Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MASALIH AL – MURSALAH

“Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas individu pada mata pelajaran
fikih dengan guru pembimbing Siti Nur Fadilah, S.Ag”

Disusun oleh :
Nurul Aini Oktavia NIS 131135090003190096
Kelas XII IPA 3

MADRASAH ALIYAH NEGERI 3 JEMBER


2021/2022
MASALIH AL-MURSALAH
Kata Pengantar
Puji syukur kita atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah
ini dapat tersususn sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya

Penulis sangat berharap semoga semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca pratekkan dalam kehidupan sehari hari

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangundari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jember 19 November 2021

Nurul Aini Oktavia

ii
Daftar Isi

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalih al-Mursalah atau lengkapnya al-Masalihul Mursalah berarti kemaslahatan
yang dilepaskan. Masalih bentuk jamak dari maslahah yang artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah artinya terlepas, dengan demikian Masalih al-Mursalah berarti
kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya adalah penepatan hukum berdasarkan kepada
kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemudaratan atas mereka,
sedangkan dalam syarak (nas) belum atau tidak ada ketentuannya.

Masalih al-Mursalah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak disinggung


singgung syarak mengenai hukumnya, baik didalam mengerjakan maupun meninggalkannya.
Akan tetapi, dikerjakan akan membawa manfaat dan menjauhkan kemudaratannya, bahkan
kemudaratannya tersebut dapat hilang sama sekali

Para ulama Islam sepakat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan
hadits. Sumber (dalil-dalil) lain seperti ijma’,qiyas, istihsan, mashlahah mursalah masih
diperselisihkan, baik eksistensinya maupun intensitasnya sebagai dalil hukum.Namun yang
penulis bahas adalah mashlahat/istishlah. Mashlahat merupakan suatu dalil hukum yang dapat
memberikan gerak yang lebih cepat dan luas kepada para mujtahid untuk berfikir, karena
tidak begitu banyak memerlukan kaitan pada nash sebagaimana yang berlaku pada qiyas.
Namun yang lebih ditekankan adalah suatu keyakinan bahwa di dalamnya terdapat mashlahat
umat.

Aplikasi mashlahat di masa sahabat telah banyak dirintis dan diprakarsai di antaranya
oleh Umar ibn Khattab terhadap masalah-masalah baru yang tidak ditemukan pada masa
Nabi. Seperti ‘Umar tidak memberikan hak zakat untuk mu’allaf yang jelas tersurat di dalam
al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

ِ ‫ت لِ ْلفُقَ َر ۤا ِء َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َو ْال َعا ِملِ ْينَ َعلَ ْيهَا َو ْال ُمَؤ لَّفَ ِة قُلُوْ بُهُ ْم َوفِى ال ِّرقَا‬
ِ ‫ب َو ْالغ‬
‫َار ِم ْينَ َوفِ ْي‬ ُ ‫صد َٰق‬
َّ ‫اِنَّ َما ال‬
‫ْضةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫َسبِي ِْل ِ َواب ِْن ال َّسبِي ۗ ِْل فَ ِري‬

iv
Artinya : Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS:At-
Taubah 60).

tindakan tidak membagikan harta rampasan tanah di Iraq untuk pasukan perang, yang
sebenarnya berbenturan dengan ketentuan al-Qur’an didalam surat Al-Anfal ayat 41

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

‫َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ َما َغنِ ْمتُ ْم ِّم ْن َش ْي ٍء فَا َ َّن هّٰلِل ِ ُخ ُم َسهٗ َولِل َّرسُوْ ِل َولِ ِذى ْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِك ْي ِن َوا ْب ِن‬
ِّ‫ال َّسبِ ْي ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم ٰا َم ْنتُ ْم بِاهّٰلل ِ َو َمآ اَ ْنز َْلنَا ع َٰلى َع ْب ِدنَا يَوْ َم ْالفُرْ قَا ِن يَوْ َم ْالتَقَى ْال َج ْم ٰع ۗ ِن َوهّٰللا ُ ع َٰلى ُكل‬
‫َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬
Artinya: Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang,
maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil,
(demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal 41)

penetapan terhadap orang yang sekaligus menjatuhkan talak tiga, dianggap jatuh tiga
juga, padahal menyalahi sunnah Nabi yang menetapkan jatuh satu, tidak menjatuhkan
hukuman had kepada pencuri karena terpaksa dalam kondisi kelaparan dan lain-lain. Semua
itu menurutnya, cara itulah yang paling umum mashlahatnya. (Misran, 2015)

Dalam menghadapi kasus-kasus hukum di zaman modern ini kelihatannya


penggunaan dalil mashlahat dipopulerkan sebagai alternative penyelesaian kasus-kasus itu.
Kehidupan masa kini dengan segala kompleksitasnya senantiasa mengalami perubahan yang
dinamik, yang meliputi berbagai macam pokok masalah dengan irama yang cepat, dari waktu
ke waktu, direncanakan atau tidak.Sudah barang tentu perubahan-perubahan itu mempunyai
pengaruh besar mengenai persepsi, perhatian, prilaku masyarakat terhadap pranata sosial,
tidak terkecuali tehadap syari’at Islam.

v
Syari’at Islam yang mempunyai wujudnya yang tetap dihadapkan pada problematika
tersebut yang barangkali belum pernah terjadi pada masa awalnya.Peristiwa-peristiwa itu
didominasi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inklusif di dalamnya corak
ragam yang masih terjadi anutan masyarakat.

Lantaran itulah suatu anggapan bahwa Islam adalah agama yang hak dan kekal,
selaras dengan akal, situasi, generasi dan bangsa.Tetapi dalam realitas sosial yang banyak
permasalahan yang belum terjamah. Ungkapan ini memberikan indikasi bahwa Islam telah
memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan umat yang kini terjadi dan mungkin
timbul di masa yang akan datang. Bahkan Islam telah memberikan otoritas penuh kepada
setiap pengikutnya untuk mengkaji dan berfikir guna menghadapi segala bentuk perubahan
dan perkembangan dalam kaitannya dengan masalah hukum.Oleh karena itu, para mujtahid
dituntut bekerja keras memecahkan dan mencari jalan keluarnya, melakukan ijtihad dalam hal
menginterpretasikan sumber-sumber tekstual, termasuk di dalamnya memecahkan kasus-
kasus yang secara tekstual tidak didapati. Sejalan dengan itu dalam upaya memfatwakan
hukum terhadap kasus-kasus yang muncul dewasa ini, maka mashlahatlah di antara alternatif
pemecahannya.

Rumusan masalah

1. Bagaimana pendapat para ulama tentang cara Masalih Al-Mursalah sebagai


landasan hukum yang diimplentasikan dalam kehidupan sehari hari ?
2. Apa saja persyaratan Masalih Al-Mursalah yang bisa dijadikan sebagai landasan
hukum sesuai pendapat para ulama ?

Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui sejauh mana pendapat para ulama dengan
adanya Masalih Al-Mursalah sebagai landasan hukum
2. Penelitian ini menjelaskan sejauh mana upaya yang dilakukan para ulama dalam
mensyaratkan Masalih Al-Mursalah sebagai landasan hukum
3. Penelitian ini untuk memenuhi tugas mata pelajaran fiqih

vi
BAB II

PEMBAHASAN

Kedudukan Masalih Al-Mursalah Sebagai Humber Hukum

Jumhur Ulama bersepakat bahwa maslahah mursalah adalah merupakan asas yang
baik bagi dibentuknya hukum-hukum Islam. Hanya saja jumhur Hanafiyah dan Syafi’iyyah
mensyaratkan tentang maslahah ini, hendaknya ia dimasukkan di bawah qiyas, yaitu
sekiranya terdapat hukum ashal yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat
mundhabith (tepat). Sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir
kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini mereka berpegang pada kemaslahatan yang
dibenarkan syara’, tetapi mereka lebih leluasa dalam mengganggap maslahah yang
dibenarkan syara’ ini, karena luasnya mereka dalam soal pengakuan syari’ (Allah) terdapat
illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Sebab hampir
tidak ada maslahah mursalah yang tidak ada dalil yang mengakui kebenarannya. (Rusli,
2013)

Adapun golongan Malikiyyah dan Hanabilah, mereka banyak membentuk hukum


berdasarkan maslahah semata, tanpa memasukkan ke dalam qiyas. Menurut Imam Malik,
untuk menetapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat dalam maslahat yang dijadikan dasar
pembentukan hukum, yaitu: Pertama, bahwa kasus yang dihadapi haruslah termasuk bidang
mu’amalah, sehingga kepentingan yang terlihat di dalamnya dapat dinilai berdasarkan
penalaran kasus tersebut tidaklah boleh menyangkut segi ibadat. Kedua, bahwa kepentingan
tersebut mestilah sesuai dengan jiwa syari’ah dan tidak boleh bertentangan dengan salah satu
sumber hukum di dalamnya. Ketiga, bahwa kepentingan tersebut haruslah berupa hal-hal
yang pokok dan darurat, bukan yang bersifat penyempurna (kemewahan). Hal-hal pokok
tersebut mencakup tindakan memelihara agama, jiwa/kehidupan, akal, keturunan, dan
kekayaan. Hal-hal yang darurat berhubungan dengan usaha untuk memperbaiki kehidupan,
sedangkan hal-hal penyempurna bersifat ”hiasan dan tambahan

Sebenarnya, dalam masalah ini, empat imam madzhab mengakui apa yang disebut
maslahah. Hanya saja jumhur ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berupaya memasukkan
maslahah ke dalam qiyas. Mereka dalam masalah ini keras, demi memelihara hukum dan

vii
berhati-hati dalam soal pembentukan hukum. Adapun golongan Malikiyah dan Hanabiyah,
mereka menjadikannya sebagai dalil yang berdiri sendiri dengan nama maslahah mursalah.

Al-Ghazali (450 H- 505 H) memberikan definisi mashlahat menurut makna asalnya


berarti menarik manfaat atau menolak mudharat/ hal-hal yang merugikan. Akan tetapi, bukan
itu yang kami kehendaki, sebab meraih manfaat dan menghindar dari mudharat adalah tujuan
makhluk (manusia). Kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Tetapi
yang kami maksud dengan maslahat ialah memelihara tujuan syara’ / hukum Islam. Tujuan
hukum Islam yang ingin dicapai dari makhluk atau manusia ada lima, yaitu memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara ke lima hal ini disebut mashlahat; dan setiap hal yang meniadakannya disebut
mafsadah dan menolaknya disebut mashlahat. (wahhab, 1986)
Al-Ghazali membagi mashlahat menjadi tiga.Pertama, mashalaht yang dibenarkan
oleh syara’; kedua mashlahat yang dibatalkan (tidak dibenarkan oleh syara’); dan ketiga,
mashlahat yang tidak ada dalil tertentu yang membenarkan atau membatalkannya.Yang
pertama dapat dijadikan hujjah dan implementasinya kembali kepada qiyas.Yang kedua tidak
dapat dijadikan hujjah.Sedangkan yang ketiga diperselisihkan.Yang ketiga inilah yang
disebut dengan mashlahah mursalah.
Untuk mempertegas mashlahat dalam kategori yang ketiga tersebut –mashlahat
mursalah- al-Ghazali menyatakan : “Setiap mashlahat yang kembali untuk memelihara tujuan
syara’ yang diketahui dari al-Kitab (al-Qur’an), sunnah, dan ijma’, mashlahat itu tidak keluar
dari dalil-dalil tersebut.Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan mashlahah mursalah.
Sebab qiyas ada dalil tertentu. Adanya mashlahat tersebut dikehendaki oleh syara’ diketahui
bukan saja dari satu dalil, namun berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung,
baik dari al-Qur’an, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda-tanda yang lain, yang karenanya
dinamakan mashlahah mursalah.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa mashlahah mursalah menurut al-Ghazali
ialah mashlahah yang sejalan dengan tindakan syara’ yang dimaksudkan untuk memelihara
tujuan syara’ (hukum Islam), tidak ada dalil tertentu yang menunjukkannya, dan
kemashlahatan itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an, sunnah, atau ijma’.
Menurut al-Syathibi Mashlahat itu sejalan dengan tindakan syara’. Artinya pada
mashlahat tadi ada jenis yang dibenarkan oleh syara’ dalam kasus lain tanpa dalil tertentu.
Itulah istidlal mursal yang dinamakan mashalih murslahah. Al-Syatibhi membagi mashlahat
menjadi tiga.Pertama, mashlalat yang ditunjukkan oleh dalil syara’ untuk diterima. Kedua,

viii
mashlahat yang ditunjukkan oleh dalil syara’ untuk ditolak. Dan ketiga, mashlahat yang tidak
ditunjukkan oleh dalil khusus untuk diterima atau ditolak. Yang ketiga ini kemudian dibagi
menjadi dua. Pertama, mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang
membenarkan atau membatalkan, tetapi ada nash yang sejalan dengan mashlahat tersebut.
Kedua, mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membatalkan atau
membenarkan dan mashlahat tersebut sejalan dengan tindakan syara’.Inilah yang dikenal
dengan mashalah mursalah. Dalam kaitan ini al-Syatibhi di dalam al-Muwafaqatnya
menyatakan “Setiap dasar agama (kemashlahatan) yang tidak ditunjukkan oleh nash tertentu,
dan ia sejalan dengan tindakan syara’ maka hal itu benar, dapat dijadikan landasan hukum
dan dijadikan tempat kembali. Demikian itu apabila kemashlahatan tersebut berdasarkan
kumpulan beberapa dalil dapat dipastikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil itu tidak mesti
menunjukkan kepastian hukum secara berdiri sendiri tanpa dihimpun dengan yang lain,
sebagaimana penjelasan terdahulu. Karena yang demikian itu nampaknya sulit
terjadi.Termasuk hal ini adalah istidlal mursal yang dipedomani oleh Malik dan
Syafi’i.Kendati cabang itu tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu, namun telah didukung oleh
dalil kuli (yang bersifat umum).Dalil kuli apabila bersifat qath’I statusnya sama dengan dalil
tertentu”.
Apa yang dikemukakan oleh al-Syatibhi di atas intinya adalah sama dengan yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali. Perbedaannya hanya terjadi pada pembagian
mashlahat.Mashlahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan atau
membatalkan oleh al-Syatibhi dibagi menjadi dua.Sementara al-Ghazali tidak membaginya
lagi.Sebab contoh penggandaian yang diberikan oleh al-Syatibhi itu dianggap tidak ada oleh
al-Ghazali. Untuk itu, tidak perlu ada pembagian seperti itu. Di sini pandangan al-Ghazali
nampak lebih realistis dan mudah dipahami.

Jumhur ulama ada yang menolak atas Masalih Al-Mursalah sebagai landasan hukum.
Berikut adalah beberapa pendapat ulama
1. Bahwa dengan nash-nash dan kias yang dibenarkan syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tidak ada satu pun kemaslahatan manusia yang tidak
diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya
2. Pembinaan hukum islam yang semata mata didasarkan kepada maslahat yang tidak
didukung dengan dalil dalil dari nash berarti membuka pintu bagi keinginan hawa
nafsu

ix
3. Akan melahirkan perbedaan hukum akibat perbedaan wilayah dan daerah, bahkan
karena perbedaan masyarakat akan melahirkan pendapat perseorangan dalam satu
perkara. (pakarindo)

Syarat-Syarat Maslahah Al-Mursalah

Maslahah mursalah sebagai metode hukum yang mempertimbangkan adanya


kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak
terikat. Dengan kata lain maslahah mursalah merupakan kepentingan yang diputuskan
bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar. Karena syari’ah sendiri
ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada masyarakat secara umum dan berfungsi
untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemazdaratan (kerusakan).
Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga
bagian yaitu:
a. Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam
kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.
b. Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya
al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak
mengalami kesukaran dan kesempitan yang jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan
kerusakan dalam kehidupan, hanya saja akan mengakibatkan kesempitan dan kesukaran
baginya.
c. Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak
terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak
begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidupnya.
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam,
maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dan sesuai
dengan apa yang terkandung dalam nash (alQur’an dan al-Hadits) baik secara tekstual atau
kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu
berkembang sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara
cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak berlaku secara
seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku disatu sisi dan
terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan

x
standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah baik secara metodologi atau
aplikasinya.
Adapun syarat maslahah mursalah sebagai dasar legislasi hukum Islam sangat banyak
pandangan ulama, diantaranya adalah:
1. Menurut Al-Syatibi Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:

a. Kemaslahatan sesuai dengan prinsip-prinsip apa yang ada dalam ketentuan syari’
yang secara ushul dan furu’nya tidak bertentangan dengan nash.

b. Kemaslahatan hanya dapat dikhususkan dan diaplikasikan dalam bidang-bidang


sosial (mu’amalah) di mana dalam bidang ini menerima terhadap rasionalitas dibandingkan
dengan bidang ibadah. Karena dalam mu’amalah tidak diatur secara rinci dalam nash.

c. Hasil maslahah merupakan pemeliharaan terhadap aspek-aspek Daruriyyah,


Hajjiyah, dan Tahsiniyyah. Metode maslahah adalah sebagai langkah untuk menghilangkan
kesulitan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. sesuai firman Allah:

‫بِس ِْم ٱهَّلل ِ ٱلرَّحْ َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح ِيم‬

ٍ ۗ ‫هُ َو اجْ ت َٰبى ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال ِّد ْي ِن ِم ْن َح َر‬


‫ج‬

Artinya: dia telah memilih kamu, dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam
agama (QS: Al-Hajj 78)

2. Menurut Abdul Wahab Khallaf Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai legislasi
hukum Islam bila memenuhi syarat yang diantaranya adalah:

a. Berupa maslahah yang sebenarnya (secara haqiqi) bukan maslahah yang sifatnya
dugaan, tetapi yang berdasarkan penelitian, kehati-hatian dan pembahasan mendalam serta
benar-benar menarik manfa’at dan menolak kerusakan

b. Berupa maslahah yang bersifat umum, bukan untuk kepentingan perorangan, tetapi
untuk orang banyak.

c. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh nash (al-Qur’an dan
al-Hadits) serta ijma’ ulama.

xi
3. Menurut Al-Ghozali Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum bila:

a. Maslahah mursalah aplikasinya sesuai dengan ketentuan syara’.

b. Maslahah mursalah tidak bertentangan dengan ketentuann nash syara’ (al-Qur’an


dan al-Hadits).

c. Maslahah mursalah adalah sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan
yang mendesak sebagai kepentingan umum masyarakat. (putra, 2002)

4. Menurut Jumhurul Ulama Menurut Jumhurul Ulama bahwa maslahah mursalah dapat
sebagai sumber legislasi hukum Islam bila memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Maslahah tersebut haruslah “maslahah yang haqiqi” bukan hanya yang berdasarkan
prasangka merupakan kemaslahatan yang nyata. Artinya bahwa membina hukum
berdasarkan kemaslahatan yang benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak
kemazdaratan. Akan tetapi kalau hanya sekedar prasangka adanya kemanfaatan atau
prasangka adanya penolakan terhadap kemazdaratan, maka pembinaan hukum semacam itu
adalah berdasarkan wahm (prasangka) saja dan tidak berdasarkan syari’at yang benar.

b. Kemaslahatan tersebut merupakan kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan


yang khusus baik untuk perseorangan atau kelompok tertentu, dikarenakan kemaslahatan
tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh orang banyak dan dapat menolak kemudaratan
terhadap orang banyak pula.

c. Kemaslahatan tersebut tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang terdapat


dalm al-Qur’an dan al-Hadits baik secara zdahir atau batin. Oleh karena itu tidak dianggap
suatu kemaslahatan yang kontradiktif dengan nash seperti menyamakan bagian anak laki-
laki dengan perempuan dalam pembagian waris, walau penyamaan pembagian tersebut
berdalil kesamaan dalam pembagian.

Dari ketentuan di atas dapat dirumuskan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan
sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari bila telah
memenuhi syarat sebagai tersebut di atas, dan ditambahkan maslahah tersebut merupakan
kemaslahatan yang nyata, tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka, yang
sekiranya dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dan maslahah
tersebut mengandung kemanfa’atan secara umum dengan mempunyai akses secara

xii
menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. (Djamil, 1995)

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan tersebut di atas, terkait mashalih mursalah, penulis menarik beberapa
kesimpulan:

1. Mashalih mursalah adalah sebuah metode pengambilan hukum yang hukum-hukum


tersebut belum terdapat nashnya di dalam Al Quran maupun hadits secara pasti dengan
tujuan mendatangkan kemanfaatan bagi manusia secara umum serta serta tidak ada pula
dalil yang melarang atau membatalkannya.
2. Berdasarkan dalil-dalil syar’i dan hukumnya serta dengan tujuan menjaga maqashid al
syari’ah, maka ulama fikih membagi mashalih mursalah dalam 3 bagian: Dharuriyat,
Hajjiyat, dan Tahsiniyat
3. Syarat-Syarat Berpegang kepada Masalih Al-Mursalah
 Maslahat itu harus jelas dan pasti, bukan hanya berdasarkan prasangka.
 Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi
 Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan
hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nash atau ijma’

Saran
Saran yang bisa penulis berikan perlu adanya metode penelitian lebih lanjut akan
upaya peningkatan diskusi terhadam generasi modern sebagai sala satu cara

xiii
memaksimalkan potensi generasi dalam membentengi dirinya dari radikalisme agama yang
berkembang. Hal ini tentunya membutuhkan semangat luar biasa terhadap generasi bangsa
untuk mengetahui sumber landasan hukum dalam agam islam yang khususnya terkait
dengan mashlahah mursalah.

References
Djamil, F. (1995). filsafat hukum islam . logos wacana ilmu .

Misran. (2015). AL-MASLAHAH MURSALAH (Suatu metodologi alternatif dalam menyelesaikan


persoalan hukum kontemporer. dosen fakultas syariah UIN Ar-Raniry.

pakarindo, v. (n.d.). mashalih al mursalah . jln.Bromo, balang,Karanglo, klaten selatan, klaten, jawa
tengah : viva pakarindo.

putra, A. M. (2002). mashlahah mursalah dan relevensinya dengan pembaharuan hukum islam .
filsafat hukum islam alghozali.

Rusli, M. (2013). validitas maslahat al mursalah sebagai sumber hukum . bandar lampung.

wahhab, a. a. (1986). ilmu usulul fiqh . kairo: Dar Kuwaitiyah.

xiv
xv

Anda mungkin juga menyukai