Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Wakaf dijadikan sebagai amalan utama yang sangat dianjurkan untuk


mendekatkan diri kepadanya. Orang-orang jahiliyah tidak mengenal wakaf.
Wakaf disyariatkan oleh nabi dan menyerukannya karena kecintaan beliau
kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan. Wakaf adalah suatu
barang atau benda yang bisa diambil atau dipakai kemanfaatannya dan utuh
untuk sekarang dan dihari kemudian. Perkembangan wakaf saat ini di dunia
islam termasuk di Indonesia cukup baik. Dan in sya allah di kemudian hari
nanti wakaf benar-benar akan membawa kesejahteraan bagi umat manusia,
dengan catatan nadzhirnya harus professional. Namun demikian, keberhasilan
pengelolaan wakaf sebenarnya tidak semata-mata tergantung pada nazhirnya,
tetapi komitmen bersama antara nazhir, masyarakat, khusunya umat islam,
pemerintah, akademisi, dan praktisi.

Wakaf juga sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai jalan kemajuan.


Lihatlah islam dizaman dahulu, karena wakaf umat islam dapat maju, bahkan
sampai sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf itu masih kekal dan
kita masih dapat merasakan manis dari hasil wakaf mereka dahulu sampai
sekarang. Dan wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran
dan manfaatnya terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus
mengalir selama masih digunakan di jalan yang benar. Seperti dalam hadist
nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad menyebutkan bahwa

‫إذا ما ت ابن أدم انقطع عمله إالّ من ثال ثة من صدقة ج))ا ري))ة و علم ينتف))ع ب))ه وول))د ص))الح ي))د ع))و له‬
“Apabila anak adam meninggal dunia, putuslah amalnya, kecuali tiga
perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholeh
yang senantiasa mendoakan orang tuanya.”(HR.MUSLIM).

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berarti menahan, sedangkan menurut syara’
wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam keadaan
barangnya masih tetap dengan cara memutus pentasarrufannya, untuk
diserahkan buat keperluan yang mubah dan berarah1.
Harta yang akan di wakafkan harus jelas (tidak dalam tanggungan)
yang dapat berpindah tangan, bisa diambil manfaatnya, serta tahan lamanya
keadaan harta tersebut, dan terputusnya hak tasarruf dalam harta tersebut
(bagi pemilik harta), (penahanan harta tersebut) atas dasar akan ditasarrufkan
pada arah kebaikan karena tagarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Seperti
yang di sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 267,

‫ْث ِم ْن ُه ُت ْن ِف ُقوْنَ َو َلسْ ُت ْم ِب ٰا ِخ ِذ ْي ِه ِآاَّل َا ْن‬


َ ‫رْض ۗ َواَل َت َي َّم ُموا ْالخَ ِبي‬
ِ َ ‫ت َما َك َس ْب ُت ْم َو ِم َّمٓا َا ْخ َرجْ نَا َل ُك ْم ِّمنَ ااْل‬ َ ‫ٰ ٓياَ ُّي َها َّال ِذ ْينَ ٰا َم ُن ٓ ْوا َا ْن ِف ُقوْا ِم ْن‬
ِ ‫طيِّٰب‬
ٌ‫اع َل ُم ٓ ْوا َا َّن هّٰللا َ َغ ِن ٌّي َح ِميْد‬
ْ ‫ُت ْغ ِمضُوْا ِف ْي ِه ۗ َو‬

Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil


usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk
untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan)
terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha
Terpuji”.2(Al-Baqarah[2]:267)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 267 tersebut merupakan motivasi bagi
seorang muslim untuk berwakaf. Allah sangat mencintai orang yang ikhlas
membagikan sebagian dari harta yang dimiliki demi tujuan kebaikan.

1
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in,(Kudus,:Menara Kudus, 1980), hlm. 344
2
Al-Qur’an Terjemah, ( Jakarta Selatan: Pt. Pantja Cemerlang ), hal. 45

2
B. Macam-Macam Wakaf
Menurut jumhur ulama wakaf terbagi menjadi dua yakni:
1. Wakaf dzurri (keluarga) disebut juga wakaf khusus dan ahli ialah wakaf
yang ditujukan untuk orang-orang tertentu baik keluarga wakif atau orang
lain. Wakaf ini sah dan yang berhak untuk menikmati benda wakaf itu
adalah orang-orang tertentu saja. Misalnya, mewakafkan sebidang tanah
untuk keperluan biaya belajar orang dikampungnya yang miskin. Akan
tetapi, wakaf khusus ini akan mengalami masalah jika keturunan atau
orang lain yang ditunjuk telah meninggal atau tidak lagi mampu
menggunakan benda wakaf tersebut. Maka dari itu, benda wakaf itu harus
dikembalikan kepada syarat semula bahwa wakaf tidak dibatasi waktunya.
Maka, penggunaan wakaf dapat diteruskan kepada orang lain secara
umum.
2. Wakaf khairi yaitu wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum dan
tidak dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah wakaf
yang hakiki yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakaf
itu meninggal dengan catatan benda itu masih dapat diambil manfaatnya.3

Dan dalam kitab lainnya, wakaf dapat dibedakan menjadi beberapa


macam berdasarkan tujuannya, waktunya, dan penggunaannya.

Berdasarkan tujuannya wakaf terdiri atas:

1. Wakaf social untuk kebaikan masyarakat (khairy), yaitu apabila


tujuan wakafnya untuk kepentingan umum.
2. Wakaf keluarga (dzurry), yaitu apabila tujuan wakaf untuk
memberi manfaat kepada wakif, keluarganya, dan keturunannya.
3. Wakaf gabungan (musytarok), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk
umum dan keluarga secara bersamaan.

3
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2010), hlm.
172

3
Berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi dua macam:

1. Wakaf abadi, yaitu wakaf berbentuk barang yang bersifat abadi.


Seperti, tanah dan bangunan atau barang bergerak yang ditentukan
oleh wakif sebagai wakaf abadi.
2. Wakaf sementara, yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa
barang yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi
syarat untuk mengganti bagian yang rusak.

Berdasarkan penggunaannya, wakaf terbagi menjadi dua macam:

1. Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan


untuk mencapai tujuannya, seperti masjid untuk sholat dan sekolah
untuk kegiatan belajar mengajar.
2. Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan
untuk kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan
tujuan wakaf.4

Terdapat dua kategori harta yang boleh diwakafkan, yaitu harta tidak
bergerak (‘aqar atau immovable) dan harta bergerak (manqul atau movables).
Harta tidak bergerak biasanya banyak diwakafkan diera Rasulullah SAW dan
sahabatnya, hingga sekarang, para ulama seperti Ibn Qudamah, Ibn Abidin,
dan al-Ramli pernah mengungkapkan bahwa;”Semasa Rasulullah SAW tidak
ada wakaf yang dilakukan melainkan dalam bentuk tanah dan rumah”. Oleh
karena itu, mereka sepakat bahwa wakaf harta tidak bergerak sah dibuat
karena ia bersifat kekal dan manfaatnya bisa diterima secara terus-menerus.
Jumhur ulama seperti Imam Syafi’I, Imam Malik, dan Imam Ahmad Ibn
Hanbal berpendapat harta bergerak boleh diwakafkan dengan syarat harta
tersebut tidak habis sewaktu digunakan, seperti kereta, peralatan, dan
sebagainya.

4
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm 10
(Mundzier Qahf,2005:161).

4
Harta seperti uang, saham, dan sebagainya boleh juga diwakafkan
dengan cara menukarkannya dengan bentuk harta bergerak lainnya. Harta
tersebut diinvestasikan dalam kegiatan yang dibenarkan syari’ah. Keuntungan
yang diperoleh dari investasi ini digunakan untuk membeli harta tidak
bergerak yang akan dijadikan wakaf menggantikan asset wakaf asal (barang
bergerak) yang diinvestasikan. Pandangan ini didasarkan pada pendapat yang
dikemukakan oleh para fuqaha seperti Muhammad ‘Abdullah Al-Ansari salah
seorang sahabat Zufar. Menurutnya, uang boleh diwakafkan dengan
diinvestasikan kedalam bentuk perniagaan atau investasi. Dan hasilnya akan
disedekahkan. Begitu juga barang-barang makanan yang bisa ditakar dan
ditimbang, boleh diwakafkan dan ditukarkan dimana harta barang tersebut
akan dijual dan uang yang diperoleh dari penjualan itu akan diinvestasikan
dan hasilnya juga bisa diwakafkan untuk tujuan-tujuan kebajikan. 5
Seperti
yang dikemukakan dalam surah Al-Baqarah ayat 261 yakni

ْ ‫َمثَ َل الّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ اَ ْم َوالَهُ ْم فِ ْي َسبِ ْي ِل هللاِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة اَ ْنبَت‬
ِ ‫َت َس ْب َع َسنَا بِ َل فِ ْي ُكلِّ ُس ْنبُلَ ٍة ِما َئةَ َحبَّ ٍة ۗ َو‬
‫هللا‬
ِ ‫يُضٰ ِعفُ ِل َم ْن يَّشآ ُء ۗ َو‬
‫هللا َوا ِس ٌع َع ِل ْي ٌم‬

Artinya: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah


seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap
tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang
dia kehendaki, dan Allah maha luas, maha mengetahui.”(Al-
Baqarah[2]:261).6

C. Rukun-Rukun Dan Syarat-Syarat Wakaf


Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam wakaf:
1. Ada orang yang berwakaf (wakif), syaratnya orang yang bebas untuk
berbuat kebaikan, meskipun bukan muslim dan dilakukan dengan
kehendak sendiri bukan karena paksaan.
2. Ada benda yang diwakafkan (maukuf)

5
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm. 11
6
Al-Qur’an Terjemah, ( Jakarta Selatan: Pt. Pantja Cemerlang ), hal. 45

5
Benda yang hendak diwakafkan harus memenuhi beberapa syarat berikut:
1. Benda itu kekal dzatnya dan dapat diambil manfaatnya (tidak
musnah karna diambil manfaatnya).
2. Kepunyaan orang yang mewakafkan, meskipun bercampur (musya’)
yang tidak dapat dipisahkan dari yang lain, maka boleh mewakafkan
yang berupa modal, saham pada perusahaan.
3. Harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf di ikrarkan.
4. Tujuan wakaf (maukuf alaihi), disyaratkan tidak bertentangan
dengan nilai ibadah. Menurut sayid sabiq, tidak sah wakaf untuk
maksiat seperti membuat gereja, biara, dan tempat bar.
5. Pernyataan wakaf (shigat wakaf), baik dalam bentuk lisan, tulisan,
maupun isyarat, bahkan dengan perbuatan. Wakaf dinyatakan sah
jika telah ada pernyataan ijab dari wakif dan qabul dari maukuf
alaihi.7
Syarat-syarat wakaf yakni:
1. Diwakafkan selama-lamanya. Maka tidak sah pewakafan yang di
batasi masa berlakunya. Misalnya “saya wakafkan maukuf kepada
zaid selama satu tahun”8.
2. Barang yang diwakafkan itu bisa dimanfaatkan dengan utuh
barangnya. Dan penggunaaannya mubah dan manfaatnya memiliki
tujuan. Dan tidak sah jika hendak mewakafkan makanan dan bunga
karna barang tersebut akan hilang kemanfaatannya.
3. Wakaf itu tidak untuk perbuatan yang dilarang. Karena itu tidak sah
wakaf itu untuk meramaikan tempat-tempat maksiat9.
Syarat-syarat wakif yakni:
Para fuqaha berbeda pendapat dalam memberikan syarat bagi
wakif. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:
a. Menurut Hanafiyah wakif disyaratkan harus memiliki kecakapan
dalam tabarru’, yaitu merdeka, dewasa dan berakal. Oleh karena itu,
wakaf yang dilakukan anak kecil (belum mumayyiz atau sudah),
7
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2010), hlm.
173
8
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, (Kudus:Menara Kudus, 1980), hlm.349
9
Achmad Najieh, Fathul Qarib Mujib 1, (Bandung: Husaini, 2003), hlm.267

6
orang gila dan orang idiot batal (tidak sah). Sebab mereka termasuk
dalam kategori orang tidak cakap tabarru’.
b. Menurut Malikiyah wakif disyaratkan harus dewasa, berakal, rela,
sehat, tidak dibawah pengampunan, dan sebagai pemilik dari harta
yang diwakafkan.
c. Menurut Syafi’iyah wakif hendaknya orang cakap tabarru’. Karena
itu tidak sah wakaf anak kecil, orang bodoh, orang gila dan budak
mukatabah.
d. Menurut Hanabilah syarat wakaf ada tiga:
1) Pemilik harta. Maka tidak sah jika mewakafkan hak milik orang
lain tanpa seizin pemiliknya.
2) Diperbolehkan membelanjakan hartanya. Karenanya, tidak sah
wakaf orang yang berada di bawah pengampuan dan orang gila.
3) Orang yang mengatasnamakan orang lain, seperti orang menjadi
wakil orang lain.10

Dari syarat-syarat wakif yang dikemukakan para fuqaha di atas dapat


dipahami bahwa wakif haruslah orang yang merdeka, berakal sehat,
dewasa,pemilik harta atau wakilnya, rela, dan sehat. Oleh sebab itu,
wakaf tidak sah bila dilakukan oleh seorang budak, anak kecil, gila,
di bawah pengampuan, idiot, terpaksa, dan bodoh.

Syarat orang yang diserahi harta wakaf (mauquf ‘alaih) yakni:

Jika yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf,


maka tujuan wakaf itu harus mengacu pada pendekatan diri pada Allah,
yaitu untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran islam. Apabila yang dimaksud mauquf ‘alaih adalah
nazhir (pengelola wakaf), maka syaratnya menurut Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 pasal 10 Ayat (1) adalah “Perseorangan
sebagaimana dimaksud pada pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nazhir
apabila memenuhi persyaratan berikut:

10
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm 7

7
a) Warga Negara Indonesia
b) Beragama islam
c) Dewasa
d) Amanah
e) Mampu secara jasmani dan rohani, dan
f) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum”.
Syarat shigat wakaf yakni:

Ungkapan wakaf (shigat) sangat menentukan sah atau tidaknya


akad wakaf. Oleh karena itu, pernyataan wakaf harus tegas dan jelas
kepada siapa ditujukan dan untuk keperluan apa. Contoh dari shigat
wakaf yakni seperti “saya waqafkan”, “saya sabilillah”, dan “saya tahan
segini untuk begini”. Syarat sahnya shigat wakaf adalah:

1. Jelas tujuannya
2. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu
3. Tidak bergantung pada suatu syarat, kecuali syarat mati
4. Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali
wakaf yang sudah diwakafkan.11
D. Menukar Dan Menjual Harta Wakaf
1. Menukar atau mengganti karena kebutuhan, misalnya karena wakaf
macet atau tidak layak lagi untuk difungsikan maka benda itu dijual dan
uangnya digunakan membeli sesuatu yang dapat menggantikan
posisinya. Seperti kuda yang diwakafkan untuk perang dan sekarang
tidak mungkin lagi digunakan, maka kuda tersebut boleh dijual dan
uangnya digunakan untuk membeli sesuatu yang dapat menggantikan
posisinya. Contoh tersebut diperbolehkan karena ada prinsipnya apabila
sesuatu yang pokok (asal) tidak lagi mencapai maksud yang diinginkan
oleh pemberi wakaf maka dapat digantikan dengan yang lainnya dengan
cara menjual dan menukar.
2. Mengganti atau menukar karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya
disuatu kampung di bangun sebuah masjid sebagai pengganti masjid

11
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm 8

8
lama yang telah rusak dan letaknya tidak strategis. Kemudian, masjid
lama itu di jual maka hukumnya boleh menurut imam Ahmad. Alasan
imam ahmad bersandar kepada perilaku Umar bin Khatab yang
memindahkan masjid kufah yang lama ketempat yang baru karena
tempat yang lama itu di jadikan pasar pagi penjual tamar. Contoh di
atas adalah kasus penggantian tanah masjid.
E. Wakaf Tunai Atau Wakaf Uang

Selama ini masyarakat hanya mengetahui bahwa membayar wakaf


dengan benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, dan pohon yang
diambil manfaatnya. Padahal saat ini sudah ada alternatif baru bagi wakif
yang tidak memiliki asset untuk mewakafkan hartanya dengan cara wakaf
tunai. Wakaf tunai atau cash waqf merupakan wakaf yang dilakukan
seseorang, atau kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai. Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat
berharga. Wakai tunai (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah wakaf dalam
bentuk uang.12

Wakaf uang juga dikenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada
masa itu, perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Wakaf tidak hanya
sebatas pada benda tidak begerak,tapi juga benda bergerak semisalnya wakaf
uang. Tahun 1178, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan
misi madzhab Sunni. Kesahan wakaf uang didasarkan pada Al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 92,

‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ َۗو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم‬

Artinya:”Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai,
dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.”(Ali Imran[3]:92).13

12
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm, 26.
13
Al-Qur’an Terjemah, ( Jakarta Selatan: Pt. Pantja Cemerlang ), hal. 63

9
Cara melakukan wakaf uang menurut madzhab Hanafi ialah
menjadikannya modal usaha dengan mudharabah. Sedangkan keuntungannya
disedekahkan kepada pihak wakaf. Pendapat ini didukung oleh Ibn Jibrin,
salah satu ulama modern, bahwa wakaf uang harus diberdayakan sehingga
mampu memberikan kemudahan dalam membantu orang-orang yang secara
ekonomi kurang beruntung.14

F. Nadzhir Wakaf
Nadzir adalah orang yang bertugas mengelola, memelihara, dan
mengembangkan harta wakaf. Selanjutnya, persoalan yang menyangkut siapa
yang akan melakukan perawatan, pengurusan, dan pengelolaan aset wakaf
dalam istilah fikih dikenal dengan nadzir waqf atau mutawalli wakaf. Hal ini
terjadi karena aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir.
Oleh sebab itu, nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap
harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri, maupun
terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nadzir
terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan demi kesinambungan harta
wakaf agar manfaatnya dapat didistribusikan kepada mauquf ‘alaih, karena di
tangan nadzirlah harta wakaf dapat terjamin kesinambungannya.15 Seperti
yang disebutkan dalam hadist yang di riwayatkan oleh imam bukhari,
‫ منها‬,‫عن ابن عمر قل ارضا اصا بها بخيبر با ره صلى هللا عليه وسلم وشرط فيها شرو طا‬
‫ا ن ال يبا ع اصلها وال يورث وال يوهب وان من وليها يأ كل منها با المعروف ويطعم صديقا غير‬
‫متمول‬

Artinya: “Umar r.a mewaqafkan sebidang tanah yang ia dapatkan dari


ghanimah perang khaibar atas perintah Rasulullah SAW. Dan ia
menentukan beberapa syarat , antara lain bumi tersebut tidak
boleh dijual, tidak boleh diwaris, tidak boleh dihibahkan, dan bagi
orang yang mengurusinya berhak makan dari padanya secara
baik-baik serta boleh memberi teman nya makan daripadanya

14
Maftuh Basyuni, Fiqh Ruislagh, (Jakarta:Badan Wakaf Indonesia,2015), hlm, 29
15
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015),
hlm 14.

10
dengan tanpa minta imbalan hartanya.”(HR.BUKHARI
MUSLIM).

Harta wakaf sebagai aset umat tentu harus dikelola dengan baik dan
amanah, sehingga potensi yang dikandung harta wakaf itu dapat digali dan
disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf. Selain bentuk harta yang diwakafkan,
pengelolaan dan peruntukannya, begitu juga dengan pemilihan nadzir oleh
wakif merupakan bagian penting dalam upaya optimalisasi peran wakaf
dalam mensejahterakan umat. Nadzir menjadi pihak sentral dari pengelolaan
wakaf, karena berhasil tidaknya pengelolaan wakaf sangat tergantung pada
kapasitas dan integritas nadzir itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai instrumen
yang paling penting dalam pengelolaan wakaf, nadzir harus memenuhi
kriteria yang memungkinkan harta wakaf dapat dikelola dengan baik. Untuk
dapat melaksanakan tugasnya sebagai pengelola harta wakaf dengan baik dan
professional, nadzir haruslah orang yang memenuhi kriteria dan persyaratan
nadzir, antara lain:
a. Jujur dan adil (‘adalah) dalam pengertian melaksanakan perintah agama
dan menjauhi larangannya. Ini merupakan persyaratan yang diajukan
mayoritas ulama selain Hanabilah. Harta wakaf adalah amanat yang
harus dijaga dengan sebaik-baiknya dan manfaatnya harus disalurkan
sesuai dengan peruntukan wakaf. Oleh karena itu nadzir selaku
pengemban amanat perlu memiliki kejujuran dan keadilan lahir dan
batin. Keadilan lahir tampak dalam pembagian hasil-hasil wakaf,
sedangkan keadilan batin menyangkut perhatian dalam kasih sayang
yang merata.
b. Mempunyai keahlian (al-kifayah), yaitu kemampuan personality, yaitu
baligh dan berakal serta kemampuan untuk memelihara dan mengelola
serta mengembangkan harta wakaf sehingga mencapai hasil yang
optimal. Namun para ulama tidak mensyaratkan laki-laki terhadap
nadzir wakaf, karena Umar bin Khathab pernah berwasiat kepada
Hafsah untuk memelihara harta wakafnya.
c. Islam. Hal ini jelas, karena wakaf merupakan sarana ibadah dalam
rangka taqarrub ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah),

11
mengharapkan pahala dari Allah dan sarana dakwah fi sabilillah untuk
meninggikan kalimat Allah. Dan pelaku dakwah di jalan Allah adalah
orang-orang Islam. Namun, di kalangan Hanafiyah tidak
mempersyaratkan Islam bagi Nadzir. Menurut pendapat ulama
Hanafiyah, Islam tidak menjadi syarat sahnya perwalian dalam wakaf.
Oleh karena itu, boleh saja nadzir diberikan kepada orang non-Muslim.
Begitu juga penerima wakaf, boleh saja Muslim dan non-Muslim.
Menurut ulama ini, pemberian hak pengelola wakaf dimaksudkan untuk
menjaga harta wakaf, mengelola, dan mendistribusikan-nya kepada
yang berhak menerimanya. Untuk itu, dibutuhkan seorang pengelola
yang jujur dan dapat dipercaya sekaligus mampu mengelola wakaf baik
dilakukan sendiri maupun bersama wakilnya. Kriteria jujur dan amanah
itu dapat dimiliki oleh semua orang, baik muslim maupun non-muslim.

Nadzir diposisikan pada tempat yang sangat penting bagi pengembangan


wakaf. Inovasi pengembangan asset wakaf juga tergantung kreativitas nadzir.
Karena itu, penetapan nadzir bukan hanya asal tokoh masyarakat, sesepuh
desa, kiyai, atau ulama melainkan juga orang yang mempunyai kemampuan
manajerial yang handal.

G. Tanggung Jawab Dan Hak Nadzhir


Inti ajaran yang terkandung dalam wakaf adalah menghendaki agar
harta wakaf itu tidak dibiarkan tanpa hasil. Karena semakin banyak hasil
harta wakaf yang dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang
akan mengalir kepada wakif. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan harta
wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pengelolanya (nadzir). Rosalinda menyebutkan, bahwa nadzir wakaf sebagai
orang yang diberi wewenang dalam pengurusan harta wakaf, dapat
melakukan penanganan terhadap tanah wakaf yang menjadi tanggung
jawabnya, antara lain yaitu:16
a. Mengelola dan memelihara harta wakaf
b. Menyewakan harta wakaf.

16
Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2015), hlm 45-49

12
c. Menanami tanah wakaf untuk pertanian atau perkebunan.
d. Membangun bangunan di atas tanah wakaf.
e. Mengubah bentuk dan kondisi harta wakaf.
f. Melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara’.
g. Menjaga dan mempertahankan harta wakaf.
h. Membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari
hasil wakaf itu sendiri.
i. Mendistribusikan hasil atau manfaat wakaf kepada pihak-pihak yang
berhak menerimanya.
j. Memperbaiki asset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat.

J. Masa Bakti Dan Pemberhentian Nadzir

Dalam kitab-kitab fikih tidak ditemukan aturan tentang masa bakti


nadzir wakaf. Begitu pula dalam peraturan perwakafan sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Oleh karenanya
muncul persepsi masyarakat, bahwa jabatan nadzir itu adalah jabatan seumur
hidup. Jika nadzir meninggal dunia, atau sudah udzur tidak diusulkan
penggantinya. Akibatnya harta wakaf tidak terkelola sebagaimana mestinya
dan terabaikan. Bahkan dalam keadaan seperti itu, banyak terjadi harta wakaf
yang diambil kembali oleh ahli waris wakif. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 dijelaskan kembali. Pengangkatan kembali nadzir
dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya
dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai dengan ketentuan prinsip
syariah dan peraturan perundang-undangan.17

Para ulama pada umumnya berpendapat jika nadzir berkhianat, tidak


amanah, tidak mampu, ataupun muncul kefasikan pada dirinya, seperti
minum-minuman keras, membelanjakan harta wakaf pada hal-hal yang tidak
berfaedah, ataupun bila nadzir mengundurkan diri, wakif ataupun pemerintah
dapat memberhentikan nadzir dari tugasnya dan menyerahkan perwalian
kepada orang yang bersedia memegang tanggung jawab pengelolaan wakaf.

17
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006, Pasal 14.

13
Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, nadzir
diberhentikan dan diganti dengan nadzir lain apabila:

a. Meninggal dunia bagi nadzir perorangan;


b. Bubar atau dibubarkan untuk nadzir organisasi atau badan hukum;
c. Atas permintaan sendiri;
d. Nadzir tidak melaksanakan tugasnya sebagai nadzir atau
melanggar ketentuan larangan dalam pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan yang berlaku;
e. Dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Adapun pemberhentian nadzir, menurut undang-undang ini dilakukan


oleh Badan Wakaf Indonesia. Yaitu nadzir dapat diberhentikan atau
dibebastugaskan apabila:

a. mengundurkan diri dari tugasnya sebagai nadzir,


b. berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf, termasuk dalam
hal ini adalah mengelola harta wakaf menjadi sesuatu yang tidak
bermanfaat,
c. melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi fasik, seperti
berjudi, minum-minuman keras dan lain sebagainya,
d. kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila, meninggal
dunia, ataupun dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan.

14
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam keadaan
barangnya masih tetap dengan cara memutus pentasarrufannya, untuk
diserahkan buat keperluan yang mubah dan berarah. Tujuan wakaf itu harus
mengacu pada pendekatan diri pada Allah, yaitu untuk kepentingan ibadah
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. Harta wakaf
sebagai aset umat tentu harus dikelola dengan baik dan amanah, sehingga
potensi yang dikandung harta wakaf itu dapat digali dan disalurkan sesuai
dengan tujuan wakaf.
Nadzir wakaf sebagai orang yang diberi wewenang dalam pengurusan
harta wakaf, harus melakukan penanganan terhadap tanah wakaf yang telah
menjadi tanggung jawabnya. Para ulama pada umumnya berpendapat jika
nadzir berkhianat, tidak amanah, tidak mampu, ataupun muncul kefasikan
pada dirinya, seperti minum-minuman keras, membelanjakan harta wakaf
pada hal-hal yang tidak berfaedah, ataupun bila nadzir mengundurkan diri.
Wakaf bukan hanya seperti sedekah biasa, tetapi lebih besar ganjaran dan
manfaatnya terhadap diri yang berwakaf itu sendiri, karena ganjaran wakaf itu
terus-menerus mengalir selama barang wakaf itu masih berguna.

2. Saran

Alhamdulillah, dengan segala kemampuan yang di berikan Allah swt,


makalah ini dapat terselesaikan oleh penulis. Dan penulis menyadari bahwa
dalam penulisan dan penyampaiannya masih terdapat kekurangan yang
dimiliki oleh penulis. Ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

15
16

Anda mungkin juga menyukai