Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Eksistensi wakaf dalam konstalasi sosial masyarakat sangat didambakan,

sebab lembaga wakaf dalam ajaran Islam hakikatnya bukan hanya sebagai

kebutuhan sesaat saja,melainkan diharapkan lebih jauh dari itu, yaitu sebagai sub

sistem lembaga baitul mal. Jika dikelola secara profesional dan memadai akan

menjadi sumber dana yang potensial untuk pembangunan umat (bangsa) dan

bahkan negara. Idealnya, kalau bisa krisis yang terjadi pada negara ini tidak usah

meminjam kepada negara-negara luar (donor), tetapi cukup dibiayai dengan

wakaf, selain zakat dan infak sebagai lembaga moneter dalam Islam.1

Wakaf merupakan suatu permasalahan yang klasik yang sampai sekarang

masih sangat aktual. Wakaf sudah mengarah kepada pemikiran yang lebih luas

khususnya sebagai alternatife pemecahan masalah ekonomi umat dan sekaligus

sebagai harapan kesejahteraan di tengah keterpurukan ekonomi. Sebagai suatu

lembaga keagamaan wakaf dapat berfugsi ganda, baik berfungsi ubudiyah, sosial

dan bahkan memiliki fungsi ekonomis yang dapat dikembangkan. Wakaf

1
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, cet. IV, (Depok:
Mumtaz Publishing, 2007), h.73

1
2

merupakan ekspresi keimanan (‫ﺤﺒﻞ‬ ‫ )ﺍﷲ ﻤﻦ‬dan rasa solidaritas sesama manusia (

‫ ) ﺍﻠﻨﺎﺱ ﻤﻦ ﺤﺒﻞ‬.2

Kata “wakaf “ atau “wacf” berasal dari bahasa Arab ‘waqafa” berarti

“menahan” atau “berhenti’ atau “diam di tempat” atau ” tetap berdiri” . kata

‘waqafa- yaqifu- waqfan” sama artinya dengan “habasa- yahbisu- tahbisan” 3.

Kata al- waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian 4:

‫َااْل ْقٌف َمِبْع ﺃﻱالَّتْح ِبْيِس الَّت ِب‬


‫َو ْس‬ ‫َن‬ ‫َو‬

Artinya : Menahan, menahan harta untuk diWakafkan, tidak dipindah milikkan.

Adapun menurut istilah wakaf adalah:

‫ْحَتِب اَأْل ِل َت ِب ْا َف ِة‬


‫ْيُس ْص َو ْس ْيُل َملْن َع‬

Artinya: Menahan suatu benda dan membebaskan atau mengalirkan

manfaatnya.

Sedangkan menurut istilah yang terdapat dalam pasal 1 UU Nomor 41

Tahun 2004 wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk di manfaatkan selamanya

2
Abdullah Syah, Butir – Butir Fiqh Harta, (Medan: Wal Ashri Publishing, 2009), h. 181.
3
Muhammad al- khattib, al-iqna’, ( Bairut :DarulMa’rifah, 1994), h. 26.
4
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta : Depag RI, 2007), h.1.
3

atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Wakaf disamping berfungsi ‘ubudiyah juga berfungsi sebagai salah satu

usaha mewujudkan dan memelihara hablun min Allah dan hablun min an-nas.

Dalam fungsinya sebagai ibadah, wakaf diharapkan menjadi bekal bagi

kehidupan si wakif (orang yang berwakaf) di hari kemudian. Wakaf adalah suatu

bentuk amal yang pahalanya akan terus mengalir selama harta wakaf itu

dimanfaatkan.

Wakaf bukan hanya teori turun-temurun belaka melainkan kajiannya

berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam, wakaf tanah dalam peradaban

Islam telah dibuktikan Umar bin Khattab yang tertulis di dalam hadits yang

diriwayatkan Ibnu Umar ra. Ia berkata5:

‫ َأ ا ُع َأ ًض ا ِبَخ َف َأ َتى الَّنِبَّي َّلى َعل ِه‬:‫عن ابن عمر رضي اهلل عنهما ق ا ل‬
‫َص ُهلل ْي‬ ‫ْيَبَر‬ ‫َص َب َم َر ْر‬
‫ِص‬ ‫ِب‬ ‫ِا‬ ‫ِف‬
‫َي ا َرُس ْو َل ُهلل ِّنْي َاَص ْبُت َاْر ًض ا َخ يَبَر َلْم َا ْب م َا َال َق ُّط ُه َو‬: ‫وسَّلَم َيْس تْأ ُم ُر يَه ا َفَق ا َل‬
‫ِم‬ ‫ِع‬
‫ َأ َّنه َا َال ُتبَا ُع‬, ‫َاْنَف ُس ْنِد ْي ْنُه َفمَا َتْأ ُمُر ِنْي ِبِه َفقَا َل َرُسْو َل للُهَص َّلى ُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬
‫ِف‬ ‫ِف‬ ‫ِب ِف‬
‫ َقا َل َو َتَص َّد َق َه ا ْي الُفَق َر اء َو ْي الُق ْر َب و ْي الَّر َق ا ِب َو‬. ‫َو َال ُتْو هُب َو َال ُتْو َر ُث‬

‫ِفْي الَس ِبْيِل َو اَلَّض ْيِف َالُج َنا َح َعَلى َمْن َو ِلُّيهَا َأْن َيْأ ُك َل ِم ْنَه ا ِب ا لَم ْع ُر ْو ِف وُيْطِعُم َغْيَرَو ُمَتَم َّو‬

)‫ٍل (رواه مسلم‬

5
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy- Syaukany, NailulAuthar,
( Bairut :DarulMa’rifah, 1994) jilid VI, h. 24.
4

Dari Ibnu Umar r.a berkata: ”bahwa sahabat Umar ra. memperoleh
sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah SAW.
untuk meminta petunjuk. Umar berkata: Hai Rasulullah SAW, saya mendapat
sebidang tanah di khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apa
yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah saw. bersabda: “bila engkau
suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya).
“kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah )kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (Nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta”. (HR. Muslim).

Dengan demikian, hukum wakaf tidaklah besifat statis, tapi cukup terbuka

bagi penggalian hukum atau ijtihad kontemporer sepanjang tidak menyalahi

prinsip dasar. Fenomena masyarakat sekarang banyak kasus benda wakaf yang

dimanfaatakan secara pribadi bukan untuk kepentingan umum dengan alasan

untuk kepentingan umum (al maslahah al mursalah). Pada dasarnya terhadap

benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan. Rosulullah Saw

telah menegaskan bahwa benda wakaf tidak bisa diperjualbelikan, dihibahkan

atau diwariskan.6

Hal lain yang cukup penting untuk diperhatikan adalah bahwa

pengelolaan wakaf secara profesional dan bertanggung jawab oleh pengelola

(nadzir) baik yang perorangan maupun yang berbadan hukum akan

meningkatkan kepercayaan masyarakat dan juga akan kesadaran masyarakat

untuk berwakaf.7

6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 483.
7
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, , hlm. 49.
5

Desa Sukarame merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Kualuh Hulu Kabupaten Labuhanbatu Utara Provinsi Sumatra Utara yang

memiliki luas wilayah 804,60 Ha. Dengan jumlah penduduk berjumlah 7.530

jiwa. Adapun mengenai hukum pemanfaatan secara pribadi harta benda wakaf

yang terjadi di Desa Sukarame ada seorang warga desa yang rumahnya dekat

dengan mesjid, kebetulan halaman atau pekarangan mesjid luas, banyak tanaman

tanaman yang bisa dimanfaatkan, diantaranya adanya pohon manga dan pohon

sawo yang tumbuh di halaman pekarangan masjid yang berbuah dengan lebat,

setiap kali pohon manga dan pohon sawo itu berbuah tidak jarang warga yang

mengambil mangga tersebut untuk di makan atau di konsumsi ketika berada di

mesjid, namun ada beberapa jama’ah masjid yang mengutip dengan jumlah yang

cukup banyak untuk diperjual belikan dan hasilnya untuk kepentingan pribadinya

yang notabene mereka adalah pedagang buah yang berjualan di pasar sukaramai,

mengingat mesjid itu adalah mesjid milik desa (umum) jadi tidak ada jama’ah

yang melarang atau menegurnya.

Di dalam kitab I’anatut Tholibin salah satu pengikut Madzhab Syafi’i


mengatakan bahwa :8

‫ لما صرحوا به في الصلح من أن محل‬،‫والجواب أن الظاهر من غرسه في المسجد أنه موقوف‬

‫ وإن‬،‫ وانه لو غرسه لنفسه لم يجز‬،‫جواز غرس الشجر في المسجد إذا غرسه لعموم المسلمين‬

‫ وحيث عمل على أنه لعموم المسلمين فيحتمل جواز بيعه وصرف ثمنه على‬،‫لم يضر بالمسجد‬
8
Sayid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-Dimyathi, I’anah AthThalibin, Beruit: Darul Fikr al
Alamiyah, tt, hlm. 124.
6

‫ ويحتمل وجوب صرف ثمنه لمصالح‬،‫ وإن لم يمكن االنتفاع به جافا‬،‫مصالح المسلمين‬

،‫خاصة‬ ‫المسجد‬

Artinya : Jawabannya adalah bahwa orang yang menanamnya di masjid


tampaknya ditangguhkan, ketika mereka menyatakan bahwa diperbolehkan
menanam pohon di masjid jika ditanam oleh semua umat Islam, dan jika dia
menanam pohon untuk dirinya sendiri, itu tidak diperbolehkan, dan jika dia tidak
merusak masjid, dan karena dia mengerjakan bahwa itu untuk semua umat Islam,
maka diizinkan untuk dijual dan dihabiskan hasilnya untuk kepentingan umat Islam,
sekalipun tidak bisa digunakan untuk dikeringkan, dan ada kemungkinan harganya
harus dikeluarkan untuk kepentingan masjid pada khususnya.

Rujukan di atas pada intinya menjelaskan bahwa menanami pohon di

tanah yang diwakafkan untuk masjid pada dasarnya boleh apabila untuk

kepentingan kaum muslimin, sedangkan apabila hanya untuk dinikmati oleh

pribadi, maka hukumnya tidak boleh, meskipun tidak merugikan masjid.

Demikian pula boleh menjual hasil tanamannya jika untuk kepentingan kaum

muslimin atau hanya kepentingan masjid. Sedangkan Madzhab Syafi'i

berpendapat bahwa menjual sesuatu yg bukan hak milik tidak diperbolehkan,

sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Fiqh Manhaj ala Mazhab As-Syafi’i

karangan Mustafa Al Bugha, mustafa al Khin,dan juga Ali Syarbini, yang mana

mereka merupakan para ulama mazhab syafi’i pada masa kontemporer dari

suriah :

‫ لن‬,‫ فيصح بيع المالك لمال نفسه وشراؤه به‬:‫أن يكون للعا قد سلطا ن عليه بَو لية أو ملك‬
‫ وكذلك يصح بيع الولي أوالوصي لمال من تحت َو ليته من‬.‫الشرع جعل له سلطان على ماله‬
7

‫لن لهؤه جميعا سلطانا على‬,‫ كما يصح بيع الوكيل لمال موكله وشراؤه به‬,‫القاصرين وشراؤه به‬
‫ فأذا تصرف‬,‫ وإم ا بتسليط نفسه كالوكالء‬,‫ إم ا بتسليط الش رع كالولياء والوصياء‬,‫المال‬
-‫وهـو الذي يسمى في ءـرف الفقهاء الفضولي‬-‫بالمال بي عا أوشرا ء منَ ل سلطان له عليه‬
‫ َ"لبيع َإل فيما تملك")أخرجه أبو داود في‬: ‫ لقوله صلى هلال عليه وسلم‬,‫كان تصرفه باطال‬
۳۵۰۳ ‫ رقم وكذا الترمذي والنسائي وابن ماجه‬،‫ في الرجل يبيع ما ليس عنده‬:‫ باب‬،‫البيوع‬

Artinya: “ orang yang berakad harus memiliki kekuasaan sepenuhnya atau


memiliki, maka sah menjual barang milik sendiri dan jua belinya, karena syara’
telah memeberikannya kekuasaan atas hartanya. Dan juga seorang wali atau yang
diberi wasiat boleh menjual harta orang-orang dibawah kewaliannya dan
dibolehkan jual belinya, juga sah seorang wakil menjual harta yang diwakilkannya
atau membelinya, karena mereka semua memiliki kekuasaan atas harta tersebut, baik
sacara hukum agama sebagai wali, dan dirinya sebagai wakil, maka apabila orang
yang tak punya kepemilikan atas harta, lalu ia melakukan jual beli, ulama fiqih
menamakannya dengan jual beli fudhul, dan transaksi ini batal, berdasarkan sabda
rasulullah: “tidak sah menjual sesuatu bagi orang yang tidak memiliki” (Abu Daud
mengeluarkannya dalam bab :seseorang menjual apa yang tidak ada padanya,
nomor 3503, dan juga Tirmidzi, Annasa’i, dan Ibnu Majah).9

Kitab mazhab syafi’i diatas di dalamnya terdapat hadis rusulullah Saw, yang

memperkuat pendapat dari mazhab Syafi’I hadis ini merupakan hadis riwayat abu

daud Nomor 3503 yaitu :

‫ يا راسول‬:‫ عن حكيم بن حزام قال‬,‫ عن يوسف بن ماهك‬,‫ عن أبي بشر‬,‫أوانة‬, ‫حدثنا مشدد‬
‫ َ(ل بيع م اليس‬:‫ أفأبتاعه له من السوق ؟ فقال‬,‫ يأ تيني الرجل فيريد مني البيع ليس عندي‬,‫هلال‬
‫عندك‬
9
Mustafa al-Bugha dkk., Fiqih Manhaj ala Mazhab as-Syafi’i, jilid 6, cet-4, h. 18
8

Artinya:Musdad telah menceritakan kepada kami: Abu Awanah menceritakan


kepada kami dari Abu Bisyr, dari Yusuf bin Mahak, dari Hakim bin Hijam beliau
berkata : “Wahai Rasulullah, Ada orang yang datang kepadaku lalu menginginkan
aku menjual sesuatu yang tidak aku miliki. Apakah aku boleh membeli barang itu
dari pasar lalu aku jual kepadanya?” Nabi berssabda: “Jangan menjual sesuatu
yang tidak engkau miliki.”10

Didalam Q.S Al Baqarah ayat 267 di jelaskan juga :

‫َآٰيَهُّيا اِذَّل ْيَن ٰا َم ُنْٓوا َاْنِفُقْو ا ِم ْن َط ِّي ٰبِت َم ا َكَس ْبْمُت َو ِم َّم ٓا َاْخ َر ْجَنا َلْمُك ِّم َن اَاْلْر ِض ۗ َو اَل َتَيَّمُم وا اْلَخِب ْيَث‬

‫البقرة)ِم ْنُه ُتْنِفُقْو َن َو َلْس ْمُت ٰاِب ِخِذ ْيِه ِآاَّل َاْن ُتْغِم ُض ْو ا ِف ْيِه ۗ َو اْعَلُم ْٓوا َاَّن اَهّٰلل َغٌّيِن ِمَح ْي ٌد‬/٢٦٧:۱(

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil


usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan)
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

Dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk meneliti fenomena

tersebut berdasarkan tinjauan Hukum Islam maka Penulis akan mengkajinya dalam

skripsi yang berjudul “HUKUM MENJUAL HASIL KEBUN TANAH WAKAF

PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I (Studi Kasus di Masjid Al Musohadah Desa

Sukarame Labuhanbatu Utara)

B. Rumusan Masalah
10
Abi Dawud Sulaiman al Asy’ats Al Sajastani, Sunan Abu Dawud. h, 629
9

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan pokok permasalahan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Praktik Pemanfaatan Harta Wakaf Secara Pribadi Yang Terjadi di

Masjid Al Musohadah Desa Sukarame Labuhanbatu Utara ?

2. Bagaimana Pandangan Tokoh Masyarakat Mengenai Praktik Pemanfaatan

Harta Wakaf Secara Pribadi Yang Terjadi di Masjid Al Musohadah Desa

Sukarame Labuhanbatu Utara ?

3. Bagaimana Hukum Menjual Hasil Kebun Tanah Wakaf Perspektif Mazhab

Syafi’I ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengetahui Bagaimana Praktik Pemanfaatan Harta Wakaf Secara Pribadi

Yang Terjadi di Masjid Al Musohadah Desa Sukarame Labuhanbatu Utara.

2. Mengetahui Bagaimana Pandangan Tokoh Masyarakat Mengenai Praktik

Pemanfaatan Harta Wakaf Secara Pribadi Yang Terjadi di Masjid Al

Musohadah Desa Sukarame Labuhanbatu Utara.

3. Mengetahui Bagimana Hukum Menjual Hasil Kebun Tanah Wakaf Perspektif

Mazhab Syafi’i.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis :
10

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada


masyarakat Desa Sukarame Labuhanbatu Utara tentang bagaimana
hukum mengambil manfaat dari tanah wakaf untuk kepentingan pribadi,
sehinggah masyarakat dapat memahami hukum dari mengambil manfaat
dari tanah wakaf untuk kepentingan pribadi.
b. Untuk memberikan informasi yang luas tentang hukum perwakafan yang
sering terjadi ditengah masyarakat, sehinggah masyarakat dapat
memahmi bagaiman hukum mengenai perwakafan.
2. Manfaat Praktis :
a. Menambah ilmu dan wawasan pengetahuan tentang hukum perwakafan
dan untuk mendapatkan gelar S.H atau Sarjana Hukum di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang sangat
berharga bagi pihak yang terkait dengan hukum perwakafan yang sesuai
dengan syari’at hukum Islam.

E. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, ditemukan beberapa karya ilmiah yang
judulnya relevan dengan penelitian ini. Adapun karyakarya ilmiah tersebut
adalah sebagai berikut :
Muhammad Abdurrohaman UIN Walisongo Semarang dengan skripsinya
yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Kebolehan
Menjual Harta Wakaf Berupa Masjid,”Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibnu
Qudamah membolehkan penjualan barang wakaf dalam bentuk masjid, dan hal
ini tentunya dengan memperhatikan beberapa hal dan pertimbangan. Menurut
beliau, jika masjid yang sudah rusak dan tidak dapat diambil lagi manfaatnya,
apabila hanya dibiarkan saja, justru akan mendatangkan madharat bagi
masyarakat sekitar. Hakekat wakaf adalah kekal, dan kekekalan wakaf menurut
11

Ibnu Qudamah berarti kekekalan/keutuhan dari segi manfaatnya dan juga untuk
kemashlahatan 8 umat, bukan kekekalan wujud barang wakafnya. Dasar hukum
yang digunakan Ibnu Qudamah dalam hal diperbolehkannya menjual harta wakaf
masjid adalah Mashlahah Mursalah (asas kemashlahatan umat). Beliau sangat
memperhatikan aspek kemanfaatan barang dan kemashlahatan umat demi
menjaga eksistensi dan tujuan wakaf.11
Charis Musyafak, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, dalam
skripsinya yang berjudul Studi Analisis “Pendapat Sayyid Sabiq Tentang
Menjual Benda Wakaf, Pokok permasalahan pada skripsi ini adalah bagaimana
pendapat Sayyid Sabiq mengenai penjualan harta wakaf, apakah boleh atau tidak,
dan relevankah jika diterapkan dengan kondisi saat ini. Hasil analisis adalah
bahwa Sayyid Sabiq membolehkan menjual benda wakaf, dengan alasan untuk
kemaslahatan umum sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri. Sayyid Sabiq
mendasarkan pendapatnya ini dengan metode yang membuang jauh-jauh
fanatisme madzhab, tetapi beliau tidak menjelek -jelekkannya. Beliau berpegang
pada Kitabullah, AsSunah dan Ijma'. Pendapat Sayyid Sabiq juga sangat relevan
apabila diterapkan pada kondisi sekarang, karena untuk mengedepankan
kemaslahatan dan menjauhkan dari menyia-nyiakan harta wakaf.12
F. Kerangka Pemikiran
Kata “wakaf “ atau “wacf” berasal dari bahasa Arab ‘waqafa” berarti

“menahan” atau “berhenti’ atau “diam di tempat” atau ” tetap berdiri” . kata

‘waqafa- yaqifu- waqfan” sama artinya dengan “habasa- yahbisu- tahbisan”13.

Kata al- waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian 14:

11
Muhammad Abdurrohaman UIN Walisongo Semarang “Studi Analisis Pendapat Ibnu
Qudamah Tentang Kebolehan Menjual Harta Wakaf Berupa Masjid,”
12
Charis Musyafak, Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, “Pendapat Sayyid Sabiq Tentang
Menjual Benda Wakaf,
13
Muhammad al- khattib, al-iqna’, ( Bairut :DarulMa’rifah, 1994), h. 26.
14
Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta : Depag RI, 2007), h.1.
12

‫َااْلَو ْقٌف ِبَم ْع َن ﺃﻱالَّتْح ِبْيِس َو الَّتْس ِب‬

Artinya : Menahan, menahan harta untuk diWakafkan, tidak dipindah milikkan.

Adapun menurut istilah wakaf adalah:

‫َت ِب اَأْلْص ِل َت ِب ْال َف ِة‬


‫َو ْس ْيُل َم ْن َع‬ ‫ْح ْيُس‬

Artinya: Menahan suatu benda dan membebaskan atau mengalirkan

manfaatnya.

Sedangkan menurut istilah yang terdapat dalam pasal 1 UU Nomor 41


Tahun 2004 wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk di manfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa menjual sesuatu yg bukan hak milik

tidak diperbolehkan, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Fiqh Manhaj ala

Mazhab As-Syafi’i karangan Mustafa Al Bugha, mustafa al Khin,dan juga Ali

Syarbini, yang mana mereka merupakan para ulama mazhab syafi’i pada masa

kontemporer dari suriah :

‫ لن‬,‫ فيصح بيع المالك لمال نفسه وشراؤه به‬:‫أن يكون للعا قد سلطا ن عليه بَو لية أو ملك‬
‫ وكذلك يصح بيع الولي أوالوصي لمال من تحت َو ليته من‬.‫الشرع جعل له سلطان على ماله‬
‫لن لهؤه جميعا سلطانا على‬,‫ كما يصح بيع الوكيل لمال موكله وشراؤه به‬,‫القاصرين وشراؤه به‬
13

‫ فأذا تصرف‬,‫ وإم ا بتسليط نفسه كالوكالء‬,‫ إم ا بتسليط الش رع كالولياء والوصياء‬,‫المال‬
-‫وهـو الذي يسمى في ءـرف الفقهاء الفضولي‬-‫بالمال بي عا أوشرا ء منَ ل سلطان له عليه‬
‫ َ"لبيع َإل فيما تملك")أخرجه أبو داود في‬: ‫ لقوله صلى هلال عليه وسلم‬,‫كان تصرفه باطال‬
۳۵۰۳ ‫ماجه‬ ‫ رقم وكذا الترمذي والنسائي وابن‬،‫ في الرجل يبيع ما ليس عنده‬:‫ باب‬،‫البيوع‬

Artinya: “ orang yang berakad harus memiliki kekuasaan sepenuhnya atau


memiliki, maka sah menjual barang milik sendiri dan jua belinya, karena syara’
telah memeberikannya kekuasaan atas hartanya. Dan juga seorang wali atau yang
diberi wasiat boleh menjual harta orang-orang dibawah kewaliannya dan
dibolehkan jual belinya, juga sah seorang wakil menjual harta yang diwakilkannya
atau membelinya, karena mereka semua memiliki kekuasaan atas harta tersebut, baik
sacara hukum agama sebagai wali, dan dirinya sebagai wakil, maka apabila orang
yang tak punya kepemilikan atas harta, lalu ia melakukan jual beli, ulama fiqih
menamakannya dengan jual beli fudhul, dan transaksi ini batal, berdasarkan sabda
rasulullah: “tidak sah menjual sesuatu bagi orang yang tidak memiliki” (Abu Daud
mengeluarkannya dalam bab :seseorang menjual apa yang tidak ada padanya,
nomor 3503, dan juga Tirmidzi, Annasa’i, dan Ibnu Majah).15

Kitab mazhab syafi’i diatas di dalamnya terdapat hadis rusulullah Saw, yang

memperkuat pendapat dari mazhab Syafi’I hadis ini merupakan hadis riwayat abu

daud Nomor 3503 yaitu :

‫ يا راسول‬:‫ عن حكيم بن حزام قال‬,‫ عن يوسف بن ماهك‬,‫ عن أبي بشر‬,‫أوانة‬, ‫حدثنا مشدد‬
‫ َ(ل بيع م اليس‬:‫ أفأبتاعه له من السوق ؟ فقال‬,‫ يأ تيني الرجل فيريد مني البيع ليس عندي‬,‫هلال‬
‫عندك‬

15
Mustafa al-Bugha dkk., Fiqih Manhaj ala Mazhab as-Syafi’i, jilid 6, cet-4, h. 18
14

Artinya:Musdad telah menceritakan kepada kami: Abu Awanah


menceritakan kepada kami dari Abu Bisyr, dari Yusuf bin Mahak, dari Hakim
bin Hijam beliau berkata : “Wahai Rasulullah, Ada orang yang datang
kepadaku lalu menginginkan aku menjual sesuatu yang tidak aku miliki. Apakah
aku boleh membeli barang itu dari pasar lalu aku jual kepadanya?” Nabi
berssabda: “Jangan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.”16

G. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mempunyai hipotesis bahwa

hukum menjual hasil kebun tanah wakaf perspektif mazhab syafi’i (studi kasus

desa sukarame labuhanbatu utara) tidak sah atau batal, dikarenakan tidak

memenuhi salah satu syarat jual beli perspektif mazhab syafi’i, yaitu objek

barang yang di perjual belikan harus milik penjual sepenuhnya atau menjadi

wali. karena penulis berpatokan pada perspektif mazhab syafi’i, yang mana tidak

sah menjual barang yang tidak dimiliki.

H. Metode Penelitian
Di dalam penelitian skripsi ini, penulis akan menggunakan cara untuk

memperoleh data-data yang akan dijadikan dasar dalam penelitian skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Tipe dan Jenis Penelitian.

Tipe penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif – empiris. Metode penelitian hukum normatif empiris ini pada

dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan

16
Abi Dawud Sulaiman al Asy’ats Al Sajastani, Sunan Abu Dawud. h, 629
15

adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris

mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya

pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (Field Research) yaitu suatu

penelitian yang menggunakan kenyataan dan realitas lapangan sebagai sumber data

primernya yang objek utamanya yaitu Hukum Menjual Hasil Kebun Tanah Wakaf

Perspektif Mazhab Syafi’i (Studi Kasus Desa Sukaramai Labuhan Batu Utara)

2. Sifat Penelitian.

Penelitian ini bersifat preskriptif analitik, yaitu dengan menilai permasalahan yang

menjadi obyek permasalahan mengenai hukum menjual hasil kebun tanah wakaf

perspektif mazhab syafi’i (studi kasus desa sukaramai labuhan batu utara) dan

selanjutnya dianalisis dengan teori-teori bagi hasil dalam konsep hukum Islam, lantas

diketahui apakah hukum menjual hasil kebun tanah wakaf sejalan dan sesuai dengan

ketentuan hukum-hukum Islam atau tidak.

3. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penilitian yang digunakan yakni penelitian hukum

normatif - empiris, maka pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan ini beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun

argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi.


16

Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-

pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan

permasalahan.

4. Bahan Hukum.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

undang-undang dan putusan-putusan hakim.17 Bahan hukum primer

dalam penelitian ini adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf dan kitab Sayid Abu Bakar Muhammad Syatha ad-

Dimyathi I’anah AthThalibin.

b. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari

bahan bacaan yang berkaitan dengan tema penelitian, misalnya; hukum

wakaf, hukum Islam dan hukum ekonomi Islam.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus

ensiklopedia dan media internet.18 Adapun yang menjadi sumber

17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 106.
18
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h.32.
17

penunjang dalam penelitian ini adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan

permasalahan tersebut, diantaranya seperti: internet, jurnal, dan lain-lain.

5. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut :

a. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap

fenomena-fenomena yang diselidiki,19 guna memperoleh data yang

diperlukan secara baik secara langsung maupun tidak langsung yang

berkaitan hukum menjual hasil kebun tanah wakaf

b. Wawancara, adalah salah satu bagian yang terpenting dari setiap survei,

tanpa wawancara peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat

diperoleh dengan jalan bertanya langsung kepada responden yaitu BKM

Masjid Al Musohadah, jama’ah masjid , dan para ulama setempat. Dalam

metode ini penulis menggunakan wawancara terbuka, yaitu terdiri dari

pertanyaan-pertanyaan yang sedemikian rupa bentuknya, sehingga responden

atau informan tidak terbatas dalam jawaban-jawabannya kepada beberapa

kata saja, tetapi dapat menjelaskan keterangan-keterangan yang panjang

mengenai hukum menjual hasil kebun tanah wakaf.

6. Analisis Data.

Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif, yaitu

menganalisa data menggambarkan data melalui bentuk kata-kata atau kalimat

dipisahkan menurut katagori yang ada untuk memperoleh keterangan yang jelas dan
19
Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1984), h. 136.
18

terinci. Dalam cara pengambilan kesimpulan atas data kualitatif tersebut, penyusun

menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang berangkat pada pengetahuan yang

bersifat umum dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu hendak menilai

hal-hal yang bersifat khusus. Dalam hal ini adalah penelitian Hukum Menjual Hasil

Kebun Tanah Wakaf Perspektif Mazhab Syafi’i (Studi Kasus Desa Sukaramai

Labuhan Batu Utara)

7. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini akan dilakukan pada masyarakat Desa Sukaramai Labuhan Batu

Utara.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka sistematika

pembahasannya disusun sebagai berikut :

Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka kerangka

pemikiran, hipotesis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang konsep jual beli perspektif Mazhab

Syafi’i, yang meliputi pengertian jual beli, landasan hukum jual beli, rukun dan

syarat, jenis jenis jual beli, hak dan kewajiban penjual dan pembeli, dan juga

rukun dan syarat jual beli dalam pandangan Mazhab Syafi’I.

Bab ketiga menjelaskan tentang gambaran umum Desa Sukarame

Labuhanbatu Utara seperti letak geografis dan demografis, ,pendidikan, ekonomi,

kondisi keagamaan di Desa Sukarame Labuhanbatu Utara.


19

Bab keempat merupakan analisis tentang bagaimana pandangan tokoh

masyarakat mengenai praktik pemanfaatan harta wakaf secara pribadi yang

terjadi di Masjid Al Musohadah Desa Sukarame Labuhanbatu Utara. Bagaimana

hukum/menjual hasil kebun tanah wakaf perspektif Mazhab Syafi’I.

Bab Kelima penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

Anda mungkin juga menyukai