Anda di halaman 1dari 7

B.

PEMBAHASAN WAKAF
1. Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa berarti “menahan” atau
“berhenti”.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti: tanah negara yang tidak dapat
diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak
bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas; hadiah atau
pemberian yang bersifat suci.
Pengertian wakaf menurut Hukum Islam dari para Fuqaha 4 madzhab, yaitu:
a. Menurut Ulama Hanafiyyah: Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang
disedekahkan adalah manfaatnya saja.
b. Menurut Ulama Malikiyyah: Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa
atau hasilnya untuik diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka
waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan.
c. Menurut Ulama Syafi’iyyah: Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap
utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu
yang diperbolehkan oleh agama.
d. Menurut Ulama Hanabilah: Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya
yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu
kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dari pengertian di atas ada dua kesimpulan,
1. Bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan
wakif,
2. Bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar dari kepemilikannya.
Sedangkan pengertian wakaf menurut Undang-undang perwakafan, yaitu:
a. Menurut Peraturan Perundang-undangan (PP) 28 Tahun 1977: Perbutan hukum seseorang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannyayang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
b. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004: Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanaya atau jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syari’ah.
c. Menurut UU Nomor 3 Tahun 2006: Perbuatan seseorang atau sekelompok orang (Wakif) untuk
memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentusesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah..
d. Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI ): Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam.
Pengertian wakaf yang ada di Indonesia sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh
Madzhab Syafi’i dan Hambali.
Cakupan wakaf yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 lebih sempit dibanding
dengan cakupan yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2006 dan KHI. Menurut PP 28 Tahun
1977 benda yang diwakafkan hanya sebatas tanah milik, sedangkan menurut aturan selainnya
benda yang diwakafkan tidak hanya sebatas tanah milik tetapi juga harta benda lainnya.
2. Dasar Hukum Wakaf
a. Al Qur’an
1) Surat Al Baqarah ayat 267, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari sebagian dari apa yang kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
dari padanya pada hal kamu sendiri tidak mau memgambilnya melainkan dengan memicingkan
mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
2) Surat Ali Imran ayat 96, “Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)
sebelum kamu manafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
3) Surat Al Maidah ayat 2, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
ketaqwaan”.
4) Surat Al Hajj ayat 77, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Rabmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”.
b. Al Sunnah hadits Riwayat dari Ibnu Umar r.a, “Diiriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata,
bahwa Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia pergi kepada Rasilullah SAW
seraya berkata: Saya mendapatkan bagian tanah yang belum pernah saya dapatkan harta yang
paling saya sayangi sebelumnya dari harta itu. Apakah yang akan Nabi peintahkan kepada
saya? Rasulullah menjawab: Jika Engkau mau tahanlah dzat bendanya dan sedekahkan
hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkan dan (menyuruh)supaya tidak dijual, dihibahkan dan
diwariskan sedangkan manfaat benda itu diberikan kepada fuqara’, sanak kerabat, hamba
sahaya, sabilillah tamu dan pelancong. Sdan idak ada dosa bagi yang mengurusi harta tersebut
makan secara wajar atau meberi makan kepada temannya dengan tidak bermaksud memilikinya.
Azhar Basyir memberikan komentar terhadap hadits tersebut yang diantara maksudnya
adalah: Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dengan diperjual belikan,
diwariskan, maupun dihibahkan;
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan
Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang
nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah
juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
undang nomor 41 tahun 2004.
3. Macam-macam Wakaf
1. Wakaf Ahli atau wakaf Dzurri, disebut demikian karena wakaf ini ditujukan kepada orang-orang
tertentu, baik seorang atau lebih atau baik keluarga si wakif sendiri atau bukan.
2. Wakaf Khairi, adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan,
seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan,
rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain-lain.
4. Rukun Wakaf
a. Rukun wakaf menurut Hukum Islam ada 4 macam, yaitu:
1) Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
2) Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
3) Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
4) Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta bendanya.
b. Sedangkan rukun wakaf menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 ada 6, empat yang sudah
diterangkan diatas kemudian ditambah lagi 2 yaitu:
1) Peruntukan harta benda wakaf. dan
2) Jangka waktu wakaf
5. Syarat Wakaf
a. Syarat Wakif menurut Hukum Islam adalah: merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak berada di
bawah pengampuan. Sedangkan syarat menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 adalah: dewasa,
barakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf. Syarat
tersebut adalah bagi wakif yang bersifat perorangan tapi wakif juga bisa berupa organisasi dan
badan badan hukum. Jika wakif berupa organisasi UU menyerahkan persyaratan wakif kepada
anggaran dasar organisasi yang besangkutan tapi jika wakif berupa badan hukum UU
menyerahkan persyaratan wakif kepada ketentuan badan hukum.
b. Syarat Maukuf bih (Benda yang diwakafkan): Harus mempunyai nilai/berguna, benda tetap atau
benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan, benda yang diwakafkan harus diketahui
ketika diakadkan, benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.
Sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan
ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan dikuasai
wakif secara sah. Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif.
c. Syarat Maukuf Alaih (tujuan wakaf) adalah dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan menurut Syari’at Islam.
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 22, bahwa tujuan wakaf adalah:
1) Sarana ibadah dan kegiatan ibadah;
2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat.
5) Kemajauan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
d. Syarat Sighat akad adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk
menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan
salah satu bentuk tasharruf/tabarru” maka sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja
meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci
sebagaimana dalam fiqih. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa: “Wakaf sah apabila
dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap
syari’at Islam untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun
wakaf ini.
6. Alih Fungsi harta wakaf
Pengalihan harta wakaf berarti menjual atau menukar. Mengenai hal ini juga telah menjadi
perdebatan para ulama fuqaha. Perbedaan tersebut berangkat dari adanya hadits qauly yang
disampaikan oleh rasulullah ketika awal disyariatkannya lembaga wakaf. Rasulullah bersabda: “
Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan, dan tidak pula dihibahkan”.
Dalam memahami hadits tersebut secara garis besar terdapat dua kelompok pendapat.
Pertama, yang mamahmi secara harfiyah. Menurut pendapat ini wakaf tidak boleh dipejual belikan atau
ditukarkan atau diubah. Konsekuensinya, menurut pendapat ini masjid atau peralatan masjid
sebagai wakaf meskipun sudah tidak dapat digunakan, tidak boleh dijual atau ditukarkan.
Menjual atau menukarkan harta wakaf berarti memutuskan harta wakaf. Si wakif hanya
mendapat aliran pahala wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari benda lain
tukarannya.Yang berpendapat seperti ini antara lain sebagian pengikut Imam malik dan sebagian
pengikut Imam Syafi’i.
Kedua, yang memahami secara substansial. Menurut pendapat ini larangan menjual harta wakaf dalam
hadits itu hanyalah bagi harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan suatu kebutuhan. Adapun
harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan lagi boleh dijual dan uangnya
dibelikan lagi penggantinya. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Adapun menukar harta wakaf untuk diwakafkan juga, selain wakaf masjid, menurut segolongan
pengikut Imam Ahmad diperbolehkan. Sedangkan untuk wakaf masjid yang masih dapat
dipergunakan menurut riwayat Imam Ahmad tersebut terdapat dua pendapat, yaitu ada yang
membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Ibnu Taimiyah memilih pendapat yang
membolehkan.
Pada dasarnya wakaf adalah abadi dan untuk kesejahteraan. Pada prinsipnya, Wakaf tidak
boleh diwariskan, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan. Menurut Imam Syafi’i, harta
wakaf selamanya tidak boleh ditukarkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta benda
wakaf dapat ditukar jika harta wakaf tersebut sudah tidak dapat dikelola sesuai peruntukan
kecuali dengan ditukar atau karena kemaslahatan umum dan ibadah.
Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, Pasal 40 bahwa
harta benda wakaf tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan
ditukar. Pasal 41 menjelaskan perubahan status wakaf atau penukaran harta wakaf dapat
dilakukan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum
sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang
Nomor 41 tentang wakaf bahwa harta benda wakaf tidak dapat ditukarkan kecuali karena alasan
rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar
wakaf, atau pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
Harta benda wakaf yang telah dirubah statusnya wajib ditukar dengan dengan harta benda yang
bermanfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Penukaran dapat dilakukan oleh Menteri Agama RI setelah mendapat rekomendasi dari
pemerintah daerah kabupate/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama Indonesia
kabupaten/kota, kontor Departemen Agama Kabupaten/kota, dan Nazhir tanah wakaf yang
bersangkutan.
Dalam kasus pengalihan tempat asrama mahasiswa Sunan Giri Rawamangun tidak
menyalahi aturan hukum Islam dan undang-undang perwakafan di Indonesia terbukti disana
hanya mengganti bentuk dan substansi harta wakaf ke bentuk yang baru, karena bentuk dan
substansi yang lama tetap masih status harta wakaf hanya saja tujuan dan fungsinya dirubah
supaya lebih bermanfaat dan berguna dan lebih memberikan pahala bagi wakif dan pengelolanya
yang semula fungsinya untuk tempat tinggal dirubah ke fungsi tempat pendidikan yang lebih
bermanfaat.
Tempat asrama mahasiswa Sunan Giri Rawamangun yang lama masih tetap bangunannya
dan tetap dipergunakan dengan lebih bermanfaat dan tidak dijual atau ditukar yang tidak
diperbolehkan oleh hukum Islam dan undang-undang perwakafan nomor 41 tahun 2004, Pasal 40
dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan undang-undang Nomor 41
yang sudah diterangkan diatas hanya pengurus atau pengelola membangunkan tempat yang baru
yang dipergunakan sebagai asrama atau tempat tinggal sebagai fungsi harta wakaf yang lama.
Dan juga asrama mahasiswa Sunan Giri Rawamangun adalah harta wakaf yang berupa bangunan
tempat tinggal bukan bangungan masjid, mushola atau harta wakaf yang menjadi jaminan,
disita, dihibahkan, diwariskan, hanya perubahan fungsi yang digunakan untuk kepentingan
umum dan agama serta tidak bertentangan dengan syariah.

Anda mungkin juga menyukai