BAB WAKAF
Penyusun
Kelompok 2
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTA
BAB I PEMBAHASAN
A. Pengertian Waqaf
B. Hukum Wakaf
BAB II PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WAKAF
Wakaf merupakan istilah dari bahasa Arab ‘waqaf’. istilah wakaf secara bahasa berarti
penahanan atau larangan atau menyebabkan sesuatu berhenti. Istilah wakaf secara istilah
diartikan berbeda-beda menurut pandangan ahli fiqih. Menurut Abu hanifah, wakaf adalah
menahan suatu benda sesuai hukum yang ada, dan menggunakan manfaatnya untuk hal-hal
kebaikan, bahkan harta yang sudah diwakafkan bisa ditarik kembali oleh si pemberi wakaf.
Berdasarkan definisi Abu hanifah, kepemilikan harta tidak lepas dari si wakif, pihak yang
mewakafkan harta benda nya.Mazhab hanafi menyebutkan wakaf adalah tidak melakukan
tindakan atas suatu harta tersebut, yang berstatus tetap hak milik dengan memberikan
manfaatnya kepada pihak tertentu baik untuk saat ini ataupun waktu yang ditentukan. Sedangkan
mazhab Malik berpendapat wakaf tidak melepaskan harta yang dimiliki oleh pewakaf dan
pewakaf berkewajiban untuk memberikan manfaat dari harta yang diwakafkannya dan tidak
boleh menarik kembali harta yang diwakafkan.Mazhab syafi’i berpendapat bahwa wakaf
merupakan pelepasan harta dari kepemilikan melalui prosedur yang ada. Pewakaf tidak boleh
melakukan suatu tindakan kepada harta yang sudah diwakafkan olehnya. Mazhab syafi’i juga
membolehkan memberikan wakaf berupa benda bergerak dengan syarat barang yang diwakafkan
harus memiliki manfaat yang kekal. Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004,
wakaf adalah perbuatan hukum wakif, si pemberi wakaf, untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna untuk keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.Secara umum wakaf harus memenuhi beberapa hal utama
yaitu yang memberikan wakaf dan pengelola harta wakaf harus mengalokasikan untuk amal
kebaikan.
Selain itu pemberian wakaf harus bertujuan untuk beramal kepada penerima atau kelompok yang
jelas. Oleh sebab itu, terdapat hukum untuk mengatur pemberian wakaf yang dibahas dalam
buku Hukum Wakaf Tunai.
1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang dilakukan kepada
keluarganya dan kerabatnya. Wakaf ahli dilakukan berdasarkan hubungan darah atau nasab yang
dimiliki antara wakif dan penerima wakaf. Di beberapa negara, amalan wakaf ahli ini sudah
dihapus seperti di Turki, Lebanon, Syria, Mesir, Irak dan Libya. Wakaf ahli ini dihapus karena
beberapa faktor seperti tekanan dari penjajah, wakaf ahli dianggap melanggar hukum ahli waris,
selain itu wakaf ahli dianggap kurang memberi manfaat yang banyak untuk masyarakat
umum.Di Indonesia, wakaf ahli masih berlaku, begitu juga di Singapura, Malaysia dan Kuwait.
Hal ini dianggap karena bisa mendorong orang-orang untuk berwakaf.Di Indonesia, wakaf ahli
juga tertulis dalam Undang-Undang nomor 42 tahun 2006 Pasal 30. Di dalam Undang-Undang
dituliskan bahwa,‘Wakaf ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperuntukkan bagi
kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan Wakif.’
2. Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Wakaf khairi adalah wakaf
dimana pihak pewakaf memberikan syarat penggunaan wakafnya untuk kebaikan-kebaikan yang
terus menerus seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Wakaf khairi
adalah jenis wakaf untuk mereka yang tidak memiliki hubungan seperti hubungan keluarga,
pertemanan atau kekerabatan antara pewakaf dan orang penerima wakaf.
3. Wakaf Musytarak
Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut digunakan secara
bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf. Wakaf musytarak ini masih diterapkan
oleh beberapa negara seperti di Malaysia dan Singapura.
B. HUKUM WAKAF
Wakaf hukumnya adalah amalan sunnah yang dianjurkan. Hal itu berdasarkan firman Allah
SWT dalam Al Quran surat Yasin ayat 12 yang berbunyi
َ ْاِنَّا نَحْ نُ نُحْ ِي ْال َموْ ٰتى َونَ ْكتُبُ َما قَ َّد ُموْ ا َو ٰاثَا َرهُ ۗ ْم َو ُك َّل َش ْي ٍء اَح
Arab: ص ْي ٰنهُ فِ ْٓي اِ َم ٍام ُّمبِي ٍْن
Artinya: Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang
mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).
Dari ayat di atas, Syaikh Prof Dr Khalid bin Ali Al-Musyaiqih berkata, "Di antara bekas yang
ditinggalkan oleh orang yang telah wafat adalah wakaf."Sehingga, secara umum wakaf juga
termasuk dalam bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, seperti dalam Quran
surat Al Ma'idah ayat 2
Orang yang mewakafkan hartanya atau wakif. Orang yang ingin mewakfkan hartanya memiliki
syarat seperti baligh, berakal dan merdeka atau bukan hamba sahaya. Hal ini berarti orang yang
bodoh tidak sah jika ingin mewakafkan hartanya, karena orang ini merupakan orang yang
hartanya dibekukan. Hal ini disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 286 yang
berbunyi,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat
(pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang
diperbuatnya.”
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan ibadah seseorang harus sanggup dalam
mengerjakannya. Begitu juga dalam mengamalkan wakaf. orang yang ingin memberi wakaf juga
tidak boleh memberi syarat-syarat yang haram dari syariat Islam. Jika orang yang ingin berwakaf
memberikan syarat-syarat yang memberatkan atau menyimpang dari syariat Islam, maka wakaf
tersebut hukumnya tidak sah, seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, yang berbunyi,
“Tidak boleh taat kepada makhluk yang mengajak maksiat kepada Allah.”
Penerima wakaf atau mauquf’alaih. Penerima wakaf bisa satu orang saja. Syarat dari penerima
wakaf adalah tidak memiliki tujuan maksiat dalam penggunaan harta wakaf, dan dapat diserah
terimakan. Selain itu orang yang menerima wakaf juga harus berakal, karena orang yang tidak
berakal tidak bisa membelanjakan hartanya untuk tujuan yang baik. Hal ini dijelaskan dalam Al-
Quran surat An-Nisa ayat 5 yang berbunyi,
َواَل تُْؤ تُوا ال ُّسفَهَ ۤا َء اَ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِ ْي َج َع َل هّٰللا ُ لَ ُك ْم قِ ٰي ًما َّوارْ ُزقُوْ هُ ْم فِ ْيهَا َوا ْكسُوْ هُ ْم َوقُوْ لُوْ ا لَهُ ْم قَوْ اًل َّم ْعرُوْ فًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkan lah kepada mereka perkataan
yang baik.”
Barang yang diwakafkan atau mauquf. Barang yang diwakafkan harus berupa barang yang sudah
ditentukan. Selain itu barang yang ingin diwakafkan bisa dialihkan hak miliknya. Barang yang
harus diwakafkan harus memiliki manfaat yang terus menerus. Maka dari itu, makanan yang
manfaatnya bisa habis seketika seperti makanan tidak dianjurkan.
Lafal dalam wakaf. Lafal atau ucapan dalam wakaf harus lah kekal. Ucapan yang memiliki batas
tidak akan sah tentunya. Ucapan dalam wakaf harus bisa terealisasi dan bersifat pasti serta tidak
memiliki syarat yang bisa membatalkan wakaf. Wasiat juga diperbolehkan, misalnya jika
seorang ayah mewakafkan rumahnya.
Tidak hanya amal bersedekah saja, amal wakaf juga memiliki manfaat di dunia dan kehidupan
akhirat yang secara detail dibahas di dalam buku Fikih Zakat, Sedekah, Dan Wakaf.Berikut
adalah manfaat dari wakaf yaitu:
Orang yang berwakaf pahalanya akan mengalir terus menerus selama hidupnya sampai ia
meninggal dunia. Hal ini dijelaskan dalam hadits riwayat Muslim yang berbunyi,
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputus lah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu):
sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
Dengan mewakafkan harta yang bisa digunakan oleh masyarakat umum tentunya akan
mempererat tali persaudaraan, karena sama-sama bisa menikmati sarana dari wakaf tersebut.
Tidak hanya bersedekah, mewakafkan harta benda juga menjadi salah satu sarana untuk
membangun jiwa sosial yang ada di diri manusia. Dengan berwakaf tentunya akan meringankan
beban orang yang lebih membutuhkan.
Banyak cara yang bisa dilakukan seorang Muslim untuk ikut andil dalam menyejahterakan umat,
salah satunya adalah melalui wakaf. Nilai pahala wakaf sama dengan amal jariyah yang tidak
akan terputus pahalanya meski telah meninggal dunia. Pahala ini akan terus mengalir seiring
dimanfaatkannya benda yang diwakafkan.
Para ahli fikih mendefinisikan wakaf sebagai suatu jenis pemberian yang dilakukan dengan cara
menahan pemilikan asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaat dari benda tersebut untuk
kemaslahatan umat. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan agar
tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan sejenisnya.
Mengutip Buku Pintar Ekonomi Syariah oleh Ahmad Ifham, orang yang mewakafkan hartanya
untuk kesejahteraan umat disebut wakif. Dalam praktiknya, wakaf dilakukan dengan syarat dan
rukun tertentu. Selain itu, ada juga prinsip pengelolaan yang harus dipatuhi. Apa saja? Untuk
mengetahuinya, simak penjelasan berikut.
Tanggung jawab kepada Allah, yaitu tanggung jawab atas perilaku perbuatannya, apakah
sudah sesuai atau justru bertentangan dengan aturan-aturan-Nya.
Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan
wewenang.
Tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku.
Tanggung jawab sosial, yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat
Lembaga wakaf yang terakreditasi, yakni lembaga wakaf yang dinyatakan layak
beroperasi hingga bermanfaat bagi lapisan masyarkat.
Programnya yang bervariasi.
Optimalisasi manfaat, yaitu dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan tujuan untuk
menjadikan yang paling baik tanpa merugikan pihak manapun.
Bentuk pengelolaannya harus kreatif, profesional dan akuntabel. Maksudnya, proses
pelaksanaan kegiatannya harus dilakukan dengan menggerakan tenaga orang lain,
sehingga membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi itu sendiri.
Misalnya, memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam kebijaksanaan
dan pencapaian tujuan wakaf
Wakaf menjadi salah satu bukti Islam sebagai agama yang mencintai berbagi dan kemanusiaan.
Wakaf adalah memberikan benda untuk keperluan atau maslahat umat. Wakaf seringkali berupa
tanah maupun benda yang dapat digunakan ataupun diambil manfaatnya. Oleh karenanya penting
untuk mengetahui prinsip pemanfaatan harta wakaf.
Wakaf memiliki esensi “menahan suatu benda sehingga memungkinkan untuk diambil
manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bencanya”(Wahbah az-Zuhaili, al-Washaya wal
Walqfu fil Fiqhil Islami, Darul Fikri, Damaskus hal. 154). Dari esensi ini didapati prinsip
pemanfaatan benda wakaf yakni:
1. Dijaga Keberadaan, Keselamatan dan Kelestarianya
Harta wakaf telah berubah haknya menjadi hak Allah. Oleh karenanya harta wakaf tidak boleh
berpindah kepemilikan, berkurang atau menghilang manfaatnya. Untuk menjaganya diperlukan
kesungguhan dalam kepemilikan dan kelestarianya. Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma :
“harta yang telah diwaqafkan tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.” (muttafaq
alaihi). Akan tetapi kepemilikanya dan pengelolanya harus jelas agar tidak menimbulkan konflik.
Maka sebaiknya tanah wakaf memiliki sertifikat dan jika belum segera dibuatkan.
Harta wakaf biasanya dilengkapi dengan syarat bentuk pemanfaatan sesuai dengan keinginan
pewakaf (wakif) dalam akadnya, namun juga boleh tidak. Jika telah dilengkapi bentuk
pemanfaatan oleh wakif maka harus dituruti. Hal ini dijelaskan dalam kaidah fiqh,
“syarat yang ditetapkan oleh wakif kedudukanya sa,a dengan ketetapan syara’.”
Akan tetapi pemanfaatan harta wakaf haruslah memegang prinsip yang pertama yakni dijaga
keberadaan, keselamatan dan kelestarianya agar tidak berkurang kebermanfaatanya. Jika syarat
yang diberikan wakif tidak sesuai kebutuhan mendesak umat dan jika dilakukan akan
mengurangi nilai kebermanfaatan harta wakaf tersebut maka boleh dirubah pemanfaatanya agar
lebih besar nilai kebermanfaatanya. Semisal syarat yang diberikan adlah pembangunan masjid
sedang umat telah memiliki masjid yang baik maka masjid dari tanah wakaf ini akan kurang
bermanfaat dan dapat dilihat sebagai pemborosan. Allah berfirman,
اِ َّن ْال ُمبَ ِّذ ِر ْينَ َكانُ ْٓوا اِ ْخ َوانَ ال َّش ٰي ِط ْي ِن ۗ َو َكانَ ال َّشي ْٰطنُ لِ َربِّ ِه َكفُوْ رًا. واَل تُبَ ِّذرْ تَ ْب ِذ ْيرًا.
َ
Kemudian dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan keadaan darurat termasuk menjaga
kemaslahatan. Adapun pemanfaatanya nanti sesuai dengan kebutuhan umat di sana, bisa berupa
fasilitas kesehatan, ekonomi, dll.
Dengan uraian diatas dapat disimpulkan untuk memanfaatkan harta wakaf harus dilakukan usaha
yang cermat dan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan syariah. Jika usaha untuk melakukanya
sudah maksimal hendaknya untuk bertawakal. (sul)
BAB 2
PENUTUP
A.Kesimpulan.