Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AKAD TABARRU’

DANA WAKAF TUNAI UNTUK PEMBANGUNAN


INFRASTRUKTUR
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Akad Tabarru’

Disusun Oleh:

Disusun Oleh:
Jusriani
Nauratun Nahdhah
Mujahidah Nur Ramadhani
Misnawati
Haerunnisa
Anisa Fitri Ayu W.

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wakaf yang dikenal saat ini adalah suatu bentuk muamalah Maliyah (harta benda)
yang sangat lama dan sudah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu kala. Hal ini tidak lain
karena Allah SWT menciptakan manusia untuk mencintai kebaikan dan melakukannya sejak
ia dilahirkan hingga hidup di tengah-tengah masyarakat, Sebagaimana yang ada di dalam
Q.S. Al- Hajj ayat 77.
۩ َ‫وا ۡٱلخ َۡي َر لَ َعلَّ ُكمۡ تُ ۡفلِحُون‬
ْ ُ‫ُوا َربَّ ُكمۡ َو ۡٱف َعل‬
ْ ‫ٱعبُد‬ ْ ۤ ‫ٱس ُجد‬
ۡ ‫ُوا َو‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا ۡٱر َكع‬
ۡ ‫ُوا َو‬
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembalah Tuhanmu, dan
berbuatlah kebajikan, agar kamu mendapatkan kemenangan.” ( Al-Hajj: 77)
Dalil ini bersifat umum yang mana menurut para ulama di jadikan landasan adanya syarat
waqaf.
Salah satu isu yang menarik dan sempat terjadi “trending topic” di media
elektronik dan media sosial adalah seputar dana wakaf untuk pembangunan, tarik ulur antara
yang pro dan kontra. Namun sebelum masuk ke ujung pro dan kontra, perlu diketahui
definisi, dasar hukum dan unsur-unsur dari wakaf terlebih dahulu. Jika wakaf dimanfaatkan
selamanya maka merujuk pada istilah wakaf permanen, sedangkan jika wakaf dimanfaatkan
selama jangka waktu tertentu maka merujuk pada istilah wakaf kontemporer.
Selain itu, wakaf juga merupakan amalan-amalan kegiatan keagamaan baik di
bidang keagrariaan maupun bidang sarana fisik yang dapat digunakan sebagai pengembangan
kehidupan keagamaan khususnya umat Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan
masyarakat baik spiritual maupun materil. Menuju masyarakat adil dan makmur.
Permasalahan yang sering menjadi ajang pembahasan yang dibahas dalam
mata kuliah tentang perwakafan ialah yang berkaitan dengan permasalahan aturan atau
regulasi wakaf di Indonesia, seperti pemanfaatan dana wakaf tunai untuk pembiayaan
pembangunan infrastruktur. Dan ini sesuai dengan perkembangan wakaf dan potensinya yang
begitu besar demi kemajuan dan pemberdayaan ekonomi umat Islam.1
Menyikapi dana wakaf untuk pembangunan, terdapat dua pandangan yang
mengemuk, dimana salah satunya adalah setuju, bahwa dana wakaf boleh dan sah-sah saja

1
Siska Iis Sulistiani, M.E.Sy. (Pembaruan Hukum Wakaf di Indonesia)
digunakan untuk pembangunan. Pandangan dipelopori oleh intelektual BWI, BI, dan
Pemerintah dalam hal ini diwakilkan Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan.
Pandangan ini berargumen bahwa tidak terdapat dalil yang secara tegas melarang
penggunaan dana wakaf untuk pembangunan.
Dilema di tengah masyarakat mengenai pro kontra penggunaan dana wakaf tunai
untuk pembangunan infrastruktur karena selama ini karena banyak yang beranggapan bahwa
wakaf biasanya berupa tanah, masjid, sekolah, dan lain-lain yang berwujud sehingga masih
banyak yang belum mengetahui tentang bentuk wakaf uang dan penggunaannya.
Secara khusus belum diatur mengenai penggunaan wakaf, khususnya wakaf tunai untuk
pembangunan infrastruktur seperti fasilitas umum dan fasilitas sosial. Contoh fasilitas umum
seperti halte, jalan tol, jembatan, dan infrastruktur lainnya. Sedangkan contoh dari fasilitas
sosial seperti sekolah, puskesmas, dan fasilitas lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
umum. Namun perlu dikaji apakah penggunaan dana wakaf tunai untuk Infrastruktur tidak
bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan, sehingga kami membahas
tentang “Dana Wakaf Tunai Untuk Pembangunan Infrastruktur”

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang dijadikan bahan
kajian ini adalah:
1. Bagaimana pendapat masyarakat terkait hukum pemanfaatan dana wakaf tunai untuk
pembangunan infrastruktur?
2. Apakah pemanfaatan wakaf tunai untuk infrastruktur telah sesuai dengan hukum Islam dan
hukum Positif ?

C. Telaah Pustaka

D. Landasan Teori
Hal ini yang menjadi sumber pembahasan dari Dana Wakaf Tunai Pembangunan
Infrastruktur adalah:
1. Konsep Wakaf Tunai
Kata wakaf atau waqf berasal dari bahasa Arab yang berasal dari akar kata wa-qa-
fa berarti menahan, berhenti, diam di tempat atau berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan
semakna dengan kata habasa-yahbisu-tahbisan maknanya terhalang untuk menggunakan.
Kata waqf dalam bahasa Arab mengandung makna, artinya: menahan, menahan harta untuk
diwakafkan, tidak dipindahmilikkan. (al-Mishri, tt.: 11/276) Menurut istilah meskipun
terdapat perbedaan penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya
benda dan memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya
(Abu Zahrah, 1971: 41)
Adapun menurut hukum positif bahwa wakaf merupakan suatu perbuatan hukum
seseorang, sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan atau memberikan
sebagian dari yang dimiliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.2
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesiai) wakaf didefinisikan sebagai
berikut;
a) Tanah negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapa pun dan digunakan untuk tujuan amal
b) Benda bergerak atau tidak bergerak yg disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai
pemberian yang ikhlas, tanah ini disediakan untuk madrasah atau masjid.
c) Hadiah atau pemberian yg bersifat suci.3
Jadi, Secara umum Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (orang Wakaf) untuk
memisahkan atau menyerahkan sebagian hartanya baik secara permanen atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya untuk tujuan keagamaan atau kesejahteraan
umum sesuai syariah. Apabila seseorang itu telah mewakafkan maka sesuatu yang
diwakafkan itu diperuntukkan bagi umum atau untuk keperluan yang berkaitan dengan
Agama misalnya, Pak Haji Umar, tanahnya untuk masjid.
Definisi atau pengertian terakhir berasal dari para fuqaha yang memiliki pendapat
masing-masing, diantaranya:
1. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, golongan Syafi’iyah dan golongan
Hanafiyah yang mendefinisikan wakaf “wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan
diambil manfaatnya, tetapi bukan untuk dirinya, dibelanjakan waqif untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT”.
2. Menurut Hanafiyah yang disadur oleh Wahbah al-Zuhaili “Wakaf adalah penghentian harta
tidak bergerak dari pemilikan waqif secara hukum dan penyedekahan dan manfaatnya untuk
kepentingan umum”.
3. Menurut golongan Malikiyah, wakaf mempunyai arti bahwa pemilik harta memberikan
manfaat harta yang dimiliki bagi mustahiq. Menurut golongan malikiyah ini harta yang
2
Siska Lis Sulistiani, M, Ag., M.E.Sy. kitab pembaharuan hukum wakaf di Indonesia.
3
KBBI (kamus besar Bahasa Indonesia)
digunakan berupa harta yang dapat disewakan kemudian dari sewa tersebut hasilnya
diwakafkan. Sehingga orang yang ingin berwakaf tidak harus menunggu yang bersangkutan
untuk memiliki benda yang diwakafkan hanya dengan cara cukup menyewa benda. Namun
kelemahan dari pendapat ini akan menyebabkan lemahnya lembaga wakaf dan tidak sesuai
dengan pendapat jumhur ulama yang lain yang menyatakan bahwa benda yang diwakafkan
itu haruslah benda yang tetap zatnya dan juga dapat dimanfaatkan secara terus menerus
(Hazami 2016)
2. Dasar Hukum Wakaf Tunai
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Qur’an yang menjelaskan konsep wakaf secara
jelas, karena wakaf termasuk golongan infaq, maka dasar yangdigunakan oleh para ulama
dalam menjelaskan konsep wakaf berdasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dengan
infaq. Diantaranya terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 267:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Kemudian terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 261:
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui”.
Serta pada Surat Ali Imran ayat 92:
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
Menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

5. Tujuan Wakaf
Menurut madzhab yang empat sepakat mengenai tujuan wakaf adalah untuk
ibadah. Menurut Imam Hanafi, bahwa orang yang mewakafkan disyaratkan harus beragama
Islam, beribadah menurut syari’at-Nya harus dilakukan oleh orang beragama Islam dan
tujuannya mengenai hal-hal yang baik serta berguna, tidak mengenai hal-hal yang baik serta
berguna, tidak mengenai hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut madzhab Imam Hanafi,
bahwa perwaakafan orang yang bukan Islam tidak sah dan perwakafan yang dilarang oleh
agama seperti perjudian tidaklah sah, sebaliknya menurut Imam madzhab lainnya (Imam
Syafi’I, Maliki, dan Hambali) perwakafan oleh yang bukan Islam yang bertujuan membantu
kepentingan umum adalah sah. Para mujtahid atau para madzhab pada dasarnya memiliki
kesamaan dalam hal wakaf sebagai amal yang utama dan berguna untuk kepentingan umum,
diantaranya:
1.) wakaf untuk mesjid, wakaf yang telah diputuskan oleh hakim dan wakaf yang berbentuk
wasiat.
2.) Yang disedekahkan adalah hasil benda atau manfaat benda tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

Pro Dan Kontra Dana Wakaf Untuk Pembangunan Infrastruktur


1. Pandangan yang Pro
Menyikapi dana wakaf untuk pembangunan, terdapat dua pandangan yang
mengemuka, dimana salah satu satunya adalah setuju, bahwa dana wakaf boleh dan sah-sah
saja digunakan untuk pembangunan. Pandangan dipelopori oleh intelektual BWI, BI, dan
Pemerintah dalam hal ini diwakili Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan.
Pandangan ini berargumen bahwa tidak terdapat dalil yang secara tegas melarang
penggunaan dana wakaf untuk pembangunan.
Wakaf tunai menurut pandangan ya pro ini, tidak terbatas pada wakaf permanen
saja, bahkan juga boleh untuk wakaf temporer sebagaimana telah diatur pula dalam standar
akuntansi wakaf (PSAK 112). Sehingga BWI menginisiasi terbitnya cash wakaf link sukuk
(CWLS) sebagai salah satu instrument wakaf yang bersifat temporer. Dalam CWLS ini
terdapat beberapa pihak diantaranya: wakif, nazhir, dan Lembaga Keuangan Syariah
Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU). LKS-PWU diantaranya adalah Bank Muamalat
Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, Bank BTN Syariah dan
lainnya.
Selain itu, pandangan yang setuju juga menguatkan karena adanya jaminan jika
investasi tersebut mengalami kerugian. Dalam hal ini, pemerintah yang menjamin kerugian
tersebut sehingga tugas nazhir untuk menjaga aset wakaf tidak berkurang dan rusak adalah
tercapai. Sebagai penguat juga, dalam instrument wakaf CWLS ini menyediakan kupon
sebesar 5,5% per tahun yang akan diterima atau diperoleh nazhir dari LKS-PWU serta dapat
dialokasikan kepada mauquf alaih sesuai peruntukannya.

2. Pandangan yang Kontra


Pandangan yang berseberangan dipelopori oleh ulama yang ada di Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan tentu saja para cendikiawan muslim yang kritis terhadap kebijakan
pemerintah. Pendapat ini berargumen dengan isi Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi: “Fakir-
miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.” Tugas negara adalah
memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar, sehingga bila dana wakaf digunakan untuk
membiayai pengeluaran pembangunan semacam jalan tol dan proyek jangka panjang lainnya,
maka tentu saja tugas negara menjadi terbengkalai dalam mengurus fakir miskin dan anak-
anak terlantar.
Selain itu, yang lebih mendesak dari tugas BWI adalah menyelesaikan persoalan
banyak tanah dan aset wakaf yang belum bersertifikat. Tercatat, tanah wakaf di Indonesia
yang belum bersertifikat sebesar 40% baik tanah wakaf yang lama melalui proses yang turun
menurun maupun tanah wakaf yang baru. Dengan fakta ini, BWI seharusnya melakukan
program percepatan sertifikasi tanah wakaf dalam rangka mengamankan aset wakaf tersebut,
dibandingkan dengan program wakaf tunai semacam CWLS.
Pendapat kedua ini hakikatnya juga mengakui bahwa tidak ada yang salah atau
dilanggar dari penerapan wakaf tunai temporer ini. Hanya saja, perlu kehati-hatian dalam
penerapannya agar aset wakaf tidak hilang karena menjaga aset wakaf merupakan kewajiban
dan tanggung jawab dari nazhir. Tugas nazhir yang pokok adalah mengelola dan
mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya, serta
mengawasi dan melindungi harta wakaf. Sesuai dengan tugas itu, jika aset wakaf
diinvestasikan atau digunakan untuk dana pembangunan maka aset wakaf bisa hilang atau
setidaknya mengalami kerugian.

Analisis Hukum Penggunaan Dana Wakaf Tunai untuk Pembangunan Infrastruktur


1. Pendapat Ulama
Hukum wakaf uang telah menjadi perhatian para ahli hukum Islam. Beberapa
sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut
madhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang. Imam al-
Bukhari34, mengungkapkan bahwa Imam az-Zuhri (w.124 H) berpendapat bahwa dinar boleh
diwakafkan. Caranya adalah dengan menjadikan dinar itu sebagai modal usaha (dagang),
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Wahbah az-Zuhaily juga
mengungkapkan bahwa Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang sebagai pengecualian, atas
dasar istihsan bi al-‘urfi, karena sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Mazhab Hanafi
memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat istiadat)
mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks)35.
Dasar argumentasi Mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Mas’ud, “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah
adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan
Allah pun buruk”.4
4
Dimuat dalam Musnad Ahmad, hadis Nomor 3600, bab Musnad Abdullah bin Mas‘ud, Juz 1..., h 379
Cara melakukan wakaf uang memurut Mazhab Hanafi ialah menjadikannya modal
usaha dengan mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan keuntungannya disedekahkan
kepada pihak wakaf. Pendapat ini didukung oleh Ibn Jibrin (//ibn-jebreen.com), salah satu
ulama modern, bahwa wakaf uang harus diberdayakan sehingga mampu memberikan
kemudahan dalam membantu orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung. Ibn
Abidin mengemukakan bahwa wakaf uang yang dikatakan merupakan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di
negeri lain, wakaf uang bukan merupakan kebiasaan. Karena itu, Ibn Abidin berpandangan
bahwa wakaf uang tidak boleh atau tidak sah.
Mazhab Syafi’i berpandangan bahwa wakaf uang tidak dibolehkan seperti yang
disampaikan Muhyiddin an-Nawawi dalam kitab alMajmu’nya. Menurutnya, Mazhab Syafi’i
tidak membolehkan wakaf uang karena dinardan dirham akan lenyap ketika dibayarkan
sehingga tidak ada lagi wujudnya.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak bolehnya wakaf uang
berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan masih
ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang
lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang,
sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf uang. Misalnya uang yang diwakafkan ini
dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan
dalam wujud saham di perusahaan yang kuat atau didepositokan di perbankan syariah, dan
keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf uang yang diinvestasikan dalam
wujud saham atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan
menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.
Selain ulama Mazhab Hanafi, ada sebagai ulama yang mengatakan bahwa Mazhab
Syafi’i juga membolehkan wakaf uang sebagaimana ditulis oleh al-Mawardi. Abu Tsaur
meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham.Komisi
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf uang40. Fatwa komisi fatwa
MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.41 Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa
wakaf uang merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau
badan hukum dalam bentuk uang tunai (cash). Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-
surat berharga. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan secara syar’i. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.5

2. Perspektif Hukum Positif di Indonesia


Wakaf uang bagi umat Islam tergolong baru. Hal ini bisa dicermati dengan lahirnya
fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang yang ditetapkan tanggal 11 Mei 2002.
Undang-Undang Tentang Wakaf sendiri juga baru disahkan oleh Presiden pada tanggal
27Oktober 2004. Undang-undang ini merupakan tonggak sejarah baru bagi pengelolaan
wakaf setelah sebelumnya wakaf diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi
Hukum Islam buku III.6 Secara terperinci, obyek wakaf yang menjadi induk dari wakaf uang
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya
dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15).
Harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda
tidak bergerak meliputi:
(1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
yang sudah maupun yang belum terdaftar;
(2) Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
(3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
(4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
(5) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,
meliputi:
a) Uang;
b) Logam mulia
c) Surat berharga
d) Kendaraan
e) Ha katas kekayaan intelektual

5
Sudirman Hasan Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia, de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2
Nomor 2, Desember 2010, hlm. 162-177
6
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI-Press,1996)..., h. 98-101.
f) Hak sewa;
g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (pasal 16).
Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fiqh wakaf Indonesia telah mengadopsi
semangat fiqh klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perspektif fiqh
klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang-
barang yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya
pernah berlaku di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004,
sebagaimana tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang tentang Wakaf ini
memberikan keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga
tidak perlu lagi menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan
sebagian rezekinya untuk wakaf uang atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan
secara berjangka. Ini merupakan terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi
peningkatan kesejahteraan umat Islam.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Sudirman. (2010). Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Syariah
dan Hukum, 2 (2)
Faisal DE LEGA LATA: Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 2, Juli – Desember 2020,
193-207

Anda mungkin juga menyukai