuat, karena segala sesuatu berjalan dengan
kehendak Allah SWT.

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

Bab 1 : Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab 2 : Pembahasan
A. Gadai
B. Hajr
Bab 3 : Penutup
Kesimpulan
Saran

Daftar Pustaka
Bab 1 : Pendahuluan

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan seorang muslim, harta adalah sebuah nikmat yang akan ditanyakan oleh Allah
SWT, ditanyakan darimana dia mendapatkannya dan kemana dia gunakan, dari mana dan kemana
harta tersebut dia habiskan itu akan ditanya oleh Allah SWT.

Salah satu sumber harta yang harus dipertanggungjawabkan oleh orang yang memilikinya, yakni
adalah hutang, hutang ini jika tidak dibayar bisa menyebabkan orang yang terhalang untuk masuk
surga, bahkan jika dia seorang yang mati syahid. Hutang akan ditanggih diakhirat nanti, jika tidak
dibayar didunia, sungguh ini bukan perkara remeh. Salah satu bentuk hutang yakni gadai, kami
akan membahas masalah gadai ini dimakalah ini, juga terkait orang-orang yang di hajr dalam
membelanjakan hartanya, sebagai hasil dari tugas yang diberikan dosen kajian turots kami.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu gadai dan bagaimana hukumnya?


2. Apa saja syarat-syarat dan ketentuan dari gadai?
3. Apa yang dimaksud dengan orang di hajr hartanya?
4. Siapa saja orang yang di hajr hartanya?

C. Tujuan

Telah jelas apa yang menjadi tujuan dari pembuatan makalah ini, yakni sebagai bentuk dari tugas
yang telah diberikan kepada kami oleh dosen kami, kami membuat makalah ini berharap tugas ini
sesuai dengan harapan dosen kami. Meskipun kami belum mempelajari masalah ini dari dosen
kami, tapi kami tetap berusaha memenuhi harapan beliau.
Bab 2 : Pembahasan
A. Gadai
TAMBAHAN :
Contoh Gadai
Untuk memudahkan kita memahami persoalan ini ada baiknya kita mengenal pihak yang bertransaksi di
dalam muamalah ini. Pihak pertama adalah rahin (si peminjam atau orang yang menggadaikan),
sedangkan pihak kedua adalah murtahin (pemberi utang).

Adapun contoh gadai, misalnya, rahinberutang sebesar satu juta rupiah kepada murtahin. Ia lantas
menyerahkan barang yang dapat dijadikan jaminan untuk melunasi utangnya kepada murtahin. [Lihat
contoh-contoh ini di dalam Mudzakhirah al-Fiqh 2/109-110]

Hukum Gadai
Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam. Hal ini berlandaskan dalil dari
Alquran, sunah, maupun konsensus kaum muslimin sejak dulu.

Dalil utama yang menjelaskan disyariatkannya penggadaian adalah firman Allah Ta’ala,

َ ‫َان َّم ْقبُو‬


ٌ‫ضة‬ ْ ‫َوِإن ُكنتُ ْم َعلَى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجد‬
ٌ ‫ُوا كَاتِبا ً فَ ِره‬

“Jika kalian berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak
menemui seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang
memberi piutang)…” (QS. Al-Baqarah: 283)

Adapun penyebutan safar/bepergian dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk membatasi syariat gadai
hanya boleh di waktu bepergian semata. Akan tetapi hal itu dikarenakan dahulu gadai sering kali
dilakukan di dalam perjalanan. [Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa as-Sunnah, hal. 227]

Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh istri Nabi yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi. Beliau pun menggadaikan sebuah baju perang yang terbuat dari besi. [HR. Bukhari:
2513, dan Muslim: 1603]

Ketika kejadian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidak melakukan safar. Kisah ini juga
merupakan dalil dari sunah yang menjelaskan diperbolehkannya transaksi gadai.

Syekh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah bersepakat


diperbolehkannya transaksi gadai ini, meskipun sebagian ulama bersilang pendapat di beberapa
persoalannya.” [Taisir al-Allam Syarh Umdah al-Ahkam 2/77]

Hikmah Pergadaian
Faedah pensyariatan gadai sangatlah besar. Karena dengan gadai, seorang pemberi utang akan merasa
tenang dan tidak khawatir hartanya akan lenyap begitu saja disebabkan peminjam tidak membayar utang.
Selain itu, pergadaian merupakan bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa jika memang
dibutuhkan. Gadai juga merupakan solusi di dalam situasi krisis, dan mempererat rasa sosial dan interaksi
sesama manusia.

Rukun Gadai
Ulama telah merumuskan beberapa rukun yang harus terpenuhi di dalam melakukan transaksi gadai,
yaitu:

Barang yang digadaikan;


Utang;
Akad;
Dua pihak yang bertransaksi, yaitu rahin dan murtahin.

Syarat Gadai
Pertama, transaksi gadai tersebut berdasarkan utang yang wajib dibayar. [Mudzakirah al-Fiqh2/110]

Kedua, barang gadai tersebut diperbolehkan dalam jual beli. Jika seorang rahin menggadaikan seekor babi
misalnya, maka transaksi gadai dalam kasus ini tidak sah. Karena babi adalah sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam jual beli. Termasuk pula tidak diperbolehkan menggadaikan barang wakaf atau
barang yang bukan miliknya. [Al-Fiqh al-Muyassar hal. 227]

Akan tetapi dikecualikan dalam masalah ini menggadaikan hasil pertanian atau buah-buahan yang belum
matang. Meskipun sebagaimana yang kita ketahui hukum asal menjual buah-buahan yang belum matang
adalah terlarang. [Mudzakirah al-Fiqh2/110]

Ketiga, rahin hendaklah orang yang boleh mempergunakan jaminannya, baik karena memilikinya atau
diizinkan mempergunakannya secara syariat.

Keempat, hendaknya barang yang digadai diketahui kadar, sifat, dan jenisnya. [Lihat Al-Fiqh al-
Muyassar hal. 227]

Memanfaatkan Barang Gadai?


Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak diperbolehkannya bagi murtahin memanfaatkan
barang yang digadaikanrahin. Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa segala utang yang mendatangkan
manfaat adalah riba.

Karena pada hakikatnya barang tersebut statusnya masih milik rahin. Sedangkan murtahin hanya berhak
untuk menahan barang tersebut, bukan malah memanfaatkannya. Baik dengan izin dari rahin ataupun
tanpa seizinnya.

Lain halnya jika barang gadai tersebut berupa hewan tunggangan dan ternak, maka boleh bagi murtahin
menunggangi maupun memerah susunya jika memang murtahin tersebut memberi makan hewan-hewan
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara dalam hal ini,
ُ‫الظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َولَبَ ُن ال َّدرِّ يُ ْش َربُ ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذي يَرْ َكبُ َويَ ْش َربُ نَفَقَتُه‬
“Punggung hewan tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki. Begitu pula susu hewan ternak yang
digadaikan boleh diminum. Akan tetapi wajib bagi yang menunggangi dan meminum susunya untuk
memberi hewan-hewan tersebut makanan.” [HR. Tirmidzi: 1254]
B. Hajr
TAMBAHAN :

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matn Taqrib berkata:

َ ‫َأحْ كَا ُم‬:


‫الح َج ِر‬

‫ث َوال َع ْب ُد الَّ ِذي لَ ْم يُْؤ َذ ْن‬


ِ ُ‫صبِ ِّي َوال َمجْ نُوْ نُ َوال َّسفِ ْيهُ ال ُمبَ ِّذ ُر لِ َمالِ ِه َوال ُم ْفلِسُ الَّ ِذي اِرْ تَ َكبَ ْتهُ ال ُّديُوْ نُ َوال َم ِريْضُ فِ ْي َما زَ ا َد َعلَى الثُّل‬
َّ ‫َوال َح َج ُر َعلَى ِستَّ ِة ال‬
‫لَهُ فِي التِّ َجا َر ِة‬

ِ ُ‫ْض فِ ْي َما زَ ا َد َعلَى الثُّل‬


‫ث‬ َ َ‫صحُّ فِي ِذ َّمتِ ِه ُدوْ نَ َأ ْعيَا ِن َمالِ ِه َوت‬
ِ ‫صرُّ فُ ال َم ِري‬ ِ َ‫س ي‬ ِ ِ‫صرُّ فُ ال ُم ْفل‬ َ َ‫ْح َوت‬ َ ‫صبِ ِّي َوال َمجْ نُوْ نُ َوال َّسفِ ْيهُ َغ ْي ُر‬
ٍ ‫ص ِحي‬ َّ ‫َصرُّ فُ ال‬َ ‫َوت‬
‫َصرُّ فُ ال َع ْب ِد يَ ُكوْ نُ فِي ِذ َّمتِ ِه يُ ْتبَ ُع بِ ِه بَ ْع َد ِع ْتقِ ِه‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫ه‬‫د‬ ‫ع‬ْ ‫ب‬ ‫ن‬ْ ‫م‬
َ َ ِ ِ َ ِ ِ َ َ ِ َ ‫ِإ‬‫ة‬ َ ‫ث‬ ‫ر‬‫و‬ ‫ال‬ ‫ة‬ َ‫از‬‫ج‬ ‫ى‬َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ٌ
‫ف‬ ْ‫و‬ ُ‫ َموْ ق‬.

Ada enam orang yang tidak boleh mengelola harta, yaitu:

1. Anak kecil
2. Orang gila
3. Orang bodoh (idiot) yang senang membuang-buang harta
4. Orang bangkrut yang terlilit utang
5. Orang sakit yang dikhawatirkan mati, jika lebih dari sepertiga harta warisan
6. Hamba sahaya yang tidak diizinkan tuannya untuk berdagang

Pengelolaan harta oleh anak kecil, orang gila, dan orang idiot tidak sah.

Pengelolaan harta yang dilakukan oleh orang bangkrut yang terlilit utang dalam hal-hal yang berada
dalam dzimmahnya (tanggungannya) dan bukan ‘ainul maalnya, hukumnya sah.

Pengelolaan harta oleh orang sakit jika melebihi sepertiga dari hartanya bergantung pada izin ahli
warisnya.

Pengelolaan harta oleh hamba sahaya menjadi tanggungannya sendiri dan tetap dibebankan pada dirinya
apabila telah merdeka.

Pengertian Al-Hajru
Al-hajru, secara bahasa berarti al-man’u, berarti mencegah atau menghalangi.

Al-hajru, secara istilah syari berarti:

‫ف فِي ال َما ِل‬ َ َّ‫َم ْن ُع الت‬


ِ ُّ‫صر‬

“Mencegah penggunaan dalam hal harta.”

Tentang perihal hajr disebutkan dalam ayat,

‫ض ِعيفًا َأوْ اَل يَ ْست َِطي ُع َأ ْن يُ ِم َّل هُ َو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهُ بِ ْال َع ْد ِل‬
َ ْ‫ق َسفِيهًا َأو‬
ُّ ‫ۚ فَِإ ْن َكانَ الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬
“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Orang-Orang yang Dilarang Mengelola Harta

● Pertama: Anak kecil, yang dimaksud adalah yang belum baligh. Ia terus di-hajr hingga baligh.

● Kedua: Orang gila, yaitu yang hilang ingatannya karena sakit. Ia terus di-hajr hingga sadar.

● Ketiga: Safiih (bodoh, idiot), yaitu orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan baik.
Pengertian safiihyang lebih jelas adalah yang mengeluarkan harta pada jalan yang tidak Allah
halalkan atau yang membuang hartanya di jalan atau sungai dengan sia-sia, tanpa guna.

Lawan dari sifat safiih adalah rusydu (bisa menggunakan harta). Hukum asal manusia adalah
rusydu, orangnya disebut raasyid.
Orang yang menyalurkan hartanya untuk membeli makanan, minuman, pakaian, ia tidak disebut
safiihkarena ia masih menggunakan harta dengan tepat.
Orang yang menyalurkan harta pada jalan ketaatan, ia tidak disebut safiih.
Al-Mawardi membedakan antara tabdzir dan israf. Beliau mengatakan mengenai tabdzir adalah,

ِ ْ‫الج ْه ُل بِ َم َواقِ ِع ال ُحقُو‬


‫ق‬ َ

“Ketidaktahuan mengenai tempat penyaluran harta.”

Sedangkan israf (sarf) adalah,

‫الج ْه ُل بِمقَا ِدي ِْرهَا‬


َ

“Ketidaktahuan mengenai jumlah penyaluran harta.” (Hasyiyah Al-Baajuuri, 2:679)

● Keempat: Muflis, yaitu orang yang sedikit atau tidak ada harta untuk melunasi utangnya atau
beberapa utangnya.

Utang yang masih lama jatuh tempo tidaklah mengakibatkan orang yang muflis itu di-hajr.
Utang kepada Allah seperti karena kafarah atau zakat tidaklah mengakibatkan al-madiin (orang
yang berutang) itu di-hajr.
Hajr untuk raahin (yang berutang, yang menyerahkan gadai) dalam marhuun (barang gadai)
karena itu terkait hak murtahin (yang memberikan utang, penerima gadai), maka tetap
disyariatkan karena untuk menjaga harta demi hak orang lain. Oleh karena itu, penggunaan raahin
(orang yang berutang) terhadap barang gadai tak diperkenankan.
● Kelima: Orang yang sakit yang dikhawatirkan akan meninggal dunia yang mengeluarkan lebih
dari sepertiga karena 2/3 masih hak ahli waris. Namun, jika orang yang sakit yang dikhawatirkan
meninggal dunia ini memiliki utang yang menghabiskan harta peninggalannya, maka sepertiga
atau lebih dari hartanya tidak boleh digunakan, ia di-hajr dalam hal ini.

● Keenam: Budak yang tidak diberikan izin oleh tuannya dalam hal berdagang.

Ada juga tambahan mengenai orang yang dilarang mengelola harta:

● Ketujuh: Orang yang murtad yang punya hak pada orang muslim.

● Kedelapan: Raahin (orang yang menyerahkan gadai atau yang berutang) karena adanya hak dari
murtahin (orang yang menerima gadai, yang memberikan utang).

Hajr Terbagi Dua

● Pertama: Ada hajr karena maslahat mahjuur ‘alaih (orang yang dihajr), yaitu anak kecil, majnuun
(orang gila), dan safiih.

● Kedua: Ada hajr karena maslahat al-ghair (orang lain), yaitu hajr pada muflis untuk maslahat
orang yang memberikan utang, hajr pada orang yang sakit yang dikhawatirkan akan meninggal
dunia untuk maslahat ahli warisnya).

Pengelolaan Harta bagi Enam Orang

● Pertama: Anak kecil, majnuun (orang gila), dan safiih (orang yang tidak pandai menyalurkan
harta), mereka tidak sah mengelola harta dalam bentuk menjual, membeli, dan bentuk tasharruf
(penggunaan harta lainnya).

Adapun safiih masih sah nikahnya dengan izin walinya.


Safiih juga masih sah talak dan khuluknya.
Wali bagi anak kecil dan majnuun (orang gila) adalah ayah, kemudian jadd (kakek), lalu qadhi
(hakim).
Wali bagi safiih adalah qadhi (hakim).

● Kedua: Tasharruf muflis masih boleh yang masih dalam jaminannya (dzimmahnya), seperti jual
beli makanan dengan akad salam (menjual sesuatu yang diterangkan sifatnya–maw-shuf–dalam
suatu tanggungan/jaminan/dzimmah) atau membeli sesuatu masih dalam dzimmahnya.

Harta yang ditinggalkan oleh qadhi (hakim) pada muflis untuk nafkah dirinya dan keluarganya
tidak terkena hajr.
Harta muflis yang terkena hajr adalah tempat tinggal, kendaraan, harta, pakaian, dan segala hal
yang bisa dijual. Namun, pakaian yang ia butuhkan tidaklah terkena hajr.
Utang yang sifatnya tertunda tidaklah dilunasi saat ini juga kecuali karena meninggal dunia atau
murtad.

● Ketiga: Orang yang sakit yang dikhawatirkan kematiannya boleh menggunakan harta lebih dari
sepertiga jika diizinkan oleh ahli waris. Jika ahli waris mengizinkan penggunaan lebih dari
sepertiga, maka sah. Namun, jika tidak diizinkan, tidaklah sah. Izin pembolehan ini ketika yang
mewariskan telah meninggal dunia, bukan di saat ia hidup.

Yang lebih dari sepertiga yang diizinkan oleh ahli waris berstatus pemberian (‘athiyyah) dari ahli
waris.
Keempat: Budak yang telah diizinkan menggunakan harta untuk berdagang, maka sah. Jika tidak
diizinkan, maka tidaklah sah jual belinya karena adanya hak tuannya sehingga di-hajr dalam hal
ini.

Boleh saja budak melakukan tasharruf tanpa izin majikannya seperti dalam perkara talak, shalat,
dan puasa.

Bab 3 : Penutup
Kesimpulan
Telah kami jelaskan terkait gadai dan juga hajr dimana keduanya sering di alami oleh orang muslim
terutama gadai, dimana hutang piutang dengan sistem gadai lebih aman bagi pemberi hutang dan juga
bagi si penerima hutang. Dan juga harj tentang orang-orang yang tidak boleh mengelola harta dengan
alasan syar'i.

Saran
Jika anda ingin mempelajari fikih muamalat lebih dalam lagi, anda bisa mempelajarinya di youtube dari
ustadz Ammir Nur Bait dan juga ustadz Erwandi Tarmidzi dan juga ustadz yang lain. Yang perlu saya
inginkan dalam masalah muamalat adalah kita bukan cari pendapat yang mengharamkan ataupun
pendapat yang menghalalkan, yang kita cari adalah pendapat yang paling sesuai dengan hukum Allah,
bukan yang paling sesuai dengan kehendak atau hawa nafsu kita.

DAFTAR PUSTAKA

Website :
https://muslim.or.id/21225-gadai.html
https://rumaysho.com/34236-matan-taqrib-mereka-yang-dilarang-mengelola-harta-sendiri-terkena-
hajr.html

Anda mungkin juga menyukai