Anda di halaman 1dari 318

PERAN KELUARGA DALAM KETAHANAN DAN

KONSEPSI REVOLUSI MENTAL PERSPEKTIF ALQURAN

Penulis : Ahmad Hamdani, dkk.


Editor : Ahmad Tholabi Kharlie
Layout : Rizal Rabas

Cetakan I, Maret 2019

ISBN: 978-979-9152-54-1

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang menggandakan isi buku ini dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
All rights reserved

Diterbitkan oleh:
LPTQ Provinsi Banten bekerjasama dengan Gaung Persada (GP) Press
Kompleks Masjid Raya Al-Bantani
Jl. Syaikh Nawawi KP3B Curug Kota Serang Banten

Bekerjasama dengan:
Gaung Persada
Ciputat Mega Mall Blok C/11
Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat Tangerang Selatan
Telp. 021 747 075 60, Hp. 0878 86200 900
Email: gppressjkt@yahoo.com
Kata Pengantar

ALHAMDULILLAH, puji syukur kehadirat Allah S.w.t., Tuhan pemberi kasih


dan kemudahan, serta salawat dan salam untuk Muhammad saw. yang telah
menggulung tikar jahiliah menjadi bentangan permadani peradaban, akhirnya
buku Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif
Alquran dapat diselesaikan dengan baik.
Buku ini merupakan kumpulan makalah finalis Musabaqah Makalah
Al-Qur’an (MMQ) pada perhelatan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ)
XV tingkat Provinsi Banten tahun 2018. Karya ini merupakan salah satu
upaya untuk menjaga khazanah ilmiah anak-anak muda, penggiat kajian
ilmiah Al-Qur’an secara tematik. Selain itu, kehadiran buku ini bisa dijadikan
contoh dan stimulan bagi pembaca yang ingin mempelajari MMQ secara
lebih mendalam.
Ungkapan terimakasih disampaikan kepada Pengurus LPTQ Banten, Panitia
dan Dewan Hakim MTQ XXV tingkat Provinsi Banten, seluruh penulis, dan
semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi, sehingga buku ini
dapat dihadirkan kepada masyarakat luas. Semoga kehadiran buku ini memberi
gagasan-gagasan baru bagi pemerintah dan para pemangku kebijakan.
Sebagai sebuah karya yang berproses, Kami menyampaikan permohonan

iii
iv Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

maaf yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak apabila ditemukan kesalahan


dan kekeliruan, baik teknis maupun substansi dalam buku ini. Semoga Allah
S.w.t. meridai ikhtiar dan semangat kita semua. Amin. []
Daftar Isi

KATA PENGANTAR................................................................................................... III


DAFTAR ISI...................................................................................................................V
PEMBERDAYAAN KELUARGA MENUJU BANTEN SEJAHTERA...........................1
OPTIMALISASI PERAN KELUARGA DALAM MENAHAN GEMPURAN
PORNOGRAFI PADA ANAK.............................................................................................. 13
TANTANGAN DAN SOLUSI PEMBINAAN KELUARGA ZAMAN NOW (STUDI
PENGUATAN KELUARGA UNTUK MENOPANG KETAHANAN NASIONAL)...... 23
ROLE MODEL ORANG TUA DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN
NASIONAL KELUARGA...................................................................................................... 33
MENGGIATKAN PENDIDIKAN MASKULIN DAN FEMININ DALAM
KELUARGA MENUJU PROVINSI BANTEN BEBAS LGBT.......................................... 45
PERAN IBU TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK (TINJAUAN
FUNGSI AFEKSI KELUARGA DALAM UPAYA MENOPANG KETAHANAN
NASIONAL)........................................................................................................................... 55
ISLAMIC PARENTING ALA NABI YA’QUB AS SEBAGAI STRATEGI DALAM
MEMBENTUK GENERASI KUAT.............................................................................69
PERAN PEREMPUAN SEBAGAI PONDASI UTAMA PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF ALQURAN............................................................................................83
QUR’ANIC PARENTING: SOLUSI TEPAT DALAM MENGIKIS KECANDUAN
GAWAI.................................................................................................................................... 93
HUKUM KELUARGA ISLAM DALAM PERSPEKTIF ALQURAN SEBAGAI BASIS
UNTUK MENGOKOHKAN KETAHANAN NASIONAL......................................105
BAITI JANNATI SEBAGAI PENANGKAL RADIKALISME ANAK (UPAYA
KELUARGA DALAM MENOPANG KETAHANAN NASIONAL).........................115

v
vi Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

KELUARGA ISLAMI SEBAGAI PILAR DALAM MEMBANGUN


KETAHANAN NASIONAL.......................................................................................125
BINGKAI KELUARGA QUR’ANI DALAM UPAYA KETAHANAN NASIONAL....... 135
PENGUATAN KELUARGA BERBASIS PENDIDIKAN ISLAM: PILAR UTAMA
DALAM MENOPANG KETAHANAN NASIONAL................................................143
PELANGI CINTA DI LANGIT LGBT (MENCEGAH LGBT MELALUI
PENDIDIKAN KARAKTER MORAL KELUARGA DI BANTEN)..........................155
REVOLUSI MENTAL SEBAGAI UPAYA UNTUK MENATA KEMBALI
MORALITAS BANGSA..............................................................................................167
REVOLUSI MENTAL BERWAWASAN EKOLOGIS: UPAYA MENGATASI
PERMASALAHAN LINGKUNGAN.........................................................................177
MENJAGA LISAN: SEBUAH UPAYA MEMPERKUKUH REVOLUSI MENTAL
DI ERA GLOBAL.......................................................................................................189
MENJADIKAN ALQURAN SEBAGAI PILAR VISI MISI PROVINSI BANTEN
MELALUI EDUKASI ISLAMI...................................................................................199
REVOLUSI MENTAL MASYARAKAT BANTEN (TRANSFORMASI DARI
MENTAL MUSTAHIQ MENJADI MENTAL MUZAKKI)......................................209
USTAD GAUL: REKONSTRUKSI REVOLUSI MENTAL DALAM MEMBENTUK
GENERASI QUR’ANI................................................................................................219
REAKTUALISASI UZLAH DALAM UPAYA MEWUJUDKAN REVOLUSI
MENTAL KAUM BURUH PERKOTAAN DI BANTEN..........................................231
REVOLUSI MENTAL BASE ON ISLAM RAMAH: UPAYA MENCIPTAKAN
KEHIDUPAN BERBANGSA YANG DAMAI...........................................................245
PESANTREN BUDAYA NUSANTARA: IKHTIAR MEMBUMIKAN REVOLUSI
MENTAL PERSPEKTIF ALQURAN................................................................................. 255
MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN SEBAGAI
UPAYA MENCAPAI REVOLUSI MENTAL..............................................................267
SPIRIT EKOLOGI QUR’ANI (MEMATRI MENTAL EKOLOGI DI TENGAH
GEMPURAN MODERNISASI).................................................................................279
KOMITMEN DAN INTEGRITAS SELURUH LAPISAN MASYARAKAT
KOTA TANGERANG DALAM MEWUJUDKAN KOTA TANGERANG YANG
BERSIH INDAH DAN AMAN (STUDI KASUS REVOLUSI MENTAL DI KOTA
TANGERANG).................................................................................................................... 289
PENDIDIKAN TAKWA DI DALAM AL-QUR’AN..................................................299
Pemberdayaan Keluarga
Menuju Banten Sejahtera
Penulis: Ahmad Hamdani

Pendahuluan
Kemiskinan menjadi atribut memilukan bagi negeri ini. Keberadaannya seolah
meneguhkan ketidakmampuan mencapai sejahtera, sebuah cita-cita luhur yang
termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan menurut Ishartono
(2016: 162), kemiskinan membawa dampak pada pelbagai permasalahan,
termasuk menggangu stabilitas ketahanan nasional. Oleh karena itu, setiap
pemimpin di negeri ini selalu menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai
program prioritas. Begitupun dengan Presiden Joko Widodo yang memasukkan
pengentasan kemiskinan ke dalam salah satu Nawa Citanya. Preseden ini
menghadirkan realita, bahwa pembangunan yang dilakukan selama ini belum
mampu meredam peningkatan jumlah penduduk miskin.
Kondisi tersebut juga terekam pada wajah Banten. Kemiskinan seolah
menjadi masalah yang alot dan tidak ada ujungnya. Berdasarkan data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten (2015: 3; 2016: 12; 2017: 3),
angka kemiskinan di Banten masih cukup tinggi dan cenderung fluktuatif. Hal
ini semakin dramatis karena pada tahun 2017, angka pengangguran di Banten
mencapai 9,55%. Kantong-kantong kemiskinan tersebar di 130 desa/kelurahan
dan sebanyak 27 desa berada dalam zona merah kemiskinan (www.finansial.

1
2 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

bisnis.com). Padahal, secara geografis Banten memilki peluang besar untuk


memajukan kesejahteraan rakyatnya.
Pelbagai program pengentasan kemiskinan yang ada, hingga saat ini belum
mampu memangkas kemiskinan di Banten. Selain itu, pengentasan kemiskinan
yang bersifat parsial dan urban sentris, serta masih mengakarnya pemahaman
kemiskinan berdasarkan realita ekonomi semakin mem­per­buruk keadaan.
Bukan saja melahirkan rancangan kebijakan yang lemah, salah sasaran, dan
menciptakan benih-benih pragmentasi sosial, kondisi ini juga mengancam tidak
adanya pengakuan terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin. Hal ini jelas
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 J tentang Hak Asasi
Manusia (Tim Visi Yutistia, 2014: 12), dan berseberangan dengan konsep yang
dibawa Alquran, seperti dalam Q.s. Ali Imran [3]: 104.
Menurut Ratna, untuk mengentasakan kemiskinan, peningkatan kualitas
manusia sebagai sumberdaya pembangunan diperlukan agar dapat memperbaiki
derajat kesejahteraan. Sehingga perlu diikuti pemberdayaan keluarga yang
dilaksanakan secar intensif (2013: 22). Hal ini juga senapas dengan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemberdayaan yang
Berkeadilan, dimana berisi program pembangunan yang pro rakyat dengan
prioritas penanggulangan kemiskinan berbasis keluarga (2010: 3). Pemberdayaan
keluarga ini sangan penting, karena keluarga adalah unit sosial terkecil dalam
masyarakat. Ketika keluagra kuat maka ketahanan nasional juga akan menguat.
Tulisan sederhana ini akan mencoba memberikan interpretasi dalam
menjabarkan problematika ketahanan nasional, dengan mengajukan beberapa
pertanyaan, yaitu: Bagaimanakah konsepsi ketahanan nasional dan realita
kemiskinan di Banten? Bagaimanakah pandangan Alquran tentang pemberdayaan
keluarga? Selanjutnya, bagaimanakah mewujudkan Banten sejahtera? Ketiga
pertanyaan ini akan memberikan jawaban atas pelbagai permasalahan ketahanan
nasional dan kesejahteraan di Banten, dengan harapan akan ada langkah konkret
dalam pengentasan kemiskinan untuk menopang ketahanan nasional yang
dilandaskan pada pemahaman Alquran. Semoga hadirnya tulisan ini bisa menjadi
acuan para pemangku kebijakan untuk membangun Banten lebih sejahtera.

Konsepsi Ketahanan Nasional dan Realita Kemiskinan di Banten


Ketahanan nasional merupakan suatu ajaran yang diharapkan dapat diyakini
kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia. Selain itu, ketahanan nasional juga
merupakan pedoman yang perlu diimplementasikan secara ber­kelanjutan dalam
rangka membina kondisi kehidupan nasional yang ingin diwujudkan. Sehingga,
ketahanan nasional mutlak dijaga dan ditumbuhkembangkan secara simultan
Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 3

sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Menurut


Prabowo:
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap
aspek kehidupan nasional yang terintegrasi. Berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan
mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan (TAHG) dari dalam
maupun luar (2009: 16-17).
Oleh karena itu, keterlibatan setiap orang dalam upaya ketahanan nasional
diperlukan. Sebab, ketahanan nasional adalah konsep bangsa yang harus
dibangun oleh setiap orang. Sehingga, harus ada yang senantiasa mengajak dan
menyerukan tentang ketahanan nasional sebagai suatu yang makruf. Mengenai
hal ini, Alquran telah memberi pesan untuk senantiasa menyerukan yang makruf
dan mencegah yang mungkar. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ ﮢ ﮣ‬
‫ﮤﮥ‬
Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung (Q.s. Ali Imran [3]: 104) (Mushaf Al-Bantani:
2014: 63).
Makna ayat di atas dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa hendak­
nya ada segolongan orang yang bertugas untuk mengemban urusan tersebut,
sekalipun urusan tersebut memang diwajibkan pula atas setiap individu (Ibnu
Katsir, 2010: 55-56). Secara eksplisit ayat di atas juga memberikan semangat
agar ketahanan nasional dibangun melalui pasrtisipasi masyarakat.
Membahas ketahanan nasional adalah tentang konsep bangsa. Sebagaimana
Bambang (2006: 6) mendefinisikan, “konsepsi ketahanan nasional sebagai sarana
untuk mewujudkan kemampuan dan kekuatan nasional guna menghadapi
segala tantangan, untuk mecapai tujuan bersama sebagai bangsa dan negara”.
Selain berfungsi sebagai landasan konsepsional strategis bangsa, yang didasari
oleh Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
landasan konstitusional, konsepsi ketahanan nasional juga berfungsi sebagai pola
dasar pembangunan nasional (Prabowo, 2009: 17).
Namun sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak luput dari
persoalan ketahanan nasional, terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan.
Padahal menurt Agung (2014: 22), kesejahteraan telah menjadi bagian penting
dari sebuah negara. Bahkan, berdirinya Indonesia adalah untuk mewujudkan
kesejahteran masyarakatnya. Menurut Badawi, “kesejahteraan (welfare) adalah
kondisi yang menghendaki terpenuhinya kebutuhan dasar bagi individu atau
4 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

kelompok baik berupa kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan” (1982:


445). Salah satu isu sentral ketika membahas kesejahteraan adalah tentang
kemiskinan. Kemiskinan dianggap sebagai masalah penting yang memiliki
pengaruh besar terhadap kehidupan individu dan sosial, termasuk mengganggu
stabilitas ketahanan nasional (Mahmud, 2013: 1).
Banten memiliki jumlah penduduk sebanyak 12,2 juta orang dan menempati
urutan kelima sebagai provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia (BPS,
2016: 4). Akan tetapi, diusianya yang sudah 17 tahun masih menyisakan
kompleksitas permasalahan kemiskinan. Data BPS mengungkapkan, jumlah
penduduk miskin di Banten mencapai 699,83 ribu juta jiwa atau 5,59% dari
total penduduk (BPS, 2017: 3). Bahkan kantong-kantong kemiskinan tersebar di
130 desa/kelurahan dan sebanyak 28 desa berada dalam zona merah kemiskinan
(www.finansial.bisnis.com). Labih jauh, konsistensi pengentasan kemiskinan
di Banten juga masih perlu dipertanyakan. Sebagaimana data dari BPS (2016:
3; 2017: 12), bahwa angka penduduk miskin di Banten cenderung fluktuatif,
yaitu 5,89% tahun 2013, 5,51% tahun 2014, 5,90% tahun 2015, 5,42% tahun
2016, dan 5,59% tahun 2017.
Mencuatnya kasus kriminalitas biasanya dilakukan oleh orang yang terjebak
dalam kemiskinan. Misalnya dalam kasus warga Lebak yang mencuri motor karena
terlilit hutang (www.bantenraya.com). Persoalan penyalagunaan obat terlarang
dan timbulnya ketegangan sosial dalam masyarakat juga sering bersumber
dari kemiskinan. Hal ini ditengarai terjadi akibat disparitas pendapatan yang
lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Pada bidang kesehatan,
masyarakat miskin adalah kelompok marjinal dengan produktivitas rendah dan
memiliki kerentanan tinggi terhadap degradasi keshatan. Kasus gizi buruk yang
tersebar dari Lebak sampai Tangerang Selatan (www.arrahmah.com), kelaparan
dan malaria yang berujung pada kematian, adalah beberapa permasalahan yang
menghiasi wajah Banten bersamaan dengan terjadinya kemiskinan. Bahkan
Alquran mencatat sejarah mengerikan tentang pembunuhan anak karena takut
miskin. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ‬
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin… (Q.s. Al-Isra
[17]: 31) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 285).
Sebanarnya, banyak upaya yang dilakukan Pemerintah Banten untuk
menekan angka kemiskinan sejak provinsi ini berdiri. Seperti, Bantuan Langsung
Tunai (BLT), Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS), Program Kesejahteraan Sosial
KUBE (Prokesos KUBE), Bantuan Sosial Fakir Miskin (BSFK), Program Beras
Miskin (Raskin), dan Kredit Usaha Tani (KUT). Bahakan kemiskinan termasuk
Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 5

dalam program prioritas pembangunan di Banten. Akan tetapi, hingga hari ini
tampaknya kemiskinan masih saja menjadi masalah serius bagi Banten. Salah satu
preseden buruk mengenai gagalnya pemerintah dalam memenuhi hak mendasar
masyarakatnya ialah banyaknya pekerja imigran di Banten, yakni Tenaga Kerja
Wanita (TKW) dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Menurut Istiana (2015: 146),
kondisi ini mengindikasikan bahwa secara umum program-program tersebut
belum mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada.
Peliknya masalah kemiskinann di Banten ini, menjadi penghalang dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya, sehingga memberikan dampak pada
ketahanan nasional. Menurut Dame (2010: 65), dewasa ini pemecahan masalah
kemiskinan tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui pelbagai
kebijakan sektoral yang terpusat, seragam, dan berjanga pendek. Senada dengan
ungkapan Ratna (2013: 22), bahwa dalam upaya pengentasan kemiskinan,
diperlukan upaya peningkatan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan
untuk memberbaiki derajat kesejahteraan. Agar upaya itu berhasil, perlu diikuti
pengembangan gerakan pemberdayaan keluarga yang dilaksanakan secara intensif.
Pemberdayaan keluarga juga senapas dengan Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pemberdayaan yang Berkeadilan, dimana
berisi program pembangunan yang pro rakyat dengan prioritas penanggulangan
kemiskinan berbasis keluarga (2010: 3). Pemberdayaan keluarga ini dilakukan
mengingat keluarga merupakan lembaga kecil dalam lingkungan masyarakat
dan keluarga bermutu serta kuat, akan menjadi wahana pembangunan bangsa
yang sangat efektif (Ratna, 2012: 23). Sehingga pada akhirnya, setiap keluarga
dapat memainkan perannya dalam mewujudkan kesejahteraan yang sejalan
dengan tujuan ketahanan nasional.

Pemberdayaan Keluarga Perspektif Alquran


Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata power yang
berarti kekuatan atau kekuasaan. Oleh karena itu, ide utama pemberdayaan
selalu bersentuhan dengan konsep kekuasaan. Menurut Sulistiyani (2004: 7),
pemberdayaan dapat dimaknai sebagai proses untuk memperoleh atau memberi
daya, kekuatan, dan kemampuan. Sejalan dengan ungkapan ini, Edi Suharto (2009:
59-60), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses dan tujuan. Sebagai
proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk
kepada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu
masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan, dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuahan hidupnya.
6 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Namun, pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah,
swasta, ataupun pihak-pihak lainnya, lebih berfokus pada program charity
(sumbangan, bantuan, dan amal) atau hanya how to give something. Seperti,
Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan saran dan prasarana, serta
bantuan lahan dan pemukiman. Dampaknya, pemberdyaan dengan semangat
how to empowering jarang tersentuh bahkan dinomorduakan. Padahal, salah
satu pola pemberdayaan keluarga miskin yang dinilai mampu memberikan
kontribusi dalam jangka panjang, adalah dengan pemberdayaan keluarga.
Melalui pemberdayaan keluarga ini, masyarakat bertindak sebagai pelaku utama
dalam pemberdayaan. Menurut Ibrahim:
Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pem­bangunan
di Indonesia menunjukan perubahan paradigma pem­bangunan dari pendekatan
pertumbuhan (growth approach) kepada pendekatan kemandirian (self-reliance
approach). Ada lima paradigma yang mendasari proses pelaksanaan pembangunan
di suatu negara, yaitu pertumbuhan, welfare state, neo ekonomi, structuralize dan
humanizing. Namun, kelima paradigm ini hanya bergerak pada tiga dimensi, yaitu:
pertumbuhan, kesejahteraan, dan people centered. Salah satu paradigma pembangunan
yang hingga saat ini masih popular sebagai acuan pembangunan di sebagian besar
negara-negar berkembang, temasuk Indonesia adalah paradigma “people centered
development”. (Ibrahim, 2014: 486).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan keluarga
menempatkan manusia sebagi subjek pembangunan yang menekankan pada
pentingnya arti pemberdayaan itu sendiri. Allah S.w.t. telah memberikan isyarat
akan hal ini, dimana ditegaskan bahwa setiap orang harus bahu-membahu dalam
kebaikan, membagi rahmat-Nya dengan memberdayakan sesama. Perbedaan
taraf hidup manusia adalah sebuah rahmat sekaligus pengingat bagi kelompok
manusia yang lebih berdaya, untuk saling membantu dengan kelompok yang
kurang mampu. Pemahaman seperti inilah yang harus ditanamkan, sehingga
sikap simpati dan empati harus dipupuk sejak awal. Sebagaimana Allah S.w.t.
berfirman:

‫ﯙ ﯚ ﯛ ﯜﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤﯥ ﯦ ﯧ‬
‫ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ‬
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan
penghidupan ,ereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberap derajat, agar sebagian mereka dapat
memanfataakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan (Q.s. Az-Zukhruf [43]: 32) (Mushaf Al-Bantani, 2014: 491).
Menurut Tafsir Al-Maraghi, ayat di atas menjelaskan bahwa dalam kehidupan
dunia ini, Allah S.w.t. telah melebihkan sebagian hamba-hamba-Nya atas
Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 7

sebagian lainnya dalam soal kekayaan dan kefakiran, kekuatan dan kelemahan,
ilmu dan kebodohan, kemasyhuran dan tidaknya. Karena sekiranya Allah
S.w.t. samakan mereka dalam hal-hal tersebut, niscaya sebagian mereka takkan
dapat mempekerjakan sebagian lainnya (Al-Maraghi, 1993: 157). Penafisran ini
secara eksplisit memberikan ruang untuk melakukan pemberdayaan terhadap
kelompok yang dianggap perlu diberdayakan. Hal ini senada dengan Tafsir Al-
Munir, bahwa adanya perbedaan ini adalah kehendak Allah S.w.t., apabila Allah
S.w.t. menyamaratakan keadaan, maka akibatnya adalah terbengkalainya urusan
dunia dan rusaknya alam (Nawawi, 2016: 563).
Owin Jamsy (2004: 38), dalam bukunya Keadilan, Pemberdayaan dan
Penanggulangan Kemiskinan mengungkapkan, bahwa kerangka ber­fikir dalam
pemberdayaan setidaknya mengandung tiga tujuan penting, yaitu: Pertama,
menciptakan suasana atau iklim yang memungkin­kan potensi masyarakat
berkembang. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
atau kelompok yang akan diberdayakan. Ketiga, berupaya mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang, meciptakan keadilan dan kebersamaan antara
yang sudah maju dan yang belum berkembang.
Ketika pemberdayaan keluarga menekankan pada tiga hal tersebut, akan
menjadi strategi unggulan yang berdampak positif terhadap penurunan angka
kemiskinan. Akan tetapi diperlukan pengetahuan terlebih dahulu tentang
potensi atau kekuatan yang dapat membantu proses perubahan, agar lebih
cepat dan terarah. Sebab, tanpa adanya potensi dan kekuatan yang berasal
dari masyarakat itu sendiri, maka seseorang, organisasi, atau masyarakat, akan
sulit bergerak melakukan perubahan. Kekuatan pen­dorong ini harus ada dalam
keluarga dan masyarakat, atau bahkan diciptakan lebih dahulu pada awal
proses perubahan tersebut. Alquran sesungguhnya telah memberikan pesan,
bahwa manusia harus mampu menggali potensi yang dimiliki untuk mencapai
kesejahteraan. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﮫ ﮬﮭﮮﮯﮰﮱﯓ ﯔ ﯕ‬
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. (Q.s. Ali Imran [3]: 139)
(Mushaf Al-Bantani, 2014: 67).
Ayat di atas menunjukan bahwa Allah S.w.t. telah menciptakan manusia
dengan potensi besar yang bisa dioptimalkan untuk mencapai kesejahteraan.
Akan tetapi, adanya potensi atau kekuatan tersebut harus didukung dengan
usaha nyata; tidak bersikap lemah dan sedih hati. Disinilah urgensi bekerja
dan mengusahakan yang terbaik menemukan tempatnya. Semangat bekerja
untuk mencapai arti sejahtera ini harus tetap dijaga, agar konsep pemberdayaan
8 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

keluarga bisa berjalan dengan optimal. Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ‬
‫ﯬﯭﯮ ﯯﯰ‬
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga
Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembali­kan kepada (Allah)
Yang Mengehathui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (Q.s. At-Taubah [9]: 105). (Mushaf AL-Bantani, 2014: 203).
Menurut M. Quraish Shihab (2012: 237), ayat di atas memberikan pesan
bahwa manusia harus bekerja. “Bekerjalah kamu, demi karena Allah semata
dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun
untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat, yakni menilai dan memberi
ganjaran amal kamu itu, dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
dan menialinya juga”. Senada dengan ungkapan Al-Maraghi (2006: 165), ayat
di atas memberi pesan bahwa manusia dipetintahkan untuk bekerja, baik untuk
diri sendiri maupun masyarakat umum.
Provinsi Banten dengan luas daratan 8.800,83 km2 menyimpan kekayaan
dan keanekaragaman sumberdaya alam yang luar biasa. Selain itu, Banten
juga memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, sekitar 12.203.148 jiwa
penduduk dengan laju pertumbuhan 1,88% (DLHK, 2017: 16). Namun,
besarnya sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di Banten belum
mampu dimanfaatkan secara optimal. Akhirnya, sampai saat ini Banten masih
terjebak pada kompeksitas masalah kemiskinan yang kemudian bermuara
pada citra negatif, seperti provinsi kumuh dan tertinggal. Kiranya, Banten
harus mulai mencontoh perkembangan beberapa daerah di Indonesia yang
berhasil memberdayakan keluarga. Sebut saja Kota Malang, dengan semangat
pemberdayaan keluarganya, kini banyak Desa Wisata yang tumbuh dan turut
menekan angka kemiskinan di sana. Ada juga Kampung Batik dan Kampung
Pelangi di Semarang, Desa Sigentung Gunungkidul Yogyakarta, Desa Ponggok
Klaten, dan Desa Ubud Bali. Daerah-daerah tersebut berhasil mengolah potensi
menjadi lebih bernilai dengan pemberdayaan.
Tidak ada kata terlambat. Demikian kalimat motivasi yang terus menggema
hingga saat ini. Bagi Banten, sebuah provinsi yang memiliki semangat untuk
terus meningkatkan kesejateraan, kalimat motivasi ini harus menjadi pijakan.
Banten memiliki banyak daerah potensial untuk dikembangkan. Kebudayaan,
potensi alam, dan makanan khas Banten juga harus terus dipromosikan
dengan sentuhan kekinian, yang tetap melibatkan masyarakat setempat. Banten
memiliki Desa Cikolelet Kabupaten Serang yang potensinya bisa menyami Desa
Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 9

Wisata di Kota Malang. Ada Pantai Tanjung Lesung, Sawarna, dan Carita yang
tidak kalah eksotik dari Bali. Juga ada makanan khas Banten, seperti Jojorong,
Emping Melinjo, Balok Menes, Rengginang, Sate Bandeng, Rabeg, Opak, dan
Kaceprek yang bersumber dari kearifan lokal dengan bahan dasar stempat.
Sehingga bukan tidak mungkin, ketika keluarga mampu diberdayakan untuk
mengoptimalkan potensi yang ada, Banten bisa sama dengan daerah-daerah
tersebut di asat yang berhasil mengolah potensi menjadi prestasi.
Pemberdayaan keluarga di Banten harus memberikan dampak yang positif
bagi keluarga yang diberdayakan. Menurut Suharto (2010: 58), pemberdayaan
menunjukan pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan
lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan dalam pelbagai hal. Seperti: 1)
memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom)
dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan juga bebas
dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan; 2) me­manjangkan sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya
dan memperoleh barang-barang serta jasa yang mereka perlukan; dan 3)
berpartisipasi dalam proses pembangunan dalam keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang tepat untuk
mengoptimalkan pemberdayaan keluarga di Banten, agar kata sejahtera tidak
sekadar selogan tapi bisa menjadi sebuah kenyataan.

Menggagas Solusi Menuju Banten Sejahtera


Kesejahteraan adalah simbol kekuatan. Bagaimanapun kesejahteraan ini harus
terus diusahakan demi mewujudkan amanah konstitusi negara. Pemberdayaan
keluarga sebagai proses penggerak kesejahteraan memiliki posisi strategis dalam
mewujudkan ketahanan nasional. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan
pemberdayaan keluarga, setidaknya ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar
kesejahteraan di Banten bisa tercipta.
Pertama, melalui person blame approach dan system balme approach. Untuk person
blame approach, setiap orang harus memiliki kesadaran untuk mengusahakan yang
terbaik dalam hidupnya. Disinilah setiap orang dituntut untuk mengaplikasikan
semangat yang telah di bawa Alquran, seperti untuk keja keras dalam Q.s.
Alam Nasrah [94]: 7-8. Selanjutnya untuk system balme approach, harus mampu
meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas. Langkah yang bisa
dilakukan adalah dengan perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan
keterampilan usaha, teknologi, perluasan teknologi (networking) dan informasi pasar.
Kedua, Banten harus berani mengekspos potensi yang dimiliki. Seperti dengan
menginisasi Pengembangan Usaha/Kerja Keluarga (PUKK) yang berbasis kearifan
10 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

lokal dan potensi daerah. Program ini bisa diwujudkan dengan cara mendorong
pembentukan Desa Wisata dan ekonomi kerakyatan di Banten. Ketiga, melakukan
pelatihan dan pendampingan untuk program-program pemberdayaan keluarga,
sebelum bantuan atau modal pem­berdayaan diberikan. Sehingga tidak terjadi lagi
penyalahgunaan modal oleh kelompok yang telah terbentuk.
Keempat, digitalisasi promosi dan informasi usaha untuk nmendorong
percepatan perkembangan usaha. Era digital saat ini harus dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk mengambil peluang dan menciptakan kesejahteraan. Misalnya
dengan membuat akun-akun media sosial dan website untuk media promosi
usaha. Kelima, memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi
dan lintas sektor. Selain memperkuat program pengentasan kemiskinan nyang
sudah ada, Pemerintah Banten juga harus menggagas program terintegrasi dan
lintas sektor. Seperti tercermin di Provinsi Riau dengan program SAMISAKE.
Program ini adalah program lintas sekor sebagai bentuk komitmen perwujudan
pembangunan kesejahteraan yang beroreintasi pada pro-poor, pro-job, pro-growth,
dan pro-enviromnent. Ketika lima cara ini bisa direalisasikan dengan baik, tidak
saja masalah kesejahteraan yang di Banten yang bisa dientaskan, tetapi ke
depannya akan tercipta sebuah sistem kehidupan yang berkualitas.

Penutup
Konsepsi ketahanan nasional adalah sarana untuk mewujdukan ke­mampuan
dan kekuatan guna menghadapi dan mengatasi segala tantangan, untuk
mencapai tujuan bersama sebagai bangsa dan negara. Akan tetapi hingga saat
ini, kemiskinan masih menjadi momok dalam mewujudkan kesejahteraan. Bagi
Banten, realita ini menjadi paradoks yang memilukan. Sebab, sebagai provinsi
dengan jumlah penduduk yang banyak dan sumberdaya alam yang berlimpah,
Banten belum mampu membebaskan masyarakatnya dari pelbagai masalah
kemiskinan. Berdasarkan data BPS Provinsi Banten, saat ini Banten memiliki
699,83 ribu jiwa penduduk miskin (BPS, 2017: 3). Bahkan, kantong-kantong
kemiskinan tersebar di 130 desa/kelurahan dan sebanyak 27 desa berada dalam
zona merah kemiskinan.
Benten akan sejahtera jika keluarga mampu diberdayakan. Pemberdayaan
keluarga di sini menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan. Alquran
telah menjelaskan hal ini, dimana ditegaskan bahwa setiap orang harus senantiasa
menyerukan yang makruf, membagi rahmat-Nya dengan memberdayakan sesama.
Perbedaan taraf hidup manusia merupakan sebuah rahmat sekaligus pengingat
bagi kelompok manusia yang lebih berdaya, untuk membantu kelompok manusia
yang belum mampu.
Pemberdayaan Keluarga Menuju Banten Sejahtera 11

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam pemberdayaan keluarga di


Banten. Pertama, melalui person blame approach dan system balme approach.
Kedua, menginisasi Pengembangan Usaha/Kerja Keluarga (PUKK) yang
berbasis kearifan lokal dan potensi daerah. Ketiga, melakukan pelatihan dan
pendampingan untuk program-program pemberdayaan keluarga. Keempat,
digitalisasi promosi dan informasi usaha untuk mendorong percepatan per­
kembangan usaha. Kelima, memperkuat program yang ada, menggagas program
terintegrasi, dan lintas sektor.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih bijak menyikapi masalah
kemiskinan di Banten. Sebagai provinsi yang dianugrahi potensi luar biasa,
Banten harus segera berbenah agar potensi yang ada bisa lebih bermakna.
Selain itu, masayarakat juga harus terlibat aktif dalam me­lakukan pember­dayaan
keluarga. Memaksimalkan media internet untuk melipatgandakan kesejahteraan.
Disinilah semua pihak yang telibat harus bersama menuju satu cita-cita, yaitu
kesejahteraan. Semoga dengan meng­kaji pemberdayaan keluarga ini, akan hadir
pemahaman terhadap permasalahn kesejahteraan yang lebih baik. Sehingga pada
akhirnya, Banten sejahtara dapat terwujud.

Pustaka Acuan:
Abu bakar, Bahrun (Penterjemah). Tafsir Al-Munir. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2016.
Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya. Jakarta: Lembaga Percetakan Alquran, 2014.
Agung Eko Purwana. “Kesejahteraan dalam Perspektif Ekonomi Islam”. Publikai
Jurusan Syariah dan Ekonomi Islam STAIn Ponorogo, 2014.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Jilid 3. Edisi II. Lebanon: Dar
Al-Kutub Ak-Ilmiyah, 2006.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Juz XXV. Semarang: Karya Toha
Putra Semarang,1993.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2015.
Serang: BPS, 2015.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2016.
Serang: BPS, 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten. Statistik Daerah Provinsi Banten 2017.
Serang: BPS, 2017.
Badawi, Ahmad Zaki. Mu’jam Mushtalahatu al-Ulum al-Ijtima’iyyah. Beirut,
Maktabah Lubnan: New Impresson, 1982.
Dame Esther M. Hutabarata. “Kemiskinan Sebuah Kajian Multidimensi”.
Jurnal Darma Agung. Volume XVI. No. I. Juni, 2010.
12 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Laporan Akhir Penyusunan Neraca


Sumber Daya Alam Provinsi Banten 2017, 2017.
Ibnu Katsir Ad-DImasqy, Al-Imam Abul Fisa Ismail. Tafsir Ibnu Katsir Juz 4.
Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Ibrahim Imron., et. al. “Pemberdayaan Masyarakat Miskin Melalui Kelompok
Usaha Bersama”. Jurnal Administrasi Publik (JAP), Volume 2 Nomor 3, 2014.
Ishartono dan Susanto Tri Raharjo. “Sustainable Development Goals (SDGS)
dan Pengentasan Kemiskinan”. Jurnal Share: Social Network Jurnal, Volume
6, Nomor 2, 2016.
Istiana Hermawati. “Dampak Program Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten
Jayapura”. Jurnal Penelitian ndan Evaluasi Pendidikan, 2015.
Jamsy, Owin. Keadailan, Pemebrdayaan dan Pengentasan Kemiskinan. Jakarta:
Mizan Pustaka, 2004.
L.V. Ratna Dewi S. “Upaya Program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) dalam
Pengentasan Kemiskinan.” Jurnal JKMP, Volume 1, Nomor 1, Maret, 2013.
Paranowo, Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet,
2010.
Sa’id Al-Athrasy, Mahmud Ahmad. Hikmah di Balik Kemiskinan. Jakarta: Qisthi
Press, 2013.
Shihab M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran.
Volume 5 Cet. V. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Subianto, Prabowo., et. al. Membangun Kembali Indonesia Raya: Haluan Baru
Menuju Kemakmuran. Jakarta: Institut Garuda Indonesia, 2009.
Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Reflika
Aditama, 2009.
Suharto, Edi. Kemiskinan dan Keberfungsaian Sosial. Bandung: STKS Press, 2010.
Susilo Bambang Yudhoyono. “Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010
tentang Program Pemberdayaan yang Berkeadilan”. Bali: Deputi Sekretaris
Bidang Hukum, 2010.
Tim Visi Yutistia. Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Visimedia, 2014.
Optimalisasi Peran Keluarga dalam
Menahan Gempuran Pornografi
Pada Anak
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.11

Pendahuluan
Era global menyuguhkan tantangan sekaligus peluang dalam pola pe­ngasuhan
pada anak. Kehadiran media memberikan peluang bagi hadirnya konten negatif
yang ditampilkan, salah satunya terkait pornografi. Hal ini tentu menjadi tatangan
besar dalam upaya menjaga ketahanan nasional karena generasi mendatang
ditentukan oleh pola pengasuhan dari keluarga. Menurut Komisioner Bidang
Ponografi dan Cybercrime, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Margaret Aliyatul Maimunah menghimbau masyarakat untuk memperhatikan
pemanfaatan media sosial di tanah air. Pasalnya, kasus-kasus pornografi dan
kekerasan sosial pada anak di dunia maya menjadi masalah utama di era digital
(www.kpai.go.id).
Anak merupakan gatra dari pertumbuhan demografi yang akan mendukung
terciptanya ketahanan nasional. Menurut data yang dihimpun dari Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) me­nyatakan
bahwa pada tahun 2015 jumlah remaja yang berusia 16-20 tahun sebanyak
66 juta orang atau sekitar 25% dari jumlah penduduk Indonesia (BKKBN,
2015: 35). Tentu hal ini menjadi modal dalam membangun Indonesia dalam
beberapa tahun kedepan. Apalagi Indonesia akan meraih bonus demografi pada

13
14 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

tahun 2020-2030 dan menuju Indonesia emas pada tahun 2045. Kesempatan
mengembangkan sumberdaya manusia akan menjadi sia-sia apabila anak dan
remaja yang dimiliki saat ini terjebak oleh candu konten pornografi yang
merusak moral.
Menurut Hartayatmoko pornografi akan menggangu anak–anak dan
remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku.
Pornografi akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong
perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri
(2007: 94-95). Hal ini menyebabkan peran keluarga sebagai garda terdepan
dalam menjaga anak dari gempuran pornografi menjadi penting. Pada dasarnya,
status sosial keluarga tidak berpengaruh terhadap sikap anak. Wajar jika saat ini
kita menemukan berita jika ada anak pejabat terjerat kasus kriminal, anak orang
terpandang terjerat kasus narkoba dan berita lain yang membuat kita berkata
“kok bisa?”. Hal ini dikarenakan pola asuh dan komunikasi terhadap anaklah
yang memiliki pengaruh dalam perkembangan anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih jauh mengenai peran keluarga dalam menghadang gempuran
pornografi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Bagaimana problematika
keluarga di era global? Bagaimana urgensi keluarga dalam menjaga ketahanan
nasional? Bagaimana solusi dalam menjaga anak dari pengaruh pornografi menuju
Indonesia kuat? Dengan menjawab ketiga pertanyaan tersebut di­harapkan akan
tercipta sebuah pemahaman dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dan
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pada puncaknya semoga mendapatan
keberkahan dalam naungan ridha Allah S.w.t.

Problematika Keluarga di Era Global


Keluarga adalah kelompok yang memiliki hubungan darah atau perkawinan.
Peran keluarga sangatlah penting mengingat beberapa hal. Pertama, keluarga
merupakan lingkungan pertama bagi anak sehingga keluarga akan memberikan
pengaruh terhadap perkembangan anak di kemudian hari. Kedua, pada zaman
yang ditandai oleh perubahan sosial yang cepat dan kemajuan teknologi yang
sangat pesat, individu membutuhkan tempat berpijak untuk memberikan rasa
aman (Setino, 2011: 25). Oleh karena itu penting bagi keluarga untuk menjaga
anak-anaknya dari bahaya pornografi.
Membincang kasus pornografi dalam upaya menjaga ketahan nasional
menjadi hal yang penting. Ketahanan nasional adalah kondisi dinamika sosial
yang meliputi seganap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi dalam menjaga
ketahan nasional dari segala ancaman menuju perwujudan cita-cita bersama
Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 15

(Pranowo, 2016: 65). Ancaman pornografi melalui berbagai jenis media menjadi
pengingat bagi keluarga untuk senantiasa memberikan pengawasan kepada
anak. Hal ini disebabkan karena sosok yang paling rentan terkena bahaya
pornografi adalah anak dan remaja. Padahal baik dan buruknya kondisi mereka
akan mempengaruhi wajah bangsa di masa yang akan datang. (Soebagijo, 2008:
137). Penulis menghimpun beberapa berita tentang dampak kasus pornografi
yang terjadi di Indonesia, diantaranya:
a. Kasus pornografi anak secara online mencapai 21%, objek CD porno
sebanyak 15% dan korban kekerasan seksual online sebesar 11%. Sementara
itu sebanyak 24% anak memiliki materi pornografi (www.cnnindonesia.
com)
b. Polisi menyebut ratusan anak dapat menjadi korban kasus pornografi anak
lewat online. Polda metro jaya baru saja mengungkap dalam sebuah grup
Facebook bernama Official Candy’s Grup terdapat sekitar 500 video dan
100 foto yang menyasar banyak korban. (www.republika.co.id)
Kenyataan tersebut hendaknya menjadi alarm bagi pemerintah dan keluarga
jika saat ini Indonesia sedang mengalami darurat ancaman pornografi. Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin telah memberikan pedoman dalam Alquran
tentang pentingnya menjaga pandangan dalam upaya menjauhkan diri dari
bahaya pornografi. Sebagaimana Allah S.w.t berfirman:

‫ﭾﭿ ﮀﮁﮂﮃﮄﮅ ﮆﮇﮈﮉﮊ ﮋﮌﮍ‬


‫ﮎﮏﮐﮑﮒﮓﮔﮕﮖ ء‬
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangan­nya dan
memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah
Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan
yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya…
(Q.s. Al-Nur [24]: 30-31) (Kementrian Agama RI, 2004: 493).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, kata yaghudhdhu
terambil dari kata ghadhadha yang berarti menundukan atau mengurangi. Yang
dimaksud disini adalah mengalihkan arah pandangan serta tidak menetapkan
dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau kurang baik (2002:
524). Sedangan menurt Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi penglihatan
adalah pintu terbesar menuju hati dan indera tercepat untuk sampai kesana. Oleh
karena itu banyak kesalahan terjadi akibat penglihatan. Selain itu penglihatan
harus diwaspadai dan menahannya dari hal-hal yang diharamkan (2009: 563).
Dari kedua tafsiran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Islam telah me­
ngajarkan untuk menjaga pandangan. Jika dikaitkan dalam konteks pornografi
16 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pada anak dalam tafsiran di atas diketahui jika memandang sesuatu yang tidak
baik dilakukan secara berulang akan memberikan dampak negatif. Disinilah
keluarga memainkan perannya untuk memberikan pengawasan pada anak.
Betapa hebatnya program pemerintah, sekolah, maupun agen masyarakat tidak
akan berpengaruh jika orang tua tidak ikut serta. Sebagaimana pendapat Cope
(2007:48) orang tua adalah agen terpenting dari berbagai program pencegahan.
Menelisik problematika keluaraga di era global dalam upaya menjaga
ketahanan nasional setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi akar penyebab
problematika keluarga, yaitu: psikologis, ekonomi dan pendidikan. Pertama, dari
sisi psikologis. Di era global seperti saat ini manusia menjelma menjadi generasi
dekat dengan teknologi dan menikmati banyak hal dengan instan menuju insan
kekinian. Modernitas menjadi hal yang diagungkan. Kebutuhan terhadap gawai
menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Saat ini orang tua menganggap
gawai adalah solusi dalam mendidik anak. Padahal penggunaan gawai tanpa
pengawasan akan memberikan ruang bagi masuknya konten pornografi yang
membahayakan.
Kedua, dari sisi ekonomi. Kebutuhan ekonomi menuntut sebagian besar
orang tua bekerja. Artinya, ayah dan ibu lebih banyak melakukan aktivitas di luar
rumah. Hal ini memberikan konsekuensi logis terhadap kurangnya komunikasi
terhadap anak. Ketiga, dari sisi pendidikan. Kurang­nya pengetahuan orang tua
terhadap literasi media dan pentingnya edukasi dini terhadap masalah seksual
membuat anak mencari tahu sendiri informasi dari sumber lain. Hal ini tentu
berbahaya karena jika tanpa pengawasan maka anak akan menafsirkan sendiri
informasi yang diperolehnya tanpa diketahui kebenarannya.

Urgensi Keluarga dalam Ketahanan Nasional


Berangkat dari berbagai carut marutnya problematika yang ada, keluarga
memiliki urgensi dalam melindungi anaknya sehingga menjadi generasi cerdas
wujudkan ketahanan nasional. Pada dasarnya, orang tua memiliki tanggung
jawab dalam mendidik dan memberikan pengetahuan kepada anak karena
manunia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Sebagaimana
Allah S.w.t. berfirman:

‫ﯤ ﯥﯦﯧﯨﯩﯪﯫﯬ ﯭﯮ‬
‫ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ‬
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu mu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi mu pendengaran, penglihatan dan hati nurani agar
kamu bersyukur. (Q.s. Al-Nahl [16]: 78) (Kementian Agama RI, 2004: 375).
Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 17

Menurut Al-Maraghi, Allah menjadikan kalian mengetahui apa yang tidak


kalian ketahui, setelah Dia mengeluarkan kalian dalam perut ibu. Kemudian
memberi kalian akal yang dengan itu kalian dapat memahami dan membedakan
antara yang baik dan yang buruk, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara
yang salah dengan yang benar (1992:211). Artinya, seseorang terlahir dalam
keadaan tidak mengetahui apaun, dalam konteks anak maka orang tua memiliki
tanggung jawab untuk memberikan pemahaman yang benar. Sebagaimana
dalam suatu hadis riwayat Bukhari dikatakan:
Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah SAW bersabda,’Tidak ada seorang
anak pun kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua ibu-bapaknya yang
menjadikannya Yahudi dan Nasrani. Sebagaimana halnya biantang melahirkan (dalam
keadaan sempurna) adakah kalian menemukannya dalam keadaan terpotong (hidung,
telinga atau lainnya)? Sampai kalian sendiri yang memotongnya’ (Al-Asqalani, 2008:
58) (H.R. Bukhari No. 6599).
Hadis tersebut memberikan gambaran bahwa manusia terlahir dalam
keadaan fitrah dan kedua orang tuanyalah yang akan mengarahan anak menuju
jalan yang benar atau salah. Peran orang tua menjadi penting dalam upaya
mewujudkan ketahan nasional karena tiga hal utama yaitu bonus demografi,
paradoks globalisasi dan erosi pemahaman agama.
Pertama, bonus demografi. Pada tahun 2020-2030 Indonesia akan mengalami
bonus demografi. Pada masa itu jumlah pekerja usia produktif men­capai 70%
sehingga negara ini membutuhkan generasi cerdas dan mampu menahan pengaruh
negatif dari luar demi menjaga ketahanan nasional. Sebuah penelitian menunjukan
pada usia 8 tahun potensi kecerdasan seseorang mencapai 80%. Oleh karena itu,
diperlukan peran ibu sebagai sekolah pertama yang memberikan pengetahuan
kepada anak. Sebagaimana pendapat Hartati, hendaknya seorang ibu berhati-hati
bertindak di hadapan anak dan dalam memperlakukannya. Terutama ketika anak
dalam usia balita. Pada usia tersebut, kemampuan anak baru sebatas menangkap
dan menirukan apa yang diindera dari sekelilingnya (2006:35). Hal tersebut
menyebabkan anak akan dengan mudah menirukan apa yang dilihat dan didengar
tanpa mengerti arti dan maksud sebenarnya.
Selain itu, selama ini muncul anggapan jika tugas mendidik anak merupakan
tugas ibu, padahal ayah memiliki peran penting dalam tumbuh kembang
pengetahuan dan emosi anak. Menurut penelitian dari Robert I Waston dan
Henry Clay terhadap perkembangan anak diketahui jika anak yang tidak
mendapat asuhan dan perhatian ayahnya akan mengalami perkembangan yang
pincang. Kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung
memiliki kemampuan akademis menurun, aktivitas sosial terhambat dan
interaksi sosial terbatas (Dagun, 2013: 13). Oleh karena itu, diperlukan sinergi
18 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

antara peran ayah dan ibu dalam keluarga untuk mempersiapkan anaknya
menjadi generasi cerdas.
Komunikasi antara ayah dan ibu juga diperlukan dalam memberikan arahan
terkait masalah pornografi. Jika remaja tidak mengetahui bahwa pornografi
dapat merangsang keinginannya untuk melakukan hubungan seksual, maka
perilaku mereka akan cenderung semakin tergantung pada pornografi. Namun
jika mereka mengetahui tentang hal tersebut, maka mereka akan menghindari
paparan pornogrfi (Rinta, 2015: 170).
Kedua, paradoks globalisasi. Globalisasi telah membawa pengaruh terutama
dalam hal pergesaran nilai-nilai kehidupan. Kemudahan akses informasi,
hiburan yang menyenangkan hingga keterhubungan tanpa batas dengan teman
di seluruh dunia akhirnya menjadi daya tarik dan candu untuk anak senantiasa
dekat dengan media. Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh pengusaha media
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Menurut Haryatmoko (2007:96),
kecenderungan media untuk menampilkan yang sensasional atau spektakuler
akan mempengaruhi insan media sehingga mudah mempresentasikan pornografi
karena paling mudah memancing kebohongan.
Ketiga, degaradasi nilai agama. Saat ini muncul pemahaman untuk mensub­
kontrakan pendidikan agama ke sekolah atau lembaga keagamaan. Padahal orang
tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman agama kepada
anak. Faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan batasan
pornografi dan pornoaksi adalah faktor agama. Hal tersebut disebabkan karena
faktor agama memiliki ajaran dan ketentuan yang dapat memberikan batasan yang
tegas terhadap pengertian pornografi dan pornoakasi (Djubaedah, 2003: 143).
Selama ini terdapat beberapa kegiatan dalam upaya menanamkan nilai keagamaan
di keluarga. Sebut saja gerakan maghrib mengaji yang telah dilakukan di banyak
kota termasuk di Banten. Gerakan ini secara massif memberikan dampak positif
namun dalam pelaksanaannya belum maksimal karena walaupun sebuah program
telah dibuat namun semua kembali kepada aplikasi nyata di keluarga.

Perwujudan Gagasan
Keluarga yang kuat menunjukan penghargaan dan kasih sayang, komitmen,
komunikasi yang positif, kebersamaan yang menyenangkan, pemahaman
spiritual dan kemampuan menangani stress serta krisis secara efektif. Dalam
era globalisasi seperti saat ini peran keluarga seakan tergerus dengan berbagai
problematika yang telah dibahas sebelumnya.
Dalam beberapa buku dan jurnal telah mengungkapan beberapa gagasan
terkait solusi pola asuh maupun cara dalam mendidkan anak. Namun belum
Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 19

banyak yang menyinggung tentang pola komunikasi berkualitas sebagai salah


satu elemen penting dalam membangun kesepemahaman makna antara anak
dan orang tua dalam rangka melahikan genarasi terbaik di era penuh tantangan
dan godaan. Penulis menggagas solusi berupa pola komunikasi efektif. Efektivitas
pendidikan dalam keluarga sangat ditentukan oleh pelaksanaan komunikasinya.
Dalam konteks komunikasi ini, hal esensial yang seyogianya ditekankan oleh orang
tua adalah pembinaan nilai-nilai agama. Pembinaan nilai-nilai agama merupakan
pendidikan dalam kerangka untuk pembentukan pribadi secara menyeluruh
(Naim, 2011: 206). Pola komunikasi tersebut terbagi menjadi tiga tahapan
komunikasi. Solusi ini terinspirasi dari kisah para nabi dalam berkomunikasi
dengan anaknya, yaitu komunikasi berupa arahan, tindakan dan ajakan.
Pola komunikasi yang pertama yaitu komunikasi berupa arahan. Dalam
konteks pemahaman pornografi selama ini orang tua cenderung tidak mau
terbuka atau berterus terang kepada anak-anaknya mengenai topik seksualitas.
Padahal menurut Sarwono dalam Silalahi (2010: 201) semakin rendah kualitas
komunikasi antara orang tua dan anak maka semakin besar kemungkinan
remaja melakukan tindakan-tindakan seksual. Jika kondisi ini terjadi maka akan
mengancam moral generasi penerus bangsa. Dalam membangun komunikasi
berupa arahan dapat diambil pelajaran dari kisah nabi Ibrahim dengan nabi
Ismail sebagaimana diabadikan Alquran dalam Surat As-Saffaat ayat 102:

‫ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇﰈ ﰉ‬
‫ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ ﰔ ﰕ‬
Maka ketika anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)
berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelih
mu. Maka pikirkan bagaimana pendapat mu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai
ayah ku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepada mu; insyaAllah engkau
akan mendapati ku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.s. As-Safaat [37]: 102)
(Kementrian Agama RI: 641).
Dalam ayat tersebut dapat diambil tiga pelajaran terkait cara ber­komuniaksi
antara orang tua dan anak yaitu cara memanggil, cara mem­berikan informasi,
dan cara membuat keputusan. Pertama, cara nabi Ibrahim memanggil nabi
Ismail dengan kata yaa bunayya yang artinya wahai anak-ku. Di era global seperti
saat ini sudah jarang sekali ditemukan orang tua memanggil anaknya dengan
panggilan sayang. Panggilan sayang lebih sering terdengar dalam panggilan
keseharian antara teman atau orang lain yang tidak memiliki hubungan darah
atau bahkan tidak memiliki hubungan perkawinan.
Kedua, cara nabi Ibrahim memberikan informasi kepada Ismail. Walaupun
informasi yang disampaikan adalah informasi yang berat atau bahkan menyedihkan,
20 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

namun nabi Ibrahim menyampaikannya dengan memberikan alasan. Jika kita lihat
pada konteks kekinian, tidak sedikit orang tua yang memberikan informasi termasuk
terkait larangan tanpa menginformasikan dampaknya bagi anak. Hal ini membuat
anak menjadi lebih ingin tahu. Padahal apabila anak tidak dibekali pengetahuan
reproduksi oleh orang tuanya sendiri, maka ia akan mencari informasi di internet
yang lebih berbahaya isinya tanpa pengawasan orang tua. (Indriaty, 2014: 52).
Ketiga, cara nabi Ibrahim membuat keputusan. Dalam kisah tersebut
diceritakan bahwa nabi Ibrahim meminta pendapat nabi Ismail terkait perintah
yang turun untuk menyembelih dirinya. Jika kita lihat fenomena yang terjadi
saat ini umumnya tidak melibatkan anak dalam membuat keputusan. Misalnya,
dalam kasus penggunaan gawai untuk memainkan game online. Orang tua
memberikan batasan atau bahkan larangan tanpa meminta pandangan
dalam membuat keputusan bersama dengan anak. Dampaknya, anak akan
membangkang atau bahkan mencari cara lain untuk tetap dapat bermain gawai.
Demikian pola komunikasi arahan yang di­contohkan oleh nabi Ibrahim.
Selanjutnya, pola komunikasi yang kedua yaitu komunikasi berupa
tindakan. Komunikasi ini dilakukan dengan cara memberikan contoh kepada
anak. Untuk mencegah bahaya pornografi, orang tua dapat mengajarkan anak
untuk melakukan tindakan asertif, yaitu tindakan pencegahan apabila terdapat
ancaman dari orang asing yang berkaitan dengan masalah seksual. Hal ini
teramasuk jarang dilakukan pada anak karena masalah pornografi terlihat tabu
dan malu untuk diperbincangkan.
Pola komunikasi berikutnya adalah berupa ajakan. Konsep ajakan yang
penulis gagas dalam makalah ini adalah ajakan hingga tahap kritis. Penulis
terinspirasi dari kisah nabi Nuh dan anaknya yang bernama Kan’an sebagaimana
diabadikan dalam Alquran Surat Hud ayat 40-42. Dalam kisah tersebut
diceritakan bahwa nabi Nuh terus mengajak Kan’an bahkan sampai tahap kritis
saat ia akan tenggelam. Walau sering kali diajak dan terus menolak namun
nabi Nuh terus mengajaknya bahkan hingga kematian yang memisahkan. Jika
dikaitkan pada kenyataan pada umumnya, orang tua biasanya berhenti pada
tahap arahan dalam upaya memberikan infomasi. Namun jika anak menolak
untuk melakukan maka orang tua berhenti atau dalam tahap paling kritis, orang
tua lebih memilih untuk membentak.
Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri. Jika diambil contoh saat orang tua
melarang anaknya berhenti bermain game online namun sang anak menolak
maka orang tua mengalah dengan alasan sayang. Padahal ungkapan kasih
sayang hendanya diarahan menuju tindakan preventif melindungi anak dari
pengaruh negatif di segala sisi. Oleh karena itu, melalui tiga tahapan komuniasi
yang penulis rumuskan pada makalah ini semoga dapat menjadi solusi dalam
Optimalisasi Peran Keluarga dalam Menahan Gempuran Pornografi Pada Anak 21

menjawab promblematika yang ada demi menjaga ketahanan nasional Indonesia


dari berbagai pengaruh yang dapat mengancam keutuhan Negara.

Penutup
Anak dan remaja menjadi amunisi Indonesia beberapa tahun mendatang dalam
menyambut bonus demografi yang ada. Sumberdaya manusia yang unggul
tentu dibutuhkan. Keluarga sebagai satuan terkecil dalam sebuah Negara
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan dan menanamkan
nilai akhlak dan moral. Tantangan zaman menghadirkan media massa dan
media sosial menjadi sebuah paradoks tersendiri dengan berbagai kemudahan
yang disuguhkan maupun bahaya negatif yang di­timbulkan. Pornografi menjadi
ancaman serius yang dapat merusak moral bangsa sehingga dibutuhkan sinergi
antara peran orang tua dan pemerintah dalam upaya melindungi moral anak
bangsa.
Berbagai problematika keluarga di era global seperti saat ini diantara­nya
dari sisi priskologi, ekonomi dan pendidikan. Sehingga problematika tersebut
hendaknya diluruskan mengingat keluarga memiliki urgensi dalam mewujudkan
ketahananan nasional. Hal tersebut dikarenakan Indonesia akan meraih bonus
demografi pada tahun 2020-2030, menjawab tantangan globalisasi serta
ancaman adanya degradasi nilai agama.
Oleh karena itu penulis menggagas adanya tiga tahapan komunikasi sebagai
sebuah solusi aplikatif yang terinspirasi dari nilai keIslaman yang diwariskan dari
para nabi. Pertama adalah komunikasi berupa arahan, kedua adalah komunikasi
berupa tindakan dan ketiga adalah komunikasi berupa ajakan. Dengan konsep
tiga tahapan komunikasi tersebut diharapkan akan tercipta kesepemahaman
antar anggota keluarga terutama dalam meng­hadang gempuran pornografi yang
hadir diberbagai ruang media.
Selain itu penulis juga menghimbau kepada berbagai pihak demi ter­
wujudnya Indonesia cerdas tanpa pornografi. Pertama, kepada pemerintah,
selama ini sudah banyak aturan terkait pornografi namun belum maksimal
dalam hal implementasinya. Kedua, kepada orang tua hendaknya memiliki
waktu emas untuk berkomunikasi dengan anak di balik segala kesibukan yang
ada. Komunikasi berkualitas terkait pornografi akan membantu mem­­persempit
ruang bahaya pornografi masuk kedalam kehidupan anak dan remaja. Ketiga,
kepada media massa. Hendaknya lebih bijak dalam memberikan tayangan di
media terlepas dari berbagai kepentingan komersil yang selalu diagungkan.
Semoga dengan tulisan sederhana beserta gagasan yang diberikan dapat
memberikan manfaat dan diaplikasikan secara nyata di kehidupan sehari-hari.
22 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Baari. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi Juz 14 Terjemahan. Semarang: PT.
Karya Toha Putra. 1992.
Alquran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. 2004.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
BKKBN. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah 2015 Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional. 2016.
Cope, Carol Soret. Stranger Danger Terjemahan. Yogyakarta: Apeiron Philotes. 2007.
Dagun, Save M. Psikologi Keluarga: Peran Ayah Dalam Keluarga. Jakarta: Rineka
Cipta. 2011.
Djuabaedah, Neng. Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam. Jakarta: Prena
Media. 2003.
Hartati. Ibu Teladan di Era Global. Jakarta: Pusat Studi Wanita. 2006.
Haryatmoko. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Indriati, Etty. Anak Ku Sayang Anak Ku Aman. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2014.
Naim, Ngainun. Dasar-Dasar Komunikasi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
2011.
Pranowo, M. Bambang. Multidimensi Ketahanan Nasional. Jakarta: Pustaka Alvabet.
2010.
Rinta Leafio. “Pendidikan Seksual Dalam Membentuk Perilaku Seksual Positif Pada
Remaja dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Psikologi Remaja.” Jurnal
Ketahanan Nasional, Vol 21. No 3. 2015
Setino, Kusdwiratri. Psikologi Keluarga. Bandung: PT. Alumni. 2011
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol 8. Jakarta: Lentera Hati. 2002
Silalahi, Karlinawati. Keluarga Indonesia Aspek Dinamika Zaman. Jakarta: PT.
Rajawali Pers. 2010
Soebagijo, Azimah. Pornografi Dilarang Tetapi Dicari. Jakarta: Gema Insani. 2008
http://.kpai.go.id/berita/era-digital-picu-kasus-pornografi-dan-kekerasan-seksual-
anak/. Diakses pada tanggal 9 April 2018 pukul 09.35
Dwi Murdaningsih. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/
hukum/17/03/16/omv97j368-ratusan-anak-bisa-jadi-korban-pornografi-anak-
lewat-online. Diakses pada tanggal 8 April 2018 pukul 19.00
Yo h a n n i e L i n g g a s a r i . h t t p : / / w w w. c n n i n d o n e s i a . c o m / n a s i o n a l
/20150210171810-20-31101/ada-1022-anak-menjadi-korban-kejahatan-
online. Diakses pada tanggal 8 April 2018 pukul 19.45
Tantangan dan Solusi Pembinaan
Keluarga Zaman Now (Studi Penguatan
Keluarga Untuk Menopang Ketahanan
Nasional)
Penulis: Peserta Nomor MQ.1.12

Pendahuluan
Akibat gelombang globalisasi dan perkembangan teknologi sejak tahun 1999
yang menghempas seluruh sektor kehidupan, maka ikatan kebangsaan menjadi
pudar. Pudarnya komitmen kebangsaan ini merupakan ancaman bagi keutuhan
sebuah bangsa dan negara. Kondisi ini yang dihadapi Indonesia sebagai bangsa
yang besar, berusaha meyelamatkan diri dari tantangan ini. Retaknya komitmen
kebangsaan ini bukan diakibatkan oleh adanya propaganda besar menolak segala
bentuk nasionalisme. Melainkan karena maraknya semangat individualisme
yang merambah ke dalam keluarga, yang ini juga berakibat pudarnya daya rekat
masyarakat.1
Problem besar ini sulit di atasi kecuali dengan jalan memperkuat kembali
ikatan keluarga (batih) yang merupakan elemen paling kecil dalam masyarakat
atau bangsa justru ini yang paling menentukan terbentuknya integritas bangsa.
Mengingat kondisi ini peran keluarga dengan peran keibuannya memegang

1
Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http://www.kompasina.
com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1
April 2018 Pukul 21.30 WIB

23
24 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

peran strategis dalam membangun keluarga. Perlu diingat bahwa ini justru
dimulai dari lembaga keluarga. Perlu diingat bahwa ini bukan upaya untuk
mendomestifikasikan peran keluarga sebagai ibu rumah tangga, sebaliknya peran
domestik (keluarga) ini justru merupakan langkah penting untuk mempaerbaiki
situasi di diranah publik ini (bangsa).2
Mengingat pentingnya peran keluarga ini, maka aneh kalau salah satu
dari maqoshidus syariah (tujuan syaria’ah) adalah sebagai upaya hifdzul nasl
(menjaga keturunan), terutama menjaga ikatan keluarga. Di situ silaturahmi,
belajar bersama serta kerjasama bisa dilakukan dalma membentuk masa depan
bersama. Untuk memperkuat tugas keluarga dan tugas kebangsan ini maka
keluarga perlu kembali merujuk pada Alquran. Karena selama ini budaya barat
yang selama ini masuk banyak merongrong keutuhan keluarga.3
Kenapa menjaga keutuhan bangsa ini menjadi penting, tidak lain karena
kedaulatan sebuah sangat di tentukan oleh harmoni dan kerukunan keluarga
dalam bangsa itu, tentu saja kesejahteran juga ditentukan oleh adanya harmoni
social itu. Sementara untuk menciptakan harmoni sosial tidak bisa ditempuh
dengan jalan pintas dengan menciptakan media, ditempuh dengan media
organisasi soalial dan berbagai macam perkumpulan. Hal itu tetap akan pudar
kalu dilandasi dengan ikatan keluarga yang kuat tampilnya seorang bapak sebagai
kepala keluarga bukan suatu hegemoni, melainkan sebuah bentuk kepemimpinan
yang sangat dibutuhkan yang diharapkan mampu menjaga keamanan, keutuhan
dan harmoni dalam keluarga.4
Masa depan Keluarga memang sangat tergantung dalam peran Ibu,
sebagimana Hadis Nabi: “Syurga Itu dibawah telapak kaki ibu”. Dalam membina
keluarga perlu terus memperteguh pegangannya pada Alquran. Perlunnya
membangun solusi pegangan pada Alquran, perlu membangun sistem politik
dan ekonomi sesuai ajaran Alquran. Paradigma yang diterapkan dalam
pembinaan keluarga saat ini sangat liberal, karena memang berasal dari Negara-
negara liberal. Padahal Alquran memiliki pembinaan yang baik jauh dari liberal
antagonik, dan Alquran memiliki solusi yang harmonis, relevan dan moralistik.5

2
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju
Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 31.
3
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat,
(Jakarta: Lentera Hati, 2016) h. 65
4
Mia Mediana, Menjaga Keutuhan Keluarga Agar Harmonis, Diakse dari http://www.kompasina.
com/menjaga-keutuhan-keluarga-agar-harmonis/,dqjb283bt9tndf8f60bdsnnndg0df96, pada 1
April 2018 Pukul 21.56 WIB.
5
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju
Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 25

Pandangan Alquran tentang etika dalam Pembinaan Keluarga


Pentingnya keluarga sebagai basis pertahanan masyarakat ini ditegaskan dalam
Alquran:

‫ﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ ﯡ‬
Wahai Orang yang berima! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Q.s.
at-Tahrim/66:6).
Sebagai elemen dasar dalam masyarakat, maka keluarga dengan sendirinya
paling mengetahui perkembangan jiwa anak, maka merekalah yang paling tahu
ketika terjadi masalah, karena itu paling bertanggung jawab dalam meluruskannya.6
Dalam kehidupan berkeluarga, suami istri dituntut menjaga hubungan
baik, menciptakan suasana yang harmonis, yaitu dengan menciptakan saling
pengrtian, saling menjaga, saling menghormati, dan menghargai, serta saling
memenuhi kebutuhan masing-masing. Apanila suami istri melalaikan tugas
dan kewajiban, maka akan terjadi kesenjangan masalah, seperti mengakibat­kan
kesalahpahaman, perselisihan, dan ketgangan hidup berumah tangga.7
Oleh karena itu, antara suami istri harus selalu menjaga etika dalam
berkeluarga, yaitu selalu menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
hubungan. Calon Ibu hendaklah mempersiapkan dirinya sebagai calon guru
bagi anak-anaknya kelak. Hendaknya dia bisa mengaji Alquran dengan fasih,
sehingga pelajaran pertama dalam membaca Alquran akan didapatkan oleh
seorang anak dari mulut ibunya sendiri. Betapa anak akan sangat terkesan
dengan peristiwa bersejarah dalam kehidupan itu8
Dalam upaya pembinaan keluarga, pasangan suami istri hendaknya
melaksanakan etika dalam tanggung jawab keluarga, Allah berfirman dalam
surat an-Nisa’ [4]: 34:

‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙﭚﭛﭜ‬
‫ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ‬
‫ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ‬

Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 32


6
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju
Masyarakat Muttamadien, (Jakarta: LTN PBNU, 2015), h. 32
7
Kemetrian Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik
(Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012), h. 344
8
Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf
Media Kreatif, 2017), h. 13.
26 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ‬
Lelaki suami (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), kerena Allah telah melebih­
kan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dank arena mereka
(laki-laki) telah memberikan nafkaf dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang
sholehah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri mereka (suaminya)
tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). (Q.s. An-Nisa’/4:34).
Menurut Jawad Mugniyah, maksud ayat tersebut tidak menunjukan
perbedaan antara laki-laki/suami dengan perempuan, tetapi keduanya adalah
sama. Ayat tersebut hanya ditunjukan bahwa laki-laki sebagai suami dan
perempuan sebagai istri, keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa
hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditunjukan
untuk kepemimpinan suami dalam memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi
pemimpin secara umum dan bukan menjadi penguasa yang otoriter.9
At-Tabrani menafsirkan ayat 34 Surat an-Nisa’ Bahwa kaum laki-laki
menjadi pemimpin bagi kaum perempuan untuk mendidik dan mengarah­kan
perempuan. Kepemimpinan ini didasarkan pada alasan, bahwa para suamilah
(kaum laki-laki) yang berkewajiban memberikan mahar dan nafkah (biaya
hidup) keluarga. Menurutnya, ayat ini lebih menekankan pada kedudukan
suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga dari pada kepemimpinan secara
umum. Sebagaimana pemimpin dalam keluarga, suami berkewajiban mendidik
istrinya dengan cara yang ditetapkan dalam potongan ayat selanjutnya, yang
pada akhirnya memukul istri yang membangkang dengan pukulan yang tidak
menyakti boleh dalam upaya menjalankan kewajiban tersebut10
Ungkapan at-Tabrani ini nampaknya bahwa kewajiban suami menyedia­
kan nafkah menyebabkan suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Dengan
demikian, berarti nafkah sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan keluarga,
yang pada akhirnya suami juga sebagai pendidik dalam keluarga, terutama ketika
istri berbuat nusyuz (membangkang).
Nisa/4:34 tersebut, maksudnya bahwasannya Alquran memberikan hak
pada suami untuk mendidik istrinya yang masyuz (durhaka, sombong, dan
benci kepada suami), melalui tiga cara: menasihati (membujuk), pisah tidur,
atau tidak bicara selama tiga hari menurut sebagian ulama, dan meukulnya
dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Rumah tangga yang aman dan damai adalah gabungan diantara tegapnya
laki-laki dan halusnya perempaun. Laki-laki mencari nafkah dan perempuan

9
Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al_Kasyif, (Beirut: Daarul-Islam Lil-Malayin, 1968),
cet.1 h. 143
10
At-Tabrani, Jami’ul al-Bayan fi Ta’wililil-Qur’an, h. 37-38
Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 27

mengurus rumah tangga. Rumah tangga tidak bisa berdiri kalau hanya kemauan
laki-laki saja berlaku, atau kalau hanya kelhalusan dan lemah lembut perempuan
sja. Penggabungan laki-laki dan perempuan yang menimbulkan keturunan.
Dari kasih sayang ibu dan bapak, dibentuknya jiwa anak-anak yang kelak akan
tiba gilirannya, mereka pula yang mendirikan rumah tangga serta melanjutkan
keturunan.
Tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga adalah menjaga, membela,
bertindak sebagai wali, memberi nafkah, dan sebagainya. Lain halnya dengan
istri, ia justru mendapat jaminan keamanan dan nafkah, Itulah sebabnya kaum
laki-laki memperoleh warisan dua kali lipat dari perempuan.11
Tugas fungsi suami istri adalah saling melengkapi. Suami tidak bisa
mengambil alih tugas istri untuk hamil, melahirkan, dan menyusui anak,
begitu juga sebaliknya, Ini ditempatkan sebagai tradisi yang serasi di kalangan
umat manusia agar istri berjiwa bersih dan bisa memenuhi fungsinya sebagai
penenang qalbu sang suami, melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga,
serta mendidik anak bersama suami. Mendidik anak adalah kewajiban dan
tanggung jawab bersama suami istri. Hal ini diisyaratkan dalam Alquran Surat
al-Isra’[17]: 24:

‫ﯓﯔﯕﯖﯗﯘﯙﯚﯛﯜﯝﯞﯟ‬
Dan Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku pada waktu kcil.” (Q.s. al-Isra [17]: 24)
Yusuf al-Qardhawi mengatakan, “Keluarga Islami terbentuk dalam
keterpaduan antara ketentraman dan kasih sayang. Ia terdiri dari istri yang
patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih dan ramah,
ibu lemah lembut dan berparas halus, putra putri yang bakti dan taat, kerabat
yang saling membina silaturahmi dan tolong menolong.12
Menurut Yusuf al-Qardhawi, ciri ciri yang menonjol di keluarga muslim
tetaplah dominan kesetiaan, ketaatan, kasih sayang, dan membina silaturahmi.13
Dismping itu dalam keluarga muslim pempunyai ciri-ciri menjaga akhlak
mulia yang senantiasa mengikuti tuntunan Alquran dan Hadis Rasulullah
sallalahu ‘alaihi wa sallam, misalnya seorang penghuni rumah tidak masuk
kamar penghuni lainnya dalam rumah itu tanpa izin.

11
Huzaemah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah: Kajian Islam kontemporer, h.137 &138
12
Dr. Yusuf al-Qardhawi, Syariat Islam Ditantang Zaman, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1990), h. 44
13
Opcit h. 44
28 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

M. Quraish Shihab menyatakan bahwa cinta keluarga adalah ke­­cenderungan


hati untuk cinta pada sesuatu yang ada pada keluarga. Sungguh sangat
berat tanggung jawab kedua orang tua kepada anaknya, seperti pengasuhan,
pendidikan, dan nafkah; terutama sang ibu mulai dari mengandung dengan
penuh sudah payah, sampai melahirkannya dengan perjuang antara hidup dan
mati, kemudian menyusi dan merawatnya.

Tantangan Pembinaan Keluarga Zaman Now


Istilah Anak Zaman now nulai muncul sekarang-sekrang ini. Zaman now adalah
istilah untuk anak-anak yang lahir di atas tahun 2000, semenjak masuknya
era grlobalisasi. Anak Zaman now cenderung lebih paham dengan teknologi
karena memang sejak kecil bahkan sebelum lahir secara tidak langsung orang
tuannya meperkenalkan teknologi kepada mereka. Anak Zaman now lebih cepat
dalam memperoleh perkembangan teknologi, dan informasi, sehinggan pola
kumuniasi dan bersikap seperti orang dewasa.14
Pembangunan keluarga di zaman now tentunya ditemukan tantangan dalam
membina keluarga, beberapa tantangan tantangan pembinaan keluarga jaman now.

1. Paradigma klasik pembagian wilayah kerja ibu dan ayah


Masyarakat di Indonesia masih menerapkan pemahaman klasik dalam membina
keluarga terutama dalam mengasuh anak. Masih banyak suami hanya fokus
untuk bekerja, sementara urusan tetek bengek seperti mengurus rumah tangga,
mengurus anak, mendidik anak adalah urusan istri. Saat istilah ini muncul
“Super Women atau Super Mom” yaitu wanita hebat dalam mengemban beban
keluarga dan tugas semua dibebankan oleh Istria tau ibu.

2. Mudahnya anak mengakses informasi zaman now


Revolusi teknologi yang semakin cepat sehingga seluruh dunia tersentuh oleh
teknologi. Revolusi yang begitu cepat terdapat disektor komunikasi dan media
masa seperti Handpone, Komputer, dll. Sebagian besar orang ingin selalu
mengikuti gaya tren masa kini. Mereka bangga jika anaknya bisa medsos. Orang
tua zaman sekarang cenderung tidak memperhatikan anaknya dalam mengakses
teknologi yang anak-anaknya lihat. Sehingga anak-anak cenderung bebas dalam
mengakses teknologi, kebebasan itu akibat lemahnya pengawasan orang tua.

14
Alvi Suryani, Anak Jaman Now, Diakse dari http://www.kompasina.com/anak-jaman-
now/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.35 WIB
Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 29

Media masa zaman now seperti Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dll.
Sangat mempengaruhi pola fikir anak. Kerna keasikan melihat media masa itu
banyak dari mereka terjerumus kedalam free sex, pornografi, pelacuran, dll.
Banyak media masa yang sifatnya memberika informasi hoax, sehingga didalam
keluarga sering terjadi mis communication bahkan terjadi konflik.

3. Komunikasi keluarga yang buruk


Kesibukan orang tua yang padat di zaman sekarang mengakibatkan intensi
hubungan keluarga sangat jarang. Kurangnya pertemuan antara anak dan ibu,
anak dan ayah mengakibatkan komunikasi yang buruk ditengah keluarga. Faktor
inilah yang menyebabkan anak mencari teman untuk mencurahkan ekspresi nya.
Komunikasi yang buruk mengakibatkan keluarga bisa jadi berujung perceraian.
Angka Percerain di Propinsi banten tercatat dari Badan Statistik Nasional (BPS)
sebanyak 10140 Kasus. Sebagain besar kasus perceraian akibat pola komunikasi
yang kurang baik antara keluarga.15

4. Individualisme dalam keluarga


Di era Sekarang ini, Menurut Rani Al, ,tarita, dosen komunikasi universitas budi
luhur, Individualisme dalam keluarga biasanya terjadi ketika komunikasi dalam
keluarga terjadin buruk.16 Kurangnya rasa perhatian dari keluarga sehingga
timbul individualisme. Individualisme juga timbul karena tuntutan pemenuhan
ekonomi dalam keluarga di masyarakat perkotaaan. Mereka cenderung terjebak
dalam kondisi kesibukan mencari materil sehingga dalam bertetanggan dan
bermasayarakat kurang.
Saat ini banyak Rumah mewah seperti di komplek-komplek namun
hubungan dalam keluarga saat ini mulai timbul pola individualisme karena
kecanduang dengan teknologi. Kurangnya rasa bermasyarakat mengakibatkan
masyarakat menjadi kurang. Di dalam keluarga juga mengalami seperti itu,
banyak ayah yang masih mementingkan hanya urusan pekerjaannya tanpa
mementingkan pola hubungan dengan anak.

15
http//www.bps.go.id
16
Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http://www.kompasina.
com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582sndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1
April 2018 Pukul 21.30 WIB
30 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now Menurut Alquran


1. Kejasama antara ayah dan ibu (suami istri)
Membina keluarga harus dengan kerjasama antara ayah dan ibu. Di dalam
Alquran surat an-Nisa’/4:19 disebutkan jangan sampai menyusahkan istri.
Seharusnya suami saling bantu dalam mengurus anak. Walaupun memang
dalam mendidik anak adalah tanggung jawab istri. Ibarat sebuah sekolah
atau Madrasah Istri sebagai Guru sementara Ayah adalah kepala sekolahnya.
Tanpa adanya kepala sekolah dan guru sekolah tidak akan terlaksana. Q.s.
at-Tahrim/66:6 menjelaskan agar menyelamatkan anggota keluarga dari api
neraka, yang menyelamatkannya dalah orang tua atau orang terdekat. Dengan
kerjasama yang baik antara ibu dan bapak maka akan tecipta keluarga yang
sakinah yang mudah-mudahan menjadi kelaurga ahli jannah.

2. Kritis dan selektif dalam informasi yang masuk


Maraknya informasi yang masuk pada saat ini perlunya agar orang tua untuk
memfilter. Mengawasi dan selektif kepada putra putrinya untuk agar tidak
terjebak dengan buaian teknologi yang bisa menjadikan keluarga menjadi
renggang.17
Pada Surat an-Nur/24:11 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong adalah dari golongan kamu (juga). Dan jaganlah kamu
mengira berita itu buruk dan baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan
mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. (an-Nur/24:11)
Maraknya berita hoax saat ini bisa merenggangkan keluarga, oleh karena
itu kita jangan mudah percaya dengan berita-berita yang masing simpang siur.
Pentingnya keluarga dalam memberikan penerangan kepada anak untuk memilih
media atau informasi kepada anak. Keluarga yang cerdas adalah keluarga yang
selektif dan dapat memilah informasi bagi anak anaknya.

3. Komunikasi yang Intim dalam keluarga


Komunikasi yang intim dalam keluarga juga sangat penting, mengatasi permasalah
zaman now dilakukan dengan perlunya komunikasi yang intim dalam keluarga.
Orangtua seharusnya kelalu mennanyakan tentang keluhan dari anaknya sehingga
masalah-masalah keluarga juga bisa di atasi bersama. Dalam Alquran Surat al-
Isra’/17:24 dijelaskan mengenai tatacara berkomunikasi yang baik dalam keluarga.
Dengan bahasa yang halus dan sopan santun akan menyebabkan keluarga berada

17
Komariah Wahid, Selektif dalam Informasi dan teknolog, Diakses dari http://www.facebook.
com/ria_wahid/?8kfnjfiuekvlsjhilgj;d pada 15 April 2018 pukul 13.35 WIB.
Tantangan dan Solusi Pembinaan Keluarga Zaman Now 31

dalam keharmonisan dan tidak ada ungkapan dan ujaran kebencian dalam bertutur
kata dalam keluarga.

4. Komunitas yang mendukung keluarga


Fitrah sebagai manusia sosial sangat melekat pad diri manusia, sehingga
masnusia perlu untuk hidup bertetangga dan berkomunitas, dalam Qur’an
Surat an-Nisa/4:36 agar kita bisa peka apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Komunitas yang baik juga bisa mempengaruhi keutuhan keluarga. Penting­nya
utuk meyesuaikan dengan dengan diri kita dan keluarga, jangan sampai kita
terjebak dalam komunitas yang tidak sepaham dengan keluarga. Bagunlah
komunitas keluarga dengan cinta dan kasih sayang dan senuai Alquran. Karena
membangun keluarga adalah membangun komunitas terkecil di Negara ini
dalam menopang ketahanan nasional

Penutup
Pembinaan Keluarga dalam menopang ketahan nasional sangatlah penting.
Tantangan di era globalisasi atau zaman now perlu disikapi dengan bijak
sehingga dalam membina keluarga bisa menganalisis masalah-maslah yang
timbul era saat ini. Alquran memberikan solusi dalam mengatasi permasalahan-
permasalah tersebut sehingga dalam mewudkan keluarga yang kuat dalam
menopang ketahanan nasional dapat terwujud.

Pustaka Acuan:
At-Tabrani, Jami’ul al-Bayan fi Ta’wililil-Qur’an,
Kemetrian Agama RI, Tafsir Alquran Tematik, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat,
dan Berpolitik,Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012
Muhammad, Ahsin Sakho, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, Jakarta: PT. Qaf
Media Kreatif, 2017.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Tafsir al_Kasyif, (Beirut: Daarul-Islam Lil-
Malayin, 1968),
MUI Propinsi Banten, Mushaf Al Bantani dan terjemahannya, 2012.
Siroj, Said Aqil, Islam Nusantara Sumber Inspirasi Budaya Nusantara menuju
Masyarakat Muttamadien, Jakarta: LTN PBNU, 2015
Shihab, M. Quraish, Menabur Pesan Ilahi Alquran dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2016
Syafitri, Niken, Ham Perempuan; Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,
Bandung: PT Refika Aditama, 2018
32 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Qardhawi, Yusuf Syariat Islam Ditantang Zaman, (Surabaya: Pustaka Progresif,


1990)
Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Islam kontemporer
Andi Surya, Individulisme dalam Masyarakat dan Keluarga, Diakse dari http://
www.kompasina.com/individulisme-dalam-masyarakat-dan-keluarga/,67582s
ndi6ter839ndue77dnjel99, pada 1 April 2018 Pukul 21.30 WIB
Mia Mediana, Menjaga Keutuhan Keluarga Agar Harmonis, Diakse dari
http://www.kompasina.com/menjaga-keutuhan-keluarga-agar-harmonis
/,dqjb283bt9tndf8f60bdsnnndg0df96, pada 1 April 2018 Pukul 21.56 WIB.
Komariah Wahid, Selektif dalam Informasi dan teknolog, Diakses dari http://www.
facebook.com/ria_wahid/?8kfnjfiuekvlsjhilgj;d pada 15 April 2018 pukul
13.35 WIB.
http//www.bps.go.id
Role Model Orang Tua dalam
Mewujudkan Ketahanan Nasional
Keluarga
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1. 05

Pendahuluan
Dewasa ini era globalisasi menjadi pusat perhatian dan perbincangan
kekhawatiran bagi para orang tua. Era globalisasi telah membawa dampak
luas di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di negeri tercinta Indonesia.
Dampak globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatif
memiliki konsekuensi yang seimbang. Kompetensi, integrasi adalah dampak
positif globalisasi. Sedangkan dampak negatif antara lain lahirnya generasi
instan, dekadensi moral, retardasi mental, konsumerisme, permisifme, bahkan
anti nasionalisme (Asmani, 2012: 7). Selain itu, dampak negatif lainnya adalah
beragamnya modus kejahatan melalui media sosial, munculnya tindak kekerasan,
pergaulan bebas sampai pada akhirnya berujung pada hilangnya karakter bangsa
(Arifin, 2013: 5).
Mengutip permasalahan dari Azra bahwa gaya hidup hedonistik dan permisif
di era globalisasi sebagaimana banyak ditayangkan dalam sinetron dan telenovela
pada berbagai saluran televisi Indonesia hanya mempercepat disorientasi dan
dislokasi keluarga dan rumah tangga (2002: 172-173). Akibatnya banyak anak
yang tidak memiliki kebajikan dan inner beauty dalam karakternya (Marijan,
2012: 85).

33
34 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Fenomena anak bangsa saat ini yang lebih bangga dengan produk
internasional dibandingkan produk lokal, semakin menjadi puncak ke­khawatiran
untuk kita semua, hilangnya identitas kebangsaan dalam diri anak bangsa
disebabkan oleh canggihnya kemodernitasan, sehingga mereka lupa struktur
sosial dan tumbuh menjadi generasi millennial. Peradaban barat telah berhasil
merenggut rasa nasionalisme anak bangsa dengan berbagai kemajuan teknologi
yang ditawarkan. Terkikisnya rasa kebangsaan menyebabkan mereka kini menjadi
kurang menghargai perjuangan bangsa, lebih mengidolakan segala hal yang berbau
barat dibandingkan dengan budaya timur. Sikap nasionalisme tidak bisa tumbuh
begitu saja tanpa diperjuangkan. Karakter cinta tanah air akan berbekas bilamana
manajemen pertama saat seorang anak dikenalkan akan bangsanya berhasil. Orang
tua menjadi sorotan utama dalam mendoktrin karakter ini. Sikap nasionalisme
akan terus ada sampai dewasa ketika pola asuh orang tua saat balita kian sukses
mengenalkannya.
Figur orang tua yang mampu mengatur semuanya dengan baik sangat
dibutuhkan dalam merehabilitasi hal ini. Kemampuan mengasuh anak dengan
sistem manajemen keluarga yang baik akan sangat berefek kepada karakter anak.
Orang tua yang berkualitas tentunya akan melahirkan generasi yang berkualitas
pula, begitupun sebaliknya, orang tua yang tidak mau mengupgrade ilmu,
tertinggal peradaban, termakan oleh zaman pada akhirnya hanya akan menjadi
budak atas adanya kemodernitasan.
Menelisik dari permasalahan di atas, maka starting point pada malakah ini
adalah Siapa yang pertama kali seharusnya bertanggung jawab atas kondisi seperti
ini?, Bagaimanakah role model orang tua, pendidikan karakter dan ketahanan
nasional?, Bagaimanakah formulasi gerakan role model dalam mewujudkan
ketahanan nasional yang tangguh?

Menelisik Makna Role Model Orang Tua, Pendidikan Karakter dan


Ketahanan Nasional dalam Alquran
Sebelum lebih jauh membahas topik yang diangkat dalam karya ilmiah ini,
rasanya penulis perlu terlebih dahulu menjelaskan arti dari judul yang mendasari
pembuatan karya ilmiah ini.

1. Role Model
Menurut KBBI role model adalah panutan, yang sama artinya dengan teladan
yaitu “Sesuatu yang patut ditiru atau baik dicontoh (tentang kelakuan, perbuatan,
sifat, dan sebagainya)” (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 56). Sedangkan menurut
Brickman role model adalah “Person who serves as an example, whose behaviour is
Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 35

emulated by others” (2002: 18), bahwasanya seseorang yang memberikan teladan


dan berperilaku yang bisa dicontoh oleh orang lain.
Dari pengertian di atas role model berarti suatu tindakan yang men­
cerminkan suatu sikap yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai model acuan
atau dicontoh. Jadi baik buruknya seorang anak tergantung kepada orang
tua yang mendidiknya. Ketika dilahirkan seorang bayi manusia tidak bisa
melakukan apa-apa, kemudian dia belajar meniru apa yang dilakukan oleh orang
tuanya. Ketika sudah dewasa apakah anak masih akan melakukan aktifitas yang
dilakukan oleh orang tua yang mengajarinya?, jawabannya adalah ya, kemudian
siapakah yang pantas untuk kita contoh menjadi seorang role model yang benar,
bagi seorang muslim sudah jelas, orang yang paling pantas untuk dijadikan role
model adalah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana firman Allah S.W.T.:

‫ﯯﯰ ﯱﯲﯳﯴﯵ ﯶﯷ ﯸ ﯹﯺﯻﯼ ﯽﯾ‬


‫ﯿ ﰀ‬
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasullallah (Muhammad) itu suri tauladan yang
baik bagimu… (Q.S. Al-Ahzab [33]: 21) (Depag RI, 2007: 420).
Dalam ayat di atas menjelaskan bahwa Rasullallah yang pantas untuk
dijadikan sebagai teladan bagi umatnya. Tidak ada lagi yang bisa dijadikan
panutan untuk mendapatkan keridhoan Allah S.W.T. terkecuali mengikuti apa
yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.
Tak heran, begitu banyak orang yang bukan beragama Islam tetapi sangat
mengagumi akhlak atau perilaku nabi Muhammad SAW. Seorang ahli astronomi
asal Amerika Serikat , Hart Michael dalam bukunya “The 100: A Rangking of the
Most Influential Persons in History” menempatkan nabi Muhammad pada urutan
nomor 1. Dia menuliskan pengaruh nabi Muhammad sebagai the central human
figure of Islam (1993: 23).

2. Pendidikan Karakter
Pendidikan dalam arti umum yakni sebagai usaha manusia untuk me­numbuhkan
dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam bangsa, masyarakat dan kebudayaan
(Fuad Ihsan, 1997: 1-2). Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha yang
dilakukan secara sadar dan terencana dalam upaya mengembangkan segala
potensi manusia untuk memiliki kekuatan spiritual, kecerdasan, dan akhlak
mulia sehingga tumbuh dewasa dan sempurna sebagai bekal yang diperlukan
dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
36 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu “Chaessein” yang
artinya “mengukir” (Muni, 2010: 2). Istilah karakter secara harfiah berasal dari
bahasa Latin “Character” yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah karakter diartikan
sebagai sifat manusia pada umumnya di mana manusia mempunyai banyak sifat
yang tergantung dari faktor kehidupannya (Zubaedi, 2011: 19).
Dari pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter
merupakan segala usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi karakter seorang
anak. Secara filosofis pendidikan karakter merupakan kajian yang paling rasional
dan aktual, karena membahas tentang tingkah laku manusia yang tidak lekang
oleh perkembangan zaman.

3. Ketahanan Nasional
Kata Nasionalisme berasal dari kata “Nasional” yang menurut KBBI diartikan
sebagai kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai nasionalnya
dari ancaman luar (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 98). Imbuhan “isme” dalam
KBBI berarti kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa secara potensial atau
aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 98).
Dari pengertian di atas kata Nasionalisme berarti seseorang yang ber­
negara kemudian sudah tertanam dalam dirinya untuk mencintai, menjaga,
memelihara serta mengembangkan bangsanya. Menjaga keutuhan NKRI
sudah menjadi sebuah kewajiban bagi warga Negara Indonesia. Memiliki
rasa cinta tanah air adalah sebuah kemutlakan yang memang harus ada
pada diri setiap anak bangsa. Dan motivasi mengistiqomahkan rasa cinta
tanah air ini tentunya tidak lepas dari pola asuh orang tua yang pertama kali
mengenalkan akan bangsanya. Mengapa harus cintah tanah air?, jelas karena
kita menumpang dipup di sebuah negara yang senantiasa melayani kebutuhan
rakyatnya dan bukti rasa syukur kita kepada Allah S.W.T.. Islam sudah lebih
dahulu mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai tanah air. Sebagimana
Allah S.W.T. berfirman:

‫ﯵﯶﯷ ﯸﯹﯺﯻﯼﯽ ﯾ ﯿﰀﰁﰂﰃﰄ‬


‫ﰅﰆﰇﰈﰉ ﰊ ﰋ ﰌﰍﰎﰏ ﰐﰑﰒﰓ ﰔ ﰕ‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini,
negeri yang aman, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya, yaitu
di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian…(Q.S. Al-Baqarah
[1]: 126) (Depag RI, 2007: 19).
Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 37

Dalam ayat ini jelas menunjukan bagaimana wujud cinta nabi Ibrahim
kepada tanah airnya, dengan cara mendo’akannya dalam tiga hal: menjadi negeri
yang aman sentosa, penduduknya dilimpahi rezeki dan penduduknya beriman
kepada Allah S.W.T. dan hari akhir. Tidaklah nabi Ibrahim berdo’a seperti ini
melainkan dalam hatinya telah tumbuh kecintaan terhadap negerinya.

Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter


Islam sangat mengedepankan karakter sehingga menjadi substansi ajaran
agamanya. Karakter dijadikan dasar sistem pendidikan dalam Islam. Pendidikan
karakter menjadi penting bagi kehidupan manusia. Karakter yang dibentuk
minimal mencakup: religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini merupakan bentuk kesalehan sosial yang
harus diaktualisasikan dalam sistem pendidikan, sehingga mampu menepis
dan membendung krisis multidimensi menuju terbentuknya pribadi yang
berakhlak mulia. Karakter harus diaktualisasikan dalam sistem pendidikan
sehingga terbentuk manusia yang berbudi luhur.
Tujuan pendidikan karakter menurut Islam tidak lain menjadikan manusia
yang berakhlak mulia. Dalam hal ini yang menjadi tolak ukur adalah akhlak
nabi Muhammad SAW, dan yang menjadi dasar pembentukan karakter adalah
Alquran. Alquran adalah petunjuk bagi kehidupan manusia. Seperti yang telah
disinggung di atas kita hendak mengarahkan pendidikan kita dan menumbuhkan
karakter yang kuat pada anak bangsa, kita harus mencontoh karakter nabi
Muhammad SAW yang memiliki karakter yang sempurna. Sebagaimana Allah
S.W.T. berfirman:

‫ﮛﮜ ﮝﮞﮟ‬
Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung (Q.S. Al-Qalam
[68]: 4) (Depag RI, 2007: 564).
Pada ayat di atas tergambar bahwa budi pekerti yang agung benar dimiliki
oleh nabi Muhammad SAW. Tidak salah beliau adalah teladan bagi ummatnya dan
rasul terbaik pilihan Allah yang menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Sudah
sepantasnya meniru apa yang telah dicontohkan oleh baginda Rasullallah SAW.
Pendidikan karakter menurut Islam adalah membentuk pribadi yang
berakhlak mulia, karena akhlak mulia adalah pangkal kebaikan. Orang yang
berakhlak mulia akan segera melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:
38 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳﭴ‬
‫ﭵ ﭶﭷ ﭸﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ‬
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari subli (tulan belakang) anak cuuc
Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya
berfirman), “Bukanlah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami bersaksi. “(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini,”. (Q.S. Al-
A’raaf [7]: 172) (Depag RI, 2007: 173).
Al-Maraghi dalam tafsirnya menegaskan bahwa Allah S.W.T. telah men­
jadikan dalam tiap diri pribadi dari umat manusia berupa fitrah keIslaman yang
disebut gharizah imany (naluri keimanan) dan melekat di dalam hati sanubari
mereka. Sehingga potensi beriman kepada Allah terlebih dahulu tertanam dalam
diri manusia dan baik buruknya pribadi manusia tersebut tergantung upaya
mengembangkan potensi keutuhan itu. (2002: 103).
Jika pendidikan karakter jauh dari akidah Islam, lepas dari ajaran religius
dan tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak diragukan lagi bahwa seorang
manusia akan memiliki sifat kefasikan, penyimpangan, kesesatan dan kefakiran.
Bahkan ia akan mengikuti nafsu dan bisikan-bisikan setan, sesuai dengan tabiat,
fisik dan keinginan serta tuntutannya yang rendah. Dari sini jelaslah bahwa
yang menjadi fundamen utama dalam pendidikan karakter bagi anak oleh orang
tuanya sebagi identitas keimanan yang harus ditanamkan sejak dini.

Formulasi Gerakan Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan


Ketahanan Nasional yang Tangguh
Di era modern seperti ini rasanya figur orang tua sudah mulai tersampingkan
dengan adanya berbagai hal baru yang lebih menarik untuk ditiru dan dijadikan
contoh bagi seorang anak. Kelengahan dan ketidaksungguhan orang tua dalam
merawat anak menjadikan beragam karakter yang tidak seharusnya ada pada diri
anak. Sehingga muncul rasa dalam diri seorang anak kurangnya kasih saying,
kurangnya perhatian dan kurangnya teladan untuk dirinya dari figur orang
tuanya. Sehingga berdampak pada keberlangsungan masa depan seorang anak.
Maka untuk mewujudkan ketahanan nasional bagi seorang anak perlu dibuat
gagasan, diantanya:

1. Keluarga Pilar Utama dalam Keberlangsungan Seorang Anak


Fenomena “Fatherless” yang tidak hanya popular di kaum barat namun kini sudah
tersebar luas di Indonesia. Ketidakmauan Ayah untuk lebih banyak berperan
mendidik anak-anaknya menjadikan mereka kehilangan sosok seorang ayah
Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 39

yang mereka kagumi. Seharusnya dari seorang ayahlah mereka mendapatkan


teladan kekuatan, keberanian dan lain sebagainya membuat mereka mencari
hal lain untuk memenuhi hasrat dan keinginannya yang tidak tersampaikan.
Hingga pada akhirnya mereka melampiaskan semuanya kepada “gadget” yang
mereka anggap mampu menemaninya 24 jam tanpa lagi butuh figur dari kedua
orang tuanya.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, keberadaannya
menjadi salah satu penguat dalam sebuah negara, perannya sangat penting
dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sebgaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ ﯡﯢﯣ ﯤﯥ‬


‫ﯦﯧﯨ ﯩﯪﯫﯬﯭﯮﯯﯰﯱ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan
keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada
mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S. At-Tahrim [66]: 6)
(Depag RI, 2007: 560).
Ayat di atas menjelaskan bahwasanya menjada diri dan keluarga adalah
sebuah kewajiban. Yang mana sebuah keluarga tidak hanya terdiri atas dirinya
melainkan juga anak dan istrinya. Oleh karenanya, merawat anak baik dengan
tujuan menumbuhkembangkannya dengan baik adalah sebuah keharusan yang
menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Allah ciptakan fungsi keluarga untuk
saling berperan satu sama lain dan terjalin ikatan yang harmonis.
Keberhasilan dan kehancuran seseorang acapkali diawali dari sebuah
keluarga. Karenanya eksistensi keluarga dalam keberlangusngan kehidupan
sangat menentukan generasi berikutnya. Bekaitan dengan masalah eksistensi
keluarga, Allah S.W.T. berfirman:

‫ﭴﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾﭿ‬


‫ﮀﮁﮂﮃ‬
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
kesejahteraannya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.S. An-Nisa [4]: 9)
(Depag RI, 2007: 78).
Penekanan ayat ini penulis menggaris bawahi pada kalimat “dzurriyyatan
dhi’afan”. Ar-Raghib Al-Asfahni di dalam kitab “Mufradat al-Fadz Alquran”
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “dzurriyyatan dhi’afan”
memiliki tiga pengertian: Pertama, dhaif fi al-jism, yakni lemah secara fisik.
40 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Maksudnya bahwa seseorang tidak boleh membiarkan generasi-generasinya


untuk memiliki fisik, tubuh atau badan yang lemah. Kedua, dhaif fi al-aqli,
yakni lemah secara akal. Seseorang dengan akal dapat membedakan mana
yang benar dan mana yang salah. Itulah sebabnya mengapa Allah S.W.T.
menganugrahkan akal kepada manusia tidak kepada makhluk yang lain, agar
manusia dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai hamba secara sempurna
dihadapan Allah S.W.T., maka menjadi orang yang mengikuti hal-hal yang tidak
benar berarti itu bukanlah sesuatu yang sesuai untuk pemanfaatan akal. Ketiga,
dhaif fi al-ahli, yakni lemah karena keadaan sosial ekonomi yang dihadapinya.
Perbedaan masalah kaya dan misikn merupakan suatu ketentuan yang tidak
dapat dihindari. Manusia hidup selalu berdampingan, maka selanjutnya apakah
kita akan menjadi manfaat bagi orang lain atau akan menjadi beban bagi orang
lain (2002: 214).
Keterangan di atas mengungkapkan bahwa peranan keluarga dalam
menumbuhkembangkan karakter anak sangat dinilai dari pada pola asuh kedua
orang tuanya dalam sebuah keluarga. Orang tua menjadi teladan pertama anak
dalam bertingkah dan berperilaku. Dan orang tua pun adalah sarana edukasi
pertama anak dalam mengenal bangsanya. Orang tua yang berkualitas tentu
akan jauh berbeda dengan orang tua yang tidak berkualitas. Jika dibandingkan
dari manajemen pola asuhnya, anak yang lahir dari pola asuh orang tua yang
berkualitas tentunya memiliki karakter yang yang baik dan tersistem dengan
baik. Begitupun sebaliknya, karakter anak dapat menentukan bagaimana sistem
pola asuh dari pada orang tuanya.

2. Pembentukan Manajemen Keluarga


Manajemen sebuah keluarga sangat diperhitungkan, Dalam hal ini, keber­hasilan
orang tua dalam mendidik anakanya adalah sebuah kesuksesan bagi sebuah
bangsa. Esensitas keluarga sangat berpengaruh terhadap kemajuan sebuah bangsa,
manajemen yang baik akan melahirkan bangsa yang maju akan peradaban.
Manajemen keluarga yang baik ini tentunya didapatkan dari orang tua yang tidak
tertinggal oleh zaman, orang tua selalu update ilmu pengetahuan dan diperoleh
dari orang tua yang senantiasa sungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya.
Peranan seorang ibu sebagai madrasah utama bagi seorang anak memang
benar adanya. Pembentukan mental dan karakter anak pertama kali ditentukan
dari bagaimana pola asuh seorang ibu dalam membimbing anaknya. Bagaimana
mungkin tercipta karakter Isma’il as yang kuat hatinya ketika dikabarkan datang
perintah Allah S.W.T. untuk menyembelihnya, jika bukan karena seorang ibu
(Siti Hajar) yang lebih dulu mengenalkan arti kesabaran dan ketangguhan saat
Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 41

ditinggalkan mencari mata air untuk anak­nya hinga muncullah air zam-zam.
Kisah Siti Hajar yang ditinggal suaminya atas perintah Allah S.W.T. disuasana
lembah yang gersang dan tandus, setelah itu Ibrahim as kembali ke Palestina
seraya berdo’a, Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﮃﮄ ﮅﮆﮇﮈﮉﮊﮋﮌﮍ ﮎﮏﮐ‬


‫ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕﮖ ﮗﮘ ﮙ ﮚ ﮛ‬
‫ﮜﮝ‬
Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engaku (Baitullah) yang
dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan sholat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki
dari buah-buahan, mudah mudahan mereka bersyukur (Q.S. Ibrahim [14]: 37) (Depag
RI, 2007: 260).
Dalam keadaan tidak menentu itulah Siti Hajar bertawakal kepada Allah
S.W.T. atas dirinya dan putranya disuatu tempat yang asing bahkan saat itu
Ismail as masih bayi. Ketika Ismail as menangis karena kehausan, Siti Hajar
berusaha mencari air dari bukit Shafa ke Marwah tanpa putus asa Siti Hajar
terus berlari-lari namun tak juga mendapatkannya. Rasa cinta seorang ibu
kepada anaknya membuat Siti Hajar terus berusaha. Melihat usaha seorang ibu
yang sangat gigih untuk kebutuhan anakanya, akhirnya Allah memancarkan
air yang dibutuhkan oleh keduanya yang kemudian air tersebut hingga saat ini
dikenal dengan air zam-zam, yang akan terus ada hingga akhir zaman.
Hikmah dari pada kisah ini adalah ketabahan dan keteguhan hati seorang
ibu untuk mengurus anak-anaknya, meskipun ia sedang berada dalam kondisi
yang menyulitkan dan tidak ada seorang pun yang dapat membantunya, tetapi
kesabaran dan ketabahan pada akhirnya mengantarkan kepada kebahagiaan.

3. Pola Pendidikan Keluarga


Pendidikan tidak hanya lahir dari seorang ibu, melainkan kelengkapan hak
pendidikan oleh seorang anak harus didapatkan juga dari seorang ayah. Agar
seorang anak benar-benar merasakan kehadiran orang tuanya dan dapat
menjadikan orang tuanya sebagai figur terbaik untuk dirinya. Sebagaimana
Allah S.W.T. berfirman:

‫ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ‬
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran
kepada anaknya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutu­kan Allah,
42 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar


(Q.S. Luqman [31]: 13) (Depag RI, 2007: 412).

‫ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ‬
‫ﯴﯵ ﯶ‬
Wahai anakku! Laksanakanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan (Q.S. Luqman
[31]: 17) (Depag RI, 2007: 412).
Alquran mengabadikan ucapan-ucapan Luqman berisi berbagai pelajaran
yang patut diteladani oleh orang tua dalam hal mendidik putra-putrinya. Dalam
ayat tersebut di atas terdapat banyak pelajaran yang dapat diungkapkan secara
garis besar yang berisikan tentang aqidah, akhlak dan ibadah. Adapun rincian
pesan Luqman kepada anaknya diuraikan sebagai berikut: ketauhidan, program
pengasuhan anak, keteladanan, perintah dakwah, perintah berbuat yang ma’ruf,
larangan berbuat yang mungkar, kerendahan hati, kelembutan dan etika ketika
berbicara dengan seorang anak.

Penutup
Di era modern saat ini figur orang tua sangat dibutuhkan untuk me­
numbuhkembangkan karakter (budi pekerti) yang baik untuk anak. Terciptanya
karakter seorang anak yang cinta tanah air tentunya tidak lepas dari pendidikan
karakter yang dikelola oleh sebuah lembaga keluarga. Manajemen pendidikan
terbaik adalah ketika hasil output karakter anak pun terlihat baik. Perlunya
pendidikan keluarga, manajemen keluarga serta pola asuh yang baik sangat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang seorang anak dalam mewujudkan
ketahanan nasional yang tangguh. Urgensitas kemajuan sebuah bangsa sangat
berkaitan dengan pola asuh orang tua terhadap anakanya.
Orang tua sebagai role model dalam tumbuh kembang seorang anak menjadi
titik awal dalam keberlangsungan ketahanan nasional. Ketahanan nasional yang
tangguh lahir dari sebuah keluarga yang memiliki komitmen yang kuat dalam
mengurus keluarganya. Sebaliknya, ketahanan nasional tidak akan tercapai jika
keluarga mengabaikan nilai-nilai pendidikan dalam keluarga.
Oleh karena itu, perbaikan sebuah keluarga dalam manajemen pe­ngasuhan
anak akan sangat berdampak bagi bangsa Indonesia. Dedikasi orang tua yang
ingin terus mengupgrade diri dan pengetahuannya dalam mendidik anak akan
berdampak besar bagi sebuah bangsa.
Role Model Orang Tua dalam Mewujudkan Ketahanan Nasional Keluarga 43

Pustaka Acuan:
Al-maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Beirut: Darul Fikr, 2001.
Ar-Raghib, Al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat Al-Fadz Alquran, Beirut: Darul Fikr,
2000.
Asmani, Jamal Ma’ruf, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di
Sekolah, Yogyakarta: Diva Press, 2012.
Azyumardi, Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekontruksi dan
demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.
Arifin, Muhammad dan Barnawi, Strategi Kebijakan Pembelajaran Pendidikan
Karakter, Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010.
Brickman, John, Sociology of Science and Sociology as Science, New York:
Columbia, 1998.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah, Jakarta: PT. Cordoba
Internasional Indonesia, 2007.
Hart, Michael, The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History,
Jossey Bass, 1993.
Ihsan, Fuad, Dasar-Dasar Kependudukan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet.1,
1997.
Ma’arif, Ahmad Syafei, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan,
Bandung: Mizan, 2009.
Marijan, Muhammad, Metode Pendidikan Anak: Membangun Karakter Anak
yang Berbudi Mulia, Cerdas dan Berprestasi, Yogyakarta: Sabda Media,
2012.
Mulyasa, E, Revolusi Mental dalam Pendidikan, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2015.
Muni, Abdullah, Pendidikan Karakter, Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madan,
2010.
Mursi, Abdul Hamid, SDM yang Produktif Pendekatan Alquran dan Sains,
Jakarta: GIP, 2001.
Parsudi, Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan: Telaah atas Merebaknya Penyakit
Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Saptono, Dimensi-dimensi Penduduk Karakter: Wawasan Strategi dan Langkah
Praktis, Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2011.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2010.
Quraish, M. Shihab, Pengantin Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
44 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Zayyan, M. Sobron, Keluarga dalam Perspektif Alquran, Bandung: Fajar Media,


2013.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga
Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 20012.
Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan
Feminin dalam Keluarga Menuju Provinsi
Banten Bebas LGBT
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.02

Pendahuluan
Kepribadian yang dimiliki seorang anak adalah hasil dari pendidikan ayah
bunda. Mendidik anak merupakan persoalan yang paling penting (important).
Seorang anak akan tumbuh dengan cara bagaimana ia dibesarkan. Bila ia dididik
dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang baik. Sebaliknya, bila
seorang anak dibiarkan mengerjakan keburukan, maka ia akan tumbuh dengan
kepribadian yang tidak baik (Jamal Abdurrahman, 2017:17).
Ayah bunda perlu memperhatikan tumbuh kembang anak, sebab pola
asuh yang salah akan menimbulkan pelbagai macam masalah, pelbagai macam
masalah yang menimpa para anak, terutama permasalahan pada kaum remaja,
seperti narkoba, seks bebas, peer preasure, seks bebas, bolos, tawuran dan pelbagai
macam masalah lainnya banyak yang keluar dari batas wajar.
Seks bebas, sebagai salah satu dari pelbagai macam masalah, faktanya tidak
hanya berawal dari ketertarikan terhadap lawan jenis, tapi juga pada sesama
jenis, atau yang dikenal dengan perilaku Homoseksual (KBBI, 2008:506),
dimana lesbian, gay, biseksual dan transgender (waria) termasuk di dalamnya,
perilaku homoseksual tentu saja akan berdampak buruk bagi keberlangsungan
hidup dan perilaku penyimpangan seksual tersebut tidak banyak diinginkan
oleh para ayah bunda.

45
46 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Meninjau pengenalan LGBT di Indonesia sudah dimulai sejak 1 Maret 1982


dengan berdirinya Lambda sebagai organisasi gay terbuka pertama di Indonesia.
Organisasi ini dianggap sebagai cikal bakal gerakan LGBT. Mirisnya, saat
terjadi tindakan terhadap gerakan mereka, para pengidap LGBT menyebutnya
sebagai tindakan segregasi (pengucilan), seperti yang dialami kaum gay, lesbian
dan biseksual yang banyak dikeluarkan dari tempat kerja. Begitu pula pada
kaum transgander yang tidak leluasa dalam memilih lapangan pekerjaan hingga
banyak dari mereka yang menjadi pekerja seks komersial atau mengamen di
jalanan (www.rappler.com, 2017).
Hingga kini pelegalan LGBT di Indonesia tetap pada jalan buntu, karena
masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak setuju mengenai keberadaan
kaum LGBT. Selain itu, dasar negara kita memasukkan nilai-nilai agama
dalam undang-undang dan peraturan, sehingga akan sulit terjadi pengesahan
pernikahan sesama jenis (Sinyo, 2016: 44).
Sebagaimana dilansir dari bantenhits.com, kaum LGBT di Provinsi Banten
pada tahun 2017 meningkat sebesar 200% dari tahun sebelumnya. Hal ini
sebagaimana yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di
delapan kabupaten/kota se-Provinsi Banten, bahwa terdapat 2.535 lelaki
penyuka sesama jenis dan 1.140 waria, hal ini tentu saja men­jadi catatan
penting bahwa perilaku LGBT harus segera ditangani dengan baik.
Aksi penolakan atas gerakan kaum LGBT di Banten baru saja dilakukan
pada 11 Februari 2018 yang bertempat di Lapangan Cilenggang, Kecamatan
Serpong, Kota Tangerang Selatan yang menghadirkan pelbagai elemen
masyarakat, sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap gerakan LGBT (seruji.
co.id, 2018).
Bertolak dari realitas di atas. Penulis akan memberikan interpretasi dengan
menghadirkan ayat-ayat Alquran secara multidimensi. Diawali dari bagaimana
Islam dan Indonesia memandang perilaku LGBT, apa saja faktor penyebab
terjadinya LGBT serta penanggulangan dan pencegahan bagi keluarga agar tidak
terjangkit perilaku LGBT. Berangkat dari hal di atas, penulis berharap keluarga
Indonesia, khususnya yang berada di Provinsi Banten bisa hidup nyaman,
sejahtera dan terbebas dari perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT.

Islam dan Indonesia Memandang LGBT


Perilaku LGBT dapat ditemukan dalam Alquran surat Al-A’râf ayat 80-81:

‫ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ‬
‫ﯣﯤﯥ ﯦﯧﯨﯩﯪﯫﯬﯭ ﯮﯯ‬
Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 47

Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaum­nya, “Mengapa
kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun
sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada
sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui
batas.
Mengenai ayat di atas, perbuatan keji (fâhisyah) diulang sebanyak tiga belas
kali dalam Alquran (Abd. Baqiy, 1364:513), serta memiliki pelbagai macam
pengertian, di antaranya: homoseksual (Q.S. Al-A’râf [7]:80); menikahi istri
ayah (Q.S. An-Nisâ’ [4]:22); zina (Q.S. Al-Isrâ’ [17]:32); berita bohong (Q.S.
An-Nûr [24]:19); tindak pidana (Q.S. At-Talâq [65]:1); dan syirik (Q.S. Al-
A’râf [7]:28). Pengertian homoseksual terdapat pula dalam Alquran surat An-
Naml ayat 54 dan Al-Ankabût ayat 28.
Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, dalam tafsirnya Al-
Munir (tt:288) memberikan penjelasan mengenai surat Al-A’râf ayat 80-81 di
atas

‫ﯙﯚ‬
“(Mengapa kamu melakukan perbuatan keji tersebut?) yakni mengapa kamu
melakukan homoseksual?”. M. Quraish Shihab dalam tafsir kontemporernya Al-
Mishbah vol. 4 (2010:188) memberikan penjelasan serupa, bahwa per­buatan keji
(fâhisyah) adalah tindakan yang sangat buruk yakni homoseksual.
Para ulama tafsir menyebut tindakan homoseksual sebagai tindakan keji
yang lebih rendah dari binatang, karena homoseksual menghalangi jalan untuk
prokreasi, yaitu memperoleh keturunan. Para ulama yang berpendapat dalam
hal ini antara lain Ahmad Shawi Al-Maliki, Ali As-Shabuni dan Ibnu Katsir
(Didi Junaedi, 2016:41).
Homoseksual tidak hanya perilaku yang meliputi perbuatan homoseks
atau gay (laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada laki-laki), namun
juga lesbian (perempuan yang memiliki ketertarikan seksual pada perempuan),
kemudian biseksual (penyuka sesama jenis dan juga lawan jenis), serta transgender
atau waria (orang yang terlahir dengan jenis kelamin biologis laki-laki, namun
memiliki perilaku dan perasaan seperti perempuan (Dewi Rokhmah, 2017:1).
Selain Islam sangat memperhatikan perilaku LGBT, dasar negara
kita—Pancasila—pun memandang LGBT sebagai tindakan perilaku yang
menyimpang. Sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa—mem­
bahas hal ini, sebagaimana dalam butir nilai Pancasila pertama dijelaskan,
bahwa “Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan­nya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa” (Undang-undang Dasar 1945 dan Amandemennya,
2009:68), tentu saja hal ini tidak dikehendaki dalam Islam yang mengajak
48 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pada jalan yang lurus dan melarang berbuat melampaui batas, baik dalam hal
konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia maupun
dalam perundang-undangan (Yusuf Qardhawi, 2017:22).
Sila kedua Pancasila—Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab—mem­perjelas
kembali, bahwa bangsa ini berkomitmen adil dan beradab (Adian Husaini,
2015:9), sedangkan perilaku LGBT adalah perilaku penyimpangan seksual
yang tidak adil, karena tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, serta tidak
beradab karena bertentangan dengan nilai-nilai suci Alquran. Mengamalkan
Alquran yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur adalah tugas kita
bersama dengan jalan gotong royong, karena gotong royong juga merupakan
saripati Pancasila: ia adalah semangat untuk bergandengan turun tangan (Anies
Baswedan, 2015:229).
Konsekuensi yang diberikan pada para pengidap LGBT yang melakukan
tindakan seksual yang menyimpang telah diatur dalam pasal 292 KUHP dengan
kurungan penjara paling lama lima tahun bagi tersangka orang dewasa dan
korban belum dewasa. Tentu saja ini menjadi catatan penting bagi para ayah
bunda, bahwa penguatan keluarga dengan berpegang teguh pada Alquran dan
nilai-nilai pancasila adalah satu-satunya kunci utama agar keluarga terbebas dari
LGBT.
Berpegang teguh pada Alquran dan menghormati dengan patuh pula pada
Pancasila diharapkan ayah bunda mampu menjadikan kedua hal tersebut—
Alquran dan Pancasila—sebagai sumber rujukan untuk men­ciptakan keluarga
yang sehat lahir batin, tidak keluar dari fitrah hidup manusia yang menjunjung
tinggi kesucian dan kehormatan.

Melacak Faktor Penyebab LGBT


Proses seseorang menjadi LGBT merupakan sebuah proses historis yang tidak
terjadi begitu saja. Pembentukan kepribadian seorang LGBT mengalami fase
perkembangan dari masa anak-anak sampai masa dewasa melalui proses yang
berbeda, spesifik dan begitu panjang, dimulai dari masa anak-anak hingga
menginjak masa remaja yang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga
dan begaul, serta tidak lepas dari konteks kultural yaitu penanaman nilai agama
dan tradisi budaya yang dianut oleh sebuah keluarga, serta pengaruh paparan
pornografi yang sangat mudah diakses oleh anak-anak dan remaja (Dewi
Rokhmah, 2017:17).
Gambaran fase kehidupan LGBT dari masa anak-anak hingga dewasa
menunjukkan perbedaan yang kentara dari setiap individu. Pada masa anak-
anak umumnya mereka memiliki kehidupan yang normal seperti ke­banyakan
Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 49

anak-anak pada umumnya, namun setelah dipicu oleh penyebab yang menjadi
titik balik individu menjadi LGBT, maka mereka mengalami perubahan
kehidupan yang tidak sama dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Faktor
penyebab yang melatarbelakangi seseorang menjadi LGBT, antara lain: (1)
Pengalaman traumatik pernah menjadi korban pelecehan seksual; (2) Pola asuh
orang tua yang salah; (3) Kurang mendapat kasih sayang dari orang tua (ayah
bunda) yang utuh; (4) Kehilangan figur ayah; serta (5) pengaruh lingkungan
pergaulan (Dewi Rokhmah, 2017:18).
Setelah kita mengetahui beberapa faktor seseorang terjangkit perilaku
LGBT, masih ada sebagian dari mereka yang memakai dalih Hak Asasi Manusia
(HAM) sebagai pembenaran, bahkan sampai menafsirkan salah satu ayat Alquran
dengan penjelasan yang keliru, seperti firman Allah S.w.t.. dalam surat Ar-Rûm
ayat 21 yang berbunyi:

‫ﮉﮊﮋﮌﮍﮎﮏ ﮐﮑﮒﮓﮔ‬
‫ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ‬
Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
M. Quraish Shihab dalam tafsir kontemporernya Al-Mishbah vol. 10 (2010:186)
memberikan penjelasan, bahwa kata anfusikum adalah bentuk jamak dari kata nafs
yang memiliki arti jenis atau diri. Pernyataan yang menyatakan bahwa pasangan
manusia dari jenis yang sama (laki-laki atau perempuan) adalah tindakan yang
tidak diperbolehkan dalam Islam. Allah tidak mengkhendaki hubungan seksual
kepada yang bukan pasangannya. Mengenai pasangan telah Allah S.w.t.. tegaskan
dalam Alquran surat An-Najm ayat 45:

‫ﭑﭒﭓﭔ ﭕ ﭖ‬
Dan sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin
Abdirrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam kitabnya Tafsir Jalalain (tt:198)
memberikan penjelasan mengenai hal di atas, bahwa “(Sesungguh­nya Dialah
yang menciptakan pasangan) dua macam (laki-laki dan perempuan), dengan
begitu dapat kita simpulkan, bahwa pasangan itu adalah dua macam: laki-laki
dan perempuan, bukan yang satu jenis.
Bagi mereka yang menjadikan surat Ar-Rûm ayat 21 sebagai pem­benaran,
tentu saja hal ini keliru, karena tidak sesuai dengan makna surat An-Najm ayat
50 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

45 yang menjelaskan bahwa pasangan bagi laki-laki adalah perempuan, begitu


pula berlaku sebaliknya. Semoga penjelasan di atas dapat menjadi acuan bahwa
Allah tidak mengkhendaki pasangan sejenis.

Konsep Preventif Terkait Perilaku LGBT


Setelah mengetahui faktor penyebab LGBT, maka harus ada konsep preventif
bagaimana keluarga Indonesia, khususnya di Provinsi Banten, bisa terbebas
dari perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT. Penulis dalam hal ini
memberikan dua konsep yang mudah-mudahan menjadi solusi terbaik, yakni
lewat pendidikan, pendidikan ini diharapkan pula dijalankan atas dasar keinginan
meraih ridha Allah S.w.t.. sebab dengan hal tersebut seseorang dapat mengenal
Tuhannya dan membangun budi pekerti (Hamka, 2017:283), di antara konsep
yang akan diberikan meliputi pendidikan maskulin untuk anak laki-laki dan
pendidikan feminin untuk anak perempuan dengan rincian sebagai berikut:
1. Pendidikan Maskulin untuk Anak Laki-laki
Maskulin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:884) diartikan sebagai
“bersifat jantan”, sedangkan “jantan” diartikan sebagai “gagah dan berani”
(KBBI, 2008:566) Ini menjadi catatan bahwa anak laki-laki harus memiliki
kepribadian yang gagah, tangguh dan berani yang menjadi sifat laki-laki. Anak
laki-laki perlu memiliki kepribadian maskulin yang dominan, dengan tidak
menepikan sifat feminin. Dalam aplikasinya, anak akan tumbuh menjadi laki-
laki yang memiliki karakter berani, disiplin, tegas dan rasional dalam mengambil
keputusan (Irawati Istadi, 2017:49).
Seseorang yang dapat dijadikan figur maskulin adalah ayahnya. Sebab selain
kepribadian maskulin yang dimiliki seorang ayah, ia pun perlu menjadi figur,
karena sesorang lebih mudah memahami dengan dicontohkan dari pada lewat
teori. Jika seorang anak terlahir dari keluarga yang tidak utuh (single parent)
maka seseorang yang dapat dijadikan figur maskulin adalah saudara laki-laki
dari ayah atau dari bundanya.
Selanjutnya, jika seorang anak sudah terlanjur terjangkit LGBT, maka
tugas ayah bunda adalah dengan tidak menjauhi sang anak, tetapi dengan
diarahkan dan dibina dengan penuh kasih sayang. Pastikan pula ayah bunda
mendengarkan dan memahami apa yang menjadi masalah sang anak agar ia
memiliki kepribadian yang sesuai dengan biologisnya (Hasan Syamsi, 2017:75).
Seorang ayah dapat mengajarkan anak laki-laki aktivitas apa saja yang
biasanya dilakukan anak laki-laki, serta memberikan pengajaran bahwa anak
laki-laki harus memiliki jiwa dan tubuh yang kuat dan berani mengambil
resiko, sebab hidup ini penuh dengan resiko, dan resiko akan mampu di­hadapi
Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 51

oleh jiwa yang memiliki keberanian (Robi Afrizan Saputra, 2017:120). Gelar
pemberani tentu saja layak diberikan pada mereka yang tiada merasa gentar
(Hamka, 2017:245).
Anak laki-laki harus memiliki jiwa yang siap bertanggung jawab, terutama
setelah dewasa, ketika kelak mereka menjadi ayah bagi anak-anaknya. Pendidikan
yang diberikan ayah bunda, tentu saja harus dengan jalan yang baik dan tidak
dengan cara yang kasar, karena cara yang kasar dapat menghapus kandungan
pembicaraan yang baik (Yusuf Qardhawi, 2107:226).

2. Pendidikan Feminin untuk Anak Perempuan


Feminin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “bersifat
perempuan” (2008:390). Dalam hal ini perempuan harus memiliki sifat feminin:
lemah lembut dan penuh kasih sayang yang dominan. Bukan berarti anak
perempuan tidak diperbolehkan memiliki sifat maskulin, hanya saja sifat feminin
ini harus dominan melekat. Anak perempuan jika tidak memiliki sifat maskulin
dikhawatirkan akan menjadi anak yang cengeng, tertutup dan tidak mempunyai
semangat. Padahal Islam tidak meng­k­hendaki sikap tersebut, sebagaimana firman
Allah S.w.t.. dalam Alquran surat Âli ‘Imrân ayat 139 yang berbunyi:

‫ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓﯔ ﯕ‬
Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.
Ditegaskan pula dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.
tentang perintah agar kuat dan meninggalkan kelemahan, yakni:
Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah S.w.t.. daripada
orang mukmin yang lemah. Dan dalam segala hal memang terdapat kebaikan. Raihlah
dengan sungguh-sungguh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada
Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah.
Seseorang yang dapat dijadikan figur feminin dalam hal ini adalah bunda,
karena karakter feminin dalam dirinya terdapat keterampilan linguistik yang
dimiliki kebanyakan perempuan. Seorang anak perempuan juga perlu figur
maskulin, karena jika tidak, dikhawatirkan dirinya menjadi pasif karena tidak
memiliki keberanian dan ketakutan dalam menghadapi resiko dalam hidup yang
selalu hadir. Anak perempuan yang tidak mendapatkan figur maskulin yang baik—
apalagi jika ditambah dengan pernah mengalami trauma terhadap laki-laki—ia
bisa tumbuh menjadi lesbian karena ke­hilangan kepercayaan terhadap laki-laki.
Begitu pula sebaliknya berlaku bagi anak laki-laki (Irawati Istadi, 2017:39).
Usaha yang digiatkan dalam hal ini meliputi pendidikan maskulin
dan feminin, pada hakikatnya tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa
52 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menyerahkan seluruhnya pada Allah S.w.t.. Muhammad Iqbal dalam bukunya


8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah (2015:42)
memberikan penuturan, bahwa tawakal adalah berserah diri kepada Allah
demi mendapatkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Menurut Syekh
Ibnu ‘Utsaimin, tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah
dan mengupayakan yang dicari dan menolak sesuatu yang tidak disenangi,
disertai percaya penuh kepada Allah S.w.t.. Kisah Nabi Musa as. beserta para
pengikutnya yang dikejar Fir’aun dan bala tentaranya dalam Alquran surat Al-
Baqarah ayat 49-50 dan surat Asy-Syu’arâ’ ayat 52-68 menjadi catatan bahwa
Allah S.w.t.. senantiasa menolong hamba-Nya yang tawakal.

Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat diambil benang merah. Pertama, LGBT merupakan
perilaku menyimpang yang keluar dari batas wajar. Alquran dan Pancasila
tidak mengkhendaki perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT. Penguatan
keluarga diharapkan mampu menjadi pintu awal agar anggota keluarga terbebas
dari perilaku LGBT. Jika keluarga kuat maka negara akan kuat, jika keluarga
lemah, maka negara akan mudah rapuh.
Kedua, perilaku LGBT merupakan perilaku yang tidak terjadi begitu saja.
Dalam hal ini, beberapa faktor penyebab LGBT meliputi: (1) Pengalaman
traumatik pernah menjadi korban pelecehan seksual; (2) Pola asuh orang tua
yang salah; (3) Kurang mendapat kasih sayang dari orang tua (ayah bunda)
yang utuh; (4) Kehilangan figur ayah; serta (5) pengaruh lingkungan pergaulan
(Dewi Rokhmah, 2017:18).
Ketiga, konsep preventif yang diberikan dalam hal penanggulangan dan
pencegahan terkait perilaku LGBT, yakni: (1) Pendidikan Maskulin untuk
Anak Laki-laki; dan (2) Pendidikan Feminin untuk Anak Perempuan. Konsep
tersebut diharapkan mampu mewujudkan keluarga di Provinsi Banten bisa
hidup sehat dan terbebas dari LGBT serta menjadi masyarakat yang berlimpah
rahmat Allah S.w.t.. Aamiin.

Pustaka Acuan
Sumber Buku
3 Kitab Undang-Undang: KUHPer; KUHP; KUHAP. 2015. t.pn: Grahamedia
Press.
Abdurrahman, Jamal. 2017. Islamic Parenting: Pendidikan Anak Metode Nabi.
Penerjemah: Agus Suwandi. Surakarta: Aqwam.
Menggiatkan Pendidikan Maskulin dan Feminin Dalam Keluarga 53

Al-Baqiy, M. Fuad Abd. 1364. Al-Mu’jam Al-Mutahras li Al-Fazh Alquran. Al-


Qahirah: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah.
Al-Jawi, Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nawawi. tt. Tafsir Al-Munîr. Darul
Ilmi: Surabaya.
Al-Mundziri, Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi. 2012.
Ringkasan Sahih Muslim. Surakarta: Insan Kamil.
As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam
Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar. tt. Tafsir Jalalain. t.pn: CV: Pustaka
Assalam.
Azhar, Nur Tauhid. 2011. Mengapa Banyak Larangan? Hikmah dan Efek
Pengharaman dalam Bercinta, Kesehatan, serta Psikologi Kejiwaan. Surakarta:
Tinta Medina.
Baswedan, Anies. 2015. Merawat Tenun Kebangsaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Departemen Agama RI. tt. Alquran Al-Karîm dan Terjemah Bahasa Indonesia.
Kudus: Menara Kudus.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
_____, 2015. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
Husaini, Adian. 2015. LGBT di Indonesia: Perkembangan dan Solusinya. INSIST:
Jakarta Selatan.
Iqbal, Muhammad. 2015. 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang
Dibenci Allah. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Istadi, Irawati. 2017. Rumahku, Tempat Belajarku. Yogyakarta: Pro-U Media.
Junaedi, Didi. 2016. Penyimpangan Seksual yang Dilarang Alquran: Menikmati
Seks Tidak Harus Menyimpang. Jakarta: PT Gramedia.
Qardhawi, Yusuf. 2017. Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan
dalam Beragama. Penerjemah: Alwi A.M. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Rokhmah, Dewi. 2017. Strategi Pencegahan LGBT Pada Anak. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Saputra, Robi Afrizan. 2017. Jangan Jadikan Masa Mudamu Sia-sia. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, kesan, dan Keserasian
Alquran Vol. 4. Jakarta: Lentera Hati.
_____, 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, kesan, dan Keserasian Alquran Vol. 4.
Jakarta: Lentera Hati.
54 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Sinyo. 2016. Lo Gue Butuh Tau LGBT. Jakarta: Gema Insani.


Syamsi, Hasan. 2017. Modern Islamic Parenting. Surakarta: AISAR Publishing.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2009. Undang-undang Dasar 1945 dan
Amandemennya. Bandung: Nuansa Aulia.

Sumber Internet
Kartika Ikawati. Rappler.com. Kilas balik 3 dekade Organisasi LGBT Indonesia
Bersama dede oetomo. Diakses Pada tanggal 18 Januari 2018 Pukul 19.15
WIB.
Mahyadi. Bantenhits.com. “Jumlah LGBT di Banten meningkat 200%”.
Diakses Pada Tanggal 18 Januari 2018 Pukul 9.41 WIB.
SU02. Seruji.co.id. “Aksi Tolak LGBT digelar di Banten” Diakses pada Tanggal
18 Februari 2018 Pukul 07.30.
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter
Anak (Tinjauan Fungsi Afeksi Keluarga
dalam Upaya Menopang Ketahanan
Nasional)
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.01

Pendahuluan
Ibu merupakan salah satu dari kedudukan sosial yang memiliki banyak peran.
Peran sebagai istri dari suaminya, peran sebagai ibu dari anak-anaknya, peran
sebagai manager rumah tangganya, serta sebagai madrasah untuk anak-anaknya.
Ibu adalah status mulia yang pasti akan disandang oleh setiap wanita normal. Ia
mengemban banyak tugas dan tanggung jawab terhadap keluarganya. Didalam
Alquran dijelaskan bahwa tugas seorang ibu sebagai istri ialah melaksanakan
kewajiban-kewajiban untuk melayani suaminya, menjaga harga diri, rumah
tangga, dan harta suami ketika suami tidak ada dirumah (Q.S.an-Nisa:34).
Sedangkan tugas ibu terhadap anak diantaranya ialah mengandungnya,
melahirkannya, menyusuinya serta mendidiknya bahkan ketika masih dalam
kandungan (Q.S.Luqman:14).
Tugas seorang ibu dalam merawat dan membesarkan anaknya tidak terbatas
fisik saja, tetapi meliputi semua aspek pertumbuhan dan per­kembangan manusia
sebagai makhluk Allah S.W.T.. Selain itu, hal terpenting dalam membesarkan
anak adalah bagaimana mengisi jiwanya dengan akidah yang kokoh sehingga
mampu menjalankan syari’at Islam dengan baik, karena Allah S.W.T. telah
menegaskan kepada manusia bahwa jangan sampai meninggalkan generasi

55
56 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

setelah mereka generasi yang lemah dari segi akidah, akhlak, ilmu pengetahuan,
serta aspek-aspek lainnya (Q.S.an-Nisa:9). Hal ini berarti tugas orang tua
mendidik anak merupakan hak anak yang sangat utama demi terjaminnya
kehidupan anak di masa mendatang.
Menurut pandangan Islam mengenai hak anak dalam mendapat­kan
pendidikan, sebenarnya terkait erat dengan tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya. Orang tua (khususnya ibu) berkewajiban memberikan perhatian
kepada anaknya dan dituntut untuk tidak lalai dalam mendidik­nya. Jika anak
merupakan amanah dari Allah S.W.T., maka mendidiknya termasuk bagian dari
menunaikan amanah-Nya. Sebaliknya, melalaikan hak-hak mereka termasuk
khianat terhadap amanah Allah S.W.T. (Q.S.an-Nisa:58). Ada ungkapan yang
menyebutkan “al-ummu madrasatul- la” (ibu adalah sekolah pertama) untuk
menunjukkan betapa peran ibu sangat strategis dalam mendidik anak-anaknya
di awal kehidupan mereka. Namun, di zaman modern ini terjadi banyak
kemajuan pola pikir.
Dewasa kini, sebagian ibu lebih memilih meniti karirnya dari pada hanya
sekedar mejadi seorang ibu rumah tangga. Kini, hampir semua perusahaan
dalam skala local maupun nasional memberi persyaratan gender (menempatkan
wanita) pada posisi tertentu dalam bidangnya. Hal ini di­maklumkan karena
memang ada beberapa peran perempuan dalam suatu pekerjaan yang memang
tidak bisa digantikan oleh laki-laki. Contohnya, perawat (tidak bisa seluruhnya
laki-laki) atau admin perusahaan tertentu yang memberi persyaratan gender
(harus wanita dengan wajah cantik dan tinggi yang ditentukan), serta masih
banyak posisi-posisi pekerjaan tertentu yang membutuhkan seorang wanita.
Bahkan dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 2012
menyatakan bahwa diharuskannya 30% partisipasi wanita dalam menduduki
posisi kepengurusan partai politik tingkat pusat. Hal tersebut tentu memberikan
dampak yang tidak sedikit, minimal dalam skala keluarga.
Keluarga merupakan komunitas terkecil dalam struktur masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama dalam meletakkan
dasar-dasar pendidikan bagi perkembangan anak. Salah satu fungsi keluarga juga
sebagai pemberi kasih saying (fungsi afeksi). Anak yang kekurangan kasih sayang
akan tumbuh secara menyimpang, atau mengalami suatu gangguan dalam
sikapnya bermasyarakat. Kasih sayang orang tua dapat dilakukan dengan cara
menciptakan iklim kondusif di lingkungan rumah (keluarga) guna tumbuhnya
karakter yang baik sejak kecil. Hal tersebut dibutuhkan pendampingan serta
keteladanan yang dilakukan secara terus menerus oleh orang tua kepada anaknya.
Keterlibatan wanita (khususnya ibu) dalam karirnya tentu berakibat pada
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 57

berkurangnya kuantitas waktu (quantity time) dengan keluarganya, khususnya


anak. Hal tersebut tentu memiliki dampak yang tidak sedikit untuk anak.
Namun, di sisi lain, tidak dipungkiri memang dalam proses pem­bangunan
nasional dibutuhkan peran wanita didalamnya. Hal ini banyak menimbulkan
pertanyaan dibenak kita. Bagaimanakah seharusnya seorang ibu dalam berkarir
dan mendidik anak dengan baik. Karena keduanya merupakan hal penting
dalam pembangunan ketahanan nasional. Oleh karena itu, penulis akan
mengkaji urgensi peran ibu terhadap pendidikan karakter anak sebagai tinjauan
fungsi afeksi keluarga dalam upaya menopang ketahanan nasional.

Peran Ibu Dalam Keluarga dan Tinjauan Karirnya


Peran seorang perempuan sebagai ibu, sejatinya dimulai dari saat terjadinya
konsepsi yang berproses menjadi janin dan kemudian lahir sebagai bayi. Secara
garis besar, peran perempuan sebagai ibu dalam keluarga dapat dijelaskan sebagai
berikut:1
1. Mengandung Serta Melahirkan Anak (Fungsi Reproduksi)
Salah satu kodrat perempuan adalah mengandung anak. Pekerjaan atau tugas
ini sangat spesifik karena hanya bisa dijalani oleh perempuan. Mengandung
anak adalah tugas yang melelahkan, karena adanya perubahan-perubahan
hormonal yang berpengaruh pada keseluruhan system tubuh. Tugas ini
dijelaskan oleh beberapa ayat dalam Alquran diantaranya adalah Surat al-
Ahqaf (46:15).
2. Menyusui dan Merawat Anak (Fungsi Afeksi)
Anak lahir ke dunia telah dilengkapi oleh Allah S.W.T. berbagai modalitas
untuk hidup seperti insting (naluri) untuk menyusu, tapi belum memiliki
pengetahuan atau kecerdasan (kognitif) kecuali potensi-potensi yang siap
dikembangkan oleh orang tua dan lingkungannya. Tugas ini dijelaskan oleh
beberapa ayat dalam Alquran diantaranya adalah Surat an-Nahl (16:78) dan
Surat al-Baqarah (2:23).
3. Membesarkan dan Mendidik anak (Fungsi Pendidikan)
Tugas ibu dalam membesarkan dan mendidik anak tidak seeksklusif tugas
mengandung, melahirkan, dan menyusui. Karena, merawat dan membesarkan
anak dapat dilakukan secara bersama-sama dengan keluarga. Merawat dan
membesarkan anak tidak terbatas pada ke­butuhan fisik saja, tetapi meliputi
semua aspek pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai makhluk

1
Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.146
58 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Allah S.W.T. seperti perkembangan mental, spiritual, sosial, kecerdasan, dan


keterampilan hidup (life skill).
Berikut adalah ayat yang menjelaskan kewajiban orang tua untuk mendidik
anaknya serta hak anak untuk mendapatkan pendidikan (tarbiyah) dari orang
tuanya:

‫ﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ ﯡﯢﯣ ﯤﯥ‬


‫ﯦﯧﯨ ﯩﯪﯫﯬﯭﯮﯯﯰﯱ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S.at-Tahrîm: 6).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang beriman diharuskan
memelihara dirinya dan keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia. Ketika orang tua ingin melindungi anaknya dari panasnya api
neraka, berarti ia harus membekali anaknya dengan sebaik-baiknya ilmu. Ilmu
tersebut-lah yang akan menjaganya dari siksaan neraka. Sebab bagaimana anak
bisa menjaga dirinya jika ia tidak mengerti apasaja yang dilarang oleh agama.
Bagaimana ia bisa mengerti sesuatu yang haram jika ia tidak diberi pengetahuan
tentang hal tersebut. Hal ini berarti pendidikan adalah hal yang paling utama
bagi anak demi terjaminnya hidup anak di masa mendatang.
Hal ini juga diperkuat dengan ayat Alquran berikut:

‫ﭴﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾﭿ‬


‫ﮀﮁﮂﮃ‬
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah dibelakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka
berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.S.an-Nisâ’: 9).
Dalam tafsir al-Muyassar dijelaskan bahwa seseorang harus merasa khawatir
kalau-kalau sesudah wafatnya ia meninggalkan anak keturunan yang lemah,
lalu mereka teraniaya dan kehilangan segalanya (tak bermakna apa-apa dalam
kehidupan, meaningless). Untuk itu, penting untuk menjaga harta mereka,
memberi pendidikan terbaik, menjauhkan mereka dari segala penderitaan, dan
senantiasa berkomunikasi secara baik dan adil.2

2
Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.153
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 59

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa diantara hak-hak anak dari orang


tuanya adalah memiliki keterampilan motorik halus seperti menulis, motorik
kasar seperti bela diri, dan tidak mendapatkan rezeki yang haram.
Kewajiban orang tua terhadap anaknya antara lain mengajarinya tulis baca,
berenang, memanah, dan tidak memberinya rezeki kecuali yang baik (halal).
(Riwayat al-Hâkim dan al-Baihaqî dari Abû Râfi’.
Begitu strategisnya tanggung jawab seorang ibu terhadap anaknya, bahkan
di zaman sekarang semakin banyak tantangannya bagi seorang ibu dalam
mendidik anaknya. Oleh karena itu, Allah menempatkan ibu pada posisi yang
mulia. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut:

‫ﭶﭷﭸﭹﭺ ﭻﭼﭽﭾﭿﮀﮁﮂ‬
‫ﮃﮄ ﮅﮆﮇ‬
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang
tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah
dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua
orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (Q.S.Luqman:14)”.
Namun meskipun ibu memiliki tanggung jawab yang sangat penting
terhadap anak, bukan berarti ia tidak boleh melakukan kepentingan
diluar rumah. Dalam Alquran memang dijelaskan bahwa sebaiknya wanita
tetap tinggal dirumah, tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang
jahiliyah, melaksanakan shalat, menunaikan zakat serta menaati Allah dan
rasulnya (Q.S.al-Ahzab: 33). Ibnu katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa
itu merupakan larangan bagi perempuan khususnya istri Nabi Saw dan
perempuan muslimah lainnya untuk keluar rumah jika tidak ada kebutuhan
yang dibenarkan agama, shalat dimasjid umpamanya.3 Wahbah az-Zuhaili
juga berpandangan seperti di atas, ia menyatakan: “Hendaklah perempuan
tetap tinggal di rumah, jangan sering keluar rumah tanpa ada keperluan
yang diperbolehkan agama”.4
Sedangkan, diantara pemikir muslim kontemporer adalah al-Maududi yang
berpandangan seperti di atas. Dalam bukunya al-Hijâb seperti yang dikutip oleh
M. Quraish Shihab, ia menyatakan:
“Tempat perempuan adalah dirumah, mereka tidak dibebaskan dari pekerjaan luar
rumah kecuali agar mereka selalu berada dirumah dengan tenang dan hormat,
sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada

3
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera
Hati, 2001) h.330
4
Abul-Fadl, Jamaluddin. Lisânul-‘Arab (Beirut: Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 2003) hal.418
60 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
memperhatikan segi kesucian diri dan memelihara rasa malu”.5
Pandangan tersebut juga dijabarkan oleh Sayyid Qutub dan M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya Fî Zilâlil-Qur’ân, Sayyid Qutub menyatakan ayat
tersebut memberi isyarat bahwa rumah tangga adalah tugas pokok para istri,
sedangkan selain itu adalah tempat ia tidak menetap (bukan tugas pokoknya).
Sedangkan M.Quraish Shihab menambahkan argumen Sayyid Qutub dengan
menyatakan bahwa perempuan pada zaman awal Islam pun bekerja, ketika
kondisi mereka dituntut untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak pada
ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya adalah bahwa
Islam tidak cenderung mendorong perempuan keluar rumah kecuali untuk
pekerjaan-pekerjaan yang sangat diperlukan atau dibutuhkan oleh masyarakat,
atau atas dasar kebutuhan perempuan tertentu. Misalnya kebutuhan untuk
bekerja karena yang menanggung biaya hidupnya belum mampu mencukupi
kebutuhannya.6
Berikut pandangan Alquran tentang perempuan yang bekerja:7
1. Bekerja adalah keniscayaan hidup
Tujuan utama Allah S.W.T. memberikan kesempatan hidup di dunia
adalah agar manusia—termasuk perempuan- bekerja dengan baik. Hal ini
diisyaratkan dalam Surat pada Alquran, yaitu:

‫ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ‬
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Q.S.al-Mulk:2).
Dalam ayat ini setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dituntut
untuk dapat mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam bekerja dan
melakukan tugas-tugasnya. Maka kalau ada orang yang enggan berusaha,
apalagi kalau itu adalah tugas utamanya baik laki-laki maupun perempuan,
sungguh orang tersebut telah melalaikan kewajibannya.
2. Memiliki kesempatan yang sama untuk berprestasi, ayat yang secara jelas
menunjukkan hal ini adalah:

‫ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ‬

5
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah, h.418
6
At-Tabari, Ibnu Jarir, Tafsir at-Tabari, jilid II (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) h.136-137
7
Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Al-Qur’an Tematik). (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012) Hal.83
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 61

‫ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ‬
‫ﯝ ﯞﯟ‬
Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka
usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S.an-Nisa:32)
Mufassir Abu Hayyan menjelaskan ayat tersebut menyatakan bahwa “Islam
tidak menerima orang yang hanya berangan-angan dan ber­pangku tangan.
Tidak pula memperkenankan sikap pasif dan malas. Islam menyerukan sikap
yang progresif dan kerja keras. Adapun berangan-angan terhadap hal-hal yang
baik di dunia dan berusaha mewujudkannya dengan tujuan mendapat pahala
akhirat, maka yang seperti itu sangat terpuji. Seseorang yang menggantungkan
keberuntungannya dengan giat bekerja adalah spirit Islam.8
Kesimpulannya, wanita dianjurkan untuk menetap dirumah, namun ia juga
tidak mendapat larangan keluar rumah untuk hal tertentu sesuai kebutuhannya
dan memberikan kemaslahatan umat. Hal tersebut tentu disertakan beberapa
syarat, seperti yang dianjurkan oleh M.Quraish Shihab dalam bukunya:
1. Hendaklah pekerjaan tersebut disyari’atkan. Maksudnya adalah pekerjaan
yang dilakukan oleh wanita tersebut bukan merupakan pekerjaan yang
mendatangkan keharaman. Misalnya, menjadi wanita yang menyediakan
minuman memabukkan di bar, karena Allah melaknat siapa saja yang
meminum khamr, menyediakannya, serta menjualnya. Atau menjadi
sekretaris seorang laki-laki yang jika mereka bekerja lebih sering berduaan
sehingga menimbulkan fitnah antara keduanya.
2. Hendaklah wanita tersebut keluar rumah dengan menjaga auratnya serta
memelihara kemaluannya. Ketika ia keluar rumah, hendaklah ia memakai
pakaian yang rapih, menutupi auratnya, menjaga kehormatan suaminya,
serta menjaga dirinya dari fitnah.
3. Hendaklah mendapat izin dari suaminya serta pekerjaannya tidak
mengganggu atau melalaikannya dalam melakukan kewajibannya dalam
melayani suami, mengurus anak serta mendidik anak.

Peran Ibu dalam Menumbuhkan Pendidikan Karakter Anak


Pendidikan karakter adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar, baik oleh
individu, kelompok tertentu atau sekolah dalam rangka menginternalisasi nilai-

8
Al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qurân, jilid X (Beirut: Darul-Fikr, 1999) h.261
62 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

nilai luhur, baik yang bersumber dari agama, dari nilai sosial dan budaya bangsa,
serta etika dan moral. Hal tersebut diupayakan agar seseorang mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan
melakukan kebaikan (doing the good) yang selanjutkan akan tumbuh menjadi
sikap, pandangan dan kepribadiannya.9
Sejatinya, karakter anak itu bukan dibentuk, tapi ditumbuhkan. Bagaimana
caranya orang tua memberikan umpan yang baik dan terjamin sehingga karakter
tersebut dapat tumbuh berkembang bahkan mengakar pada diri anak. Hal ini
perlu dilakukan atas kerja sama orang tua (ayah dan ibu), perbedaannya adalah
ibu lebih dominan dalam pengaruhnya terhadap proses tumbuh kembang
anak, karena sejak lahir hingga tumbuh besar seorang ibulah yang cenderung
mengurus anaknya.
Proses menumbuhkan karakter yang baik pada anak dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1. Penciptaan iklim yang baik (favourable)
Untuk menumbuhkan karakter yang baik pada anak secara alami, maka
dibutuhkannya rangsangan atau penciptaan iklim yang baik. Anak akan
melakukan apa yang menurutnya menarik dari lingkungannya, maka orang
tua harus berupaya menciptakan hal yang bisa merangsang anak agar dapat
melakukan hal yang baik, seperti membantu ibunya, membantu ayahnya,
merapihkan mainan atau barang miliknya. Dari hal-hal sederhana tersebut
akan tercipta sifat mandiri, sifat meng­hormati dan sifat menolong pada diri
anak.
2. Pembiasaan (Habitly)
Dalam upaya menumbuhkan karakter, perlu adanya pembiasaan yang
dilakukan secara terus-menerus dan berkala pada anak. Hal tersebut
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Al-Hakim dan Abu Daud
meriwayatkan dari Ibnu Amr bin A-Ash r.a dari Rasulullah Saw, bahwa
beliau bersabda yang artinya: “Perintahkan anak-anakmu menjalankan
ibadah saat shalat jika mereka sudah berusia 7 tahun. Dan jika mereka sudah
berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya
dan pisahkanlah tempat tidur mereka”.10
Berdasarkan perintah tersebut, dapat kita fahami bahwa Rasulullah bukan

9
Tafsir, MA. Prof. Dr. H. Ahmad. Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu. (Jakarta: Gaung Persada,
2016) hal.7
10
Nashih Ulwan, Dr. Abdullah. Pendidikan Anak Dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
hal.167
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 63

mengajarkan kekerasan kepada anak, melainkan lebih mengutamakan


kasih sayang. Sehingga anak perlu di didik di usia dini, mengajarinya, serta
melatihnya secara terus-menerus. Jika dalam jangka waktu tiga tahun anak
tidak juga melaksanakannya, baru pukullah mereka. Bukan memukulnya
tanpa mendidiknya serta melatihnya terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan
agar supaya ketika anak tumbuh besar, ia telah terbiasa melakukan dan
terdidik untuk menaati Allah, melaksanakan hak-Nya, bersyukur, kembali
serta berpegang teguh kepada-Nya.
3. Keteladanan (Examplary)
Sifat anak adalah meniru, dan ketika di lingkungan keluarga ia akan lebih
sering meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Oleh karena
itu orang tua harus menjadi model yang baik untuk anak. Sebagian orang
tua masa kini, tidak bisa lepas dari alat komunikasi sehingga terkadang
mengabaikan anaknya yang sedang bersamanya. Hal tersebut merupakan
contoh penyebab mengapa anak zaman sekarang juga sulit dijauhkan dari alat
komunikasi. Maka, jadilah sebaik-baiknya model untuk anak tiru, sehingga ia
akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik dan dapat menghormati apa yang
dinasehatkan oleh orang tuanya.

Korelasi Ketahanan Keluarga Dengan Ketahanan Nasional


Ketahanan keluarga merupakan suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki
keuletan, ketangguhan serta kemampuan fisik, materiil dan mental untuk hidup
secara mandiri. Ketahanan keluarga juga mengandung makna kemampuan
keluarga untuk mengembangkan dirinya agar hidup secara harmonis, sejahtera
dan bahagia lahir dan batin. Ketahanan keluarga mencakup kemampuan keluarga
untuk mengelola sumber daya dan masalah untuk mencapai kesejahteraan,
kemampuan untuk beradaptasi terhadap berbagai kondisi yang senantiasa
berubah secara dinamis serta memiliki sifat positif terhadap berbagai tantangan
kehidupan berkeluarga.
Peraturan menteri PPPA nomor 6 tahun 2013 tentang pelaksanaan
pembangunan keluarga menyebutkan terdapat 5 indikator ketahanan keluarga,
yaitu :11
1. Landasan legalitas dan keutuhan keluarga
2. Ketahanan fisik
3. Ketahanan ekonomi

11
Badan Pusat Statistik. Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. (Jakarta: CV. Lintas
Khatulistiwa, 2016) hal.8
64 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

4. Ketahanan sosial psikologi


5. Ketahanan sosial budaya
Pada point pertama, landasan legalitas dan keutuhan keluarga di­dalamnya
termaksud kemitraan gender dimana salah satu cirinya adalah ibu menyisihkan
waktu khusus bersama anaknya. Hal ini menyatakan bahwa ada pengaruh yang
signifikan pada ketahanan keluarga apabila point tersebut tidak tercukupi dalam
suatu keluarga.
Keluarga merupakan basis pembinaan awal yang dapat berperan mem­
berikan perlindungan dan pembinaan terhadap anggota keluarganya sehingga
dapat terjun ke lingkungan yang lebih besar, yakni masyarakat dan bangsa.
Pembinaan dalam keluarga dapat memainkan peranan penting untuk mem­
bentengi anak dari pengaruh negative globalisasi. Keberadaan keluarga
ditempatkan sebagai lini pertama yang berperan dalam pemenuhan hak anak
dan menjamin tumbuh kembang anak. Keluarga merupakan institusi terkecil
dalam suatu bangsa, namun keberadaannya memiliki pengaruh besar terhadap
keberhasilan pembangunan bangsa.
Dengan demikian, korelasi ketahanan keluarga dengan ketahanan nasional
adalah bahwa keluarga merupakan pilar utama yang memiliki peran sentral
bagi pembentukan karakter anak bangsa, peningkatan sumber daya manusia
yang berkualitas, dan peningkatan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu,
keluarga-keluarga yang shalih-shalihah akan berpengaruh kepada kokohnya
suatu bangsa.

Gagasan Kuantitas dan Kualitas Waktu (Quantity and Quality Time)


Anak memang membutuhkan keduanya, kuantitas waktu dan kualitas waktu.
Namun, jika orang tua (khususnya ibu) tidak dapat memenuhi keduanya
karena adanya tuntutan lain, maka pertimbangkanlah hal tersebut dengan
sebaik mungkin. Ketika seorang ibu tetap dirumah dan merawat anaknya, maka
anak tidak akan kekurangan kasih sayang dan pendampingan dalam setiap
perkembangannya, namun kebutuhan (materi) anak belum tentu terpenuhi
seluruhnya. Ketika seorang ibu bekerja karena tuntutan ekonomi, maka
kebutuhan anak dapat terbantu, namun ia akan kehilangan waktu bersama
ibunya. Hal ini erat kaitannya, dan akan selalu ada ketimpangan yang terjadi
ketika seorang ibu memilih salah satunya. Namun, seorang ibu yang cerdas
akan dapat mengatasinya dengan cara ia menjadikan kuantitas waktu yang
sedikit tersebut menjadi berkualitas ketika bersama anaknya. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara:
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 65

1. Komunikasi yang aktif (Active Communication)


Anak akan merasa diperhatikan apabila kita terus mengajaknya ber­bicara
banyak hal. Menanyakan kegiatannya dalam pada hari itu, menanyakan
bagaimana keadaan disekolahnya, menceritakan temannya pelajaran­nya,
serta hal-hal sederhana lainnya. Lakukan hal tersebut sesering mungkin.
Jika terhalang jarak, maka lakukan hal tersebut dengan menggunakan alat
komunikasi. Hal ini bertujuan untuk tetap membangun kedekatan anak
dengan orang tua meski sedang tidak pada tempat yang sama.
2. Berikan sentuhan (touching)
Di dalam Adabul Mufrid, Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Aisyah
r.a: “Seorang A’rabi telah mendatangi Nabi SAW dan berkata, ‘Apakah engkau
menciumi anak-anakmu, sedang kami belum pernah melakukan hal itu’.
Maka, Nabi SAW bersabda, ‘Apakah engkau ingin Allah mencopot rasa kasih
sayang dari hatimu?”.
Dalam hadits tersebut dapat difahami bahwa dengan memberikan
sentuhan (ciuman atau pelukan) terhadap anak, akan terus me­numbuhkan
rasa kasih sayang didalam hati keduanya (orang tua dan anak). Tidaklah
mengherankan apabila kasih sayang itu telah tertanam di dalam hati kedua
orang tua, mereka akan melaksanakan kewajibannya dan melindungi hak
anak serta bertanggung jawab terhadap anak-anaknya sebagai kewajiban
yang telah ditugaskan Allah kepada mereka. Maka manfaatkanlah waktu
bersama anak dengan sebaik mungkin, memberikan sentuhan kepadanya
sehingga menjadikan waktu tersebut berkualitas dalam mendidiknya.
3. Menjadi pendengar yang baik (good listener)
Ketika sedang bersama anak, jadilah pendengar yang baik. Dengarkan­lah
ketika ia bercerita tentang apapun yang ia alami di sekolah, di lingkungan,
serta apapun yang ingin ia ceritakan. Berilah ia nasihat yang baik setelah
mencengar ceritanya. Respon yang baik sehingga membuat hatinya senang
dan merasa didukung sepenuh hati.
4. Mengajarkan life skills
Ketika anak mengeluhkan sesuatu tentang apa yang dialaminya, maka
jangan ajarkan ia untuk acuh tak acuh terhadap masalahnya. Jangan ajarkan
ia untuk bersikap masa bodo terhadap kejadian di sekelilingnya. Tapi
ajarkanlah ia bagaimana cara mengatasi masalahnya, bagaimana ia harus
mengatur emosinya, serta bagaimana ia harus berani minta maaf kepada
orang lain dan memaafkan kesalahan orang lain.
Beberapa hal tersebut harus dilakukan sesering mungkin dan jangan sampai
menjadikan hal lain sebagai halangan. Berikan ia pendidikan yang terbaik,
66 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

materi yang mencukupi serta kasih sayang yang tiada batasnya. Sehingga
akan tertanam pada dirinya sifat saling menyayangi terhadap yang lain.

Penutup
Peran ibu terhadap pendidikan anak sangatlah penting. Karena ibu merupakan
sekolah pertama bagi anak. Untuk melahirkan anak yang cerdas dibutuhkan
seorang ibu yang cerdas. Untuk menjadikan anak shalih/shalihah maka orang
tuanya pun harus shalih/shalihah. Wanita yang shalihah merupakan tiang negara,
oleh karena itu untuk membangun sebuah negara yang kokoh dibutuhkannya
peran wanita untuk mendidik anak-anak bangsa yang merupakan aset untuk
membangun ketahanan suatu negara.
Ketika seorang ibu memilih untuk berkarir dan tidak hanya menjadi ibu
rumah tangga serta mengurus anak dirumah, maka hal tersebut diperbolehkan
dengan adanya beberapa syarat, yaitu: 1) pekerjaannya sesuai syari’at; 2)
menutup aurat dan menjaga dirinya dari fitnah; 3) atas izin suaminya dan tidak
meninggalkan kewajibannya untuk mengurus anak dan suaminya.
Keluarga merupakan pilar utama yang memiliki peran sentral bagi
pembentukan karakter anak bangsa, peningkatan sumber daya manusia yang
berkualitas, dan peningkatan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, keluarga-
keluarga yang shalih-shalihah akan berpengaruh kepada kokohnya suatu bangsa.
Pembinaan dalam keluarga dapat memainkan peranan penting untuk
membentengi anak dari pengaruh negative globalisasi. Keberadaan keluarga
ditempatkan sebagai lini pertama yang berperan dalam pemenuhan hak anak
dan menjamin tumbuh kembang anak. Keluarga merupakan institusi terkecil
dalam suatu bangsa, namun keberadaannya memiliki pengaruh besar terhadap
keberhasilan pembangunan bangsa.
Seorang ibu yang berkarir dapat memanfaatkan sisa waktunya dirumah
dengan menjadikannya waktunya berkualitas. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan cara: 1) komunikasi yang aktif dengan anak; 2) memberikan sentuhan
pada anak; 3) menjadi pendengar yang baik; 4) mengajarinya life skills. Hal
tersebut guna mengatasi dilematika ibu masa kini yang meski berkarir namun
tetap menjalankan kewajibannya untuk menumbuhkan karakter anak bangsa
yang kokoh dan shalih-shalihah, sehingga dapat terwujudnya ketahanan bangsa
yang kuat.
Peran Ibu Terhadap Pendidikan Karakter Anak 67

Pustaka Acuan:
Alquran al-Kariim.
Abul-Fadl, Jamaluddin. Lisânul-‘Arab. Beirut: Daarul Kutub al-Ilmiyyah, 2003.
Al-Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qurân, jilid X. Beirut: Darul-Fikr, 1999.
At-Tabari, Ibnu Jarir, Tafsir at-Tabari, jilid II. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Badan Pusat Statistik. Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016. Jakarta:
CV.Lintas Khatulistiwa, 2016.
Dahlan, Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
Hamka, Kedudukan Perempuan Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat,
1996.
Hanafi, Muchlis M. Kedudukan dan Peran Perempuan (Tafsir Alquran Tematik).
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, 2012.
Husain Fadhlullah, Sayyid Muhammad. Dunia Wanita Dalam Islam. Jakarta:
Lentera Basritama, 2000.
Nashih Ulwan, Dr.Abdullah. Pendidikan Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Amani, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran.
Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Tafsir,MA. Prof.Dr.H.Ahmad. Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu. Jakarta:
Gaung Persada, 2016.
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS
Sebagai Strategi dalam Membentuk
Generasi Kuat
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1. 09

Pendahuluan
Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil dalam masyarakat. Itulah sebabnya,
bangunan sebuah keluarga haruslah kuat supaya mampu meng­hasilkan generasi
kuat. Pemahaman kita pada generasi kuat bukanlah sekedar pada fisik atau
tubuhnya saja, melainkan lebih penting pada kekuatan keimanan dan ketakwaan.
Karena dengan keimanan dan ketakwaanlah seorang anak dapat membangun
diri, keluarga, agama dan negaranya.
Kecenderungan generasi saat ini yang semakin merosot kedalam jurang
kehancuran adalah karena tidak adanya penguatan iman, moral dan mental
pada anak. Dilansir dari Kompas.com, kasus kenakalan remaja pada tahun
2017 meningkat sebanyak 400 persen. Berdasarkan data Badan Narkotika
Nasional, 50-60% remaja di Indonesia menjadi pengguna narkoba. 48% dari
jumlah tersebut merupakan pecandu dan sementara sisanya hanya mencoba
penggunaan narkoba. Kenyataan ini diperparah dengan fakta lapangan bahwa
90% video porno yang beredar dalam beberapa tahun terakhir diperankan
oleh remaja. Tingginya seks bebas ini juga turut meningkatkan angka aborsi.
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2012, sekitar 21,2 % remaja
SMP dan SMA di 17 kota besar pernah melakukan aborsi.

69
70 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dalam kasus-kasus tersebut, ditemukan adanya andil keluarga sebagai


sumber masalah. Dalam kasus kenakalan remaja misalnya, peran keluarga selalu
disebut sebagai faktor utama karena orang tua tidak lagi menjalankan perannya
dalam mendidik dan mengasuh anak. Fenomema maraknya orang tua yang
menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah dan pengasuhan anak
pada baby sitter atau pembantu rumah tangga menimbulkan dampak negatif
yang menjadikan anak-anak memiliki kekurangan jasmani dan kelemahan
iman, moral serta mental. Oleh karena itu, ketika Allah berpesan agar kita
tidak meninggalkan generasi yang lemah, maka sesungguhnya Allah sedang
berbicara kepada kita mengenai generasi kuat yang memiliki kekuatan lahir
dan batin untuk membangun diri, keluarga, agama dan negaranya. Kekuataan
ini dapat dapat kita tumbuhkan melalui proses parenting yaitu pelatihan dan
pembiasaan yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anaknya. Allah S.W.T.
memerintahkan kita agar mempersiapkan generasi yang kuat lahir dan batin
sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 9:

‫ﭴﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾﭿ‬


‫ﮀﮁﮂﮃ‬
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggal­
kan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Q.s. An-Nisa: 9).
Tafsir Ibnu Katsir (2002:241) menjelaskan, bahwa Ali Bin Abi Thalib berkata
dari Ibnu Abbas: “Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal,
kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan
ahli warisnya, maka Allah memerintahkan kepada orang yang mendengarnya
untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya kepada
kebenaran. Demikianlah pendapat mujahid dan para ulama lainnya.
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan pula bahwa hendaklah mereka lakukan
untuk anak-anak yatim itu, karena hal itu adalah apa yang mereka ingin dilakukan
orang terhadap anak-anaknya sepeninggal mereka nanti. Dan hendaklah mereka
ucapkan kepada orang yang hendak meninggal (perkataan yang benar) misalnya
menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan selebihnya
untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara.
Ayat di atas menjelaskan tentang hak waris anak-anak yatim yang harus
ditunaikan secara baik. Hal ini ditegaskan oleh Alquran karena seringkali faktor
ketidaktahuan dan kelemahan mereka dimanfaatkan dalam arti negatif oleh
walinya. Akan tetapi ayat ini dapat diartikan secara umum bahwa setiap muslim
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 71

untuk berupaya sekeras-kerasnya agar generasi sesudahnya merupakan generasi


yang kuat melebihi pendahulunya.
Tugas setiap orang tua adalah mempersiapkan generasi yang kuat lahir dan
batin. Proses persiapan ini perlu dilakukan sejak dini. Hal ini berkaitan dengan
pola asuh orang tua yang disebut juga parenting merupakan proses orang tua
merawat, mengontrol, membimbing, dan mendampingi anak-anaknya. Dalam
proses parenting ini, orang tua dapat membentuk karakter kepribadian anak agar
menjadi generasi kuat untuk membangun diri, keluarga, agama dan Negara.
Anak merupakan sebuah amanat Allah kepada orang tuanya. Untuk
memastikan anak kita memiliki kekuatan baik lahir maupun batin, kebiasaan-
kebiasaan anak harus diatur dengan seksama. Syeikh Musthafa Al-Ghalayain
menjelaskan dalam Kitab Idhotun Nasyi’in bahwa anak-anak kita yang
masih kecil sekarang ini kelak di masa mendatang akan menjadi pemimpin-
pemimpin. Apabila mereka dibiasakan diri dengan akhlak yang baik, yang
dapat meninggikan derajat mereka dan berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang
bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat untuk negara, maka anak-anak itu
menjadi dasar yang kokoh bagi kebangkitan bangsa. Sebaliknya, apabila anak-
anak itu telah terbiasa dengan akhlak yang tidak terpuji dan enggan menuntut
ilmu, maka mereka akan menjadi bencana bagi bangsa dan menjadi pengacau
negara yang mereka diami. Rasulullah SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah RA
Rasulullah SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah).
Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Hadis di atas memberikan suatu gambaran bahwa setiap manusia dilahirkan
dalam keadaan fitrah. Sejatinya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan lemah
dan parenting (orang tuanyalah) yang kemudian menjadi kuat secara lahir
dan batin. Setiap orang tua memiliki dorongan untuk memperkuat anaknya,
orang tua bijaksana memperkuat anaknya dengan membiasakan kehidupan
yang tunduk kepada Allah karena sejatinya pendidikan anak adalah tanggung
jawab orang tua. Syeikh Zainuddin ‘Abdul ‘Aziz Al-Malibariy menjelaskan di
dalam Kitab Fathul Mu’in bahwa kewajiban pendidikan anak terletak pada ayah
dan ibunya, barulah suaminya (apabila ia sudah menikah). Oleh karena itu,
dalam proses parenting ini kita sebagai orang tua harus berkiblat pada Alquran
dan Sunnah Rasul. Melalui Surat Yusuf, Alquran telah menceritakan bahwa
Nabi Ya’qub AS telah berhasil membuat suatu format tentang Islamic parenting
yaitu pengasuhan anak dalam proses tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam
yang berkiblat pada Alquran dan Sunnah Rasul yang menitikberatkan pada
pendidikan keimanan dan ketakwaan dalam mempersiapkan generasi kuat yang
akan memimpin bangsa.
72 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Achyar Zein dalam bukunya Prophetic Leadership, menyebut Nabi Ya’qub


AS sebagai pemimpin yang memprioritaskan regenasi karena Nabi Ya’qub
AS merupakan seorang pimpin keluarga (ayah) yang mendidik anak-anaknya
dengan komitmen membentuk generasi kuat lahir dan batin. Sebagaimana Nabi
Ya’qub AS berhasil membentuk anak-anaknya (Yusuf dan Saudara-saudaranya)
menjadi generasi kuat melalui penerapan strategi Islamic parenting, maka Islamic
parenting Nabi Ya’qub AS dapat kita terapkan sebagai strategi membentuk
generasi kuat dimasa kini.
Adapun rumusan masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut: yang pertama, bagaimana strategi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS
dapat membentuk generasi kuat?. Yang kedua, bagaimana implementasi strategi
Islamic parenting Nabi Ya’qub AS dalam membentuk generasi kuat dimasa kini?

Islamic Parenting Nabi Ya’qub AS


Alquran memerintahkan manusia untuk menyiapkan masa depannya dengan
mempelajari sejarah yang dilaluinya (Susmihara, 2013:3). Allah memberi manusia
kemampuan untuk menyusun cerita atau kisah dan memberinya dasar-dasar
pengetahuan tentang kisah. Dengan demikian, manusia bisa menjadikan kisah
sebagai salah satu sarana penting untuk mendidik manusia, dan mengajarkan
nilai-nilai keutamaan (Al-Aris, 2013:19-20).
Nabi Ya’qub AS merupakan salah satu nabi yang wajib diketahui dalam
Islam. Selain sebagai seorang Nabi, Nabi Ya’qub AS adalah seorang ayah yang
memiliki keseriusan untuk membimbing dan membina anak-anaknya dalam
ketakwaan dan keimanan dalam rangka membentuk generasi kuat yang dapat
membangun diri, keluarga, agama dan negaranya. Nabi Yusuf AS dan saudara-
saudaranya adalah contoh generasi kuat lahir dan batin yang dibentuk melalui
Islamic parenting Nabi Ya’qub AS. Nabi Yusuf AS meskipun di dalam hidupnya
dipenuhi cobaan dan godaan yang dapat merusak mental dan moralnya, namun
dengan kekuatan iman dan takwa yang dimilikinya Nabi Yusuf AS mampu
menjadi seorang anak yang dapat membangun agamanya (sebagai seorang nabi)
dan membangun negaranya (sebagai seorang bendahara Negara). Begitu pula
saudara-saudara Nabi Yusuf AS, meskipun pada awalnya saudara-saudara Yusuf
memiliki sifat hasad terhadap Yusuf namun dengan strategi Islamic parenting
Nabi Ya’qub AS saudara-saudara Yusuf dapat menjadi generasi kuat yang dapat
membangun diri (melalui pertaubatan sebagai wujud kuatnya iman dan takwa)
dan membangun keluarganya (melalui perbaikan hubungan keluarga).
Islamic parenting merupakan sebuah pola pengasuhan anak dalam proses
tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam yang berkiblat pada Alquran dan
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 73

Sunnah Rasul yang menitikberatkan pada pendidikan keimanan dan ketakwaan.


Islamic parenting diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya sebagai
strategi dalam membentuk generasi kuat yang akan memimpin bangsa. Dalam
membentuk generasi kuat, Islamic parenting Nabi Ya’qub AS memiliki prinsip-
prinsip diantaranya sebagai berikut:

1. Memelihara Fitrah Anak


Pada dasarnya anak telah diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya, yaitu
cenderung pada kebenaran meskipun kebenaran tersebut hanya bersemayam di
hati mereka (Majid dan Dian, 2017:120). Dalam prinsip ini, Nabi Ya’qub AS
dengan strategi Islamic parenting-nya memelihara fitrah anak untuk membentuk
anak menjadi generasi kuat.
Ibnu Katsir menjelaskan didalam Kitab Qashashul Anbiya (2015:373-
374) bahwa ketika saudara-saudara Yusuf mendesak Nabi Ya’qub AS untuk
mengizinkan mereka membawa Yusuf, mereka terus mendesak ayah mereka
hingga akhirnya sang ayah mengizinkan Yusuf pergi bersama mereka. Begitu
mereka sudah jauh dan tidak terlihat oleh sang ayah, mereka langsung mencela
dan memperlakukannya secara hina baik dengan tindakan maupun perkataan.
Mereka kemudian bersepakat untuk memasukkan Yusuf ke dalam Sumur.
Setelah diletakkan di dalam Sumur, mereka mengambil baju Yusuf dan
melumurinya dengan darah dusta yang dibuat-buat kemudian mereka pulang
meninggalkannya pada petang hari dengan menangisi Yusuf lalu mengatakan
pada ayahnya bahwa Yusuf telah dimakan serigala. Para Mufassir mengatakan :
“Mereka lupa tidak merobek-robek baju itu, karena petaka dusta adalah lupa”.
Perasaan dan firasat orang tua yakni Nabi Ya’qub AS berkata “Kenyataan yang
terjadi bukan seperti apa yang kamu sampaikan. Bagaimana mungkin dia
diterkam serigala sedang pakaiannya tidak koyak?”. Kemudian sang ayah yang
mengetahui kebohongan anak-anaknya itu berkata “Sebenarnya diri kalianlah
yang memandang baik perbuatan (buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku). Hanya Allah tempat memohon pertolongan atas apa yang kalian
gambarkan.” (Q.S. 12: 18)
Nabi Ya’qub AS meskipun ia sebagai orang tua mengetahui kesalahan anak-
anaknya, ia menasehati anak-anaknya dengan kebanaran tanpa memaksakan
kebenaran itu harus sampai kepada anaknya. Karena ia tahu bahwa putra-putranya
telah memiliki fitrah akan kebenaran tersebut. Nabi Ya’qub AS sebagai orang tua
setelah memberikan nasehat kepada anak-anaknya yang berbuat salah bukan
berarti orang tua setelah menasehati lalu dilepas begitu saja. Memelihara fitrah
anak berarti tidak memaksa kemampuan anak dalam belajar dan menerapkannya
74 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

langsung pada saat itu juga. Meskipun pada saat pemberian nasihat tersebut
anak-anak Nabi Ya’qub AS belum dapat menerapkan saat itu juga apa yang
diajarkan ayahnya, namun ia terus berdo’a dan membimbing anak-anaknya secara
kontinu dan konsisten sehingga pada akhirnya sang anak sedikit demi sedikit
dapat menerapkannya.
Prinsip memelihara fitah anak dalam proses parenting sangat penting karena
setiap anak memiliki kemampuan dan kekurangan masing-masing dan orang
tua tidak semestinya memaksakan kemampuan tersebut. Generasi kuat dibentuk
dengan memelihara fitrah anak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Allah dan
Rasul-Nya dalam Islam. Apabila ada anak yang melakukan kesalahan, maka orang
tua harus memberikan nasihat kepadanya tanpa memaksakan nasihat tersebut
harus diterapkan saat itu juga. Apabila anak tersebut belum berubah, maka orang
tua harus terus berdo’a dan membimbing anak-anaknya secara kontinu dan
konsisten sampai anak tersebut dapat menjadi lebih baik. Karena sejatinya tugas
kita sebagai orang tua adalah berikhtiar dan tidak putus asa, adapun hasilnya
semuanya ditentukan oleh Allah S.W.T.
Misalnya ketika anak perempuan kita tidak mau menutup aurat, maka
kita wajib memberikan pengajaran tentang hukum wajib menutup aurat bagi
muslimah. Akan tetapi kita boleh memaksa anak tersebut harus menerapkan
hal tersebut saat itu juga. Sebagai orang tua kita perlu mengetahui apa yang
menyebabkan sang anak tidak mau menutup auratnya, kemudian dengan
mengetahui latar belakang tersebut orang tua dapat memilih langkah lain
sebagai upaya mengajak anak untuk menutup aurat. Karena sejatinya, sang
anak mengetahui kebenaran dalam menutup aurat karena fitrah perempuan
adalah ingin dilindungi. Maka tugas orang tua adalah mengarahkan anak sesuai
dengan fitrahnya dengan cara yang baik, bukan memaksa atau menggunakan
cara lainnya.

2. Mengembangkan Potensi dan Memahami Kekurangan Anak


Setiap anak dilahirkan dengan memiliki potensi dalam dirinya, potensi ini
dapat berdampak baik atau buruk tergantung bagaimana lingkungan khususnya
lingkungan keluarga dapat mengelola dan mengarahkan potensi tersebut. Kisah
Yusuf AS diawali dengan tuturan tentang mimpi yang di­alami Yusuf. Yusuf
menceritakan mimpi tersebut kepada ayahnya. Ayahnya telah dianugerahi Allah
kemampuan untuk menjelaskan mimpi. Kemudian Allah menganugerahkan
pula kemampuan tersebut kepada Yusuf (Al-Aris, 2013:24). Ayahnya mengerti,
kelak Yusuf akan meraih kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Ayahnya
memerintahkan Yusuf agar menyembunyikan mimpi itu dan tidak ia ceritakan
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 75

kepada saudara-saudaranya agar mereka tidak hasad, berbuat lalim, dan


melakukan berbagai tipu daya kepadanya (Katsir, 2015: 369).
Sebagai orang tua, Nabi Ya’qub AS mengarahkan anaknya terhadap potensi
yang dimilikinya. Nabi Ya’qub AS mengarahkan Yusuf untuk tidak menceritakan
potensinya kepada saudara-saudaranya merupakan tindakan terbaik bagi Yusuf
karena sebagai orang tua ia memahami kondisi realitas hubungan anak-anaknya
yang berlangsung tidak baik. Karena apabila Nabi Ya’qub AS tidak mengarahkan
hal tersebut, hal ini dapat berakibat menambah kedengkian saudara-saudara
Yusuf dan dapat membahayakan kondisi Yusuf. Allah Berfirman dalam Surat
Yusuf ayat 6:

‫ﭢﭣ ﭤﭥﭦﭧﭨﭩﭪﭫ ﭬﭭ‬


‫ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ‬
Demikianlah Tuhanmu memilihmu (untuk menjadi nabi) mengajarkan kepadamu
sebagian takwil mimpi, dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada
keluarga Ya’kub sebagaimana Dia telah menyempurna­kan nikmat-Nya kepada dua
orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh Tuhanmu Maha
Tahu dan Maha Bijaksana (Q.s. Yusuf: 6).
Dalam Tafsir Al-Lubab (2012:6), M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa
Nabi Ya’qub AS menyampaikan bahwa dengan mimpi itu : “Tuhan memilih
dan mengistimewakan serta akan mengajarkanmu sebagian dari penafsiran
mimpi. Melalui mimpi itu, Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan
keluarga Ya’qub serta keluarga dua leluhurmu.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa setelah mengarahkan tindakan terbaik
mengenai potensinya, Nabi Ya’qub AS mengajak Yusuf untuk bersyukur atas
nikmat tersebut. Nabi Ya’qub AS juga mengajarkan pada Yusuf bahwa meskipun
saudara-saudaranya memiliki sifat hasad kepadanya, sang ayah mengajarkan
bahwa Yusuf tidak boleh membenci saudaranya. Hal ini me­nujukkan bagaimana
orang tua dapat menerima kekurangan anaknya.
Generasi kuat dapat terbentuk dengan mengembangkan potensi yang
dimiliki anak dan melengkapi kekurangan yang dimilikinya. Orang tua
dalam melaksanakan Islamic parenting kepada anak-anaknya, harus dapat
memahami kondisi anak baik kekurangan maupun kelebihannya. Orang tua
harus memberikan tindakan terbaik terhadap kelebihan anak dan harus dapat
menerima kekurangan anak. Misalnya ketika anak kita memiliki kelebihan suara
yang bagus, maka kita harus mendukung dan mengarahkan kelebihan tersebut
sesuai dengan ajaran agama Islam. Misalnya mendatangkan seorang guru untuk
mengajari tilawah Alquran ataupun menempatkan anaknya di pondok pesantren
76 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

yang memiliki orientasi pada pengajaran tilawah Alquran. Begitu pula apabila
anak kita memiliki kekurangan berupa lambat dalam menghafal, maka yang
harus dilakukan orang tua adalah memberikan pendampingan secara konsisten
dan kontinu sampai anak tersebut bisa.

3. Pendidikan Dilakukan Secara Bertahap


Pendidikan adalah sebuah proses panjang yang dilakukan secara bertahap.
Dalam proses parenting ini, kita sebagai orang tua harus yakin bahwa segalanya
hal didunia ini ditentukan oleh Allah dan yang harus kita lakukan adalah tetap
berikhtiar dengan mendidik anak-anak secara konsisten, kontinu dan tidak
berputus asa terhadap pendidikan yang kita ajarkan. Karena didalam Islam, baik
atau buruknya seseorang dilihat dari akhirnya. Begitu pula kesalehan seseorang
dilihat dari amal terakhirnya.
Kita sebagai orang tua harus terus mengharapkan akhir yang baik pada anak-
anak kita. Karena dalam perjalanan Nabi Ya’qub AS pun, dalam membimbing
anak-anaknya dilakukan secara bertahap dengan proses yang panjang. Hal ini
dapat kita lihat pada usaha Nabi Ya’qub AS dalam membimbing anak-anaknya
yang berbuat kesalahan karena telah mengikuti bisikan setan untuk mengikuti
sifat hasad mereka dengan membuang Yusuf ke dalam sumur.
Nabi Ya’qub dengan sabar menasehati mereka seperti yang termaktub dalam
Surat Yusuf ayat 18 : “Sebenarnya diri kalianlah yang memandang baik perbuatan
(buruk) itu. Maka, kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Hanya Allah tempat
memohon pertolongan”. Pada tahap awal ini, anak-anak Nabi Ya’qub AS belum
berubah dan belum memahami kesalahan mereka. Namun Nabi Ya’qub AS
secara kontinu memberikan usaha-usaha lain, yaitu usaha memberikan arahan
dan pelajaran atas akibat dari kesalahan yang diperbuat.
Karena mereka pernah berbohong pada ayahnya saat peristiwa pem­buangan
Yusuf, maka ayahnya tidak mau lagi mempercayai mereka. Nabi Ya’qub AS
berkata: “Bagaimana aku akan mempercayakan (Bunyamin) kepadamu, sebagaimana
dulu aku memercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu?” (QS: 12:64). Dari
tahap kedua ini, anak-anak Nabi Ya’qub AS mulai memahami dampak kesalahan
mereka dan mulai menyesali perbuatan tersebut.
Kemudian Nabi Ya’qub AS menjalankan tahap selanjutnya yaitu tahap
per­baikan, dengan memberikan kesempatan pada mereka untuk memper­­baiki
kesalahan sebelumnya. Nabi Ya’qub AS berkata : “Aku sekali-kali tidak akan
melepaskannya (pergi) bersama kalian sebelum kalian memberikan kepadaku janji
yang terguh atas nama Allah bahwa kalian pasti akan membawanya kepadaku
kembali, kecuali jika kalian dikepung” (Q.S.12:66). Dari tahap kedua inilah,
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 77

anak-anak Nabi Ya’qub AS mulai belajar untuk memperbaiki kesalahan dengan


memegang teguh janji yang telah mereka buat. Sehingga ketika suatu masalah
menimpa mereka, mereka berkata “…Tidakkah kalian tahu sesungguhnya ayah
kalian telah mengambil janji kalian dengan nama Allah dan sebelum itu kalian
menyianyiakan Yusuf. Karena itu, aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir
sampai ayah mengizinkan kepadaku (untuk kembali)…” (Q.S. 12: 80).
Nabi Ya’qub AS sebagaimana disampaikan oleh Allah bahwa “… dia
adalah orang yang menahan amarah” (Q.S. 12: 84) Nabi Ya’qub AS tetap sabar
menghadapi anak-anaknya tanpa amarah. Nabi Ya’qub AS jutsru memberikan
solusi atas masalah tersebut dan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya
yang tengah kesulitan dalam memperbaiki dirinya. Nabi Ya’qub AS berkata
“Wahai anakku, pergilah kalian. Carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya.
Janganlah kalian berputus asa dari Rahmat Allah…” (Q.S. 12:87).
Dengan proses dan tahapan yang panjang inilah, anak-anak Nabi Ya’qub AS
yang sebelumnya melakukan kesalahan kemudian bertaubat dan memperbaiki
diri. Anak-anak tersebut berkata : “Wahai ayah, mohonkanlah ampun bagi kami
atas dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah.” (Q.S. 12:97).

4. Pendidikan yang Dilakukan Hingga Akhir Hayat


Parenting yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak-
anaknya agar menjadi generasi kuat adalah sejak anak tersebut ada di dalam
kandungan hingga akhir hayatnya. Nabi Ya’qub AS telah memberikan contoh
tentang pendidikan hingga akhir hayat yang dikisahkan Allah S.W.T. dalam
firman-Nya:

‫ﯘﯙﯚﯛﯜﯝ ﯞﯟﯠﯡﯢﯣﯤﯥﯦ‬
‫ﯧ ﯨﯩﯪﯫﯬﯭﯮ ﯯﯰﯱﯲ‬
‫ﯳ‬
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sebeninggalku?” Mereka menjawab,
“Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangnmu, Ibrahmi, Ismail,
dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(Q.S. Al-baqarah: 133).
Pada ayat di atas dijelaskan bahwa menjelang tibanya ajal Nabi Ya’qub AS
beliau menanyakan kepada anak-anaknya tentang apa yang mereka sembah
setelah kematiannya. Anak-anaknya menjawab bahwa yang mereka sembah
adalah Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhannya Nabi Ibrahim AS, Nabi Ismail
AS dan Nabi Ishaq AS. Keseriusan Nabi Ya’qub AS menanyakan komitmen
78 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

anak-anaknya membuktikan bahwa tanggung jawab pendidikan anak yang


dimiliki orang tua bukan hanya sampai anak tersebut dewasa, tapi lebih dari
itu pendidikan tersebut harus dilaksanakan hingga akhir hayat (Zein, 2008:59)
Orang tua diamanatkan oleh Allah berupa anak yang harus dijamin
keselamatannya baik didunia dan diakhirat. Keselamatan didunia adalah tentang
perilaku kehidupan sang anak agar dapat mengantarkannya kepada keselamatan
di akhirat. Generasi kuat dapat dibentuk dengan prinsip parenting sejak dini
hingga akhir hayat.

Strategi Islamic Parenting Nabi Ya’qub AS Dalam Membentuk Generasi


Kuat
Generasi kuat merupakan harapan bangsa dan Negara. Generasi kuat yang
memiliki kekuatan lahir dan batin diharapkan mampu membangun diri,
keluarga, agama serta negaranya. Islamic parenting Nabi Ya’qub AS telah berhasil
membentuk Nabi Yusuf AS dan saudara-saudara menjadi generasi kuat pada
zamannya. Maka, Islamic parenting ini dapat kita implementasikan di masa
sekarang dengan menggunakan strategi-strategi sebagai berikut:

1. Tunjukkan Teladan/Qudwah
Syeikh Nawawi Al-Bantani didalam Kitab Uqudulujain (2013) menyatakan
bahwa salah satu ciri rumah tangga Islami adalah yang didalamnya suami dan
istri dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya. keteladanan merupakan suatu
model yang sangat efektif untuk memengaruhi orang lain. Karena sejatinya anak
adalah peniru yang ulung, ia akan mudah mengikuti apa yang dipraktekkan
kedua orang tuanya.
Didalam menerapkan Islamic parenting strategi yang digunakan Nabi Ya’qub
AS adalah dengan menunjukkan teladan kepada anak-anaknya. Sehingga ketika
di akhir hayatnya saat Nabi Ya’qub AS menanyakan keimanan dan ketakwaan
anak-anaknya, mereka menjawab bahwa mereka mengikuti keimanan yang
diimani juga oleh ayahnya. Hal ini diceritakan dalam Surat Al-Baqarah ayat
133 “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim,
Ismail, dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya.” (Q.S. 2: 133).
Dalam implementasi Islamic parenting Nabi Ya’qub AS, strategi yang
dapat digunakan di masa kini dalam membentuk generasi kuat adalah dengan
menunjukkan teladan kepada anak-anak kita. Misalnya, dalam mencegah seks
bebas pada anak-anak kita, kita harus memberikan contoh dengan menjaga
diri kita sebagai orang tua dari yang bukan muhrimnya. Menjaga jarak dengan
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 79

tetangga yang tidak semuhrim, bersalaman dengan rekan tanpa menyentuh


tangannya apabila tidak semuhrim. Hal ini dapat menjadi contoh bagi anak
bahwa hal tersebut dilarang dan harus dijauhi.
Adapun kasus lain misalnya kasus bunuh diri, bunuh diri biasanya
disebabkan karena kekosongan hati dan kehampaan hidup dan rasa kesepian,
adapula yang disebabkan tidak adanya ketenangan dalam hidup. Maka, untuk
membentuk anak kita agar menjadi generasi kuat yang memiliki semangat
hidup tinggi, kita perlu memberikan contoh pada anak bahwa sholat adalah obat
hati yang dapat menenangkan hati dan pikiran. Oleh karena itu sholat harus
menjadi sebuah ajakan bukan lagi perintah. Karena baik orang tua maupun
anak sama-sama membutuhkan ketenangan dari sholat.

2. Ingatkan (Memberikan Nasihat)


Nasihat merupakan kegiatan menyampaikan pesan moral yang biasanya
disampaikan dari yang lebih tua dan ditujukan kepada yang lebih muda. Anak
sebagai amanat yang diberikan Allah kepada orang tua, menjadikan orang tua
bertanggung jawab atas kehidupan anak tersebut. Nabi Ya’qub AS mengajarkan
anak-anaknya dengan cara memberikan nasihat-nasihat. Misalnya pada peristiwa
ketika anak-anaknya berbohong tentang terbunuh­nya Yusuf, Nabi Ya’qub AS
memberikan nasihat kepada anak-anaknya tentang kesabaran dan mengingatkan
anak-anaknya bahwa Allah adalah Tuhan Pemberi Pertolongan. Nabi Ya’qub AS
berkata : “Sebenarnya diri kalianlah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu.
Maka, kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Hanya Allah tempat memohon
pertolongan” (Q.S.12:18).
Dalam mengimplementasikan Islamic parenting Nabi Ya’qub AS, strategi
yang dapat kita gunakan adalah dengan mengingatkan anak-anak kita dan
mengajarkan kepada mereka tentang pesan-pesan moral melalui nasihat. Dalam
konteks masa kini, banyak anak-anak yang terkadang tidak mau menerima
nasihat. Mereka cenderung ingin mengurus diri mereka sendiri dan tidak mau
diatur. Oleh karena itu, kita sebagai orang tua harus memperhatikan cara
menyampaikan nasihat kepada anak dalam waktu yang tepat dan bahasa yang
tepat. Orang tua juga dapat menggunakan peristiwa-peristiwa tertentu untuk
menasihati anaknya, misalnya sang anak suka menunda sholat bahkan kadang
tidak melaksanakan sholat, maka orang tua ketika menonton tv misalnya lalu
melihat tayangan-tayangan tentang berita kebakaran, orang tua dapat bertanya
pada anaknya “De, kasian sekali ya korbannya. Pasti terasa sangat perih dan
sakit.” Anak bisa jadi mersepon “iya mah, pasti sangat sakit dan panas.” Orang
tua dapat memanfaatkan hal tersebut sebagai momen untuk menasehati anaknya
80 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

“Ade tau tidak? Kalau Ade sering meninggalkan sholat atau menunda-nunda
sholat, maka mamah dan Ade juga akan dibakar seperti itu juga di neraka.”
Strategi ini lebih mudah diterima anak daripada menasehati anak dengan cara
marah atau dengan tiba-tiba berbicara tentang pesan moral tanpa adanya sesuatu
yang dapat dijadikan topik untuk mengawali nasihat tersebut.

3. Melalui Kisah
Kisah merupakan sarana yang mudah untuk mendidik manusia. Model ini
sangat banyak dijumpai dalam Alquran (Syafri, 2014:137). Nabi Ya’qub AS
dalam mengajarkan tentang keimanan menggunakan strategi mengisahkan
leluhur-leuhur mereka yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq. Hal ini diceritakan oleh
Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 133, sehingga ketika di akhir hayatnya saat
Nabi Ya’qub AS menanyakan keimanan dan ketakwaan anak-anaknya, mereka
menjawab bahwa mereka mengikuti keimanan yang diimani juga oleh leluhur
mereka yang telah diceritakan oleh Nabi Ya’qub AS. Anak-anaknya berkata
“Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail,
dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-
Nya.” (Q.S. 2: 133).
Pada masa kini, maraknya kasus kedurhakaan anak terhadap orang tua
semakin marak. Kasus anak yang menuntut orang tua bukan lagi satu atau dua
kasus, dan video-video yang beredar di media sosial tentang anak yang tidak
menghormati orang tua bukanlah berjumlah sedikit. Fenomena ini bahkan
sampai diangkat oleh beberapa media untuk dijadikan sebuah tayangan dalam
rangka memberikan pelajaran kepribadian. Dalam mem­bentuk anak menjadi
generasi kuat, orang tua dapat mengajarkan anak tentang perintah menghormati
dan menghargai kedua orang tua dengan menggunakan strategi menceritakan
kisah-kisah yang telah terjadi. Misalnya kisah Anak Nabi Nuh AS yang harus
binasa diterjang banjir karena tidak mengikuti perintah ayahnya. Penyampaian
kisah ini juga dapat dilakukan dengan banyak cara misalnya dengan menyediakan
buku-buku kisah yang dapat menarik minat anak atau melalui video-video
kartun yang saat ini mudah di download di internet.

4. Melalui Pembiasaan
Untuk mencapai tujuan pendidikan karakter pada taraf yang baik, dalam artian
terjadi keseimbangan nagata ilmu dan amal, maka Alquran juga memberikan
model pembiasaan (Syafri, 2014:136). Nabi Ya’qub AS dalam mendorong
anaknya untuk senantiasa menepati janji, menggunakan model pembiasaan
kepada anak. Nabi Ya’qub AS tidak mengizinkan anak-anaknya membawa
Islamic Parenting Ala Nabi Ya’qub AS Sebagai Strategi dalam Membentuk Generasi Kuat 81

Bunyamin dan meminta mereka membuat sebuah janji adalah sebagai pem­
biasaan anak agar senantiasa memenuhi amanat dan menepati janji.
Dalam realita masa kini, untuk membentuk generasi kuat yang me­miliki
kepribadian kuat dapat dilakukan dengan strategi pembiasaan. Anak dapat
kita bimbing untuk senantiasa melakukan hal-hal yang baik. Misalnya kasus
pertengkaran antar remaja yang sering terjadi, baik itu di media sosial maupun
di dunia nyata adalah karena anak tidak dibisakan berbicara dengan sopan dan
tidak menyinggung hati siapapun. Pembiasaan yang diterapkan oleh orang
tua kepada anak agar anak senantiasa menjaga ucapannya adalah salah satu
pencegahan sekaligus penyelesaian kasus-kasus tersebut.

Penutup
Konsep dasar parenting adalah bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus
memiliki cara yang baik dan orang tua tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya
dalam mendidik anak. Apabila orang tua melalaikan tugasnya dalam mendidik
anak, terbentuknya generasi kuat yang dapat membangun diri, keluarga, agama
dan negaranya adalah hal yang mustahil.
Islamic parenting merupakan sebuah pola pengasuhan anak dalam proses
tumbuh kembangnya sesuai ajaran Islam yang berkiblat pada Alquran dan Sunnah
Rasul yang menitikberatkan pada pendidikan keimanan dan ketakwaan. Islamic
parenting diterapkan oleh Nabi Ya’qub AS kepada anak-anaknya sebagai strategi
dalam membentuk generasi kuat. Islamic parenting Nabi Ya’qub AS merupakan
konsep berkesinambungan yang saling melengkapi satu sama lain dan memiliki
prinsip-prinsip diantaranya me­melihara fitrah anak, mengembangkan potensi
dan memahami kekurangan anak, pendidikan dilakukan secara bertahap dan
berlangsung hingga akhir hayat. Adapun strategi yang dapat diterapkan dalam
menerapkan Islamic parenting Nabi Ya’qub AS adalah melalui keteladanan/
qudwah, nasihat, kisah dan pembiasaan.

Pustaka Acuan:
Alquran dan Terjemahnya. Bandung : Mikhraz Khasanah Ilmu
Ad-Damasyqi, Abu Fida’ Bin Katsir. 2002. Tafsir Ibnu Katsir. Bandung: Sinar
Baru Algesindo
Ad-Damasyqi, Abu Fida’ Bin Katsir. 2015. Kitab Qashashul Anbiya. Jakarta:
Ummul Qura
Al-Aris, Fuad. 2013. Pelajaran Hidup Surat Yusuf. Jakarta: Zaman
Al-Bantani, Syeikh Muhammad bin Umar An-Nawawi. 2013. Kitab Uqudulu
Jain. Surabaya : Mutiara Ilmu
82 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Al-Ghalayain, Syeikh Musthafa. 2000. Kitab Idhotun Nasyi’in. Surabaya: Al-


Hidayah
Al-Marlibariy, Syeikh Zainuddin’Abdul ‘Aziz. 1980. Kitab Fahtul Mu’in. Kudus:
Menara Kudus
Majid, Abdul. Dian Andayani. 2017. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosda Karya
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati
Susmihara. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Ombak
Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Alquran. Depok: Raja
Grafindo
Ulwan, Abdullah Nashih. 2012. Pendidikan Anak dalam Islam. Solo: Insan
Kamil.
Zein, Achyar. 2008. Prophetic Leadership. Bandung: Indonesia
_____. 2006. Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul Ayat Surat An-Nisa Terj.
Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Peran Perempuan Sebagai Pondasi
Utama Pendidikan dalam Perspektif
Alquran
Penulis: Peserta Nomor MQ.1.07

Pendahuluan
Sejarah awal, Islam telah memaparkan kenyataan bahwa Islam mendorong dan
mengangkat kemuliaan perempuan yang belum pernah diberikan sebelumnya
oleh suku bangsa mana pun dan peradaban sebelum Islam. Pada saat ini, Islam
menjadi salah satu agama yang banyak mendapat sorotan dalam kaitannya
terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan.
Alquran sebagai kitab petunjuk samawi sendiri secara komprehensif dan
lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hak itu
meliputi hak beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai
manusia dan eksistensi menyeluruh hampir pada semua sektor kehidupan
(Syarif Hidayatullah, 2010: 11).
Kesetaraan tersebut menimbulkan banyak penafsiran, salah satunya ada yang
memaknainya dengan persamaan dan diidentikan dengan produk pemikiran
barat yang tercermin dalam kebebasan yang dibelikan dalam gerakan Women
Liberation, lihat Sri Suhandjati Sukri, dkk (2002: sekapur sirih editor). Hal ini
tidak sejalan dengan pemahaman Islam karena cenderung kepada menyebabkan
kebebasan yang berlebihan di berbagai aspek. Oleh karena itu, anak-anak muda
perlu diantisipasi dengan pendidikan yang memadai agar dapat memahami dan

83
84 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menjalankan prinsip keperempuanan sebagaimana yang Islam ajarkan.


Perempuan memiliki peran yang besar baik dalam lingkungan keluarga
maupun skala nasional apabila perempuan mampu secara optimal dan sesuai
dengan kodratnya. Peran utama yang diinginkan Islam adalah mengurus rumah
tangganya, lebih-lebih mengurus dan mendidik anak-anaknya. Allah S.w.t.
berfirman yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan….” (Q.S. Al-
Baqarah [2]: 233) (Departemen Agama RI, 1993).
Berdasarkan ayat Alquran di atas dapat dijelaskan bahwa arti penyusuan di
sini bukanlah sekedar memberikan air susu itu, tetapi memberikan pula kepuasan
rohani, pemeliharaan, pendidikan, dan sebagainya. Sebagaimana diakui para
ahli betapa eratnya hubungan emosional dan fisik antara ibu dan anak yang
dilahirkannya. Dibutuhkan keahlian khusus seorang ibu sebagai orang yang
paling dekat dengan anak untuk membina anaknya hingga memiliki pondasi yang
kuat menghadapi zaman yang terus berkembang. Peran orang tua terutama ibu
berpengaruh besar bagi pertumbuhan seorang anak.
Seorang ibu apabila mampu menjaga moral anaknya maka ibu tersebut
mampu mejaga moral bangsa. Lahirnya generasi emas penerus bangsa adalah
hasil dari pendidikan keluarga yang sebagian besar didominasi oleh pendidikan
dari ibu, karena ibu yang pertama kali mendidik dan mengenalkan dunia
kepada anak.
Akan tetapi, pada masa kini perempuan seakan lupa akan perannya dalam
rumah tangga, ini dipicu adanya karier perempuan di luar rumah. Persaingan antara
perempuan dalam dunia karier tidak hanya dipicu oleh status pernikahan, tetapi
juga tampilan fisik perempuan. Perempuan yang lebih cantik dan proporsional
berat badannya jauh lebih banyak mendapat­kan kesempatan bekerja dan berkarier
daripada yang tidak, lihat Gadis Arivia, dkk (2013: 17).
Akibatnya banyak anak yang tumbuh dengan perkembangan yang tidak
baik dan menimbulkan berbagai masalah sosial seperti kenakalan remaja,
pergaulan bebas, lemahnya akhlak dan moral, dan lain sebagainya. Semua itu
disebabkan karena dalam perkembangan anak tersebut tidak terlalu banyak
sentuhan pendidikan dari seorang ibu yang merupakan madrasah pertama bagi
anaknya.
Dengan demikian, dari permasalahan di atas, agar terciptanya generasi-
generasi penerus bangsa yang baik lewat pendidikan pertama dari seorang
perempuan, perlu kiranya penulis memberikan interpretasi tentang “peran
perempuan sebagai pondasi utama dalam pendidikan”. Dengan harapan di
kesimpulan akhir kajian ini memperoleh jawaban tentang : Bagaimana perspektif
Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 85

Alquran jika berbicara tentang perempuan? Bagaimana peran perempuan


sebagai pondasi utama dalam pendidikan yang akan mencetak generasi-generasi
Qur’ani?
Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan
menelusuri literatur yang berhubungan dengan penguatan keluarga dalam
menopang ketahanan nasional dengan segala derivasinya, kemudian di­
kembangkan melalui pendekatan tematis dengan menggunakan Alquran dan
Hadits sebagai rujukan, serta didukung dengan beberapa pandangan para ahli.
Semoga kajian ini bermanfaat bagi semuanya.

Perempuan disuratkan dalam Alquran


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 235) perempuan diartikan sebagai
manusia yang mempunyai puki (alat kemaluan), dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak dan menyusui.
Menurut Mahmud Syaltut (1990: 323) di dalam Alquran banyak surat yang
menyajikan topik tentang perempuan di antaranya dalam: Q.S. An-Nisa [4],
Q.S. At-Thalaq [65], Q.S. Al-Baqarah [2], Q.S. Al-Maidah [5], Q.S. An-Nur
[24], Q.S. Al-Ahzab [33], Q.S. Al-Mujadilah [58], Q.S. Al-Mumtahanah [60],
Q.S. At-Tahrim [66]. Banyaknya surat yang di dalamnya terdapat pembahasan
yang menyinggung tentang perempuan tersebut telah menjelaskan bahwa
Allah S.W.T. memuliakan seorang perempuan (Hamka, 2015: 5). Dalam Islam
perempuan juga memiliki kedudukan tinggi sebagai manusia, karena perempuan
dan laki-laki tidak berbeda dalam sisi kemanusiaan. Manusia di dalam Alquran
disebutkan sebagai khalifah Allah S.W.T. yang memperoleh kemuliaan (Q.S. Al-
Isra [17]: 70). Kedudukan tersebut menggambarkan bahwa agama Islam tidak
hanya harus dipeluk dan diikuti oleh kaum laki-laki saja, tetapi kaum perempuan
pun harus memeluk dan mengikutinya. Alquran dengan tegas menyatakan
adanya muslimin dan muslimat, adanya mukminin dan mukminat. Oleh sebab
itu sudah tentu kaum muslimat dan mukminat wajib juga mempelajari dan atau
menuntut ilmu-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kewajiban selaku
perempuan, terutama pengetahuan-pengetahuan yang berkenaan dengan agama
yang dipeluknya, lihat Moenawwar Chalil (1955: 66). Acap kali terjadi bahwa
perempuan bukan saja setara dengan laki-aki sejauh menyangkut kecerdasan,
tetapi terkadang lebih unggul dari laki-laki. Titik rapuh satu-satunya dalam diri
perempuan adalah intensitas (kekuatan) perasaan-perasaannya, lihat Murtadha
Muthahari (2015: 155).
Mengenai kesamaan status antara perempuan dan laki-laki juga dilihat
dalam memperoleh pahala, keduanya akan mendapat imbalan upah yang
86 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

sama bila amal yang mereka lakukan sama kualitas dan kuantitasnya, seperti
ditegaskan Allah S.W.T. dalam Alquran surat Al-Ahzab [33]: 35.

‫ﮢﮣﮤﮥﮦ ﮧﮨﮩ‬
‫ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮﮯ‬
‫ﮰ ﮱ ﯓ ﯔﯕﯖ‬
‫ﯗﯘﯙﯚﯛﯜﯝﯞﯟﯠﯡ‬
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dakam ketaatan­nya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan
yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dna perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki
dan perempuan yang banyak menyebut (nama ) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 35) (Departemen
Agama RI, 1993).
Tampak jelas bahwa laki-laki dan perempuan di sisi Allah memiliki status
yang sama, mereka yang beramal baik dibalas dengan kebaikan dan yang beramal
buruk dibalas dengan keburukan, tak peduli apakah ia istri Nabi, orang shaleh
ataupun istri orang kafir atau penjahat.

Hilangnya Peran Ibu: Hancurnya Pondasi Utama Pendidikan


Dalam pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 tahun 1991)
ditegaskan tentang hak dan kewajiban suami istri: Pertama, suami istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Kedua, suami
istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir
bathin yang satu kepada yang lain. Ketiga, suami istri memikul kewajiban untuk
mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Keempat,
suami istri wajib memelihara kehormatan­nya. Kelima, jika suami atau istri
melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan agama.
Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan kedudukan suami istri
sebagai berikut: Pertama, suami adalah kepala keluarga, dan istri adlah ibu
rumah tangga. Kedua, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat. Ketiga, masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum. Dalam Alquran Allah S.W.T. berfirman:
Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 87

‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙﭚﭛﭜﭝ‬
‫ﭞﭟ‬
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” (Q.S.
An-Nisa [4]: 34) (Departemen Agama RI, 1993).
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa secara fitrah, fisiologis
dan psikologis, maka prialah yang mempunyai tugas untuk memimpin, membela
dan melindungi istrinya, karena Allah telah membentuk pria itu dengan tubuh
yang kuat, otot-otot yang kuat yang dapat dipakai untuk berkelahi melindungi
keluarganya. Tubuh pria itu menggambarkan kekuatan dengan jiwa yang rasionil
jauh dari emosionil yang didorongkan oleh perasaan mudah tersinggung seperti
yang terdapat pada kaum perempuan, lihat Ali Akbar (1978: 34).
Peran perempuan sebagai istri menggambarkan tugas melayani dan
mematuhi suami, sedangkan jika sudah berperan sebagai ibu perempuan
memiliki tugas yang lebih besar yaitu menjaga, melindungi, mendidik secara
psikologis dan intelektual. Melihat dari peran tersebut tak salah jika ibu
memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anaknya. Jika peran tersebut
dilaksanakan oleh seorang ibu dengan baik, maka anak akan tumbuh dengan
baik pula, sebaliknya, jika peran tersebut tidak terlaksana dengan baik, maka
akan menimbulkan masalah terhadap perkembangan anak. Terlebih sekarang
ini, anak akan dihadapkan dengan perkembangan dunia yang sangat pesat
dengan pergaulan dan budaya yang mengiringinya.
Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan-
tantangan berat pada masa kini dan yang lebih berat lagi pada masa mendatang,
maka perempuan Islam Indonesia harus mampu memilih prioritas dari serentetan
kewajiban. Yang jelas adalah bahwa kualitas Perempuan Islam Indonesia yang
rata-rata masih berada di bawah garis standar wawasan keIslaman, kondisi
intelektual dan kondisi ekonomi sosial perlu mendapatkan priorotas pertama,
lihat Ali Akbar (1978: 267).
Menurut Iis Nuraeni Afgandi dan Novi Hidayati Afsari (2011: 107) ilmu
pengetahuan semakin penting bagi perempuan ketika ia akan tampil menjadi
ibu bagi anak-anaknya. Agar mampu melahirkan generasi yang berkualitas,
maka ibu harus berkualitas terlebih dahulu.
Sebagai seorang perempuan yang ditugaskan untuk menjadi pengajar
pertama bagi anak-anaknya tidak semerta-merta ia hanya mengajarkan yang
ia ketahui, ibu yang mampu melahirkan generasi cerdas bagi nusa dan bangsa
haruslah memiliki kecerdasan dalam dirinya. Bagi seorang perempuan tidaklah
88 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

salah jika memiliki pendidikan yang tinggi agar dapat mencerdaskan anak-
anaknya, (Zakiah Darajat, 1995: 53).
Jika kita merujuk ke sumber-sumber ajaran Islam, kita menemukan
banyak sekali petunjuk menyangkut kewajiban orang tua kepada anaknya,
bahkan sebelum anak itu lahir. Karena itu Alquran berpesan bahwa: untuk
menggambarkan kesyukuran dan kegembiraan dengan kelahiran anak, maka
begitu dia lahir setelah dibersihkan maka diazankan di telinga kanan dan
diiqomatkan di telinga kirinya. Selanjutnya, pada hari ke tujuh disembelihkan
untuknya aqiqah, digunting rambutnya, ditetapkan nama yang baik untuknya.
Menjadi hak anak dan kewajiban ibu untuk menyusu­kan anaknya, dan
mempersiapkan sesuai kemampuan orang tua sarana yang diperlukan untuk
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwanya. Anak sejak dini telah harus
dididik baik melalui orang tuanya maupun sekolah, antara lain melalui
pembiasaan dan ini berlanjut hingga ia dewasa. Anak juga berhak memperoleh
pendidikan sesuai dengan bakatnya dan tidak memaksakan kehendak orang tua
kepada anak, lihat Quraish Shihab (2010: 181-182).
Melihat kajian tersebut menjelaskan bahwa peran ibu sebagai pendidik
pertama bagi anaknya menjadi suatu kewajiban yang mulia. Profesi di luar
sebagai ibu rumah tangga terkadang membuat para ibu terlena akan tugas
pokoknya dalam rumah tangga. Bahkan pada zaman sekarang ini, ibu lebih
mempercayakan anaknya dididik oleh orang lain yang dipekerjakan sebagai
pengasuh. Dari sinilah permasalahan pendidikan muncul, tangan ibu dengan
kodratnya akan lebih menjamin anak berkembang menjadi generasi yang baik
dan Qur’ani dibandingkan oleh orang lain.

Ibu Sebagai Pendidik Utama: Upaya Mencetak Generasi Yang Qur’ani


Dalam masyarakat manapun peranan ibu terhadap anak tidak dapat dipungkiri
karena orang pertama dikenal anak adalah ibunya, lihat Zakiah Daradjat (1991:
71). Pekerjaan mendidik anak adalah pekerjaan yang paling dominan yang harus
dilakukan seorang ibu dalam rumah tangganya (Ali Abdul Halim Mahmud,
1991: 508).
Seiring perkembangan era globalisasi yang semakin pesat, dibutuhkan
adanya agen-agen yang akan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Agen tersebut dibentuk dengan pendidikan yang baik sebagai modal awal
yang dibekalkan oleh peran seorang ibu. Dalam Islam ibu adalah madrasah
pertama bagi anaknya, maka dari itu lewat peran ibu pribadi seorang anak
akan terbentuk. Salah satu pendidikan yang sangat penting adalah pendidikan
Iman, yaitu pendidikan yang mengikat anak dengan dasar-dasar Iman, rukun
Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 89

Islam dan dasar-dasar Syariah, sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami
sesuatu (Abdullah Nashih Ulwan, 1981: 151).
Oleh karena itu, dalam upaya menciptakan generasi Qur’ani suatu bangsa
dalam asuhan dan tangan seorang ibu, perlu kiranya penulis menjelaskan peran
dan sifat yang harus dimiliki seorang ibu sebagai pondasi utama pendidikan
dalam perspektif Alquran. Peran tersebut di antaranya adalah:

1. Sebagai Pembentuk Kejujuran


Memang sebagaimana kesimpulan pakar-pakar psikologi dan agamawan,
pembentukan watak yang paling kokoh terjadi melalui pembiasaan.
Membiasakan anak untuk berperilaku jujur melalui kebiasaan ibunya maka
anak akan menirunya baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan
masyarakat, jika ibu sudah menanamkan kejujuran sejak dini, maka anak akan
menanamkan didikan itu dan mempraktikannya di kehidupan sehari-harinya.

‫ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ‬
‫ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝﯞ ﯟ ﯠﯡ ﯢ ﯣ‬
‫ﯤﯥﯦﯧ‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan
(kebenaran) karena Allah….” (Q.S. Al-Maidah [5]: 8) (Departemen Agama RI, 1993).
Pendidikan harus dapat menyiapkan anak agar mampu hidup meng­
hadapi segala tantangan masa depan. Dalam konteks ini, ditemukan pesan yang
menyatakan:”ajarilah anak-anakmu karena mereka diciptakan untuk masa depan
yang berbeda dengan masa depanmu”. Hal yang bias dilakukan yaitu dengan cara
pembiasaan, sedangkan pembiasaan terhadap anak akan sangat ampuh melalu
keteladanan. Dari sini, contoh keteladanan dari ibu, bapak dan keluarga akan
menentukan kadar keberhasilan mereka.

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ‬
‫ﭞﭟ‬
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang
kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan. (Q.S. Al-Kahfi [18]: 46) (Departemen Agama RI, 1993)
Begitulah firman Allah S.W.T. dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 46 yang
menjelaskan bahwa anak baru menjadi hiasan hidup bila ia terdidik dengan baik.
Ayah dan ibu diberi tanggung jawab oleh Allah S.W.T. untuk membesarkan
anak-anaknya serta mengembangkan potensi-potensi positif yang dimilikinya.
90 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Bersikap Lemah Lembut


Seorang anak manusia yang tidak mendapat kasih sayang pada masa kecilnya
dan tidak juga dibiasakan mandiri pada saatnya, di tengah masyarakat ia akan
selalu tergantung dan tidak akan mandiri, Ia tidak memiliki keberanian untuk
menjalin hubungan dengan selainnya. Ia takut menghadapi sesuatu yang baru
karena sesuatu yang baru menurutnya memiliki resiko sehingga sesuatu tersebut
menjadi terkesan menakutkan. Ia hanya ingin melakukan sesuatu yang biasa ia
lakukan dan hal tersebut terjadi secara berulang-ulang.
Memang, pada prinsipnya memperlakukan anak hendaknya dengan lemah
lembut. Itulah anjuran utama, bahkan prinsip ajaran agama dalam mendidik
yaitu dengan menjelaskan kepada anak dengan keteladanan dan dengan bahasa
yang sesuai (lemah lembut). Dengan demikian, perempuan harus memiliki sifta
lemah lembut terhadap anak, sebab anak memerlukan kasih saying dari sosok
ibu yang mendidiknya.

‫ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ‬
‫ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ ﭷ ﭸ ﭹ‬
‫ﭺﭻ‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu… (Q.S. Ali-Imran [3]: 159) (Departemen Agama RI, 1993).

3. Memiliki Kesabaran
Cara mengajarkan anak bagi seorang ibu yang paling utama adalah kesabaran,
saat seorang ibu mampu menahan emosi agar tidak mengeluar­kan suara
bernada tinggi dan menyebutkan hal-hal yang tidak perlu didengar atau
sampai mengangkat tangan. Bagi anak yang pertama kali belajar perlu adanya
pembinaan dari sosok seorang ibu, dengan kesabaran dan kelemah lembutan
ibu mampu mengajarkan anak perlahan-lahan memahami dan mengerti apa
yang sudah diajarkan. Ibu, bapak dan guru harus memberikan kesempatan
kepada anak untuk bermain sebanyak mungkin, tetapi hendaknya jangan
dilupakan bahwa bermain itu belajar. Dengan sifat sabar tersebut ibu dapat
mendidik anak dengan baik, jika pendidikan yang diberikan baik maka anak
akan tumbuh dengan baik sebagai generasi-generasi Qur’ani bangsa.

‫ﯪﯫﯬﯭ ﯮﯯﯰﯱﯲ‬
‫ﯳﯴ‬
Peran Perempuan Sebagai Pondasi Utama Pendidikan dalam Perspektif Alquran 91

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaran­mu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu beruntung. (Q.S. Ali-Imran [3]: 200) (Departemen Agama RI, 1993)

4. Memiliki Sifat Adil Terhadap Anak


Pada prinsipnya orang tua harus bersikap adil terhadap anak-anaknya. Namun
keadilan bukan berarti persamaan mutlak, tetapi adalah keseimbangan. Misalnya,
perhatian khusus kepada yang sedang sakit atau yang lebih kecil. Keadilan ini
dilakukan untuk menghindari kecemburuan dari saudara yang lainnya.

‫ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝﯞ ﯟ ﯠﯡ‬
‫ﯢ ﯣﯤﯥﯦﯧ‬
“….dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, men­dorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 8) (Departemen Agama RI, 1993).
Dari uraian di atas, telah dipaparkan beberapa peran dan sifat pokok yang
harus dimiliki oleh seorang ibu yang akan ditanamkan dan diajarkan kepada
anak-anaknya sebagai suatu pembekalan yang berguna bagi masa depan anak.
Jika ketahanan dan keutuhan negara ada pada pundak generasi pemuda yang
ada pada negara tersebut, maka pembentukan sifat yang ada pada diri pemuda
itu dibentuk dan dicetak dari tangan dan peran seorang ibu.

Penutup
Berbicara tentang perempuan, Allah S.W.T. melalui firman-Nya yang
tercantum di banyak surat dalam Alquran telah menjelaskan bahwa Islam
sangat memuliakan dan menghormati seorang perempuan. Perempuan ataupun
laki-laki memiliki hak yang sama, walaupun dalam beberapa hal laki-laki tetap
menjadi pemimpin paling tinggi. Lebih dari sepuluh surat dalam Alquran yang
menjelaskan tentang perempuan. Selain berperan sebagai ibu, Alquran telah
menjelaskan bagaimana peran perempuan sebagai istri yang hendak patuh dan
senantiasa melayani kebutuhan suami. melihat begitu banyak dan besarnya peran
seorang perempuan dalam kehidupan, maka tak heran jika Allah memuliakan
kedudukan permpuan.
Peran ibu sebagai pendidik bagi anaknya sangatlah penting, mengingat
bahwa ibu adalah pendidikan pertama sebelum seorang anak menempuh
kehidupan di luar lingkungan keluarga. Pendidikan yang diberikan seorang
ibu akan menjadi dasar utama kepribadian seorang anak dalam menjalani
92 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

masa depannya. Jika pendidikan yang ditanamkan baik, maka akan baik pula
perkembangan seorang anak. Sebaliknya, jika pendidikan seorang anak oleh
ibunya kurang, maka bangsa ini keilangan agen yang akan menjaga keutuhan
dan ketahanan bangsa. Di antara peran dan sifat yang harus dimiliki oleh
seorang ibu dalam mendidik anaknya, adalah: ibu berperan sebagai pembentuk
kejujuran, bersikap lemah lembut dalam mendidik anak, memiliki sifat sabar
dan berlaku adil.

Pustaka Acuan:
Afgandi, Iis Nuraeni dan Novi Hidayati Afsari. Ternyata Wanita Bukan Makhluk
Lemah. Bandung: Ruang Kata, 2011.
Akbar, Ali. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara, 1978.
Chalil, Moenawar. Nilai Wanita. Solo: Ramadhani, 1984.
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental Dalam Keluarga. Jakarta: Pustaka Antara,
1991.
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: CV
Ruhama, 1995.
Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Depag, 1993.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Abdul Halim Mahmud, Ali. Fiqh Dakwah Muslimah. Jakarta: Robbani Press.
2003.
Hamka. Buya Hamka Berbicara Tentang Perempuan. Jakarta: Gema Insani. 2015.
Hidayatullah, Syarif. Teologi Feminisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muthahari, Murtadha. Filsafat Perempuan Dalam Islami. Yogyakarta: Rausyan
Fikr, 2015.
Shihab, M Quraish. Menjawab 101 Soal Perempuan Yang Patut Anda Ketahui.
Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Shihab, M Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004.
Sri Suhandjati Sukri, dkk. Bias Jender Dalam Pemahaman Islam. Yogyakarta:
Gama Media, 2002.
Syaltut, Mahmud. Tafsir Alquranul Karim (Pendekatan Syaltut Dalam Menggali
Esensi Alquran. Bandung: CV Dipenegoro, 1990.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Semarang,
CV Asy-Syifa. 1981.
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam
Mengikis Kecanduan Gawai
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.04

Pendahuluan
Dilansir dari liputan6.com pada Januari 2018 terdapat dua siswa SMP asal
Wonosobo yang dilarikan ke rumah sakit jiwa ole orangtuanya. Hal ini karena
perubahan drastis mereka akibat kecanduan gawai seperti tidak ingin sekolah
hingga berbulan-bulan dan jika dilarang untuk memainkan gawai keduanya
akan marah dan bahkan menyakiti diri sendiri. Dari peristiwa tersebut dapat
dipahami bahwa dampak negatif gawai sangat memprihatinkan.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat mampu membodohi generasi
muda secara kilat. Tak hanya para remaja yang mengalami kecanduan gawai,
anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) kini telah mampu mengoperasikannya
dengan lihai. Permainan seperti petak umpet dan lompat tali yang syarat akan
pesan kejujuran, gotong royong, dan percaya diri tergeser dalam duni anak-anak.
Masa-masa bermain mereka tergerus dengan berbagai macam konten menarik
yang gawai tawarkan. Merosotnya akhlak dan moral ditambah era digital yang
memprihatinkan menjadi masalah tersebut tak sederhana. Pemerintah dan
orangtua harus mengambil aksi cepat dan tepat dalam penanganan hal tersebut.
Dorongan dari dalam diri anak untuk mengetahui segala sesuatu di sekelilingnya
sangatlah besar. Untuk itu terkadang mereka mengalami fase ledakan emosi,

93
94 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

terutama jika keinginannya tak dituruti. Seperti contoh saat tidak diizinkan
bermain gawai. Mereka akan menangis, histeris, berteriak, membanting benda
di sekelilingnya, bahkan memukul orang terdekatnya.
Menurut UNICEF, hasil penelitian terbaru menunjukan pengguna internet
di kalangan anak-anak dan remaja di usia 7-17 tahun mencapai 30 juta jiwa.
Dan setengah di antaranya adalah pengguna gawai. Hal tersebut menunjukan
bahwa gawai telah menjadi bagian dari dunia mereka. Segala aktifitas ditunjang
oleh gawai, terutama tugas sekolah yang sangat mudah di akses lewat internet.
Alih-alih memudahkan tugas, mereka malah tidak belajar secara sungguh-
sungguh dan malas.
Dalam hal ini, peran keluarga sangat dibutuhkan. Orangtua menjadi model
yang akan ditiru oleh anaknya. Seperti pribahasa mengatakan, “Buah tidak
akan jatuh jauh dari pohonnya” yang menggambarkan hubungan orangtua dan
anak. Orangtua perlu menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang paling
berpengaruh terhadap perilaku anaknya, termasuk perilaku buruk. Terkadang
muncul perilaku orangtua yang terlalu memanjakan anaknya dengan dasar
merasa tak tega. Jangan karena alasan sayang, anak malah bernasib malang.
Kemalangan karena kecandua gawai yang disebabkan orangtua yang sibuk
bekerja tanpa memperhatikan kondisi anak. Memberikan gawai tanpa batas dan
asal. Asal anak diam, asal anak betah di rumah, juga asal anak bisa mengakses
tugas.
Bertolak dari pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud menjelaskan bahwa
konsep parenting menurut Alquran mampu mengatasi kecanduan gawai pada
anak. Maka, starting point dari masalah di atas yaitu apa epistemologi qur’anic
parenting dan kecanduan gawai itu? Apa saja dampak negatif kecanduan gawai
terhadap pola pikir dan tindak anak? Bagaimana konsep qur’anic parenting
dalam mengikis kecanduan gawai?

Epistemologi Qur’anic Parenting dan Kecanduan Gawai


1. Qur’anic Parenting
Parenting merupakan serapan dari bahasa Inggris yang berarti pengasuhan.
(Echols dan Shadily, 2015:522) Pola pengasuhan dapat menentukan kualitsas
anak. Seorang anak menurut Alquran, akan menjadi qurratu a’yuun (buah
hati dan perhiasan dunia), jika tumbuh dalam pola pengasuhan yang baik dan
berkualitas. Menurut mansur anak diibaratkan sebagai tanaman yang tumbuh,
sehingga orangtua berperan sebagai tukang kebunnya (2011:3). Sebagai tukang
kebun, maka memiliki kewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan
memelihara tanaman tersebut. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa sebagai
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 95

orangtua, haruslah melaksanakan proses pengasuhan berdasarkan Alquran untuk


meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya. Sebaliknya
jika tidak menyirami dan me­mupuk dengan baik, maka kelalaian tersebut
akan mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak. Dengan demikian, qur’anic
parenting yaitu pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya sesuai berdasarkan
Alquran.
Qur’anic parenting mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya memiliki
potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga memiliki potensi
untuk menjadi musuh dan ujian berat bagi keluarga. Hal ini akan terjadi, jika
anaktumbuh dan berkembang dengan pola pengasuhan yang salah. Ayat Alquran
berikut menjelaskan kemungkina istri dan anak-anak menjadi musuh dan ujian
berat bagi kepala keluarga. Allah S.W.T. berfirman:

‫ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒﮓ‬
‫ﮔﮕﮖﮗ ﮘﮙﮚﮛﮜﮝﮞ‬
‫ﮟ ﮠﮡﮢﮣﮤ ﮥ ﮦ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu
ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika
kamu memaafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah Pahala yang besar (Q.S At-Taghabun [64]:14-15) (Tubagus
Najib, 2012:557).
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam ayat tersebut bahwa “Sesungguh­nya
harta dan anak-anak itu merupaka ujian dan cobaan dari Allah S.W.T. dari
makhluk-Nya, agar dapat dijelaskan siapa orang yang taat kepada-Nya dan siapa
yang durhaka terhadap-Nya”. (2006:560)

2. Kecanduan Gawai
Candu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah amat meng­
gemari atau menyukai. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:152). Dan gawai berarti
peranti akses cepat atau biasa di dalam bahasa Inggris disebut gadget/smartphone.
Dengan demikian, kecanduan gawai berarti seseorang yang sangat menggemari
atau menyukai gadget/smartphone, sehingga sering kali menggunakannya dan
menghabiskan sangat banyak waktu dengan gawai tersebut. Waktu mereka dengan
gawai melebihi waktu interaksi dengan manusia nyata. Anak selalu memegang
gawai dalam setiap kesempatan, termasuk pada saat makan, atau di tempat tidur
bahkan di kamar mandi/ WC pun begitu. Mereka abai terhadap banyak hal,
seperti interaksi dengan orang lain, pelajaran, dan tugas-tugas di rumah. Sistem
96 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pendidikan modern yang berkembang sekarang ini memandang anak sebagai


sosok yang hidup dan aktif. (Suhada, 2016:4) Seiring perkembangan teknologi,
gawai semakin bertransformasi menjadi media yang semakin canggih dan
terjangkau. Semua lapisan masyarakat mampu membelinya denga harga murah.
Berbagai macam aplikasi hadir memanjakan aktifitas sehari-hari. Lalu, kini
mengenal era paperless yaitu penggunaan kertas yang dikurangi penggunaannya
dan beralih pada e-book yang dapat dibaca dengan hanya menggunakan gawai.
Bagi para pecinta foto, mereka tak perlu dipusingkan dengan harga kamera
yang berjuta-juta. Cukup hanya dengan menggnakan gawai, mereka bisa
mendapatkan foto dengan kualitas yang tak kalah dengan kamera-kamera mahal.
Kemudian akses musik dan video mampu didapatkan hanya dengan meng-klik
tauan unggah. Maka lagu dan video yang diinginkan langsung tersimpan secara
otomatis dalam gawai pujaan.
Candu gawai dengan dunia maya memang sangat membuat siapapun
terlena, terlebih anak yang berada dalam masa yang potensial yaiutu masa yang
mengacu pada perubahan anak. Terlebih persoalan akhlak anak yang bertujuan
pada jiwa sehat yang mana senantiasa melakukan kebaikan tanpa perintah yang
berimbas pada kesenangan batinnya. (Al-Ma’arif, 2015:45). Menurut cahyono
bahwa anak-anak seperti halnya kertas yang ditulis atau diberikan warna, mereka
sangat mudah diberikan goresan. Berbeda dengan orang dewasa mereka sudah
mempunyai banyak coretan sehingga tulisan atau gambar berikutnya harus
memperhitungkan tulisan yang ada sebelumnya, minimal mencari kertas yang
masih mungkin dicoreti. (2015:11).
Anak-anak digambarkan dalam konsep tabula rasa layaknya kertas putih
kosong yang siap untuk ditulisi. (Cahyono, 2015:14) Kertas tersebut masih
putih dan lembut yang atinya, jangankan diberi coretan, kita tekuk dan remas-
remas kertasnya maka akan mengikuti sesuai remasan tersebut. Jika berbentuk
dan coretan itu analog dengan anak-anak, maka sangat mungkin dibentuk atau
diberikan coretan apapun. Karena itulah perkembangan anak sangat cepat,
mudah dan punya kemungkina menuju ke berbagai arah. Dan ini terjadi secara
menyeluruh di semua aspek diri anak. Anak memiliki daya serap yang tinggi
sekaligus saringan yang lemah.
Dengan analogi kertas tersebut, anak-anak sangat potensial untuk
membentuk dirinya. Tentu saja para orangtua yang paling berperan untuk
menentukan bentuk arah perubahan diri anak. Akan mengacu pada perubahan
baik atau sebaliknya. Walau candu gawai memang piawai menghadirkan
perubahan signikan pada anak, dengan adanya orangtua akan hadir perubahan
yang menyenangkan. Karena itu masa anak-anak adalah masa potensial.
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 97

Mendidik anak dengan kebenaran Alquran sangat penting diterapkan


sebab kebenaran Alquran adalah kebenaran yang tak keropos dihempas zaman
dan mutlak harus ditemia bulat-bulat. Dengan Alquran, anak-anak tidak hanya
cerdas secara spiritual saja, namun dapat menempas pengaruh negatif gawai
yang membayang-bayangi mereka dan yang paling hakiki adalah kebahagiaan
di akhirat. (Muhyidin, 2008:25).
Dengan demikian harus diterapkan dasar-dasar pengasuhan anak menurut
Alquran, sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﯤ ﯥﯦﯧﯨﯩﯪﯫﯬ ﯭﯮ‬
‫ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ‬
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar
kamu bersyukur. (Q.S An-Nahl [16]:78) (Tubagus Najib, 2012:275).
Dengan turunnya aya tersebut maka bayi ketika dilahirkan dalam keadaan
tidak mengetahui apapun. Maksudnya, bahwa bayi yang baru dilahirkan dalam
keadaan nihil dari segi pengalaman empiris. Allah S.W.T. membekalinya dengan
pendengaran dan penglihatan yang berpengaruh pada penguatan kapasitas
intelek, emosi, dan spiritual bayi yang berbasis pada kalbu.

Dampak Negatif Kecanduan Gawai Terhadap Pola Pikir dan Tindak


Anak
Orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka,
karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan
demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.
(Daradjat, 2016:35). Selaku orangtua harus memperhatikan beberapa hal
yang penting untuk ditanamkan pada anak. Dengan ini ditegaskan oleh Jawas
hal-hal yang harus diperhatikan orangtua di antaranya menanamkan akhlak
Rasul sebagai suri tauladan yang baik. (2012:125). Akhlak baik disini dalam
pandangan Mustofa bukan saja memberitahu mana hal yang baik dan yang
buruk, melainkan juga mempengaruhi dan mendorong anak memperaktikan
hal tersebut sehingga dapat bermanfaat bagi mereka dan orang di sekitarnya
(2014:33). Lalu membiasakan anak-anak dimulai dari usia balita bahkan saat
masih dalam kandungan diperdengarkan ayat-ayat Alquran, memperhatikan
shalat anak-anak sehingga saat sudah dewasa terbiasa, dan yang tak kalah
penting memperhatikan dengan siapa mereka bergaul agar mudah menyaring
hal-hal yang tak diiinginkan.
98 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dengan demikian, ada beberapa dampak negatif kecanduan gawai terhadap


pola pikir dan tindak anak di antaranya anak menjadi terobsesi, mudah marah,
sedih, dan frustasi jika tidak bermain dengan gadget. Contohnya jika orangtua
tidak mau meminjamkan gawai makai anak akan berontak dan marah. Begitu
pula ketika orangtua hendak mengambil gadget yang sedang dipakai oleh
anak. Selain itu, anak akan enggan bersosialisasi pada dunia nyata, berbohong
agar dapat melakukan aktifitas di dunia maya dan hal lainnya yang mampu
memberikan dampak buruk terhadap perkembangan anak.
Jika dalam perkembangan anak terjadi penyimpangan seperti kecanduan
gawai yang marak beredar, maka pengalaman beragama yang tertanam sejak
usia dini di lingkungan keluarga menjadi kekuatan yang mengembalikan
seseorang pada kehidupan normal. Kemudian, harus ada momentum yang
segera menyadarkan, entah lewat membaca buku ke-Islam-an, mengikuti
pengajian atau mengalami kejadian tertentu yang mengantarkan pada kekuasaan
Allah S.W.T. yang absolut. Selain itu, orangtua sebagai panutan bagi anak
berusah mengurangi waktu bermain anak dengan gadget, dengan meluangkan
waktu untuk anak, ajak bersosialisasi dengan teman sebaya, dan melakukan
aktifitas menarik. Meskipun selain ada dampak negatif dari gadget juga terdapat
dampak positifnya di antaranya menambah pengetahuan, memperluas jaringan
persahabatan, mempermudah komunikasi, dan melatih kreativitas. Semua itu
tergantung bagaimana orangtua memberikan pengaturan yang baik kepada anak
dalam penggunaan gadget.

Konsep Qur’anic Parenting Dalam Mengikis Kecanduan Gawai


Parenting merupakan salah satu bentuk konsep pengasuhan dari rumah parenting
dalam mengikis kecanduan gawai dan merumuskan dalam sebuah singkatan
PARENTING. Konsep ini mempermudah orangtua untuk mengingat dan
memahami konsep-konsep dasar yang diperlukan dalam mengasuh dan mendidik
anak, terutama di era digital seperti sekarang. Qur’anic parenting juga bertujuan
membangun perubahan perilaku pada anak-anak dengan berlandaskan kepada
Alquran. Adapun konsep ini terdiri dari 8 langkah yaitu:

1. P (Pengasuhan anak yang benar)


Penggunaan teknik yang kurang tepat akan membuat orangtua kesulitan
mengasuh dan mendidik anak. Orangtua harus beralih pada metode yang benar.
Salah satunya dengan cara mengajari anak mendirikan shalat. Sebagaimana
Allah S.W.T. berfirman:
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 99

‫ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ‬
‫ﯴﯵ ﯶ‬
Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting (Q.S Luqman
[31]:17) (Tubagus Najib, 2012:412).
Dengan demikian, apabila orangtua mengajarkan anaknya untuk mendirikan
shalat, dan menegakkan amar makruf nahi munkar, maka akan dapatmengikis
kecanduan gawai, karena anak tersebut akan mengetahui dampak negatif dari
sering memakai gawai tersebut.

2. A (Anak adalah anugrah)


Langkah kedua menitik beratkan kepada pemahaman bahwa anak adalah
anugrah terindah dan sebagai perhiasan dunia untuk orangtua dan mereka lahir
untuk mempelajari banyak hal. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ‬
‫ﭞﭟ‬
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus
menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhamnu serta lebih baik untuk menjadi
harapan (Q.S Al-Kahfi [18]:46) (Tubagus Najib, 2012:299).
Sebagai perhiasan kehidupan dunia untuk kedua orangtuanya bahwa
orangtua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang
diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga dia pun akan terbawa baik namanya di
depan masyarakat.
Anak tidak terlahir langsung berperilaku baik, keterampilan me­ngendalikan
emosi dan lain-lain. Dalam langkah ini, orangtua harus memahami barbagai
perilaku anak sebagai proses belajar dan menyadari sepenuhnya bahwa tugas
membimbing ada pada orangtua. Orangtua yang bertanggung jawab bertugas
membimbinganak-anaknya dalam mengikis kecanduan gawai agar dapat
brperilaku baik dan menghilangkan berbagai perilaku buruk.

3. R (Redam kemarahan kepada anak)


Tanpa langkah ini, orangtua akan kesulitan membuat anak patuh. Penggunaan
amarah dalam membimbing anak akan membuat pengasuhan tidak efektif
karena akan memancing perlawanan dari anak. Oleh karena itu, setiap orangtua
harus dapat menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain, terlebih
100 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

kepada anak. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

‫ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ‬
‫ﭩﭪﭫﭬ‬
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S Ali-Imran [3]:134)
(Tubagus Najib, 2012:67).
Dengan demikian, seseorang yang dapat menahan amarahnya dan
memaafkan kesalahan orang lain, maka Allah S.W.T. akan memberikan surga
yang luas seluas langit, karena Allah S.W.T. mencintai orang-orang yang
berbuat kebaikan. Maka selaku orangtua harus dapat meredam amarah terhadap
anaknya, jika anak tersebut mempunyai kesalahan atau membuat orangtua
menjadi marah, agar anak tersebut tidak beranggapan orangtuanya galak atau
tidak pynya kasih sayang, sehingga ketika orangtua tersebut melarang anaknya
dalam berlebihan menggunakan gawai, maka anak tersebut akan menuruti
perintah orangtuanya.

4. E (Empati mendengarkan)
Langkah ini bertujuan agar anak lebih mudah diarahkan. Dalam hal ini, tentu
orangtua harus melakukannya secara berkala bahkan setiap hari. Tahap ini juga
dapat berfungsi untuk memberikan pemahaman kepada anak. Oleh karena itu,
anak lebih mudah diarahkan dan orangtua dapat memberikan arahan dengan
lebih baik melalui mendengarkan masalah yang dihadapi anak terlebih dahulu.
Dalam hal ini ada kaitannya dengan firman Allah S.W.T.

‫ﯙﯚﯛ ﯜﯝﯞﯟﯠﯡ‬
Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah baik-
baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-A’raaf
[7]:204) (Tubagus Najib, 2012:176).
Dengan demikian, sebagai oaarangtua harus dapat mendengar keluh kesah
anaknya, agar dapat mengikis kecanduan gawai, karena dengan mendengarkannya,
anak akan menjadi patuh kepada orangtuanya. Ketika anak tersebut sering
menggunakan gawai , lalu sebagai orangtua menasehatinya, maka anak tersebut
akan patuh terhadap nasihat orangtua yang telah diberikan kepadanya.

5. N (Notifikasi/ pemberitahuan pembicaraan dan tindakan)


Konsep ini bertujuan agar anak memahami alasan untuk berperilaku baik, dan
juga alasan untuk menghilangkan berbagai perilaku buuruk. Dalam langkah
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 101

ini, berbagai motivasi, situasi serta kondisi yang mendukung pembentukan


perilaku harus orangtua jelaskan dan catat terlebih dahulu. Tujuannya agar anak
menadapat informasi/ pesan sesuai dengan yang diinginkan. Sehingga mereka
berperilaku sesuai yang kita maksud, selain itu sebagai orangtua harus dapat
memberitahukan kepada anak, mana perbuatan yang baik, dan mana perbuatan
yang buruk, seperti memberikan penjelasan kepada anak, bahwa sebagai anak
harus berbakti kepada orangtuanya. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﭶﭷﭸﭹﭺ ﭻﭼﭽﭾﭿﮀﮁﮂ‬
‫ﮃﮄ ﮅﮆﮇ‬
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtua­nya ...
(Q.S Luqman [31]:14) (Tubagus Najib, 2012:412).
Oleh karena itu, anak apabila sudah diberitahukan oleh orangtuanya agar
senantiasa berbakti kepadanya, maka anak tersebut akan patuh, jika orangtuanya
melarang untuk berlebihan dalam menggunakan gawai, dengan demikian akan
dapat mengikis kecanduan gawai terhadap anak.

6. T (Tanamkan predikat baik)


Bila orangtua ingin anak berperilaku baik, maka berikan predikat pada anak
sesuai harapan kita. Seperti “Anak saleh” atau “Anak pintar”. Panggilan tersebut,
membuat anak berperilaku sesuai predikat yang diberikan. Jadi, penggunaan
panggilan negatif harus dihilangkan. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﮥﮦﮧﮨﮩﮪﮫﮬﮭ‬
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar (Q.S Al-Ahzab [33]:70) (Tubagus Najib, 2012: 427).
Dengan demikian, orang tua harus berkata benar kepada anaknya, agar anak
tersebut mudah patuh dan taat atas perintah orangtuanya, ketika memerintahkan
untukmengikis kecanduan gawai. Sehingga dengan demikian, anak akan dapat
mengurangi penggunaan gawai tersebut.

7. I (Istiqamah)
Kunci keberhasilan dari konsep ini adalah ketika orangtua mampu men­jalankan se­
tiap langkah dengan istiqamah atau konsisten. Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﮅ ﮆ ﮇﮈ ﮉ ﮊ ﮋ‬
Maka tetaplah istiqomah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah
ampun kepada-Nya ... (Q.S Fushilat [41]:6) (Tubagus Najib, 2012:477).
102 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dengan turunnya perintah tersebut, maka hendaknya setiap orangtua


harus istiqamah dalam mendidik anak/ keluarganya, sehingga dengan demikian,
orangtua akan mudah mengikis anaknya dalam kecanduan gawai.

8. NG (meNGadakan Time Out)


Time out diperlukan untuk membantu orangtua menghentikan perilaku buruk
anak. Konsep ini juga melatih anak mengendalikan kemarahan sejak dini.
Biasanya anak akan membentak, berteriak, menangis, atau bahkan berguling-
guling di lantai jika tidak dipenuhi. Dalam kasus yang lebih kritis mereka akan
menyakiti diri mereka sendiri. Terutama karena kasus kecanduan gawai. Dalam
hal ini orangtua harus menerapkan Time Out, ketika anak sedang menggunakan
gawai dengan berlebihan agar anak menggunakan waktu sebaik mungkin.
Sebagaimana Allah S.W.T. berfirman:

‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘﭙﭚ ﭛﭜﭝ‬
‫ﭞﭟﭠ ﭡ‬
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Q.S Al-‘Ashr
[103]:1-3) (Tubagus Najib, 2012:601).
Dengan demikian, menggunakan waktu sebaik mungkin itu sangat penting.
Oleh karenanya, Time Out harus diberikan ketika anak berperilaku buruk dan
berlebihan dalam menggunakan gawai. Konsep ini dilakukan dengan tujuan
memberikan pemahaman kepada anak bahwa perilaku buruk harus dihentikan,
dan mengikis kecanduan gawai.
Dalam konsep PARENTING yang disebutkan di atas. Anak diberikan jeda
untuk sendiri, berusaha merenung tanpa diganggu orang lain. Orangtua harus
menghindari nada tinggi dan sikap tubuh mengancam, sampaikan harapan dan
arahan pada anak dengan jelas, jangan disampaikan di keramaian orang banyak.
Pastikan orangtua dalam keadaan tenang saat melakukan hal tersebut.
Solusi yang dapat dilakukan dari pengaruh gawai antara lain memantau
histori penggunaan internet, mendampingi anak-anak saat memakai gawai,
jangan memberikan anak gawai pribadi mereka sendiri, akan tetapi pinjamkan
saja gawai dengan dibicarakan waktu batasan untuk memakainya, ajak dan
luangkan waktu bermain seperti piknik bersama keluarga dengan begitu anak
akan lebih reaktif pada lingkungannya.
Qur’anic Parenting: Solusi Tepat dalam Mengikis Kecanduan Gawai 103

Penutup
Qur’anic parenting mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya memiliki
potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga memiliki potensi
untuk menjadi musuh dan ujian berat bagi keluarga. Hal ini akan terjadi, jika
anaktumbuh dan berkembang dengan pola pengasuhan yang salah. Dengan
demikian, dengan qur’anic parenting, maka anak akan menjadi berkarakter
qur’ani.
Dampak negatif kecanduan gawai terhadap pola pikir dan tindak anak di
antaranya anak menjadi terobsesi, mudah marah, sedih, dan frustasi jika tidak
bermain dengan gadget. Contohnya jika orangtua tidak mau meminjamkan
gawai makai anak akan berontak dan marah. Begitu pula ketika orangtua
hendak mengambil gadget yang sedang dipakai oleh anak. Selain itu, anak
akan enggan bersosialisasi pada dunia nyata, berbohong agar dapat melakukan
aktifitas di dunia maya dan hal lainnya yang mampu memberikan dampak
buruk terhadap perkembangan anak. Dampak negatif kecanduan gawai sendiri
merupakan perilaku menyimpang anak yang terjadi akibat kelalaian orangtua.
Dan dapat di atasi dengan mengamalkan pengasuhan menurut Alquran. Dengan
begitu pengalaman beragama yang tertanam sejak usia dini di lingkungan
keluarga menjadi kekuatan yang mengembalikan seseorang pada kehidupan
normal. Kemudian harus ada momentum yang segera menyadarkan, entah
lewat membaca buku ke-Islam-an, atau mengikuti pengajian.
Konsep qur’anic parenting dalam mengikis kecanduan gawai. Anak diberikan
jeda untuk sendiri, berusaha merenung tanpa diganggu orang lain. Orangtua
harus menghindari nada tinggi dan sikap tubuh mengancam, sampaikan harapan
dan arahan pada anak dengan jelas, jangan disampaikan di keramaian orang
banyak. Pastikan orangtua dalam keadaan tenang saat melakukan hal tersebut.
Keluarga terutama orangtua memiliki peranan penting sebagai guru pertama
dan utama bagi anak. Dari lingkungan keluarga, anak mendengar, melihat,
dan kemudian menirukan berbagai hal dalam kehidupan ini sehingga menjadi
kebiasaan anak. Pengasuhan dengan demikian, harus bernilai edukatif dalam
memberikan stimulus-stimulus yang memberikan pengarah dan penguatan
kapasitas intelek, emosi dan spritual, dan psikososial anak berjalan dengan wajar
sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan.
Alhamdulillah ‘Ala Kulli Haal. Dengan adanya makalah yang sederhana ini,
berharap agar setiap orang tua mampu mengasuh anaknya sesuai kemampuan
serta melakukan sesuai pola pengasuhan menurut Alquran, serta berharap agar
pemerintah dapat mem-blokir atau menghapus situs-situs atau aplikasi yang
tidak baik ditayangkan atau digunakan dalam gawai, sehingga seorang anak
104 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menggunakan gawai dengan sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan yang


ada.

Pustaka Acuan:
Al-Ma’arif, Ucup Fathuddin. Kepemimpinan Dalam Perspektif Alquran. Serang:
LPTQ Provinsi Banten. 2015.
Al-Munajid, Muhammad bin Shalih. 40 Nasehat Memperbaiki Rumah Tangga.
Jakarta: Darul Haq. 2014.
Cahyono, Rudi. Daily Parenting Menjadikan Orangtua Pendidik Yang Luar
Biasa. Jakarta Selatan: Panda Media. 2015.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2016.
Echols, John M dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia. 2015.
Hidayati, Zulaehah dan Ratiqah Munawar Wahyu. Time Out Dalam Parenting.
Jakarta: Erlangga. 2015.
Ismail, Asep Usman. Alquran dan Kesejahteraan Sosial. Tangerang: Lentera Hati.
2012.
Katsir, Ibnu Abul Fida Ismail. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
2006.
Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2011.
Muhyidin, Muhammad. Mengajar Anak Berakhlak Alquran. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2008.
Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia. 2014.
Najib, Tubagus. Mushaf Al-Bantani Alquran dan Terjemahnya. Serang: Majelis
Ulama Indonesia Provinsi Banten. 2012.
Suhada, Idad. Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini. Bandung: PT. Rosdakarya.
2016.
Syahwan, Yahya bin Sa’id Alu. Fatwa-Fatwa Untuk Anak Muslim. Surabaya:
Elba. 2006.
Tim Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT
Media Pustaka Phoenix. 2010.
Hukum Keluarga Islam dalam
Perspektif Alquran Sebagai Basis Untuk
Mengokohkan Ketahanan Nasional
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.06

Pendahuluan
Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang apabila dipelajari tidak
memberikan nilai guna (manfaat). Terlebih lagi jika ilmu yang dipelajari
menyentuh kehidupan setiap anggota masyarakat seperti hukum keluarga dalam
kaitan ini hukum keluarga Islam dalam mengokohkan ketahanan nasional.
Sosiologi (ilmu ijtima’i) mengajarkan kepada kita bahwa unit terkecil dalam
masyarakat adalah keluarga. Karenanya, keluarga memiliki peran dangat
signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Berkenaan dengan posisi penting
keluarga dalam masyarakat sebagai basis utama dalam mengkohohkan ketahanan
nasional (Amin Summa, 2004: 32)
Setiap bangsa sudah pasti mempunyai cita-cita yang ingin diwujudkan
dalam kehidupan nyata. Cita-cita itu merupakan arahan yang sebenar-benarnya
dan mempunyai fungsi sebagai penentu arah dari tujuan nasional. Namun
demikian, pencapaian cita-cita dan tujuan nasional bukan sesuatu yang mudah
diwujudkan dalam perjalanannya kearah tersebut akan muncul energi positif
maupun energi negatif yang memaksa suatu bangsa untuk mencari solusi
terbaik, terarah, konsisten, efektif dan efesien.

105
106 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Indonesia adalah Negara yang bersandar pada kekuatan hokum sehingga


kekuasaan dan penyelenggaraan hidup dan kehidupan kenegaraan diatur oleh
hokum yang berlaku. Dengan kata lain, hukum sebagai pranata social disusun
untuk kepentingan seluruh rakyat dan bangsa yaitu untuk menjaga ketertiban
seluruh rakyatnya. Kondisi kehidupan nasional itu menjadi salah satu kekuatan
ketahanan nasional karena adanya jaminan kekuasaan hukum bagi semua
pihak yang ada di Indonesia dan lebih jauh daripada itu adalah menjadi cermin
bagaimana rakyat Indonesia mampu untuk tumbuh dan berkembang dalam suatu
wilayah yang menetapkan hukum sebagai asas berbangsa dan bernegara dengan
menyadarkan pada kepentingan dan aspirasi rakyat.
Kemampuan, kekuatan, ketangguhan dan keuletan sebuah bangsa
melemahkan dan menghancurkan setiap tantangan, ancaman, rintangan itulah
yang disebut dengan ketahanan nasional. Oleh karena itu, ketahanan nsaional
mutlak senantiasa untuk dibina dan dibangun serta ditumbuhkembangkan
secara berkelanjutan dengan simultan dalam upaya mempertahankan hidup dan
kehidupan bangsa. Lebih jauh dari pada itu adalah makin tinggi tingkat ketahanan
nasional suatu bangsa maka makin kuat pula posisi bangsa dalam pergaulan dunia
dan salah satu yang mempengaruhi ketahanan nasiona yaitu keluarga.
Keluarga dibentuk dari sepasang manusia untuk membina rumah tangga
yang sakiinah, mawaddah dan warrahmah. Keluarga merupakan unsur paling kecil
dari masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga menyatukan dua pikiran berbeda
dua pikiran yang berbeda membangu sebuah komitmen dalam memulai hidup
baru untuk mandiri menggapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dalam
hal ini hukum keluarga Islam sangat diperlukan sebagai strukrur manajemen
pemberdayaan diri untuk menjaga eksistensi kesejahteraan hidup berkeluarga.
Negara akan sejahtera bila kelompok-kelompok masyarakat yang hidup
dalam negara itu sejahtera, kelompok-kelompok itu akan sejahtera bila keluarga-
keluarga yang hidup dalam kelompok itu sejahtera. Jadi negara ditentukan
kesejahteraannya oleh keluarga dalam negara atau masyarakat.
Data di atas bisa berubah kapanpun selama pengembangan masih terus
dilakukan, lalu bagaimana pengaruh hukum keluarga Islam terhadap ketahanan
nasional? Dan bagaimana formula dan strategi yang ditawarkan Alquran tentang
hukum keluarga Islam sehingga dapat menjadi sebuah basis dalam mengokohkan
ketahanan nasional?
Makalah ini dibuat semoga nantinya dapat dijadikan pertimbangan strategi
yang dapat digunakan untuk menjdikan keluarga muslim yang menerapkan
hukum keluarga Islam dalam usaha untuk mengokohkan ketahanan nasional.
Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 107

Konsep Hukum Keluarga Islam


Dalam pengembangan huku keluarga Islam setiap kepala keluarga harus
mengatur segala keutuhan dalam keluarga berdasarkan hukum keluarga sesuai
dengan hukum Islam, menurut Prof. Amin Summa (2000: 95), menyatakan
keluarga merupakan suatu kesatuan yang harus dikembangkan dengan cara
sebaik-baiknya. Hukum keluarga merupaka salah satu landasan yang baik untuk
mengatur segala kesatuan dalam keluarga, dan hukum kelurga merupakan
hukum yang pertama kali muncul dibandingkan dengan hukum-hukum yang
lain seperti hukum sosial filsafat dan lain-lain.
Menurut Rifyal (2002: 2), hal-hal pribadi yang dimaksud adalah masalah-
masalah dimana pribadi menjadi topiknya atau yang mengendalikan masalah
pribadi. Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa secara harfiah, al-ahwal
as-syakhshiyyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan soal pribadi. Istilah
Qanun al-ahwal as-syakhsiyyah, memang lazim diartikan dengan hukum pribadi,
dalam bahasa Inggris al-ahwal as-syakhshiyyah biasa disalin dengan personal
statute.
Dalam literatur hukum Islam (fiqh), hukum keluarga biasa dikenal dengan
sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah. “Ahwal” adalah jamak (plural) dari kata tungga
(Singular) al-hal, artinya hal, urusan atau keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah adalah
jamak dari asykhash atau syukhush yang berarti orang atau manusia. As-syakhshiyyah
berarti kepribadian atau identitas diri atau jati diri (Rawas, 1996: 749)
Prof. Wabhbah Az-Zuhayli, Guru besar Universitas Islam Damaskus (1989:
19), memformulasikan al-ahwal as-syakhshiyyah (hukum keluarga) dengan
hukum-hukum yang mengatur hubungan keluarga sejak dimasa-masa awal
pembentukan hingga di masa-masa akhir yaitu berakhirnya (keluarga) berupa
nikah, talak (perceraian), nasab (keturunan), nafkah dan kewarisan.
Sementara Ahmad Al-Khumayini (1999: 89), mengingatkan bahwa huquq
al-usrah atau al-ahwal as-syakhshiyah merupakann seperangkat kaidah undang-
undang yang mengatur hubungan personal anggota keluarga dalam konteksnya
yang khusus dalam hukum suatu keluarga.
Keluarga merupakan masyarakat paling kecil yang beranggotakan seorang
suami, istri serta anak. Keluaragalah yang memberikan pendidikan paling
mendasar bagi seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu, pembinaan keluarga
dalam Islam merupakan agenda yang tidak mengenal akhir, melainkan agenda
yang senantiasa berkelanjutan. Itulah sebabnya, Islam sangat memandang
penting terhadap pengembangan keluarga yang didasari oleh nilai-nilai agama.
Pengembangan keluarga berarti suatu rekayasa untuk mewujudkan keluarga
yang berkembang secara dinamis. Upaya pengembangan tersebut berawal dari
108 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pembentukan keluarga, yaitu perkawinan lalu dilanjutkan dengan pembinaan


keluarga interaktif anata suami dan istri. Ruang lingkupnya tidak berhenti
disini, melainkan terus berkelanjutan dengan pembinaan dengan segala seluk
beluknya. Oleh karena itu, proses pengembangan keluarga tersebut sangat
berpengaruh dengan hukum keluarga Islam.
Demi terpeliharanya kehidupan keluarga yang mampu mengembangkan
hukum keluarga Islam dan dapat menjlankan fungsinya dengan baik. Islam
memalui syariatnya menetapkan sejumlah petunjuk dan aturan. Diantaranya
agar keluarga dapat memberikan pengaruh pada ketahanan di suatu negaranya.
Keluarga sering diumpamkan sebagai bahtera. Jika suatu bahtera memiliki
dua nahkoda yang berbeda prinsip dan tujuan kerjanya, jalannya tidak akan
menentu bahkan bias terjadi kecelakaan. Bahtera harus mempunyai satu nahkoda
yang satu prinsip dan satu tujuan. Seorang kepala rumah tangga merupakan
pemegang kendali keluarga yang penuh tanggung jawab. Dalam hal ini seorang
suami memiliki wewenang untuk mengendalikan anggota keluarganya sehingga
mampu mencapai dari suatu hukum keluarga Islam (Hamidi, 2003: 25)
Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan utama dan pertama dalam
mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan ibu adalah pendidik pertama
dan utama seorang anak. Menurut Dian Kusuwardani (2002: 137), setiap individu
yang berkeluarga pasti mendambakan keluarga yang sakiinah. Keluarga sakiinah
adalah keluaga yang memberikan ketenangan, kesejukan yang dilandasi oleh iman
dan taqwa serta dapat menjalankan syariat Islam dengan sebaik baiknya
Menurut Adiwikarya (2007: 98), suatu kelurga diakatakan memiliki
ketahanan dan kemandirian yang tinggi, apabila keluarga itu berperan secara
optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota keluarganya. Karena itu,
tanggung jawab keluarga dalam meningkatkan hukum keluarga Islam meliputi
faktor pendidikan, ekonomi, social budaya dan lain-lain. Sehubungan dengan
tanggung jawab tersebut, maka fungsi kelurga meliputi, fungsi cinta kasih,
perlindungan atau proteksi, sosialisasi ekonomi dan pengembangan lingkungan.
Dikemukakan oleh Budi Santoso (1995: 78) dalam tulisannya “Hukum
keluarga Islam berbasis bagi pembinaan kualitas sumber daya manusia” bahwa
betapapun sederhananya kehidupan suatu keluarga, pasti akan mengembangkan
organisasi sosial yang masing-masing aspeknya akan menjamin ketertiban dan
pencapaian tujuan hidup bersama. Organisasi sosial itu pada intinya meliputi
pengaturan hubungan sosial antar anggota (social aligment), cita-cita atau tujuan
bersama yang mengikat kesatuan sosial yang bersangkutan (social media),
ketentuan yang disepakati sebagai pedoman dalam pergaulan social (social
standar), penegakan kehidupan bersama (social control). Berdasarkan pemikiran
Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 109

ini, maka setiap orang baik sebagai individu atau anggota masyarakat terikat
oleh keempat norma social tersebut dalam tetanan kehidupan masyarakat.
Untuk mempertahankan hukum keluarga Islam, setiap keluarga, setiap
anggota keluarga mempunya tanggung jawab dan tugas masing-masing untuk
dipenuhi. Berusaha untuk saling mengisi dalam segala lini yang berkiatan
dengan peningkatan hukum keluarga Islam, karena pada dasarnya hukum
keluarga Islam mampu dicapai apabila dalam suatu kelurga memiliki satu visi
dan tujuan yang sama untuk meningkatkan hukum keluarga Islam.
Kesemuanya itu dibutuhkan perencanaan yang matang dengan me­nyiasati
struktur manajemen pemeberdayaan diri masing-masing dalam berkeluarga.
Keluarga yang bahagia, mandiri, sejahtera dan konsisten terhadap tanggung jawab
anggota keluarganya. Segala persoalan diselesaikan dengan cara berkomunikasi
yang baik dan tidak mendahulukan ego masing-masing. Hal ini yang menjadi
faktor untuk meningkatkan ketahanan keluaga.

Hakikat Hukum Keluarga Islam Terhadap Ketahanan Nasional


Tanpa mengetahui hukum keluarga Islam secara benar dan baik, hampir mustahil
sebuah keluarga terutama keluarga muslim akan mampu mewujudkan impian
atau tepatnya keluarga idaman yang didambakan, yakni keluarga sakiinah
(sejahtera) yang di bangun atas dasar hubungan mawaddah dan rahmah. Hukum
keluarga Islam memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia bagi kehidupan manusia guna mengokohkan ketahanan nasional.
Menurut Prof. Muhamad Amin Summa (2004: 37), satu hal yang mutlak
penting diketahui ialah bila keluarga muslim dengan para anggotanya benar-benar
mengetahui sekaligus mengamalkan hukum keluarga Islam secara baik dan benar,
niscaya keluarga yang bersangkutan akan menjadi keluarga yang benar-benar
sakiinah. Hanya keluarga yang sakinah inilah sesungguhnya yang akan membangun
sebuah bangunan masyarakat, bangsa, dan negara yang tangguh dan kuat. Sehingga
keluarga mempunyai pengaruh dalam upaya mengokohkan ketahanan nasional.
Keluarga sakinah itu tentu akan dapat dibangun dengan baik manakala setiap
anggota keluarga benar-benar mengetahui dengan baik keberadaan hukum keluarga.
Dalam hal ini hukum keluarga Islam bagi keluarga muslim yang nantinya mampu
dijadikan sebagai basis dalam mengokohkan ketahanan nasional.
“Hasil penelitian para sosiolog dan antropolog membuktikan bahwa
masyarakat kuno sebagaimanapun primitifnya juga terdapat hukum. Selama
ada masyarakat, masyarakat besar maupun kecil, selalu diikuti oleh hukum.” (R.
Soeroso, 1993: 49). Termasuk kedalam masyarakat kecil adalah keluarga yang
umum disebut sebagai “unit terkecil” dalam masyarakat. Jika demikian halnya,
110 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dapatlah diartikan bahwa setiap bidang hukum termasuk hukum keluarga,


pasti memiliki fungsi dan kedudukan. Demikian pula halnya dengan hukum
keluarga Islam bagi ketahanan nasional.
Jika hukum keluarga memiliki kedudukan atau fungsi mengatur hubungan
timbal balik dalam sebuah keluarga untuk mengokohkan ketahanan nasional,
fungsi hukum keluarga Islam dalam suatu keluarga adalah sebagai pengatur
mekanisme (hubungan) timbal balik antara sesama anggota keluarga dalam
mengokohkan ketahanan nasional.
Adapun tujuan dari pensyariatan hukum keluarga Islam bagi keluarga
muslim dalam mengokohkan ketahanan nasional secara ringkas ialah untuk
mewujudkan kehidupan muslim yang sakinah yaitu keluarga yang mampu
memberikan ketenangan dan kesejahteraan sehingga dalam proses membantu
dalam mengokohkan ketahanan nasional dapat berjalan dengan baik dan
mampu mencapai tujuan dari ketahanan nasional.
Al-imam Al-akbar Mahmud Syaltut (1883: 56) dalam kitab Al-Islam’aqidah
wa-Syariah menegaskan demikian, “tidak diragukan lagi bahwa suatu keluarga
adalah ibarat batu bata (bahan bangunan) dari sekian banyak batu bata umat yang
terbentuk dari udengan Snit-unit atau kumpulan kumpulan keluarga yang saling
terkait antara satu dengan yang lain. Dan biasanya, bangunan yang terbentuk dari
batu bata itu kekuatannya ber­gantung pada kuat atau lemahnya batu-bata yang
menjadi bahan bakunya. Manakalah bangunan itu tersusun atas batu bata yang kuat
lagi memiliki daya tahan dan kekebalan, niscaya bangunan itu sendiri akan kokoh,
dan sabaliknya apabila bangunan itu tersusun atas batu bata yang lemah dan rapuh,
maka dapat dipastikan bangunan itu akan lemah dan rapuh”.
Senada dengan Mahmud Syltut, Muhammad Abdul Raud dalam bukunya,
The Islamic Family (1994: 7), menjelaskan bahwasanya keluarga adalah suatu
bangunan tersendiri dalam struktur social. Kesuksesan dan efesiensi dan tatanan
social betapapun besarnya bergantung pada stabilitas keluarga dan harmonisasi
internal rumah tangga. Padahal semua orang mengetahui bahwa stabilitas
dan harmonisasi keluarga itu sangat bergantung pada kebaikan setiap anggota
keluarga dalam memenuhi kewajibannya terhadap anggota keluarga yang lain.

Hukum Keluarga Islam Dalam Perspektif Alquran Sebagai Upaya


Mengokohkan Ketahanan Nasional
Dalam hukum Islam, dikenal dua macam kewajiban, yakni kewajiban individu
yang lazim disebut fardu ain dan kewajiban kolektif yang biasa disebut dengan
fardu kifayah. Dihubungkan dengan pemilah beban hukum di atas, dapat
disimpulkan bahwa hukum menjalankan hukum keluarga Islam dalam keluarga
Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 111

muslim adalah wajib ain sekurang-kurangnya bagian-bagian tertentu dari


hukum keluarga Islam. Adapun hukum mengajarkan (hukum keluarga Islam)
kepada keluarga muslim merupakan fardu kifayah (kewajiban kolektif ) yang
bisa dilakukan oleh sebagian orang muslim untuk semua masyarakat muslim.
Dasar kewajiban untuk mempelajari dan mengajarkan hukum keluarga
Islam bagi keluarga muslim dalam upaya mengokohkan ketahanan nasional
sesuia dengan perintah yang dijelaskan dalam Alquran. sebagaimana firman
Allah aza wazala dalam Q.S An-nisa ayat 13-14.

‫ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ‬
‫ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ‬
‫ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ‬
‫ﯷﯸ‬
Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalamm syurga yang
mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah
kemenangan yang besar. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasulnya dan
melanggar ketentuan-Nya. Niscaya ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan.” (Q.S. An-nisa (4) ayat:13-14) (Mushaf Al-Bantani 2013: 79).
Menurut Quraih Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2002: 98) menafsir­kan
ayat di atasbahwasanya setiap hukum merupakan ketentuanlah dari Allah dan
apabila itu berdampak baik maka lakukanlah, kareana setiap perkara yang baik
akan terdapat kebaikan pula.
Prof. Muhammad Amin Summa dalam buku “Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam” menawarkan beberapa solusi yang diterapkan dalam hukum keluarga Islam
dalam mengokohkan ketahanan nasional sesuai dengan perintah dalam Alquran.

Pertama; Tanggung Jawab Manusia Sebagai Individu


Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai ketahanan nasional
yang ditawarkan dalam menenrapkan hukum keluarga Islam adalah pendidikan
Aqidah. Aqidah merupakan materi pembinaan anak dalam Islam. Kata “aqidah”
menurut bahasa berasal dari kata bahasa arab yang berarti pengikat. Aqidah
merupakan kepercayaan penuh pada hukum dan ketetapan Allah, karena
dengan setiap individu diberikan pendidikan Aqidah dalam,
Pada dasarnya, keberadaan manusia ditemukan dengan Allah S.w.t.. Manusia
dibekali oleh Allah S.w.t. dengan berbagai macam potensi yang dimilikinya,
diantaranya nafs atau jiwa sadar. Abu A’la Al-Maudud (1997: 15) menyatakan
112 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

bahawa nafs manusia ada tiga tingkatan, yakni yang pertama, nafs ammarah,
yaitu jiwa yang mudah terpengaruhi bisikan hati yang sama-sama dimilik
oleh manusia dan binatang. Dengan nafs ammarah ini, manusia memiliki
ambisi dan emosi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hiduopnya.
Kedua, nafs lawammah, yaitu jiwa yang berhati-hati atau sadar secara normal
untuk berjuang meraih kebaikan dan menolak perbuatan jahat. Ketiga, nafs
muthma’inanah, yaitu jiwa yang selaras secara sempurna dengan kehendak Allah
S.w.t. Pembagian tersebut berpijak pada keterangan dari ayat sebagai berikut.

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ‬
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyruuh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberikan rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yusuf (12)
ayat: 53) (Mushaf Al-Bantani, 2013: 242).
Menurut Quraish Shihab (2002: 167) dalam tafsir al-misbah ayat di atas
menjelaskan bahwasanya semua potensi yang dimilikinya, manusia dapat hidup
secara layak sesuai dengan kemampuannya dalam mengontrol dalam dirinya
dan mengendalikan nafs-nya yang keseluruhannya mengarah pada munculnya
kreativitas manusia untuk mengembangkan kemampuan dirinya disegala bidang.
Dengan kemampuan mengendalikan nafs manusia akan menyadari bahwa setiap
yang dikerjakan akan dimintai pertanggung jabawan. Hal ini yang diajarkan
dalam hukum keluarga Islam yang nantinya dapat mengembangka potensi
setiap individu sehingga nantinya mereka dapat mengerti tentang bagaimana
cara mengokohkah ketahanan nasional.

Kedua; Tanggung Jawab Sosial


Manusia senantiasa bergantung kepada orang lain sehingga ia dituntut untuk
hidup bersama secara damai dalam bimbingan Allah S.w.t.. Dengan demikian,
misi uatam dari penerapan hukum keluarga Islam adalah meneruskan perjuangan
Nabi Muhammad Saw dalam menciptakan ketentraman dan kedamaian
dimuka bumi ini. Hal ini merupakan tangggung jawab yang harus dimulai
dari setiap pribadi dalam kehidupan bermasyarakat, hingga nantinya tercipta
hubungan yang serasi antar anggota masyarakat dan memiliki tujuan bersama
yaitu mengokohkan ketahanan nasional.
Oleh karena itu, setiap pribadi bertanggung jawab untuk memperbaiki
perilakunya, baik lahir maupun batin. Dari keluarga hal ini mulai dilakukan
yang kemudian diteruskan pada perbaikann perilaku seluruh masyarakat
sehingga terjadi timbal balik antara pribadi dan masyarakat. Karena pada hal ini
perlu adanya usaha yang tinggi untuk merubah setiap hal yang ada di lingkup
Hukum Keluarga Islam dalam Perspektif Alquran 113

keluaraga sehingga nantinya mampu memberikan pengaruh terhadap ketahanan


nasional dengan ridho Allah S.w.t.. Sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S.
Ar-Rad ayat 11,

‫ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ‬
‫ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟﯠ ﯡ ﯢ‬
‫ﯣﯤﯥ ﯦﯧ‬
Allah tidak akan merubah apa (keadaan) yang ada pada suatu kaum (masyarakat),
sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka (Q.S.
Ar-Rad 13 ayat:11) (Mushaf Al-bantani, 2013: 251).
Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-lubab (2012: 62)
menafsirkan tentang ayat di atas bahwasanya pada ayat ini menegaskan bahwa
Allah S.w.t. tidak mengubah keadaan suatu kaum dari positif ke negatif atau
sebaliknya dari negative ke positif sampai mereka mengubah terlebih dahulu
apa yang ada pada dirinya, yakni sikap mental dan pikiran mereka sendiri.
Ayat ini melanjutkan bahwa apabila Allah S.w.t. menghendaki keburukan
terhadap suatu kaum, maka ketika itu berlakulah ketentuan-Nya di atas,
yakni yang berdasarkan Sunatullah atau hukum-hukum kemasyarakatan yang
ditetapkan-Nya. Dan apabila itu terjadi, maka taka da yang dapat menolaknya
dan tidak ada satu pun pelindung baginya selain Allah S.w.t.

Penutup
Begitu penting arti dari keberadaan unit-unit keluarga dalam mengokohkan
ketahanan nasional, dan begitu menentukan baik dan buruknya sebuah
ketahanan nasional yang ingin dibangun secara bersama-sama. Baik buruknya
unit keluarga itu sendiri antara lain sangat ditentukan oleh disiplin dan kesadaran
hukum masing-masing anggota keluarga terhadap hukum keluarga Islam yang
dianutnya. Bagi keluarga muslim, idealnya tentu menganut dan mengamalkan
hukum keluarga Islam akan memiliki sejumlah manfaat bagi anggota keluarga
dalam upaya untuk mengokohkan ketahanan nasional.
Tanpa mengetahui hukum keluarga Islam secara benar dan baik, hampir
mustahil sebuah keluarga terutama keluarga muslim akan mampu mewujudkan
impian atau tepatnya keluarga idaman yang didambakan, yakni keluarga sakiinah
(sejahtera) yang di bangun atas dasar hubungan mawaddah dan rahmah. Hukum
keluarga Islam memiliki fungsi dan tujuan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia bagi kehidupan manusia guna mengokohkan ketahanan nasional.
Dan alquran memberikan formula dan staretagi tentang penerapan dari
114 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

hukum keluarga Islam dalam keluarga muslim dalam upaya mengokohkan


ketahan nasional. Mulai dari memberikan strategi tentang tanggung jawab
manusia terhadapat dirinya sendiri secara individu dan tanggung jawab social
dengan upaya bersama membina akhlak Islamiah sesuai dengan penerapan
hukum keluarga Islam sesuai dengan yang dianjurkan oleh Alquran, hingga
akhlak itu mewarnai kehidupannya secara pribadi, keluarga dan masyarakat dan
mampun memberikan kesadaran kepada setiap individu untuk menjaga dan
mengokohkan ketahanan nasional.

Pustaka Acuan:
Adiwikarya. Hak-hak dalam Berkeluarga. Jakarta: Sallam Press. 2007.
Al-imam Al-akbar Mahmud Syaltut. Al-Islam’aqidah wa-Syariah. Jakrta: Lentera
hati. 1998.
Al-maududi. Abu Al-A’la et. Al, Esensi Alquran. Bandung: Mizan. Cet ke-8. 1997.
Budi Santoso. Ketahanan Keluarga dalam Islam. Bandung: Salim Press. 1995.
Dian Kusuwardani. Keluarga Berkarakter. Jakarta: Dwi Mulya Press. 2002.
Dimyati, Irman. Membangun Ketahahan Keluarga. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2007.
Hadhiri, Chairuddin. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jakarta: Gema Insani
Press. 1996.
Hamidi. Implikasi Keluarga dalam Pengembangan Anak. Bandung: Rajawali
Press. 2003.
Harun, Nasution. Islam Rasional. Bandung: Mizan. 2002.
Muhammad Abdul Raud. The Islamic Family. Jakarta: Lentera hati. 1994.
Pemprov Banten. Mushaf Al-Bantani dan Terjemahannya. Jakarta: (LPQ)
Kemenag RI. 2013.
Prof. Wabhbah Az-Zuhayli. Eksistensi Keluarga sebagai Pendidikan Awal Anak.
Jakarta: Lenterahati. 1989.
Rosyanti, Imas. Esensi Alquran. Bandung: Pustaka Setia Bandung. 2002.
Rawas. Pengenbangan Individu dalam keluarga. Bandung: Pustaka Widya. 1996.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1996.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Alquran. Bandung: Mizan. 1996.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Lubab. Jakarta: Lentera Hati. 2012.
Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Summa, M. Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT
Rajagrafindo. 2004.
Baiti Jannati Sebagai Penangkal
Radikalisme Anak (Upaya Keluarga
dalam Menopang Ketahanan Nasional)
Penulis: Peserta Nomor MQ.1.03

Pendahuluan
Popularitan puisi gubahan Dorothy Law Nolte (1924-2005) tersebut tak
terbantahkan. Pendidik dan ahli konseling kelas dunia ini meluncurkannya pada
1954. Bgi wanita asal Amerika ini, kepribadian anak sangat tergantung pada
pola pendidikan, pergaulan dan keteladanan yag di dapatkannya. Karena itu,
kearifan lokan negeri ini mengatakan: “Mendidik di waktu kecil bagai mengukir
di atas batu”, Nurul H. ma’arif (2007)
Memang benar yang disebutkan oleh Dorothy. Kepribadian anak sangat
tergantung pada “di mana”, “bagaimana” dan “siapa” yang mengelilinginya.
Anak sering klai menjadi cerminan dari orang tuanya, kebaikannya adalah
pantulan dari kebaikna orang tuanya, begitupun sebaliknya. Sehingga kata
mutiara yang popular di kalangan pesantren mengatakan al-waladu sirru abihi,
yaitu “anak adalah rahasia orang tuanya”.
Anak adalah mutiara kehidupan yang diamanatkan Allah S.w.t. kepada
orang tua. Kehadirannya senantiasa memberi arti untuk menggores kanvas
kehidupan mendatang. Sejatinya ank adalah pemilik masa depan. Karenanya,
ketepatan pendidikan dalam mengasah dan membentuk kepribadian anak

115
116 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menjadi landasan utama terjelmanya masa depan bangsa yang gemilang, Akram
Misbah (2005: 9).
Namun, kenyatanan mencemaskan yang belakangan sering terjadi adalah
keberanian anak-anak dan remaja melakukan pelanggaran-pelanggaran, baik itu
pelanggaran norma, hukum, adat istiadat, bahkan susila. Pelanggaran seperti
ini biasanya disertai dengan tindakan-tindakan yang mengganggu ketentraman
masyarakat. Dan pada umumnya anak-anak dan remaja yang melakukannya
adalah mereka yang kurang mendapatkan kasih sayang serta pendidikan agama,
Zakiah Daradjat (1972: 481).
Berangkat dari permasalahan di atas, tulisan sederhana ini berupaya
menghadirkan konsep Baiti Jannati sebagai solusi untuk menangkal radikalisme
anak dengan mengacu pada beberapa pertanyaan, yaitu: Apakah radikalisme
anak dan penyebabnya? Lantas, apa saja pola didik anak? Dan Bagaimana cara
menghadirkan surga di rumah?. Tiga pertanyaan tersebut akan menghadirkan
solusi terhadap radiklisme anak yang sering kali terjadi dan diharapkan akan
mampu menjadi solusi untuk menguatkan kembali ketahanan bangsa dengan
berlandaskan Alquran dan hadits.

Radikalisme Anak dan Penyebabnya


Radikalisme anak berasal dari bahasa Latin radix yang berarti “akar”. Ia
merupakan paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan
besar untuk mencapai kemajuan. Radikalisme merupakan respon terhadap
kondisi yang sedang berlangsung. Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk
evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak
dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang dapat bertanggung
jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang ditolak, Enma Laisa (2014: 3).
Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang tidandai
oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap
tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain.
Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa dirinya benar dan dan menganggap
orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan
orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan
kekerasan untuk mencapai tujuan.
Lalu bagaimana dengan wajah anak yang radikal? Tentu orang tua berperan
dalam melukis dan mewarnainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks masa kini, pemahaman radikalisme anak banyak macamnya:
tindakan terorisme, tawuran, pelecehan seksual, bullying, pembunuhan atas nama
agama, dan pelanggaran lain terkait norma agama, adat istiadat, hukum dan sosial.
Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 117

Ada beberapa hasil survei yang sangat mengejutkan terkait dengan tindakan
radiakalisme anak. Diantaranya adalah survei yang dilakuakan oleh Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pimpinan Bambang Purnomo (Guru
Besar Sosiologi Islam UIN Jakarta) pada Oktober 2010 s/d Januari 2011. Survei
dilakuakan pada siswa dan guru pendidikan agama Islam (PAI) di Jabodetabek.
Hasilnya 50% siswa setuju dengan tindakan radikal; 25% siswa dan 21% guru
menyatakan Pancasila sudah tidak relevan lagi; 84,8 % siswa setuju dengan
kekerasan atas nama solidaritas agama; dan 14,2% membenarkan serangan
bom, Abdul Munip (2012).
Dalam konteks akademik, penelitian tersebut memang sudah termakan
waktu. namun indikasi gerakan radikalisme di kalangan anak-anak dan remaja
nampaknya terus berkembang seiring berjalannya waktu. Fakta tersebut
seharusnya menjadi lampu merah peringatan untuk para orang tua, untuk
memedulikan masa depan anaknya yang masih gamang dalam menemukan jati
dirinya. Jangan sampai mereka menemukan jati dirinya dari orang-orang atau
media yang tidak tepat.
Jika orang tua dan para pendidik tidak mampu bertanggung jawab dan
mengemban amanat dengan baik terhadap anak, tidak mengetahui sebab-sebab
yang menjadikan anak tidak dapat dikontrol, dan tidak tahu cara mengatasi,
menjaga serta melindungi anak, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut di
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat akan menjadi anak yang tidak dapat
di atur, suka menyusahkan orang lain dan memiliki perangai yang tidak baik,
Nashih Ulwan (2009: 189-190).
Sudah semestinya para orang tua merasa khawatir jika meninggalkan
anaknya dalam keadaan terancam dunia dan akhiratnya. Sebagaimana Allah
S.w.t. telah berfirman di dalam Q.S. An-Nisa[4]: 9:

‫ﭴﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾﭿ‬


‫ﮀﮁﮂﮃ‬
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggal­
kan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar (Departemen Agama RI,
2002: 79).
Melalui ayat ini Allah berpesan kepada seluruh umat Islam untuk
menyiapkan generasi penerus yang berkualitas, sehingga anak akan mampu
mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan di masa mendatang.
Dengan kata lain, jika kamu menginginkan keturunan sesudahmu di­perlakuakn
118 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dengan baik (di masyarakat) maka perlakukanlah mereka dengan baik (didik
dengan baik) dalam pemeliharaanmu (Tafsir Ibnu Katsir, 2002: 316).
Radikalisme di kalangan anak dan remaja tidak akan terjadi tanpa sebab.
Karena hal itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi dan tidak berproses
dalam ruang yang vakum, tetapi selalu berlangsung dalam konteks antarpersonal
dan sosio-kultural, Kartini Kartono (1998: 37). Lalu, apa sebenarnya akar
dari radikalisme anak? Banyak teori yang berusaha menjawabnya tergantung
pada jenisnya. Seperti radikalisme agama misalnya, Yusuf Qardhawi (2009:
61) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya sikap radikal adalah
lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama dan kurangnya bekal untuk
memahaminya secara mendalam, mengetahui rahasia-rahasianya, memahami
maksud-maksudnya, dan mengenali ruhnya.
Namun dalam hal radikalisme anak, menurut Moch. Lukman Fathullah
Rais (1997) setidaknya ada tiga faktor penyebabnya, yaitu:

1. Faktor Pribadi dan Usia Anak


Sering kita jumpai kebanyakan anak yang melakukan pelanggaran atau kenakalan
adalah usia empat belas tahun sampai dengan dua puluh satu tahun, karena ini
adalah masa peralihan (transisi) dari masa kanak-kanak menuju dewasa.
Seorang anak yang melakukan perbuatan menyimpangan seperti perkelahian,
biasanya karena terpengaruh ajakan teman atau karena melihat tokoh yang ia
sukai. Apalagi di dukung oleh situasi tertentu, dimana timbul krisis nilai dan
norma, serta krisis identifikasi tokoh panutan sebagai tauladan. Dan mereka
dirangsang pula oleh berbagai sarana dan prasarana sosial yang ada, baik film,
bahan bacaan, media social dan sebagainya. Jhon Naisbitt, sebagaimana dikutip
oleh LPTQ Provinsi Banten dalam buku Panduan Pensyarah MSQ (2016)
mengatakan bahwa “ Dibalik setumpuk dampak positif media informasi,
tersimpan segudang dampak negatif ”. Karena itu Allah S.w.t., mengingatkan
kita melalui QS, Al-Hujurat [49]: 6 :

‫ﭟﭠﭡﭢ ﭣﭤﭥﭦ ﭧﭨﭩﭪ ﭫﭬﭭ‬


‫ﭮﭯﭰ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik dating kepadamu dengan
membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan
suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kmau menyesali perbuatan
itu (Departemen Agama RI, 2005: 517).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa melalui ayat ini Allah
S.w.t. memerintahkan (umat muslim) untuk memeriksa dengan teliti setiap
Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 119

berita yang datang dari orang fasik dan hendaknya kita berhati-hati serta tidak
menerimanya begitu saja, yang akibatya akan kita sesali. Orang yang menerima
begitu saja suatu berita, maka dia sama saja dengan si penyampai berita.

2. Faktor Lingkungan Keluarga


Keluarga merupakan kesatuan terkecil dari masyarakat yang mempunyai
motivasi dan tujuan hidup tertentu. Keluarga dan rumah ibarat pelabuhan yang
aman dan tambatan yang kokoh bagi setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu,
setiap kepala keluarga wajib mendidik anak dan keluarganya dengan kebaikan.
Sebagaimana disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan oleh Abdurrazak dan
Sa’id bin Mansur: “Didiklah anak-anak dan keluarga kalian akan kebaikan, dan
ajarilah tata karma pada mereka dengan baik”. (2009: 237).
Keluarga merupakan fundamental yang pertama dan utama bagi
pembentukan jiwa anak. Bila lingkungan keluarga tidak berfungsi dengan wajar,
maka akan menimbulkan keadaan yang secara potensial dapat menghasilkan
anak-anak yang nakal. Diantara lingkungan keluarga yang tidak berfungsi
dengan wajar adalah: 1) Rumah tangga yang berantakan (broken home); 2)
Orang tua yang selalu memanjakan anak; dan 3) Perhatian keluarga yang
kurang, sehingga pertumbuhan anak tidak terperhatikan.

3. Faktor Lingkungan Masyarakat


Manusia sebagai makhluk social tidak bisa terlepas dari lingkungannya. Oleh
karena itu, baik buruknya tingkah laku seseorang tergantung lingkungan tempat
ia tumbuh. Seperti yang diungkapkan oleh psikolog Hasan Shadily: “Tidak ada
manusia yang dilahirkan dengan sifat-sifat yang jahat. Sifat-sifat manusia itu
tidak lain karena hasil dari lingkungan hidup manusia itu sendiri”.
Diantara hal-hal di lingkungan masyarakat yang sangat berpengaruh ter­
hadap tindakan radikalisme anak adalah: pertama, pengaruh teman sepermainan.
Karena itu, ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa “Seseorang itu
mengikuti agama temannya, maka berhati-hatilah dalam memilih teman”.
Kedua, pengaruh lingkungan sekolah. Hal ini bisa terjadi manakala anak di
lingkungan sekolah merasa bahwa guru, teman, fasilitas atau kegiatan sekolahnya
tidak sesuai dengan keinginannya atau dia merasa terkekang. Ketiga, pengaruh
sosial ekonomi. Keempat, pengaruh media massa.
Faktor-faktor terebut sejalan dengan ungkapan Arief Rahman ketika
menjadi pembicara dalam diskusi bertema ‘Menangkal Radikalisme di Kalangan
Generasi Muda Dengan Pemantapan 4 Pilar Bangsa’ di gedung DPR/MPR
Jakarta, Senin (1/10/2012), ia menyebutkan bahwa radikalisme di kalangan
120 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

anak muda (siswa) terjadi akibat hilangnya keteladanan di sekolah, rumah dan
masyarakat sekitar. Mereka telah tercabut dari akar-akar niali agama, etika dan
kemanusiaan.

Tiga Pola Asuh Anak


Anan ibarat “kertas kosong” berwarna putih, tiada noda dan cela. Yang melukis,
menggambar serta mewarnainya pertama kali adalah orang tuanya. Maka
ketepatan pengasuhan dari orang tua menjadi sesuatu yang amat penting.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci, tak bernoda, tak bercela). Orang tuanyalah yang menjadikan anak itu
Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari no. 1296).
Karena, masa depan anak, baik duniawi maupun ukhrawi sangat ter­gantung
pada situasi rumahnya, maka tugas utama orang tua adalah menyelamatkan
masa depan mereka (Q.S. At-Tahrim[66]: 6). Memang itu bukan tugas yang
mudah, sehingga tidak dapat di anggap sepele dan dipandang sebelah mata.
Terkait dengan pola asuh anak (memperlakukan, mendidik, mem­
bimbing, mendisiplinkan, serta melindungi anak) yang prinsip dasarnya
adalah parental control, setidaknya ada tiga pola asuh menurut Meity H.
Idris (2012). Pertama, pola asuh otoriter. Disini orang tua cenderung lebih
banyak memerintah dan melarang tanpa memperhatikan keinginan anak. Pola
asuh seperti ini akan menjadikan anak tidak percaya diri, penakut, menjadi
pemberontak, cenderung membenci figure penguasa dan akan menghambat
kreativitas anak.
Kedua, pola asuh permisif. Ini adalah kebalikan dari pola asuh otoriter,
dimana orang tua terlalu memberikan kebebasan kepada anak tanpa control.
Pengaruhnya terhadap anak adalah: tumbuh menjadi pribadi yang manja
dan egois, tidak suka bekerja keras, kurang disiplin, dan merasa ditelantarkan
sehingga sulit untuk sukses.
Ketiga, pola asuh demokratis. Inti dari pola asuh ini adalah komunikasi dan
musyawarah antara anak dan orang tua. Anak bisa melakukan apa yang dia mau,
namun tetap dalam pengawasan dan pengarahan orang tua. Pola asuh seperti
ini akan menjadikan anak tumbuh percaya diri, pemberani, mengerti akan
keinginan orang tua serta disiplin. Pada pola asuh seperti ini, orang tua sadar
akan perannya sebagai orang dewasa, namun tidak melupakan sifat dasar anak.
Sehingga akan terbentuk komunikasi yang harmonis dan akan mengurangi
resiko anak tumbuh menjadi radikal.
Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 121

Mewujudkan Surga di Rumah


Gerakan radikalisme anak menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi orang tua.
Karenanya, diperlukan adanya kerja sama yang baik antara kedua orang tua
sebagai tarbiyatul awlad. Pola asuh yang baik serta hubungan yang harmonis
antara kedua orang tua dapat menjadi langkah awal untuk menangakal
tumbuhnya faham radikalisme pada anak.
Tugas utama orang tua adalah membentuk karakter anak yang tangguh.
Dan tempat yang paling baik untuk melakukannya adalah di rumah. Menurut
pusat kajian Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, ada 18 karakter
bangsa yang perlu dikedepankan: 1) Disiplin; 2) Religious; 3) Jujur; 4) Toleransi;
5) Kerja keras; 6) Mandiri ; 7) Kreatif; 8) Demokratis; 9) Semangat kebangsaan;
10) Rasa ingin tahu; 11) Cinta tanah air; 12) Peduli lingkungan; 13) Peduli
social; 14) Cinta damai; 15) Menghargai prestasi; 16) Gemar membaca; 17)
Tanggung jawab; dan 18) Komunikatif.
Namun dengan aneka keterbatasannya, orang tua tentu tidak akan mampu
melaksanakan 18 poin tersebut sendiri. Karenanya kerja sama antar berbagai
pihak sangat perlu dilakuakan, baik dengan pihak sekolah, masyarakat, ormas
bahkan pemerintah. Untuk mengekang laju arus radiklaisme anak, setidaknya
mereka perlu memperkenalkan serta mengajarkan ilmu pengetahuan dengan
baik dan benar, meminimalisir kesenjangan ekonomi-sosial, mendorong untuk
menjaga persatuan dan kesatuan, mendukung aksi perdamaian, berperan aktif
dalam melaporkan tindakan-tindakan terorisme dan radicalisme, meningkatkan
pemahaman urgensi hidup bersama dan menyaring informasi yang datang
kepada anak.
Selain itu, hal-hal yang perlu dilakukan orang tua demi menciptakan suasana
surga di rumah adalah: pertama, memperkenalkan urgensi keragaman pada
anak, baik keragaman budaya, agama, bahasa, warna kulit, ras dan sebagainya
(Q.S. Al-Hujurat[49]: 13). Ini bertujuan untuk membiasakan anak agar tidak
antipati terhadap perbedaan-perbedaan yang dia jumpai dimanapun, dan untuk
menjelaskan kepada anak bahwa perbedaan tidak harus dijadikan alasan untuk
saling mencurigai dan membenci.
Kedua, menanamkan nilai-nilai penghormatan pada kemanusiaan
sebagaimana tercermin dalam Q.S. Al-Isra’[17]: 70, karena pada hakikatnya
seluruh makhluk adalah keluarga. Ketiga, mengajarkan betapa pentingnya
memberi manfaat terhadap sesama. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama”.
Keempat, memberikan pemahaman untuk melestarikan misi ke­khalifahan
manusia di bumi (Q.S. Al-Baqarah[2]: 30). Anak-anak harus diingatkan tentang
122 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardh dengan tidak berbuat kerusakan dan
kekacauan (Q.S. Al-A’raf[7]: 36) yang akan merugikan diri sendiri dan orang
lain. Kelima, ajarkan tentang nilai-nilai keteladanan yang luhur. Contohnya
adalah dengan memperkenalkan sosok Rasulullah saw agar anak menjadikannya
sebagai tauladan yang utama (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21). Keenam, perkenalkan
anak dengan kearifan lokal, sehingga anak tidak antipati terhadap kebudayaan-
kebudayaan yang ada di sekelilingnya.
Ketujuh, perkenalkan anak pada nilai-nilai perdamaian dan kasih sayang
(Q.S. Al-Anbiya[21]: 107) agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi pembenci.
Karena rasulullah saw pun bersabda: “Kaum muslim yang memiliki sifat kasih
sayang , ia akan dikasihi oleh Dzat yang maha Pengasih (Allah). Untuk itu,
kasihilah makhluk yang ada di bumi, maka kalian akan dikasihi oleh makhluk
yang ada di langit”. HR. Abu Dawud dan Tirmidzi.
Interaksi yang baik antara anak-anak dan orang tua dalam keluarga akan
mengantarkan bahasa rasa yang sangat mendalam, sehingga orang tua menjadi
figur tauladan baginya. Hal itu dapat dipahami karena contoh dan perbuatan
dapat dengan mudah di definisikan. Anak-anak mempunyai ghazirah meniru
ucapan, perbuatan dan gerak-gerik orang yang berhubungan erat dengan
mereka, Enung Asmaya (2012).
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Zakiah Daradjat, perilaku
manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang ia lihat, 11% dipengaruhi oleh apa
yang ia dengar, da 6% sisanya dipengaruhi oleg berbagai stimulus campuran.
Dilihat dari perspektif ini, maka nasihat orang tua hanya memiliki efektifitas
11%, sedangkan contoh tauladannya memiliki efektifitas yang lebih tinggi, Imam
Mustofa (2008).
Karena itulah Athiyah Al-Abrasyi, seorang filosof Muslim. Sebagaimana
dikutip oleh Enung Asmaya mengharapkan “agar setiap orang tua menghias
diri mereka dengan akhlak yang baik dan mulia, serta menghindari setiap yang
tercela”. Dan apabila para orang tua dapat menunaikan ketujuh hal di atas di
dalam rumah, maka upaya orang tua untuk mewujudkan surge di rumah akan
nyata terlaksana. Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter mulia dan
tidak berpikir untuk mencari “surga lain” diluar rumahnya. Karena surga yang
di asosiasikan anak di luar rumah, boleh jadi itu adalah neraka yang sebenarnya.

Penutup
Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung.
Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk evaluasi ataupun penolakan
terhadap asumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai yang berhubungan dengan
Baiti Jannati Sebagai Penangkal Radikalisme Anak 123

keberlangsungan keadaan yang ditolak. Radikalisme di kalangan anak dan


remaja pada masa ini banyak ragamnya: tindakan terorisme, tawuran, kekerasan
seksual, pembunuhan atas nama agama serta bentuk-bentuk pelanggaran lain
yang terkait hokum, norma, agama, social dan susila.
Sejatinya, radikalisme anak bisa dicegah sejak dini, yaitu dengan pola asuh
yang benar serta dengan perhatian dan kasih sayang yang cukup. Ayah dan ibu
dalam hal pencegahan paham radikalisme, atau sebagai media deradikalisasi jika
anak sudah terlanjur masuk pada paham tersebut, maka keduanya harus berusaha
meningkatkan komunikasi dan pendekatan-pendekatan terhadap anak secara
persuasif dan memberikan pemahaman mengenai konsep Islam rahmatan lil ‘alamin.
Pendekatan secara psikologis untuk memberikan pengertian terhadap anak
dilakukan oleh ibu, karena ibulah yang bisa berkomunikasi dari hati ke hati
dengan anak. Sedangkan ayah bertugas melakukan diskusi-diskusi dan doktrinisasi
mengenai bahaya radikalisme. Ibu bertugas melakukan implementasi dan praktik
moderat serta toleran yang diterapkan kepada anak di lingkungan rumah.
Sedangkan ayah memberikan contoh-contoh sikap moderat dan tasamuh dari
beragamnya perbedaan, Ervi Siti Zahroh (2018).
Selain itu, pemahaman agama yang baik di dalam keluarga juga berperan
sentral. Namun, pemahaman agama yang seharusnya ditekankan bukan hanya
sekedar paham keagamaan yang bersifat normative-formal (bersangkutan dengan
ibadah) dan tekstual, namun pemahaman keagamaan yang bersifat kontekstual
dan berimplikasi terhadap perilaku social. Sehingga seorang anak tidak hanya
menjadi shaleh dalam segi nermatif-formal (ibadah) namun juga shaleh dalam
social kemasyarakatan.
Selanjutnya, pola asuh yang demokratis juga mampu menjadi media
deradikalisme dalam keluarga. Selain harus terjalinnya keharmonisan antara suami
dan istri, dalam keluarga juga harus terjadi control dan komunikasi antara orang
tua dan anak. Orang tua mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan,
menghargai tingkah anak serta membimbingnya. Anak diberikan kebebasan
untuk mengurus dirinya sendiri, namun harus disiplin pada peraturan yang telah
dibuat dan disepakati bersama. Orang tua dengan pola asuh ini menyadari haknya
sebagai orang dewasa yang bertugas mendidik anaknya serta mau menerima sifat
dasar anak. Mereka tetap tegas, tapi tidak membuat anak merasa terkekang.
Karena keluarga merupakan pilar-pilar penyangga eksistensi suatu bangsa,
apabila pilar tersebut keropos, maka bangunan bangsa tersebut tidak akan memiliki
landasan yang kokoh. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah terbukti bahwa
kehidupan keluarga yang harmonis dan suasana rumah yang bisa menjadi surge
bagi setiap anggotanya, yang di dalamnya selalu diajarkan serta dicontohkan nilai-
124 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

nilai kebaikan, maka dari keluarga seperti itulah akan terbentuk anak-anak yang
berkarakter tangguh dan akan menjadi kekuatan bagi bangsanya.

Pustaka Acuan:
Asmaya, Enung, Implementasi Agama Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah.
Dalam Jurnal Dakwah-Dakwah & Komunikasi. Vol. 6, No. 1, 2012.
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il, Ensiklopedi Hadits Shahih
Bukhari 2. Cet. 1. Jakarta: Almahira.
Daradjat, Zakiah, Perawatan Jiwa Untuk Anak-Anak, Cet. I. Jakarta: Bulan
Bintang, 1972.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Hudd Kelompok
Gema Insani, 2002.
Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-‘Adzim. Beirut: Dar El-Khayr, 2004.
Idris, Meity H, Pola Asuh Anak; Melejitkan Potensi & Prestasi Sejak Usia Dini.
Cet. I. Jakarta: Luxima Metro Media, 2012.
Kartono, Kartini, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Cet. III. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998.
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an Provinsi Banten, Panduan dan Contoh
Contoh Pensyarah Musabaqah Syarhil Qur’an. Cet. I. 2016. Laisa, Enma,
Islam dan Radikalisme. Dalam Jurnal Islamuna. Vol.1, No. 1, 2014.
Ma’arif, Nurul Huda, Islam Mengasihi Bukan Membenci. Cet. I. Jakarta: Mizan,
2007.
Munip, Abdul, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Dalam Jurnal
Pendidikan Islam. Vol. 1, No. 2, 2012.
Mustofa, Imam, Keluarga Sakinah dan Tantangan Globalisasi. Dalam Jurnal Al-
Mawardi. Edisi XVIII, 2008.
Qardawi, Yusuf, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme Dalam BerIslam
dan Upaya Pemecahannya. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2009.
Rais, Moch Lukman Fatahullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar. Cet. I.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Ulwan, Nashih Abdullah, Mencintai dan Mendidik Anak Secara Islami. Cet. I.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Utsman, Akram Misbah, 25 Kiat Membentuk Anak Hebat. Cet. I. Jakarta: Gema
Insani Press, 2005.
Zidni, Ervi Siti Zahroh, Kemitraan Keluarga dalam Menagkal Radikalisme.
Dalam Jurnal Studi Alquran Membangun Tradisi Berfikir Qur’an. Vol. 14,
No. 1, 2018.
Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam
Membangun Ketahanan Nasional
Penulis: Peserta Nomor MQ.1.08

Pendahuluan
Manusia merupakan Makhluk Sosial yang dianugerahi oleh Allah S.W.T. naluri
yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat serta mudharat, serta membenci
lawan keduanya itu, seimbang dengan kelebihan atau kekurangannya, demikian
dengan kesenangan dan kebenciannya. Untuk meraih apa yang disenanginya
atau menampik apa yang yang tidak disukainya itu, lahirlah dorongan fitrah
untuk mengantar kepada aneka aktivitas Manusia, (M. Quraish Shihab, 2008:
1)
Dalam kehidupannya manusia mempunyai kesatuan sosial dari terkecil
sampai terbesar, satuan terkecilnya ialah Keluarga. Keluarga memiliki peran
yang sangat penting, karena didalam sebuah keluarga berlangsung proses
sosialisasi yang akan berpengaruh besar terhadap tumbuh dan berkembangnya
setiap individu, baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena itu tugas
utama Keluarga untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial semua
anggotanya, mencakup pemeliharaan dan perawatan Anak-anak membimbing
perkembangan pribadi, serta mendidik agar merka hidup sejahtera.
Menurut Abu Ahmadi (1991: 15), suatu keluarga dikatakan memiliki
ketahanan dan kemandidrian yang tinggi, apabila keluarga itu dapat berperan

125
126 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

secara optimal mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu,


tanggung jawab keluarga meliputi pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain
sebagainya.
Dalam hal ini sebuah keluarga pastilah mempunyai harapan untuk bahagia,
harmonis, produktif, utuh dan stabil. Keluarga metupakan cita-cita kolektif setiap
manusia yang hendak menikah. Namun tidak semua keluarga merealisasikan
cita-cita luhur itu. Biasa jadi karena seorang Ayah yang disibukan dengan
urusan nafkah sehingga fungsi Pemimpin yang diamanatkan kepadanya tidak
dijalankan, karena memang ia harus bertanggung jawab atas kondisi ekonomi
keluarga. Bisa jadi karena peran Ibu sebagai Guru utama juga mengalami
pengetahuan yang minim, masalah agama dan 1yang lebih spesifik lagi ialah
masalah kehidupan rumah tangga yang Islami, bias jadi kedua orang tuanya
berpendidikan tinggi namun tidak lagi ada waktu untuk Anak-anaknya sehingga
mereka terkontaminasi dengan Virus-virus Kejahiliyahan dan Westenisasi.
Menurut Undang-undang perkawinan (UUP) No 1 Tahun 1974:
Perkawinan ialah Ikrar Lahir Batin anatara seorang pria dengan sorang wanita
sebagai Suami-Istri dengan tujuan membentuk Keluarga (rumah tangga) bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa, (M. Muchlis Hanafi, 2012:
343). Ada beberapa permasalahan hidup dalam berumah tangga yang rumit yang
juga perlu diselesaikan. Mulai dari faktor internal seperti fisik yang kurang fit,
jiwa yang kurang iman, juga faktor eksternal seperti masalah bersosialisasi dan
bergaul, kurang komunikasi antar sesama, ekonomi, kebutuhan akan kewajiban
baik sebagai hamba Allah, dan sebagai mahluk hidup.
Baik buruknya suatu keluarga akan berdampak terhadap ketahanan suatu
bangsa, kondisi kehidupan nasional yang harus diwujudkan, dibina terus
menerus dan sinergis. Muali dari pribadi, keluarga, lingkungan, daerah dan
nasional bermodalkan keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional. Proses berkelanjutan untuk mewujudkan
kondisi tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran Geostragic yang dirancang
dengan memperhatikan kondisi Masyarakat.
Orang Tua menjadi peran penting dalam perjalanan tumbuh kembang
anak, mereka perlu mewaspadai dan menjaga untuk menjadikan anak pintar,
sehat, kuat, sudah menjadi kewajiban Orang Tua untuk mendidik mendidik
dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang agar menjadi manusia yang
bermartabat, (Mufidah Ch, 2008: 17)
Dengan demikian Pokok Bahasan dari permasalahan di atas agar terciptanya
stabilitas kehidupan bermasyarakat yang Baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur,
perlu kiranya penulis memberikan interpretasi tentang “Keluarga Islami sebagai
Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 127

pilar dalam mebangun ketahanan Nasional” secara komprehensif, sebagai kajian


guna mensosialisasikan nilai-nilai agama, dengan harapan di Simpulan akhir
dalam kajian ini, memperoleh jawaban: Bagaimana peran keluarga sebagai
pilar dalam membangun ketahanan nasional ?, Serta apa upaya yang dilakukan
keluarga dalam dalam membangun ketahanan nasional ?.
Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan
menelusuri literature yang berhubungan dengan Keluarga dan Negara, kemudian
dikembangkan melalui pendekatan tematis, dengan menggunakan Alquran dan
Hadits sebagai rujukan, serta didukung dengan beberapa pandangan para Ahli.

Keluarga Islami sebagai Pilar dalam MembangunKetahanan Nasional


1. Pengertian Keluarga
Keluarga dalam Bahas Arab disebut Ahlun, disamping kata Ahlun kata yang juga
memiliki pengertian keluarga ialah ali dan asyir. Kata ahlun berasal dari kata Ahila
yang berarti senang, suka, atau ramah. Pendapat lain mengatakan kata Ahlun
berasal dari kata Ahala yang berarti menikah (sekelompok orang yang disatukan
oleh hubungan-hubungan tertentu, seperti hubungan darah, agama, pekerjaan).
Menurut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990: 211), Keluarga ialah Ibu Bapak
dengan anak-anaknya seisi rumah. Dalam Alquran kata Ahlun disebut sebanyak 227
kali. dari sebanyak itu, Ahlun memilik tiga pengertian yaitu:
a) Yang menunjuk kepada manusia yang memiliki pertalian darah atau
perkawinan, seperti ungkapan ahlu al-bait. Pengertian ini dalam bahasa
Indonesia disebut Keluarga
b) Menunjuk pada suatu penduduk yang mempunyai wilayah geografis atau
tempat tinggal, seperti ahli yatsrib, ahlu al-balad dan lain-lain. Dalam
bahasa sehari-hari disebut Warga atau penduduk.
c) Menunjukan pada status manusia secara teologis seperti ahlu al-dzikr, ahlu
al-kitab, ahlu an-nar, ahlu al-janah dan sebagainya. Meskipun tampak ada
perbedaan, namun ketiganya sebenarnya terkait, yakni ahlun yang berarti
orang memiliki hubungan dekat, baik karena perkawinan, satu kampung,
sekolah, negara atau satu agama. Terjalinnya hubungan kedekatan itu
menjadikan pergaulan dantara merka hidup dengan suka cita, senang dan
damai.

2. Fungsi dan Tujuan Keluarga


Fungsi keluarga dalam suatu keluarga dituntut untuk melaksanakan atau
melakukan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya, terutama dengan
lingkungan sosialnya lebih-lebih terhadap keluarganya. Tatkala menjalankannya,
128 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

maka keluarga itu telah menjalankan fungsinya. Diantara fungsi-fungsi dari


institusi keluarga dalam konteks kehidupan sosial ada 8 yaitu:
1) Fungsi Biologis, yaitu menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan biologis
keluarga. Fungsi ini terkait dengan penyaluran hasrat biologis manusia
yang berubah dengan kelahiran anak sebagai penerus keluarga. Fungsi ini
membedakan antara pernikahan manusia dan binatang, sebab fungsi ini
diatur dalam suatu norma pernikahan
2) Fungsi Edukatif (Pendidikan), dalam fungsi ini keluarga berkewajiban
memberi pendidikan bagi anggota keluarganya, terutama bagi anak-
anaknya, karena keluarga adalah lingkungan terdekat dan paling akrab
dengan anak. Pengalaman dan pengetahuan pertama anak ditimba dan
diberikan melalui keluarga. Orang tua memiliki peran yang cukup penting
untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan rohani yang
bertujuan mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual dan
professional.
3) Fungsi Religius (keagamaan). Keluaraga berkewajiban mengajarkan
tentang agama kepada seluruh anggota keluarganya. Keluarga merupa­kan
tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran
dan praktek dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terciptanya iklim
keagamaan didalamnya, sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

‫ﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ ﯡﯢﯣ ﯤﯥﯦ‬


‫ﯧﯨ ﯩﯪﯫﯬﯭﯮﯯﯰﯱ‬
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga malaikat-malaikat yang kasar,
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (Q.S At-Tahrim [66]: 6) (
Kemenag, 1971: 951).
Dan Rasullullah SAW pernah bersabda yang artinya: “Barang siapa yang
menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah
ia bertakwa kepada Allah S.W.T. dalam memelihara yang separuhnya lagi”
(H.R Ath-Thabrani), (Ahmad Sunarto dan Noor Syamsudin, 2011: 47).
4) Fungsi Protektif (Perlindungan). Keluarga menjadi tempat yang aman dari
berbagai gangguan internal maupun eksternal serta menjadi penangkal
segala pengaruh negative yang masuk didalamnya
5) Fungsi Sosial Budaya. Kewajiban untuk memberi bekal kepada anggota
keluarganya tentang hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai yang
berlaku dimasyarakat setempat, selain itu didalam lingkungan masyarakat
Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 129

juga terdapat nilai tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Proses
pelestarian budaya dan adat dijalankan melalui ilustrasi keluarga sebagai
komponen terkecil masyarakat. Keluarga dalam fungsi ini juga berperan
sebagai katalisator budaya serta filter nilai yng masuk kedalam kehidupan.
6) Fungsi ekonomi. Keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana
keluarga memiliki aktifitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan
anggaran, pengelolaan dan cara memanfaatkan sumber-sumber penghasilan
dengan baik, mendistribusikan secara adil dan profesional, serta dapat
mempertanggung jawabkan kekayaan dan harta bendanya secara social
maupun moral.
7) Fungsi status keluarga atau menunjukan status, yaitu dengan adanya
keluarga maka kedudukan seseorang dalam suatu keluarga menjadi jelas.
8) Fungsi Rekreatif. Keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan
kesejukan dan melepaskan lelah serta penyegaran (refresing) dari seluruh aktifitas.
Fungsi ini dapat mewujudkan suasana keluarga menjadi me­nyenangkan,
saling menghargai, menghormati, menghibur anggota keluarganya, sehingga
terciptanya hubungan yang harmonis, kasih sayang, dan setiap anggotanya
merasakan bahwa Rumahku adalah Surgaku.

3. Tujuan pembentukan sebuah keluarga


Konsep keluarga sudah setua sejarah kehidupan manusia. Dimana ada manusia
pastilah disitu ada keluargga yang melahirkan, merawat serta mendidiknya
meskipun dalam dalam waktu yang samat singkat. Dalam perspektif teologi hanya
ada dua orang yang lahir tidak dari sebuah system keluarga. Yaitu Nabi Adam
sebagai manusia pertama yang berjenis kelamin laki-laki dan Siti Hawa sebagai
manusia kedua yang berjenis kelamin perempuan. Dari dua orang inilah yang
berusaha dari awal sekali untuk mengembangkan konsep keluarga atas petunjuk
Allah S.W.T.. Nabi Adam dan Siti Hawa melakukan semacam kesepakatan dan
berkomiten (mitsaqan ghlidza) untuk bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan
satusama lain baik dalam kebutuhan biologis maupun emosional. Bila dilihat
dari Perspektif Islam, terbentuknya keluarga bermula dari terciptanya jalinan
antara laki-laki dan perempuan melalu pernikahan yang halal, memenuhi rukun
dan syarat-syarat yang sah, yang bertujuan untuk memenuhi petunjuk agama
dalam rangka mendirikan dan membina keluarga yang harmonis, sejahtera
serta bahagia di dunia dan di akhirat Sakinah Mawaddah Wa Rahmah (Hasan
Langgulung, 1995: 346).
130 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

4. Konsep Keluarga dalam Islam


Keluarga merupakan jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan
lahir dan batin yang dinikmati oleh suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan
dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang
hidup pada masyarakat bangsa tersebut, (M. Quraish Shihab, 1994: 253). Itulah
antara lain menjadi sebab Agama Islam memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
Terkait hal ini, bias ditemukan dalam ratusan ayat Alquran dan Hadis Nabi
Muhammad SAW, petunjuk-petunjuk yang sangat jelas menyangkut hakikat
tersebut. Allah S.W.T. menganjurkan agar kehidupan keluarga menjadi bahan
pemikiran setiap insan dan hendaknya dapat ditarik pelajaran berharga, (M.
Quraish Shihab, 2001: 253) sebagai­mana Firman Allah S.W.T.:

‫ﮉﮊﮋﮌﮍﮎﮏ ﮐﮑﮒﮓﮔ‬
‫ﮕ ﮖﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ‬
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar benar tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S Ar-Rum [30]: 21) (Kemenag,
1971: 644).
Islam sebagai agama yang tujuan utamanya adalah kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga.
Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik, apabila keluarga baik,
maka akan melahirkan negara yang baik, ataupun sebaliknya.
Manusia diberi mandat atau amanah oleh Allah S.W.T. sebagai mandastaris-
Nya. Manusia ditantang untuk menemukan, memahami dan menguasai
hukum alam yang sudah digariskannya, sehinnga dengan usaha itu ia dapat
mengeksploitasinya untuk tujuan-tujuan yang baik. Keluarga merupakan “Umat
Kecil” yang memiliki pemimpin dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan
kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya, dari sanalah
mereka belajar kesetiaan, rahmat, dan kasih saying, ghirah (kecemburuan
positif) dan sebagainya.
Semua anggota keluarga merasa nyaman karena pemecahan masalah dengan
mengedepankan perasaan dan akal yang terbuka. Apabila terjadi perselisihan
dalam hal apa saja, tempat kembalinya berdasarkan kesepakatan agama,
sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

‫ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ‬
Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 131

‫ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ ﰐ ﰑ ﰒ ﰓ‬
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dta’atilah Rasul, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (Q.S An-Nisa [4]: 59) (Kemenag, 1971: 128).
Hali ini wajar karena keluarga merupakan persyaratan baiknya suatu Bangsa
dan Negara. Apabila semua keluarga mengikuti pedoman yang disampaikan
agama, maka Allah akan memberi hidayah kepadanya. Karenanya dalam Islam
wajar disebut baiti jannnati (Rumahku Surgaku)

Membangun Ketahanan Nasional


1. Pengertian Ketahanan Nasional
Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi
keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, kekuatan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatandan
ancaman baik yang dating dai dalam maupun luar, secara langsung ataupun tidak
langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan
hidup bangsa dan Negara. Ketahanan nasional juga diartikan sebagai kondisi
yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat
yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa
dan Negara. Ketahanan nasional juga diartikan sebagai kondisi yang harus
diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan
dengan sukses. Oleh karena itu perlu suatu konsepsi ketahanan nasional yang
sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia, sebagaimana Firman Allah S.W.T.:

‫ﯻﯼﯽﯾ ﯿﰀ‬
“….. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (Tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya……” (Q.S Hud [11]: 61), (Kemenag, 1971: 336).

2. Asas-asas Ketahanan Nasional


Asas Ketahanan Nasional adalah tata laku yang disadari nilai-nilai yang tersusun
berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut (Lemhannas, 2000: 99):
a) Asas keamanan dan kesejahteraan dan keamanan
Kesejahteraan dan keamanan dapat dibedakan tetapi tidak dapat di­
pisahkan dan merupakan kebutuhan manusia yang mendasar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tanpa kesejahteraan
dan keamanan, sistem Kehidupan Nasional tingkat kesejahteraan dan
132 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

keamanan yang dicapai merupakan tolak ukur ketahanan nasional asas ini
merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan yang wajib dipenuhi bagi
individu maupun masyarakat atau kelompok.
b) Asas komperhensif/menyeluruh terpadu
Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek-
aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan perpaduan secara
selaras, serasi, dan seimbang
c) Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, keberagaman, kesamaan, gotong royong, tenggang
rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan ini diakui adanya
perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan secara serasi dalam
kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat merusak/destruktif.

3. Pengaruh ketahanan nasional pada kehidupan berbangsa dan


bernegara
Berdasarkan rumusan pengertian Ketahanan Nasional dan kondisi kehidupan
Negara Indonesia sesungguhnya ketahanan nasional merupakan gambaran dari
kondisi system (Tata) kehidupan nasional dalam berbagai aspek pada saat tertentu.
Tiap aspek didalamnya tata kehidupan nasional relative berubah menurut waktu,
ruang dan lingkungan terutama pada aspek-aspek dinamis sehingga interaksinya
menciptakan kondisi umum yang amat sulit dipantau, karena sangat kompleks
(Wiryono Prodjodikoro, 1984: 43). Dalam rangka pemahaman dan pembinaan
tata kehidupan nasional itu diperlukan penyederhanaan tertentu dari berbagai
pemetaan dari keadaan nyata, melalui suatu kesepakatan dari hasil analisa dengan
manusia/masyarakat dan dengan lingkungan. Berdasarkan pemahaman tentang
hubungan tersebut diperoleh gambaran bahwa konsepsi ketahanan nasional
akan menyangkut hubungan antara aspek yang mendukung kehidupan:
1) Aspek yang berkaitan dengan alamiah bersifat statis meliputi aspek geografis,
kependudukan, dan sumber daya alam.
2) Aspek yang berkaitan dengan social bersifat dinamis meliputi aspek ideology,
politi, ekonomi, sosila, budaya dan HAM.

Upaya Keluarga dalam Membangun Ketahanan Nasional


1. Perspektif Pendidikan
Jika dilihat dar prespektif pendidikan, keluarga memberkan suasana emosional
yang baik bagi anak-anak seperti perasaan tenang, senang, bahagia, kasih saying
dan perlindungan. Suasana yang demikian ini dapat tercipta apabila suasana
Keluarga Islami Sebagai Pilar dalam Membangun Ketahanan Nasional 133

keluarga senantiasa diliputi kebahagiaan dan keharmonisan. Kebahagiaan


yang dirasakan dalam keluarga pada gilirannya dapat menumbuhkan sikap
percaya diri, ketentraman dan menjauhkan dari kegelisahan serta kesedihan.
Untuk menciptakan keluarga yang harmonis diantaranya adalah:
™™ Membangun rumah tangga berdasarkan pilihan bukan berdasarkan paksaan.
Rasulullah sendiri telah memberikan kriteria pasangan yang hendaknya
menjadi pegangan dalam menentukan pilihannya.
™™ Membangun rumah tangga atas tujuan menegakan hokum-hukum Allah
S.W.T.. Pernikahan bukan sekedar untuk melampiaskan nafsu belaka, tetapi
suatu ikatan yang kuat, karena didasarkan atas suatu suatu prinsip, arah,
tujuan yang kuat, yaitu menegakkan hokum Allah S.W.T..
™™ Berusaha untuk tetap menjaga kerukunan. Cara yang dapat dilakukan
diantaranya adalah dengan saling mengingatkan, saling menasehati dan
saling memaafkan. Dengan pendidikan kepada anak, serta tujuan dan da
nisi pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya.

2. Prespektif Psikologi
Agar keluarga yang dibentuk menjadi keluarga yang bias selamat, dalam keluarga
harus ada rasa ketenangan, saling mencintai dan kasih sayan. Dalam keluarga
terlebih dahulu harus memperoleh keberkahan. Keberkahan bias didapatkan
apabila dalam suatu keluarga terdapat ketentraman.

Penutup
Disini lah Peran Keluarga yang berbasis Sakinah Mawaddah Warahmah
sangat berpengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, teruama dalam
Ketahanan nasional. Keluarga Islami akan di pupuk dengan pengetahuan
tentang keagamaan yang tidak bertentangan dari rasa nasionalisme dari semua
konsep ajaran-ajar Agama Islam menerapkan sifat cinta tanah air dan Keutuhan
bangsa Baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur
Serta upaya yang dilakukan sebuah keuarga ialah menerapkan fungsi
dari terbentuknya sebuah keluarga itu sendiri, antara lain : Fungsi Biologis,
Fungsi Edukatif (Pendidikan), Fungsi Religius (keagamaan), Fungsi Protektif
(perlindungan), Fungsi Sosial Budaya, Fungsi ekonomi, Fungsi status, Fungsi
Rekreatif. Agar terciptanya sebuah keharmonisan antara Keluarga, Masyarakat
yang bernegara terus berjalan tanpa adanya perpecahan dan akan membentuk
suatu ketahanan nasional, begitupula dengan peran pemerintah sumaya
menertibkan pelanggaran pelanggaran yang terjadi
134 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag, 1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Kemendikbud, 1990.
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Al-Munawar, Said Agil, Alquran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta:
Ciputat Press, 2005.
Al-Qordowi, Yusuf, Pendidikan Islam, Kaerah: Maktabah wahabah, 1997.
Ch, Mufidah, Psikologi Keluarga Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008.
Hanafi, Muchlis M, Tafsir Tematik (etika berkeluarga, bermasyarakat dan
berpolitik), Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012.
Prodjodikoro,Wiryono, Asas-asas Imu Negara dan Politik, Yogyakarta: salahuddin
Press, 1984
Rofofiq, Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013.
Shihab, M Quraish, Berbisnis dengan Allah, Tangerang: Lentera Hati, 2008.
Shihab, M Quraish, Membumikan Alquran Jilid II, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Shihab, M Quraish, Wawasan Alquran. Bandung: Mizan, 2000.
Sunarto, Ahmad dan Syamsudin, Noor, Himpunan Hadits Shahih, Jakarta: Setia
Kawan, 2011.
Usman, Idris M, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Bogor: Media
Karya, 2013.
Waryono, Abdul Gofur, Hidup bersama Alquran, Yogyakarta: Rihlah, 2006.
Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya
Ketahanan Nasional
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.10

Pendahuluan
Islam merupakan agama yang universal, ajaran Islam segala aspek dan
problematika dalam kehidupan manusia di muka bumi. Diantara asek dan
problematika manusia itu adalah masalah dalam keluarga.
Setiap anggota dalam keluarga mempunyai peran penting demi terwujudnya
keluarga yang sakinah, mawadah,dan warohmah. (QS:Ar-rum 21), tegaknya
keluarga muslim memeberikan potensi yang sangat besar bagi generasi bangsa
ini, Islam sendiri memberikan tanggung jawab besar kepada orang tua untuk
mendididik anak-anaknya, anak merupakan “qurrata’ayuun” buah hati yang
menyejukan dan “zina hayat al-dunya” hiasan kehidupan dunia.
Sungguh besar peran keluarga dalam memberikan pendidikan kepada
anaknya, karena itu merupakan salah satu tanggung jawab yang menjadi orang
tua pada dasarnya anak adalah sebuah titipan dari Allah S.W.T., anak yang
terlahir kedunia dalam keadaan suci, bagaimana orang tuanya menjadikan ia
seorang majusi, nasrani, ataupun agma yang lainnya.
Setiap anggota keluaga berkewajiban untuk bekerja sama dalam memberikan
pendidikan yang terbaik untuk anaknya, namun pada kenyataannya banyak

135
136 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

sekali orang tua yang tidak peduli dengan anak-anaknya meraka melantarkannya
sehingga timbul permasalah-permasalahan dalam keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga (KDART), ini menjadi penomena yang tidak asing lagi bagi kita,
sehingga anak dalam keluarga tidak di berikan kenyaman dan ketentaraman
sehingga nekad melakukan sesuatu tindak kejahatan, minum-minuman keras,
dan perbuatan yang lainnya.
Bahkan penomena ini sudah tidak asing lagi bagi mata dan telinga
masyarakat Indonesia, surat kabar, media social, media cetak kian menyuguhkan
berita-berita seputar tentang hal tersebut, kalau sudah demikian yang terjadi
siapa yang akan bertaggung jawab? Presiden kah, atau kementrian agama, atau
bahkan seluruh aspek social masrakat, tentunya ini menjadi sebuah PR dalam
keluarga.
Dalam Islam mengajarkan tuntunan keluarga yang sesuai dengan pedoman
Alquran dan Hadis, ini rujukan untuk membuatan generasi-generasi muda yang
qur’ani, sesuai dengan ajaran rosullah saw, di dalam sebuah bingkai keluarga
qu’ani akan terciptanya Negara yang baldatun thoyibbatun warobunn ghofur.
Rumusan Masalah dalam tulisan ini adalah: Bagaiman konsep keluarga dan
peranannya dalam masyarakat? Bagaimna bingkai keluarga qur’ani dalam
membentuk ketahanan nasional?

Konsep Umum Keluarga dan Peranannya Dalam Masyarakat


Konsep Tentang Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut para ahli:
a. Sigmund freud
Keluarga adalah terbentuk karena adanya perkawinan antara laki-laki dan
perempuan
b. Quraish sihab
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang menjalin perkawinan
yang sah antara laki-laki dan perempuan dalam satu naungan atau atap yang
mempunyai tugas dan peran masing-masing serta kewajiban didalamnya.
c. UU, no 10 tahun 1992
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri/
suami istri dan anakanya, atau ibu dan anaknya.
Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 137

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa keluarga adalah unit


terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga yang mempunya
tugas dan perannya masing-masing yang terikat pernikahan yang sah.

2. Makna Keluarga Prespektif Islam


Makna keluarga dalam Islam tentunya mempunyai ciri dan landasan tersendiri di
dalam Alquran dan Hadis, keluarga menurut Islam mempunyai beberapa pengertian
yang berbeda beda. Makna keluarga menurut Islam sebagai berikut:
a. Menjaga Eksistensi Manusia
Melalui sebuah perkawinan adalah awal dimna penjagaan generasi manusia
di muka bumi, allah menciptakan manusia sebagai kholifah di muka bumi,
pemakmur bumi, keluarga yang menjaga keberlangsung tarap kehidupan
manusia, sebagaimna yang telah di paparkan sebelumnya bahwa keluarga
memberikan ketenangan dan perlindungan dalam keluarga serta untuk
beribadah kepada sang pencipta. Firman allah dalam Alquran Ad-zariat ayat 56:

‫ﭳ ﭴﭵﭶﭷﭸ ﭹ‬
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku.
Dari penjelasan ayat di atas berdasarkan tafsir tematik adalah allah
menciptakan jin manusia pada hakikatnya adalah untuk beribadah, dalam
ajaran Islam yang namanya ibadah banyak sekali, yaitu slah satunya adalah
perkawinan dalam dalam Islam merupakan suatu ibadah, oleh karena itu
untuk menjaga eksis tensi manusia perlunya adanya jenjang keturunan.
b. Mewujudkan, Ketenangan, Cinta, dan Kasih Sayang
Membina sebuah keluarga adalah untuk melindungi anggota keluarganya
dari bahaya baik yang fisik , non fisik yang bersifat halus, menanamkan
rasa cinta dan kasih saying kepada anggota keluarganya, bukan untuk
menciptakan kerusakan dalam keluarga atau pun ke tidak harmonisan yang
dapat menyebabkan kehancuran dalam keluarga. Firman allah di dalam
Alquran surat al-ahzab ayat 22:

‫ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ ﰏ‬
‫ﰐﰑ ﰒ ﰓﰔ‬
Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu
mereka berkata ,”inilah yang di janjikan allah dan rasul-nya kepada kita.”dan benarlah
allah dan rasul-nya., dan yang demikian itu menambah keimanan dan keIslaman.
Dari penjelasan ayat di atas dapat di simpulkan bahwa ketenangan dan
ketentraman dalam keluarga akan terwujud melalu ajaran-ajaran Islam.
138 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

c. Menjaga Nasab
Dalam sebuah perkawinan yang sah tentunya setiap orang menginginkan
keturunan yang sah dan sesuai dengan tuntunan Islam sebagimna firman
allah dalam al quran Surat an-nisa ayat 23:

‫ﮃﮄﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ‬
‫ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ ﮒ‬
‫ﮓ ﮔﮕﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ‬
‫ﮜﮝﮞﮟﮠﮡﮢﮣ ﮤﮥﮦﮧ‬
‫ﮨﮩ ﮪﮫﮬﮭﮮﮯ ﮰ ﮱﯓ‬
‫ﯔﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ‬
Di haramkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu,anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudaramu yang perempuan,saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara
ibu­mu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,anak
saudara-saudaramu yang permpuan , ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara
permpuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu
(anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu, dan istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum bercampur dengan istrimu itu ( sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa
kamu menikahinya,( dan di haramkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)
dan di haramkan mengumpulkan dalam pernikahaan dua permpuan bersaudara kecuali
yang telah terjadi masa lampau. Sungguh allah maha pengampun, maha penyayang.
Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwa mana permpuan yang boleh
kita nikahi dan mana permpuan yang tidak boleh kita nikahi, yang sesuai
dengan ajaran agama Islam,hal tersebut untuk menjaga nasab dan keterunan
yang Islami.
d. Menjaga Kesucian
Pernikahan yang sesuai ajaran Islam akan menjaga harkat dan martabat
kaum perempuan di tengah hiruk pikuknya pelecehan sekual terhadap
permpuan, pernikahan yang Islami akan menuntun dan menjaga kesucian
dalam diri dan menyerahkan kepada yang berhak, Firman allah S.W.T.
dalam Alquran surat an-Nur ayat 30:

‫ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄﮅ ﮆ ﮇ ﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ‬
‫ﮍﮎﮏ‬
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangan­nya, dan
memelihara kemalaunnya; yang demikian itu lebih suci dari mereka. Sungguh allah
maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 139

Dari ayat di atas dapat di simpulkan bahwa perihalalah kesucian kamu jika
kamu memang orang-orang yang beriman.

Peran Keluarga Dalam Masyarakat


Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat bias dikatakan keluarga adalah hal
yang terkecil dalam masyarakat yang mempunyai kepala keluarga yaitu ayah dan
terdidri dari ibu dan anak-anaknya yang ada dalam satu naungan yang mempunya
pungsi dan peran penting di dalam masyarakat, tidak aka nada sebuah atau
sekelompok masyarakat tanpa adanya keluarga, oleh karena itu untuk menopang
sebuah perkembangan dalam masrakat tidak luput dari peran keluarga, peran
keluarga dalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Pendidik
Sebelum anak di kenalkan dengan dunia luar tentunya anak di didik oleh
keluarga, baru lingkungan masyarakat
2. Sosialisasi
Seorang anak diperkenalkan dengan dunia masyarakat tentunya tidak
terlepas dari interaksi dengan teman sebayanya, ini yang kemudian
merubah pola pikir anak, menerima hal yang baru baik itu buruk atau
pun bagus dalam masyarakat tergantung dari keluarga yang membina dan
mengajarkannya.
3. Pelindung
Memberikan kenyamanan di dalam masrakat tidak adanya ancaman-
ancaman baik itu dri dala atau pun dari luar masyarakat, sehinga biasa
membawa kenyamanan dan ketentaram di dalam keluarga dan kehidupan
bermasyarakat.

Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Membentuk Ketahanan Nasional


Konsep Membentuk Keluarga Dalam Alquran
1. Sakinah
Di dalam al qur’an kata sakinah di temukan sebanyak 6 kali dan sisanya yang
berkaitan dengan kata sakinah banyak di temukan, sakinah dalam arti sempit
yaitu mempunya makna “ketenangan” ketenangan itu berasal dalam hati dan
pikiran manusia. Firman allah dalam al qur’an Surat al-Araf ayat 189:

‫ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻﭼ ﭽ ﭾ‬
‫ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ‬
‫ﮎﮏﮐ‬
140 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan dari padanya dia
menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah di campurinya,
(istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian ketika dia terasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada allah,
tuhan mereka (seraya berkata),” jika engkau memberi kami anak yang saleh, maka kami
akan selalu bersyukur.”

2. Berakhlak Karimah
Berahklak karimah yaitu berahlaq terpuji dan sesuai dengan pedoman dan
ajaran-ajaran Islam, seseorang yang berahlaqul karimah akan menjadikan dirinya
jauh dari kebohongan, kemunafikan yang akan mendorong seseorang pada
jurang ke kemaksiatan, contoh ahlak karimah:
a. zuhud
Sifat juhud yaitu meninggalkan gemerlap keduniawian demi akhirat.
b. Tawaqal
Yaitu berserah diri kepada allah S.w.t., karena pada hakikatnya semua di
muka bumi ini adalah milik allah S.w.t.
c. Ikhlas
Bahwasannya semua ujian baik itu berupa kebahagiaan atau kesengsaraan
adalah dari allah S.w.t..

3. Membentuk Insan Yang Bertakwa


Dalam al quran surat al-baqarah ayat 3 menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa
yaitu:
a. Mereka yang beriman kepada yang goib
b. Yang melaksanakan shalat
c. Yang menginfakan sebagian rizkinya di jalan allah S.w.t.
Dalam Alquran surat al-hujarat ayat 13:

‫ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ‬
‫ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ‬
Wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal, sungguh yang paling mulia di antar kamu di sisi allah
ialah orang yang bertakwa. Sungguh allah, maha mengetahui, maha teliti.
Dari penjelasan di atas tentunya untuk membangun sebuah keluarga yang
qurani tidaklah mudah ada proses menuju ke sana yang harus di lalui oleh setiap
keluarga, jika ingin memperoleh keluarga yang qur’ani maka harus sesuai dengan
ajaran ajaran dan tuntunan agama Islam yang harus di tempuh.
Bingkai Keluarga Qur’ani dalam Upaya Ketahanan Nasional 141

Bentuk Ketahanan Nasional Melalui Konsep Keluarga Qur’ani


1. Membentuk keharmonisan keluarga dan masyarakat
Keharmonisan dalam keluarga merupakan suatu sikap yang dapat men­ciptakan
dan ketentaraman hidup rukun beragama tidak akan ada keluarga yang hidup
kelaparan atau bahkan mejadi seorang gelandangan, apabila keharmonisan dalam
keluarga dan masyarakat ini di bangun dengan pondasi yang kuat sehingga akan
menciptakan suasa yang tentram dan damai, firman allah dalam Alquran, yang
artinya “allah tidak akan merubah suatu kaumnya sehingga ia merubahnya
sendiri”. Hal ini mempunyai makna bahwa keluarga dan masyarakat mempunyai
keterikatan untuk merubah semua lini sektor dalam tatan masyarakat ke arah
yang lebih baik,

2. Mempererat tali persaudaraan keluarga dan masyarakat


Dengan mempererat tali persaudaraan yang kokoh akan menciptakan masrakat
yang mandiri kreatif dan inovatif dalam segala hal, perekonomian, pembangunan,
perdagangan dan sebagainya yang menyangkut segala hal tentang pembangunan
kemasyarakatan.

Penutup
Membangun keluarga qur’ani sesuai dengan ajaran-ajaran dan pedoman-
pedoman dalam al quran dan sunah nabi Muhammad saw, keluarga yang Islami
akan menopang upaya dalam membentuk ketahanan nasional, konsep ini yang
kemudian akan merubah tatanan social dalam masyarkat melalu bingkai keluarga
qurani dalam upaya membentuk ketahanan nasional: 1.menjaga keharmonisan
dalam keluarga dan masyarakat; 2. menjaga persaudaraan dalam keluarga dan
masyarakat. Hal ini yag dapat membawa perubahan yang signifikan di dalam
tatantan social dan masyarakat. Yang sesuai dengan pedoman Alquran dan
Hadis.

Pustaka Acuan:
Abu Laila & Muhammad Tohir (1995) ahlak seorang muslim. Bandung: al-
ma’arif
Ahmad tafsir.(2004). Pendidikan dalam presfektif Islam. Bandung: PT. Remaja
RosdaKarya
Kementrian agama RI. (2012). Penciptaan manusia dalam prespektif al qur’an
dan sains, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia
Hamdi Anwar (1995).Pegantar Ilmu Tafsir, Jakarta : fikahati Aneska
142 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Mudzakir AS. (2015), Studi Ilmu-Ilmu Alquran, Bogor: Litera Antar Nusa
Hernowo. (2003). 7 warisan keluarga, Jakarta:hikmah
Hamzah yakub.( 1983) Etika Islam.
Penguatan Keluarga Berbasis
Pendidikan Islam: Pilar Utama dalam
Menopang Ketahanan Nasional
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.13

Pendahuluan
Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk pertumbuhan
total seorang anak didik. Pendidikan agama tidak benar jika dibatasi
hanya kepada pengertian-pengertian yang konvensional dalam masyarakat.
Meskipun pengertian pendidikan agama yang dikenal dalam masyarakat
itu tidaklah seluruhnya salah –jelas sebagian besar adalah baik dan harus
dipertahankan- namun tidak dapat dibantah lagi bahwa pengertian seperti ini
harus disempurnakan (Madjid, 2004: 93).
Pendidikan termasuk dalam salah satu faktor yang sangat menentukan dan
berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diterapkan bias
menghasilkan para generasi penerus yang mempunyai karakter yang kokoh
untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa (Zuhriy, 2011: 288).
Belakangan ini, dalam dunia pendidikan dibicarakan tentang pendidikan
karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan
nasional bukan merupakan fenomena yang mengagaetkan. Sebab perkembangan
sosial politik dan kebangsaan ini memang cenderung menghasilkan karakter
bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalahgunaan

143
144 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan


berbagai tindakan patologi lainnya merupakan indikasi masalah akut dalam
pembangunan karakter bangsa ini (Mas’udi, 2015: 2).
Menurut Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Mochtar Buchori meng­
ungkapkan bahwa, ada enam masalah yang mengancam dunia eksistensi bangsa
ini (Buchori, 1995: 22). Keenam masalah tersebut ialah:
1) Kesenjangan antar-golongan bangsa;
2) Kontras antar golongan kaya dan akum miskin;
3) Proses pendewasaan politik yang mengalami berbagai hambatan;
4) Keterbelakangan IPTEK;
5) Belum selesainya transisi dari budaya agraris ke budaya industrial; dan
6) Pembudayaan Pancasila menjadi etos bangsa.
Keenam masalah di atas menjadi bagian dari agenda nasional, dalam konteks
ini, keluarga merupakan salah satu institusi pendidikan, setiap orang yang berada
dalam institusi ini pasti akan mengalamai perubahan dan perkembangan me­
nurut warna dan corak institusi tersebut. Lingkungan keluarga yang merupakan
lingkungan utama dan pertama bagi seseorang, karena dalam keluarga inilah
seseorang pertama sekali mendapatkan pendidikan dan bimbingan.
Pendidikan dalam keluarga lebih kepada pembentukan karakter yang
nantinya akan menjadi sebuah fondasi untuk pengembangan potensi. Dalam
keluarga, seseorang mendapatkan perhatian yang lebih. Dalam keluarga pun,
konsepsi tentang akal yang merupakan suatu kemampuan. Maka peran keluarga
dalam ranah ini adalah membina sesorang supaya akalnya dapat berkembang
(Siegel, 1969: 149).
Sebagian besar dari kehidupan seseorang dilalu di dalam keluarga, sehingga
pendidikan yang paling banyak diterima adalah dalam keluarga. Pengalaman yang
diperoleh seseorang melalui pendidikan dalam keluarga akan mempengaruhi
perkembangan anak dalam proses pendidikan selanjutnya. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa orang tua merupakan pendidik yang pertama dan utama
dalam pembentukan kepribadian seorang anak manusia.
Jika pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga sudah baik, maka akan
melahirkan para generasi bangsa yang tangguh, yang dibutuhkan oleh negara.
Sosok generasi yang mampu melaksanakan tugas dengan baik serta berkarakter,
yang memiliki kekuatan, kemampuan, dan daya tahan, dalam menghadapi
segala bentuk tantangan, hambatan, ancaman, dan gangguan baik dari dalam
maupun luar yang secara langsung dapat menggangu stabilitas kehidupan dan
eksistensi bangsa dan negara.
Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 145

Oleh karena itu, tulisan ini secara umum akan melihat bagaimana penguatan
keluarga dengan basis pendidikan Islam berperan penting dalam pembentukan
kepribadian seseorang atau tempat pertama seseorang mendapat pendidikan
yang dijadikan landasan sebagai penopang ketahanan nasional. Kajian ini
pun akam mencoba menguraikan peran keluarga dalam perspektif Alquran,
kemudian akan mencoba mengelupas bagaimana keluarga menjadi sebuah
institusi pembentuk karakter individu, mendidik dan mengasuh para generasi
bangsa agar berperan aktif dalam setiap bidang sebagai cerminan generasi yang
berkarakter dan berakhlakul karimah yang menegakkan ketahanan nasional.

Peran Keluarga dalam Perspektif Alquran


Keluarga merupaka fondasi bagi perkembangan majunya masyarakat, sejak
pra-kemerdekaan lembaga pernikahan sampai kepada memfungsikan keluarga
sebagai dinamosator dalam kehidupan anggotanya terutama anak-anak,
sehingga benar-benar menjadi tiang penyangga yang kokoh bagi masyarakat
(Mustofa, 2008: 227). Keluarga merupakan sumber dari umat, dan jika keluarga
merupakan sumber dari sumber-sumber umat, maka pernikahan adalah pokok
keluarga, dengannya umat akan ada dan berkembang.
Secara tegas dapat digarisbawahi bahwa tujuan keluarga ada yang intern dan
ekstern, intern yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup keluarga itu sendiri
dan ekstern berarti bertujuan yang lebih jauh yaitu mewujudkan generasi atau
masyarakat muslim yang maju dalam berbagai seginya atas dasar tuntutan agama
(Buseri, 1990: 16-17). Dalam artian lain, sesuai dengan tujuan keluarga yang
ekstern, keluarga dapat dikatakan sebagai salah satu indikator dari keberhasilan
suatu negara.
Keluarga tergolong dalam kelompok manusia pertama yang ditemui setiap
anak yang baru dilahirkan. Keluarga juga merupakan media pertama dan satu-
satunya selama beberapa tahun yang mentransformasikan nilai-nilai, baik secara
sengaja ataupun tidak disengaja, yang sangat berperan dalam kehidupan dan
pertumbuhan setiap anak selanjutnya (Kementrian Agama Republik Indonesia,
2011: 129). Hal tersebut akan terlihat ketika seorang anak itu kemudian dewasa,
anak-anak yang mendapatkan asuhan dan didikan baik akan berbeda dengan
seorang anak yang mendapatkan asuhan dan didikan kurang baik dari keluarganya.
Serupa yang diungkapkan oleh Amin Summa, bahwa ketika berbicara
keluarga maka yang perlu disepakati bersama adalah bahwa keluarga merupakan
unit tekecil dalam masyarakat (Summa, 2004: 4-5). Keluarga yang merupakan
basis utama dan yang paling tua, dari keluarga inilah akan terbentuk masyarakat
baru yang lebih banyak dan lebih luas.
146 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pengasuhan anak dalam keluarga sangat penting untuk diperhatikan, karena


masa depan depan anak banyak tergantung pada pengasuhan dan pendidikan
dalam keluarga. Tentang pengasuhan anak yang baik dalam keluarga, dapat
diperoleh petunjuknya dalam Alquran, beberapa pola-pola yang bersifat tetap
dan berlaku sepanjang masa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011:
135). Dengan memperhatikan teori-teori pendidikan seperti memotivasi,
tujuan, metode, dan materi pendidikan serta beberapa pembiasaan baik yang
perlu dilakukan, dan memadukannya dengan petunjuk, dan isyarat dalam ayat-
ayat Alquran.
Seperti yang dijelaskan dalam Alquran sebagai berikut:

‫ﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠ ﯡﯢﯣ ﯤﯥ‬


‫ﯦﯧﯨ ﯩﯪﯫﯬﯭﯮﯯﯰﯱ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S.
At-Tahrim [66]: 6) (Pemerintah Provinsi Banten, 2013: 560).
Dalam ayat di atas terdapat kata wa ahlikum, yang berarti keluargamu yang
terdiri dari isteri, anak, pembantu dan budak, dan diperintahkan kepada mereka
agar menjaganya dengan cara memberikan bimbingan, nasihat dan pendidikan
kepada mereka. Hal ini sejalan dengan Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan
oleh Ibnu al-Munzir, al-Hakim, dan oleh riwayat lain dari Ali ra. ketika menjelaskan
ayat tersebut, maksudnya adalah berikanlah pendidikan dan pengetahuan mengenai
kebaikan terhadap dirimu dan keluargamu (Nata, 2002: 198).
Ayat di atas pula mengandung makna “perintah” atau fi’il amar yaitu
suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh kedua orang tua terhadap anaknya
(Wahy, 2012: 247). Oleh karena itu, maka kedua orang harus dapat memainkan
peranan penting sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya,
sebelum pendidikan anak diserahkan kepada orang lain.
Menurut Fuad Ihsan, tanggung jawab pendidikan oleh kedua orang tua
meliputi (Ihsan, 1997: 94):
1) Memelihara dan membesarkannya. Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan,
minum dan perawatan, agar seorang anak dapat hidup secara berkelanjutan.
2) Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara jasmani maupun
rohani dari berbagai gangguan penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat
membahayakan diri.
Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 147

3) Mendidiknya dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan


yang berguna bagi hidupnya. Sehingga apabila seorang anak tersebut dewasa,
mampu berdiri sendiri dan membantu orang lain serta melaksanakan fungsi
kekhalifahannya.
4) Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan memberinya
pendidikan agama sesuai dengan tuntutan Allah S.W.T.. sebagai tujuan
akhir hidup seorang muslim. Tanggung jawab ini dikategotikan juga sebagai
tanggung jawab kepada Allah S.W.T.
Selain sebagai media atau lembaga pendidikan pertama dan utama bagi
setiap anak, keluarga perlu pula menanamkan nilai-nilai agama, sosial dan
budaya serta sifat-sifat alam dan lingkungan (Kementrian Agama Republik
Indonesia, 2011: 147). Beberapa ayat Alquran yang memberi petunjuk tentang
hal ini, misalnya dalam surat berikut ini:

‫ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ‬
‫ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ‬
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti.” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) (Pemerintah Provinsi Banten, 2013: 517).
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Allah S.W.T. telah menciptakan semua
manusia berasal dari laki-laki yaitu Adam, dan seorang perempuan yaitu Hawa.
Allah S.W.T. menjadikan manusia yang banyak ini berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, berbeda-beda warna kulit dan berbeda bahasanya, semua itu
bukan untuk saling mencemooh dan saling merendahkan, melainkan supaya
saling mengenal dan tolong menolong. Allah S.W.T. tidak menyukai orang-
orang yang menyombongkan diri dengan keturunan, kepangkatan atau pun
kekayaan mereka, karena yang paling mulia di sisi Allah S.W.T.. hanyalah orang
yang paling bertakwa kepada-Nya (Kementrian Agama Republik Indonesia,
2011: 148). Maka, bekal asuhan dan didikan dalam keluarga mempunyai
peranan yang besar dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan karakter
kebangsaan yang positif, yang menunjang pada kemandirian bangsa dan
ketahanan nasional di tengah terpaan arus globalisasi.

Transformasi Pendidikan: Penoang Ketahanan Nasional


Dunia memperlihatkan dua kecenderungan yang berlawanan: dalam kehidupan
ekonomi terlihat adanya kecenderungan globalisasi, sedangkan dalam kehidupan
politik yang terlihat ialah kecenderungan fragmentasi. Lebih lanjut, bahwa
148 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

konsep ‘nation state’ rupanya tidak memadai lagi untuk menghadapi persoalan-
persoalan masa kini dan masa depan (Bell 1987: 7). Konsep ‘nationn state’ terasa
menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil suatu bangsa
dan terlalu kecil untuk menyelesaikan masalah-masalah besar.
Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang
tidak pernah bias ditinggalkan. Pendidikan bias dianggap sebagai sebuah proses
yang terjadi secara tidak sengaja atau berjalan secara alamiah. Dalam hal ini,
pendidikan bukanlah proses yang diorganisasi secara teratur, terencana, dan
menggunakan metode-metode yang dipelajari berdasarkan aturan-aturan yang
telah dipelajari mekanisme penyelenggaraannya oleh suatu komunitas masyarakat
(negara), melainkan lebih merupakan bagian dari kehidupan yang memang telah
berjalan sejak manusia diciptakan. Pengertian ini merujuk pada fakta bahwa
pada dasarnya manusia secara alamiah merupakan makhluk yang belajar dari
peristiwa alam dan gejala-gejala kehidupan yang ada untuk mengembangkan
kehidupannya (Mu’in, 2011: 287-288).
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang merupakan sebuah negara besar
dengan ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Yang tentunya
dihuni oleh berbagai suku Bangsa yang berbeda-beda: etnis, bahasa, kebudayaan,
bahkan agama. Akan tetapi, pada posisi yang lain, bentuk Negara semacam ini
berpotensi menimbulkan masalah. Lain ceritanya, jika asuhan sejak kecil dalam
keluarga sudah dididik tentang nilai-nilai dan norma agama, sosial, dan budaya
yang sifatnya tetap dalam masyarakat.
Setelah didikan dan asuhan yang baik dalam ranah kelauarga, konteks ber-
negara pun harus dijiwai dengan semangat berkeluarga dan kebersamaan. Dalam
artian, keberadaan negara bisa memberikan jaminan bagi kepentingan seluruh
rakyat sehingga mampu melampaui kepentingan golongan atau individu. Inilah
yang diistilahkan dengan integralistik kehidupan nasional, dimana semua
golongan, semua bagian, dan semua anggota berhubungan erat antara satu
dengan yang lainnya (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 298).
Kesadaran kelompok bangsa dengan identitasnya masing-masing masih akan
mendominasi kehidupan umat manusia. Maka betapa pentingnya kebudayaan
nasional dalam pendidikan nasional dapat disimak dari fungsi pendidikan dalam
mengembangkan kepribadian seseorang yang mempunyai jati diri yang kuat.
Jati diri atau identitas seseorang merupakan sebagian dari identitas kelompok
atau bangsa, yang merupakan suatu tolak ukur dari tumbuhnya nasionalisme
yang tepat dan kuat (Tilaar, 2004: 164-165). Suatu bangsa yang kuat perlu
mempunyai “ketahanan budaya”, hal ini berkaitan dengan apa yang disebut
dengan ketahanan nasional suatu bangsa.
Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 149

Dalam bahasa Arab “ketahanan nasional” atau biasa sering disebut juga
dengan “ketahanan negara” dikenal dengan istilah................ Ini menunjukkan
bahwa esensi ketahanan nasional adalah terciptanya rasa aman diantara warga
negara. Hanya saja, rasa aman dalam hal ini disertai kesejahteraan yang merata.
Sebab, kesejahteraan tanpa rasa aman menjadikan setiap warga tidak mampu
melaksanakan aktifitas kehidupannya dengan baik. Begitu juga, rasa aman
tanpa kesejahteraan yang merata tidak mungkin melahirkan sebuah bangsa dan
negara yang kuat, bahkan akan mangancam munculnya disintegrasi bangsa
(Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 229).
Dengan demikian, kualitas sumber daya manusia dan peran serta para
generasi muda saat ini bukan saja menjadi porter masa depan bangsa, tetapi
juga menjadi taruhan atas ketahanan sebuah bangsa dan negara tersebut. Atau
dengan istilah lain, ketahanan nasional yang meliputi ideologi, politik, ekonomi,
sosial-budaya, pertahankan dan kemananan, tidak akan mungkin terwujud
jika generasi penerusnya tidak berkarakter. Alquran banyak megisahkan posisi
kaum muda dalam perjalanan sebuah bangsa, sebagaimana dalam Firman Allah
S.W.T..:

‫ﮱﯓﯔﯕﯖﯗﯘﯙﯚﯛﯜﯝﯞ‬
Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya
mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami
tambahkan petunjuk kepada kereka.” (Q.S. Al-Khaf [18]: 13) (Pemerintah Provinsi
Banten, 2013: 294).
Sayyid Qutub menggambarkan sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir
Alquran Tematik Kementraian Agama Republik Indonesia, bahwa kelompok
pemuda tersebut bukan saja memiliki fisik yang kuat, tetapi juga memiliki
mentalitas baja. Keimanan dan mentalitas baja inilah yang mendukung
kebijakan penguasa yang otoriter (Kementrian Agama Republik Indonesia,
2011: 318). Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama
dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap perilaku positif (Shihab,
2011: 714). Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan, karena
ukuran keberhasilan lembaga pendidikan bukan saja melalui kedalaman ilmu
dan ketajaman nalar, tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual. Sebagian
para pakar menyebutkan, bahwa kecerdasan emosi dan spiritual berperan
sekitar tujuh puluh sampai dengan delapan puluh persen dalam meraih sukses,
bahkan dapat menopang ketahanan nasional (Shihab, 2011: 716-717).
150 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam Sebagai Pilar Utama


dalam Menopang Ketahanan Nasional
Keluarga yang merupakan penanam utama dasar-dasar moral bagi seseorang,
yang tercermin dalam sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat
dicontoh oleh anak-anaknya. Pendidikan moral tidak terlepas dari pendidikan
agama, maka penanaman pendidikan agama sebagai sumber pendidikan
moral harus dilaksanakan sejak masih kecil dengan pembiasaan-pembiasaan
(Wahy, 2012: 255). Semua ketentuan dan norma-norma hidup ini perlu
disosialisasikan kepada semua anak sejak dari kehidupan di keluarga, supaya
dalam menghadapi kehidupan yang lebih kompleks nanti tidak mengalami
kesulitan (Shihab, 2011: 152).
Pendidikan yang ditanamkan di dalam keluarga benar-benar akan mem­
persiapkan generasi muda untuk kehidupan di masa depan, maka penyesuaian
tradisi serta tradisi pendidikan yang sudah ada harus dikendali­kan dengan
waspada, seksama dan berani (Buchori, 1995: 15). Pembentukan karakter
bangsa yang awalanya dari individu yang dipupuk dalam lingkungan keluarga,
yang kemudian berkembang di dalam masyarakat. Masyarakat yang merupakan
kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk berdasarkan tujuan yang
hendak dicapai bersama.
Dengan mencermati perkembangan situasi nasional pada akhir-akhir ini
yang menjurus ke arah rusaknya sistem dan tatanan sosial bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara, megemukanya serangkaian konflik komunal dan
konflik sosial di tengah kehidupan masyarakat yang dilatar-belakangi banyak isu,
antara lain: agama, etnisitas, masalah kesenjangan sosial, dan pertikaian antara
partisipan partai politik serta meningkatnya gerakan separatism dibeberapa
daerah sehingga menjadi cikal bakal pemicu perpecahan yang mengarah kepada
disintegrasi bangsa (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011: 354).
Pengetahuan tanpa penghayatan tidak akan menimbulkan apa yang
diistilahkan oleh pakar-pakar agama (tasawuf ) dengan halah, yakni kondisi
psikologis yang mengantar seseorang berkeinginan kuat untuk mengubah secara
positif (Shihab, 2011: 719). Jika dipahami lebih mendalam, bahwa agama
akhirnya menuju kepada berbagai keluhuran budi. Oleh karena itu peran
orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar
adalah amat penting. Dan di sini yang ditekankan adalah pendidikan, bukan
pengajaran (Madjid, 2004: 94-95).
Bekal asuhan dan didikan dalam keluarga mempunyai peranan yang besar
dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan karekter kebangsaan yang
positif yang menunjang pada kemandirian bangsa dan ketahanan nasional
Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 151

di tengah terpaan arus globalisasi. Pendidikan yang ditanamkan di dalam


keluarga benar-benar akan mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan di
masa depan, maka penyesuaian tradisi pendidikan harus dikendalikan dengan
waspada, seksama dan berani.
Pendidikan yang ditanamkan oleh kedua orang tua akan penting dan
menentukan bagi keberhasilan pencegahan hal-hal yang dilarang agama Islam,
agar dihindari oleh anak-anak dan generasi bangsa. Rasulullah SAW. bersabda:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, kedua orangtuanya lah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi atau
Nasrani atau Majusi.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
(Imam Bukhari, no. 1292; Imam Muslim, no. 6926).
Maka pembinaan dalam aspek agama dalam keluarga melahirkan generasi
muda yang berkarakter dan memiliki jati diri yang religius juga terkadang rasa
kebangsaan, tanggung jawab nasional, kepemimpinan mandiri, budi luhur,
berpikir kreatif, dan patriotis (Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011:
354). Akhirnya, setiap generasi muda diharapkan berperan aktif dalam setiap
bidang, baik sebagai ilmuan, seniman, budayawan, dan lain-lain, khususnya
untuk ketahanan nasional. Karena itu, pengauatn keluarga yang merupakan
basis utama dalam menopang ketahanan nasional memberikan generasi bangsa
dalam kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan yang
layak, baik formal maupun non-formal; baik yang berbasis kompetensi maupun
berbasis akhlak atau pembangunan karakter.

Penutup
Keluarga dalam pandangan Islam bukanlah sekedar tempat berkumpulnya
orang-orang yang terkait karena pernikahan maupun keturunan, akan tetapi
mempunyai fungsi sedemikian luas. Oleh karena itu untuk mempertahankan
eksistensi ketahanan nasional salah satu alternatif yang sangat mungkin adalah
memperdalam dan mengintensif-kan penanaman dan mengamalan nilai-nilai
Islam dalam setiap anggota keluarga dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Negara akan sejahtera bila kelompok-kelompok masyarakat hidup dalam
situasi yang baik, kelompok tersebut akan sejahtera bila keluarga yang hidup
di dalam kelompok itu sejaktera pula. Jadi negara –bahkan dunia- ditentukan
kesejahteraannya oleh keluarga dalam negara atau masyarakat tersebut, yang
artinya mewujudkan keluarga yang sejahtera sangatlah penting.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran tentang bagaimana keluarga
memposisikan dirinya sebagai institusi yang berbeda pada garda terdepan,
memberikan suatu pemahaman klimaks perihal penguatan keluarga sebagai
152 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pembentuk karakter bagi generasi penerus bangsa agar dapat berperan aktif
dalam setiap bidang sebagai cerminan generasi kerakhlakul karimah yang me­
negakkan ketahanan nasional.
Hampir semua pembahasan tentang penguatan keluarga, baik dalam konsep
Barat, Alquran dan Sunnah sepakat memasukkan unsur pendidikan moral atau
spiritual atau karakter sebagai pilar utama untuk menopang ketahanan nasional.
Apabila nilai-nilai agama yang terkandung dalam teks-teks agama dijadikan
sebagai dasar pendidikan dalam keluarga, maka niscaya ketahanan nasional
pun akan kuat. Selain itu, yang harus dilakukan adalah mempertahankan
prinsip-prinsip dan nilai moral yang ada dalam masyarakat. Karena nilai-nilai
lokal ini sebagai identitas kearifan lokal (local wisdom) yang secara natural
dapat diterapkan sesuai dengan kondisi sosio-kultural tanpa bertabrakan atau
bertentangan dengan norma agama dan tidak memaksa masyarakat untuk
merubah gaya hidupnya secara radikal.

Pustaka Acuan:
Bell, Daniel, “The World in 2013.” Daedalus DXVI, no. 3. Reprinted in
Dialogue, Summer 1987.
Buchori, Mochtar, Transformasi Pendidikan, Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan,
1995.
Bukhari, Imam, Sahihul Bukhari, Kitabul-Jana’iz, Bab Iza aslamas-sabi famata,
No. 1292; Imam Muslim, Muslim Kitabul Qadr, Bab Ma’na Kullu
Mauludin Yuladu ‘Alal-Fitrah, No. 6926.
Buseri, Kamrani, Pendidikan Keluarga dalam Islam, Yogyakarta: Bina Usaha,
1990.
Ihsan, Fuad, Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Kementrian Agama Republik Indonesia, Tafsir Alquran Tematik: Pembangunan
Generasi Muda, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, 2011.
Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2004.
Mas’udi, Ali, “Peran Pesantren dalam Pembangunan Karakter Bangsa.” Paradigma
II, no. 1, November 2015.
Mu’in, Fathchul, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011.
Mustofa, Imam, “Keluarga Sakinah dan Tantangan Globalisasi.” Al-Mawwarid
XVIII, 2008.
Pemerintah Provinsi Banten, Mushaf al-Bantani, Jakarta: Lajnan Pentashihan
Mushaf Alquran, 2013.
Penguatan Keluarga Berbasis Pendidikan Islam 153

Shihab, Quraish, Membumikan Alquran: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan,


Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2011.
Siegel, James T, Children in The Family, Berkeley: University of California
Press, 1969, dalam Ihromi, (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Keluarga Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004.
Tilaar, Menejemen Pendidikan Nasional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004.
Wahy, Hasbi. “Keluarga Sebagai Basis Pendidikan Pertama dan Utama.” Ilmiah
Didaktika XII, no. 2, Februari 2012.
Zuhriy, Syaefuddin, “Budaya Pesantren dan Pendidikan Karakter pada Pondok
Pesantren Salaf.” Walisongo IXX, no. 2, November 2011.
Pelangi Cinta di Langit LGBT (Mencegah
LGBT Melalui Pendidikan Karakter Moral
Keluarga di Banten)
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.15

Pendahuluan
Diskursus ketahanan nasional telah dikaji dari pelbagai perspektif. Kajian ini
muncul disebabkan kondisi bangsa Indonesia yang terus mengalami banyak
tantangan dan ancaman baik dari dalam maupun dari luar negeri, Salah
satu bentuk ancaman ini adanya kaum Lesbi Gay Biseksual dan Transgender
(LGBT). Kaum ini berdalih “cinta tidak mengenal hukum” menjadi pembebasan
berseksual kaum ini yang menganggap hubungannya alamiah dan sehat. Warna
ekspresi cinta kaum ini disimbolkan dengan pelangi yang berarti kaum ini
sama seperti manusia yang hidup di muka bumi ini. Pengakuan ini terlihat dari
semakin berani mereka menunjukkan eksistensinya dihadapan publik untuk
disahkannya Undang-undang (UU) kebolehan LGBT.
Eksistensi yang terus mereka bangun ini dianggap sebagai persoalan Hak
Asasi Manusia (HAM) saja, sehingga tidak perlu mencampuradukkan dengan
agama dan negara. Padahal realita yang terjadi di Indonesia Banten khususnya,
LGBT tidak mendapat tempat. Hal ini diperkuat dengan adanya UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974, sebagai dasar perkawinan semua manusia Indonesia, yaitu
antara laki-laki dan perempuan (UU Pokok Perkawinan, 2000:1).

155
156 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Jika dilihat dari aspek agama, eksistensi kaum ini bertolak belakang
dengan fakta yang ada sebab Islam memandang bahwa perilaku LGBT itu
ber­tentangan dengan perintah dalam Alquran. Islam membenarkan seksualitas
dan kebutuhan biologis. Tapi, hal ini harus sejalan dengan ketentuan agama
yakni dilakukan dengan lawan jenis dan melalui mekanisme pernikahan.
Sebab, agama dan negara menjadikan pernikahan sebagai hal yang suci
dan terhormat. Namun, meskipun aspek agama dan falsafah negara ini
telah menentang perilaku LGBT nyatanya belum mampu mempengaruhi
penurunan jumlah kaum LGBT, yang ada justru Banten menyandang status
mengkhawatirkan (www.BPSBanten.go.id).
Berdasarkan Data Komisi Penanggulangan Aids Banten (www.
KPABanten.2017), jumlah waria yang ada di provinsi Banten sebanyak 3.275
orang, penyuka sesama jenis 2.175 orang, lesbian 1.300 orang. Dari angka
tersebut 5.196 menjadi Orang Dengan HIV Aids (ODHA) dan penyakit
seksual lainnya akibat seks sesama jenis. Hal ini sebagai bukti, kehadiran kaum
LGBT memberikan sumbangsih penularan virus HIV Aids di provinsi Banten.
Padahal, dalam aspek hukum dan agama bab mengenai pernikahan telah
diatur secara jelas diantaranya dilakukan dengan lawan jenis antara laki-laki dan
perempuan. (Yusuf Qardhawi, 2000: 307) pernikahan pada dasarnya bertujuan
membentuk keluarga agar memperoleh ketenangan, kedamaian, juga dapat
menjaga keturunan (hifdzu al-nasli).
Sebagai unit terkecil masyarakat, keluarga sangat berkontribusi aktif sebagai
yang pertama dan utama dalam menanamkan nilai-nilai agama, moral dan etika
anggota keluarganya. Hal ini berarti, keluarga merupakan instrumen penting
yang yang mampu menopang ketahanan nasional sesuai dengan intisari dalam
Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 bahwa janganlah meninggalkan anak-anak dalam
keadaan lemah. Dalam menopang ketahanan nasional ini dipelukan karakter
Qur’ani yang dimulai dari keluarga.
Berdasarkan hal tersebut, maka dibutuhkan pendekatan yang lebih responsif
untuk meramu ketahanan nasional yang dibangun melalui keluarga. Inilah yang
akan dikaji lebih dalam.

LGBT Perspektif Islam


Manusia adalah makhluk spesial yang diciptakan Allah S.w.t.. Manusia dicipta
dalam bentuk yang sempurna dianugerahi akal dan fitrah. Sebagai makhluk yang
memiliki kelebihan, ternyata manusia mengemban misi besar yakni mengelola
dan melestarikan alam raya ini berdasarkan petunjuk, ketentuan dan hukum
yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pelangi Cinta di Langit LGBT 157

Dalam perjalanannya, manusia harus mampu mempertahankan hidup.


Untuk melewatinya diperlukan interaksi dengan lingkungan dalam bentuk
pengetahuan, perilaku, sikap, dan tindakan yang akan membawa dampak bagi
individu itu sendiri. Salah satu perilaku yang terlihat jelas dan dapat diamati
langsung adalah perilaku seksual. Dalam Islam, tidak ada pandangan yang
mengkonsepsikan seks sebagai hal yang kotor dan dosa karena seks dipandang
sesuai dengan firah manusia asalkan pemenuhannya sesuai dengan konstitusi
Islam (Rahmat Sudirman, 1999:41).
Pembahasan perilaku seksual sangat erat kaitannya dengan perilaku kaum
LGBT. Islam melalui Alquran tidak mendefiniskan secara kongkrit tentang
perilaku LGBT. Namun, kitab suci ini memandang perilaku ini mengarah pada
perilaku homoseksual. Secara historis, hal ini bisa dilihat pada cerita Nabi Luth
pada Q.S. Al-A’raf ayat 80-81.

‫ﯕﯖﯗﯘ ﯙﯚﯛﯜ ﯝﯞﯟ ﯠﯡ‬


‫ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ‬
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth kepada kaumnya, Ingatlah tatkala dia berkata
kepada mereka, “mengapa kalian melakukan perbuatan fakhisya’ itu, yang belum pernah
dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian?”. Sesungguhnyan kalian
mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada
wanita, bahkan kalian ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. Al-A’raf 80-81).
Melalui ayat di atas, diceritakan bahwa kaum Nabi Luth melakukan praktek
homoseksual dengan menyetubuhi lelaki sejenis melalui dubur (lubang belakang),
di era sekarang ini perilaku seksual yang demikian popular dengan sebutan
sodomi. Menurut (Kathleen Faller, 2014: 16) perbuatan sodomi membuat trauma
berkepanjangan. Menurut beberapa versi (Masjfuk Zuhdi, 1987:37) kata Sodom
diambil dari nama kaum Nabi Luth yakni kaum Sodom ada juga yang mengata­
kan bahwa ini nama daerah tempat Nabi Luth diutus yakni kampung Sodom.
(Ibnu Katsir, 2006:18) memberikan penjelasan terhadap ayat ini bahwa
Allah S.w.t. mengutus Nabi Luth ke kampung Sodom agar penduduknya
beribadah kepada Allah untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi larangan
keji dalam kata al-fakhsya’. Larangan yang kasat mata ini berupa perbuatan dosa
yang tidak pernah dilakukan oleh anak cucu Adam sebelumnya, yaitu laki-laki
mendatangi laki-laki untuk melampiaskan hawa nafsunya.
M. Quraish Shihab (2007:189), juga menekankan ayat ini pada kata al-
fakhsya’ yang berarti perbuatan menyetubuhi lelaki sejenis melalui dubur (lubang
belakang) adalah perbuatan sangat keji dan perilaku ini tidak pantas dilakukan
oleh manusia.
158 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Secara tekstual, kata homoseksual dan orientasi seksual tidak disebutkan


dalam Alquran. Tetapi, hal ini direspon dengan kata al-fakhsya’. Di dalam
Alquran sendiri tidak ada kata khusus mengenai homo, lesbi, gay, biseksual dan
transgender. Namun, perlu diketahui perbuatan keji itu bisa dilakukan oleh
siapapun dan tidak memandang itu homo atau hetero. Disamping Alquran,
hadis Nabi juga dijadikan rujukan mengenai homoseksualitas. Dari sahabat Ibnu
Abbas, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda yang artinya: “Allah melaknat
siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth”. (HR. Nasa’I dalam as-Sunan
AL-Kubra no. 7337). Nabi mengulanginya sebanyak tiga kali.
Ayat Alquran dan hadis tersebut, digunakan dasar kesepakatan (ijma ulama)
untuk menyepakati bahwa homoseksual dan aktifitas seskual sesama jenis adalah
haram. Pengaharaman tersebut berdasar pada qaidah ushul fiqh “menghindarkan
keburukan didahulukan atas mendatangkan maslahat”.
Keharaman ini tentu saja memberikan petunjuk bahwa perilaku keji LGBT
ini tidak boleh ada di masyarakat, sehingga diperlukan kerjasama (sinergitas)
di semua elemen masyarakat. Seperti dipaparkan sebelumnya, bahwa perilaku
menyimpang ini sudah banyak anggotanya terutama di provinsi Banten.
Elemen utama yang menjadi perhatian khusus untuk meminimalisir
bahkan mencegah perilaku ini adalah keluarga. Keluarga memiliki peran besar
dalam mendidik generasi penerus bangsa agar berakhlakul karimah. Bentuk
menyikapi perilaku menyimpang ini dengan adanya pendidikan karakter moral
dan komunikasi yang ada dalam keluarga. Hal ini, harus diajarkan sedini
mungkin untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan yang efeknya dapat
dirasakan masyarakat luas.

Karakter Moral
Moral dalam Islam sering diidentikkan dengan akhlak. Karena dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan
(Quraish Shihab, 1999: 253). Akhlak atau moral juga diartikan sebagai perangai,
watak atau tabiat manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu
(Mukhson, 2013:9).
Banyak definisi dan arti tentang moral dan akhlak menunjukkan ke­
anekaragaman kelakuan bernama manusia. Para filosof dan ahli tafsirpun
memberi catatan penting terkait dengan moral, seperti adanya baik dan buruk.
Ibarat uang logam, manusia memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi pertama,
manusia dengan kesempurnaan melalui kebaikannya dan dari sisi yang lainnya
menjelaskan manusia yang tak luput dari salah serta keburukan. Alquran
memuat firman Allah S.w.t. sebagai berikut:
Pelangi Cinta di Langit LGBT 159

‫ﭨﭩﭪﭫﭬﭭﭮﭯ‬
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaan-Nya, maka Allah mengilhami (jiwa
manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (Q.S. Asy-Sayms: 7-8).
M. Quraish Shihab (1999:254) menguraikan ayat di atas, walaupun kedua
potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukannya isyarat. Isyarat
dalam Alquran bahwa kebaikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada
kejahatan dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Kecenderungan manusia kepada kebaikan terbukti dari persamaan konsep-
konsep pokok moral pada setiap zaman dan peradaban. Tujuan akhir dari
pendidikan moral seharusnya adalah bagaimana manusia dapat berperilaku
sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Agus Santoso (2012: 45) mengatakan,
kebanyakan pendidikan moral yang dilakukan di sekolah-sekolah tidak
pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap
perubahan perilaku. Pendidikan moral itu dimungkinkan hanya mencapai
tingkat ‘urf. ‘urf itu sendiri memiliki definisi mengetahui, menyadari dan
mengenal (Enjang&Tajri, 2009:81).
Pendidikan agama telihat semakin gencar dilakukan dan indikator kasat
mata tentang maraknya kehidupan beragama juga terlihat jelas di Indonesia.
Namun, mengapa perilaku sebagian manusia masih jauh menyimpang dari
kaidah moral, termasuk perilaku LGBT? Jadi tampaknya tujuan beragama
untuk menjadikan manusia berakhlak mulia belum tercapai. Dugaannya, karena
karakter moral terjebak pada formalitas saja.

Penguatan Keluarga dan Karakter Moral Dalam Keluarga


Tema pokok sekarang ini berkenaan dengan masalah keluarga, pembinaan
keluarga, dan tafsiran terhadap kesulitan-kesulitan dalam keluarga. Keluarga
adalah asst negara yang sangat penting, manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa
adanya ikatan dengan keluarga. Keluarga memberikan pengaruh yang besar
terhadap seluruh anggotanya sebab selalu terjadi interaksi yang paling bermakna
dan sangat intim. Jadi, keluarga berbeda dengan organisasi kemasyarakatan yang
lain.
Keluarga sangat erat kaitannya dengan negara (Sholikhin, 2010:53). Jika
keluarga kuat maka negara kuat begitu juga sebaliknya jika keluarga lemah
maka negara akan lemah. Oleh karena itu, untuk mencapai ketahanan nasional,
diperlukan penguatan keluarga agar menjadi keluarga sejahtera baik sejahtera
secara fisik, mental, maupun spiritual.
Keluarga yang sejahtera adalah dambaan setiap orang. Dengan sejahtera
seseorang merasakan hidup bahagia dan menyenangkan, karena kebutuhan
160 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

materiil dan spiritualnya terpenuhi. Lebih dari itu, dengan menjadi keluarga
sejahtera seluruh anggota keluarga akan mengembangkan diri dengan baik
sesuai dengan potensi dan bakat yang dimiliki.
Secara konseptual, keluarga sejahtera bercirikan ketahanan keluarga yang
tinggi. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah kondisi keluarga yang me­miliki
kemampuan fisik, mental, spiritual untuk hidup mandiri dan mengembangkan
diri serta keluarganya demi meningkatkan kesejahteraan lahir batin.
Untuk membangun ketahanan keluarga yang sejahtera lahir dan batin
diperlukan tuntunan hidup agar selalu terjaga dari perbuatan yang bisa
menjerumuskannya kedalam api neraka. Dengan kata lain, orang tua harus
mampu menjaga, membimbing, mendidik dan menjadi teladan yang baik agar
sang anak tidak melakukan hal negatif yang membuat sengsara baik di dunia
maupun di akhirat. Maka, tetap dibutuhkan komunikasi (interaksi) yang baik
dengan memberikan arahan, bimbingan dan contoh yang baik dalam keluarga.
Sebab, keluarga adalah pondasi negara.
Disinilah pentingnya setiap keluarga muslim memahami dasar-dasar
penguatan keluarga agar keluarganya tidak goyah dan rapuh (Majid Khadduri,
1978:36). Namun, tetap saja untuk membangun penguatan keluarga ini selalu
ada rival, salah satunya lemahnya komunikasi dalam keluarga sehingga karakter
moral tidak terbangun dengan baik. Padahal, dengan jelas Islam memberikan
petunjuk dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 9:

‫ﭴﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾﭿ‬


‫ﮀﮁﮂﮃ‬
Dan hendaklah takut kepada Allah, orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh
sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar (Q.S. An-Nisa’ 9).
Menurut Ibnu Katsir (2006:58) memakna ayat ini yakni hendaklah
menyimpan harta mereka untuk anak-anak dan keturunan mereka agar tidak
lemah dan terlantar. Karena itu, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan “dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Sedangkan, (Quraish Shihab, 2002: 355) memberi penjelasan ayat ini dengan
kata dan hendaklah waspada maksudnya nasib anak-anak yatim sepeninggal
mereka menjadi lemah maksudnya akan terlantar maka hendaklah bertakwa kepada
Allah mengenai urusan anak-anak sepeninggal mereka nanti dan hendaklah mereka
mengucapkan kepada orang-orang yang hendak meninggal perkataan yang benar
misalnya memberi tahu agar menyedekahkan hartanya kurang dari sepertiga dan
Pelangi Cinta di Langit LGBT 161

memberikan sepenuhnya untuk ahli waris sehingga tidak membiarkan anak-anak


dan keturnannya dalam keadaaan lemah dan menderita.
Berdasarkan kedua mufassir di atas sama-sama memberikan penekanan ayat
ini dengan kata lemah maksudnya lemah harta sehingga dikhawatirkan anak-
anaknya menjadi miskin dan nasibnya terlantar. Namun, jika dikaji lebih dalam
secara kontekstual, ayat ini sebenarnya bisa diartikan bahwa kata lemah adalah
lemah moral maksudnya dalam hal ini menjadi bagian kaum LGBT. Perilaku
ini seperti sudah diulas sebelumnya, bahwa ini adalah bentuk penyimpangan
seksual yang tidak sesuai dengan firah manusia, agama dan negara. Sementara
itu, gerakan yang terus disuarakan LGBT, menurut (Sinyo, 2014:15) adalah
gerakan ingin melegalkan perkawinan sesama jenis.
Islam memandang bahwa perilaku LGBT adalah perbuatan haram dan keji,
selain itu tindakan ini tergolong kegiatan seksual tak bermoral. Sehingga dalam
ayat ini, dapat diartikan bahwa keluarga tidak hanya mewasiatkan harta benda
saja tapi juga harus mewasiatkan ilmu pendidikan, karakter, dan moral yang
baik dan benar sesuai dengan tuntunan Alquran.
Secara tekstual, penafsiran kata dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar menurut kedua mufassir di atas merupakan sebuah
ajaran (solusi) agar tidak meninggalkan anak-anak dan keturunan dalam
keadaan yang lemah. Maksudnya dengan memberi tahu kepada orang-orang
agar kelak sebelum meninggal mereka memberikan hartanya kurang dari
sepertiga sehingga anak-anak dan keturunannya tidak miskin dan menderita.
Lebih jauh, penafsiran kata dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan
yang benar memanglah sebuah solusi agar tidak meninggalkan anak-anak dan
keturunannya lemah. Namun, jika dikaji secara kontekstual solusi ini tidak
serta merta hanya harta saja yang ditinggalkan namun juga berkaitan dengan
pengajaran bagaimana orang tua memberikan, mewarisi, dan mewasiatkan ilmu
pendidikan, karakter, dan moral yang baik kepada anak-anak dan keturunannya
melalui jalur komunikasi dalam keluarga.
Dalam rangka menanamkan nilai karakter moral dalam keluarga maka di­
perlukan usaha keras orang tua untuk mewujudkannya. Sebab masalah moral
semakin kompleks, harus segera diselesaikan dan tetap mempertimbangkan akar
permasalahannya. Oleh karena itu, untuk menghindari keturunan yang lemah
dalam hal ini lemah moral (perilaku LGBT) maka dibutuhkan pendidkan
karakter moral orang tua kepada anak-anaknya dengan cara komunikasi dalam
menanamkan nilai-nilai moral dalam keluarga. Dalam hal ini, kata qoulan
sadida (perkataan yang benar) menunjukkan harus adanya pengajaran melalui
komunikasi orang tua.
162 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Komunikasi (interaksi) yang baik antara orang tua, dan anak akan
membentuk perilaku yang terarah dan tercipta kedekatan yang harmonis dalam
keluarga. Komunikasi yang sejajar dan dua arah ini tentu akan dirasa­kan juga
oleh anak-anak sehingga mereka merasa dihargai, diperhatikan, dan dicintai
oleh orang tua. (Sven Wahlroos, 1999:3) komunikasi adalah semua perilaku
yang membawa pesan dan diterima oleh orang lain. Perilaku ini bisa verbal
dan non verbal. Untuk menanamkan karakter moral keluarga maka diperlukan
tiga komunikasi kepada anak agar tidak terjerumus pada perilaku seksual
menyimpang LGBT dan perilaku menyimpang lainnya.
Pertama, komunikasi verbal. Interaksi antara orang tua dan anak sangat­lah
dibutuhkan dalam perkembangan anak. Dengan komunikasi verbal yang baik
maka orang tua akan lebih tau bagaimana memahami, mengenali, dan membina
perilaku anak sebaik-baiknya. Keakraban yang dibangun melalui komunikasi
verbal akan mengarahkan perilaku anak menjadi positif dan tentunya sesuai
dengan ajaran Islam. Sebaliknya, jika anak jarang berkomunikasi verbal dengan
orang tuanya maka hal itu pula yang tampak pada lingkungan keluarga dan
sosial, diantaranya anak menjadi tertutup, merasa kurang dihargai, dan kurang
diperhatikan sehingga anak mencari perhatian dan pergaulan dari luar yang
akibatnya banyak terjadi tindakan amoral, dan berkembangnya perilaku seksual
menyimpang LGBT disebabkan tidak adanya komunikasi verbal yang baik
dari orang tua kepada anak. Dengan demikian, komunikasi verbal bertujuan
menciptakan keakraban melalui ucapan dan nasihat orang tua kepada anak. Jika
komunikasi verbal ini diterapkan pada setiap keluarga, maka hal tersebut akan
mencegah terjadinya perbuatan amoral dan penyimpangan seksual.
Kedua, komunikasi fisik. Dalam komunikasi keluarga, maka diperlukan juga
komunikasi fisik yang diberikan kepada orang tua dan anak. Bentuk komunikasi
ini tercermin pada perilaku yang dicontohkan orang tua kepada anaknya yang
secara sadar ataupun tidak mempengaruhi perilaku anak. Dengan demikian,
orang tua dapat memberikan efek positif dan negatif pada perkembangan anak.
Jika orang tua mencontohkan perilaku baik kepada anaknya sejak awal, maka
akan tertanam karakter moral yang baik bagi anak sejak dini, sebab menurut
(Didik Hermawan, 2002:49) meniru adalah tahap pertama perkembangan anak.
Sehingga anak tidak mencari figur di luar rumah yang bisa jadi menjerumuskan
mereka ke dalam perilaku tak bermoral atau bahkan tergabung dalam komunitas
LGBT.
Ketiga, komunikasi fikiran. Komunikasi ini terjalin jika komunikasi verbal
dan fisik telah terjalin dari orang tua kepada anak. Dalam hal ini, doktrin agama
Islam sangat dibutuhkan agar tertanam pada anak iman yang kuat sehingga
Pelangi Cinta di Langit LGBT 163

segala hal yang mengikis keimanan secara otomatis tertolak. Hal ini diperkuat
oleh (Bamuallim & Latief, 2018: 32) keluarga adalah pondasi awal pendidikan
agama, seorang anak mendapatkan sentuhan pertama kali di keluarga. Dalam
praktiknya, komunikasi verbal, fisik dan fikiran memerlukan proses batin.
(Mukhson dan Samsuri, 2013:45) proses batin secara tidak langsung akan
menampakkan interaksi afeksi dan kognisi moral yang melahirkan perilaku
moral. Dengan demikian, ketiga komunikasi ini sangat penting diterapkan
bagi setiap keluarga. Selain itu, ada hal yang direkomendasikan oleh orang tua
menurut (Ibrahim Amini, 2006:253).
“Memahami anak, berbicaralah dengan bahasa yang mereka pahami, jalinlah pondasi
hubungan internal yang kukuh, tunjukkan sikap positif terhadap anak baik lewat lisan
atau perbuatan. Tunjukkan sikap respek kepadanya, jangan membeberkan kekurangan-
kekurangannya, jangan langsung memvonis kesalahan mereka, perlakukanlah mereka
dengan penuh simpati dan cinta”.
Dengan demikian, dari Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 tadi maka dapat
dijelaskan bahwa kata lemah pada ayat tersebut tidak hanya kekhawatiran kurang
harta benda saja, melainkan juga kata lemah ini merujuk pada terjerumusnya
anak-anak dan keturunan ke perilaku menyimpang LGBT. Selain itu, kata
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar menuntut orang
tua untuk memberikan ilmu pendidikan, karakter dan moral yang baik demi
bekal keberlangsungan hidup melalui komunikasi-komunikasi dalam keluarga.
Sehingga, jika hal ini diterapkan oleh setiap orang tua maka dapat dipastikan
kaum LGBT semakin tak akan menunjukkan eksistensinya sebab hal ini sudah
tertanam dari setiap orang tua dan anak bahwa hal tersebut (perilaku LGBT)
merupakan perbuatan seksual menyimpang berlawanan dengan nilai agama,
norma dan negara.
Pada akhirnya, demi menciptakan sistem pencegahan perilaku LGBT
secara alamiah (natural) maka hal utama yang harus dilakukan adalah melalui
komunikasi dalam keluarga. Dalam keluarga diperlukan komunikasi (interaksi)
yang baik antara orang tua dan anak baik komunikasi verbal, fisik maupun
komunikasi fikiran guna mencetak generasi Qur’ani yang terhindar dari perilaku
negatif terutama perilaku amoral dan perilaku seksual menyimpang yang
dampaknya terasa di masyarakat.

Penutup
Benang kusut terjadinya penyimpangan seksual (LGBT) ini menjadi kerapuhan
negara itu sendiri. Eksistensi kaum LGBT walaupun dilawan dengan kekuatan
hukum dengan menetapkan UU dan peraturan daerah, tetap saja kaum ini
punya jawaban pamungkas yakni hal ini adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
164 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Sehingga, perlu penguatan keluarga (sebagai basis masyarakat) yang kemudian


didukung oleh kekuatan hukum untuk mengcounternya.
Dalam Alquran surat an-Nisa’ ayat 9 dijelaskan, kata lemah maksudnya,
jangan meninggalkan keturunan dalam kondisi yang terlantar, papa tiada daya
(tak berharta). Namun, kata lemah juga diartikan jangan sampai meninggalkan
keturunan dalam keadaan terlantar. Maksudnya, terlantar karna tidak punya
bekal moral dari orang tuanya sehingga anak terjerumus ke dalam perilaku
LGBT.
Pada akhir ayat, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar tidak hanya dipahami sebagai peringatan kepada orang tua untuk
menyedekahkan harta benda kepada anaknya saja, melainkan juga sebagai
bentuk peringatan (pengajaran) kepada orang tua agar menyedekahkan ilmu,
mendidik (menanamkan nilai yang baik dan benar) kepada anak-anak dan
keturunannya sehingga mereka tidak ditinggalkan orang tuanya dalam kondisi
lemah moral yang bisa terjerumus pada perilaku keji LGBT.
Dengan demikian, dalam rangka mengurai benang kusut yang terjadi di
Banten ini, perlu dibangun pendidikan moral dalam keluarga masyarakat Banten
maka dengan otomatis atau dengan sendirinya (natural) keluarga sebagai unit
terkecil masyarakat dapat mengcounter perilaku LGBT dengan menerapkan
sistem komunikasi verbal, fisik dan komunikasi fikiran untuk menanamkan
moral yang baik dan benar kepada anak. Komunikasi verbal, meliputi apa
saja yang orang tua ucapkan kepada anak, perhatian orang tua dalam bentuk
ucapan, dan nasihat-nasihat moral lainnya. Sedangkan, komunikasi fisik
dilakukan dengan bagaimana perilaku fisik orang tua mencontohkan hal yang
baik untuk anaknya. Terakhir, komunikasi fikiran, hal ini dapat diberikan orang
tua melalui ajaran-ajaran agama yang ditanamkan kepada anak-anak sehingga
tidak terjerumus pada perilaku menyimpang. Oleh karena itu, karakter moral
yang dilakukan dengan komunikasi di keluarga menjadi solusi yang responsif
dalam pencegahan perilaku LGBT di provinsi Banten tercinta ini.

Pustaka Acuan:
Buku:
Ad-Dimasqi Al Imam Abu al Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 5.
Terj. Bahrun Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006
Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Kemenag RI, 2010
Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Al-Huda, 2006
Bamualim, Latief, dkk, Kaum Muda Muslim Milenial cet. 1, Tangerang Selatan:
Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2018
Pelangi Cinta di Langit LGBT 165

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1988
Hermawan, Didik, Suggestive Parenting, Membangun Komunikasi Positif Pada Anak
Dengan Teknik Hypno-NLP, Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 2002
Enjang dan Tajiri, Etika Dakwah, Bandung: Widya Padjajaran, 2009
Faller, C, Kathleen, Child Sexual Abuse, terj Kristi Poerwandri, Jakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia Press, 2014
Muchson dan Samsuri, Dasar-dasar Pendidikan Moral, Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013
Musfah, Jejen, Indeks Alquran Praktis, Bandung: Mizan, 2001
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2000
Santoso, Agus, Hukum, Moral, dan Keadaan, Jakarta: Kencana, 2012
Sudirman, Rahmat, Kontruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial, Yogyakarta:
Media Pressindo, 1999
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Vol. 2,
cet. VIII. Jakarta, Lentera Hati, 2007
Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1999
Sinyo, Anakku Bertanya Tentang LGBT, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2014
Solikhin, Ternyata Menikah Itu Asyik, Yogyakarta: Cakrawala, 2010
Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
Wahlroos, Sven, Komunikasi Keluarga, Jakarta: Gunung Mulia, 1999
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Malang: Gelora Asmara Pratama, 1987

Internet:
WWW.BPSBanten.go.id
WWW.KPABanten.go.id

Jurnal:
Khadduri, Majid, “Marriage in Islamic Law: the Modernists Viewpoints” dalam The
American Journal of Comparative Law no 26, 1978.
Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk
Menata Kembali Moralitas Bangsa
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.16

Pendahuluan
Hal pertama yang paling menarik dilakukan Presiden ke-7 Joko Widodo setelah
dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia dan serah terima jabatan adalah
melaqkukan video confrence dengan sejumlah masyarakat diberbagai daerah
(delapan daerah). Dalam video confrence, Presiden menekankan perlunya revolusi
mental dalam berbagai bidang kehidupan (E. Mulyasa, 2015, iii-iv).
Munculnya gagasan revolusi mental ini dilandasi oleh kenyataan bahwa
bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis moral dalam berbagai aspek,
mulai dari aspek politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Adapun krisis moral
yang dialami bangsa Indonesia saat ini antara lain, menghalalkan segala cara
dalam mencapai tujuan, berkembangnya kekerasan, praktik korupsi yang
semakin meluas, penyalahgunaan narkoba, pornografi dan pornoaksi, dan lain-
lain.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka
penulis tertarik membuat makalah dengan judul “Revolusi Mental sebagai
Upaya untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa” .Adapun rumusan masalah
yang dapat diambil adalah sebagai berikut: Bagaimana wawasan Alquran tentang

167
168 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

revolusi mental? Bagaimana moralitas bangsa Indonesia saat ini?, dan Bagaimana
solusi Alquran untuk mengatasi masalah dekadensi moral bangsa?

Wawasan Alquran Tentang Revolusi Mental


Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih untuh tentang definisi dan makna
revolusi mental perspektif Alquran, maka terlebih dahulu dijelaskan pengertian
revolusi mental secara umum. Revolusi mental terdiri dari dua kata, yaitu
revolusi dan mental. Revolusi berarti perubahan yang cukup mendasar dalam
suatu bidang (KBBI, 2002, 954). Sedangkan kata mental berarti bathin, watak,
atau karakter. Secara sederhana, revolusi mental adalah perubahan yang cukup
mendasar dalam hal yang menyangkut bathin, watak, atau karakter dan bukan
bersifat fisik atau tenaga.
Dalam Alquran, secara khusus tidak ditemukan ayat yang berbicara tentang
revolusi mental, akan tetapi banyak ayat Alquran yang berbicara tentang
perubahan masyarakat seperti dalam firman Allah Q.S. Al-Anfal ayat 53:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ‬
‫ﭢﭣﭤ‬
Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat
yang gtelah diberikan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah apa
ayang ada pada diri mereka sendiri (Q.s. Al-Anfal : 53).
Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa Allah tidak akan mengubah nikmat yang
telah dikaruniakan kepada seseorang, melainkan karena dosa yang dilakukannya,
seperti dalam firman-Nya Q.S. Ar-Ra’d ayat 11:

‫ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu
sendiri yang mengubahnya (Q.S. Ar-Ra’d : 11).
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku.
Pertama, perubahan masyarakat yang pelakuknya adalah Allah S.W.T., dan
kedua, perub ahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia.
Agaknya, yang perlu mendapat pembahasan disini adalah pelaku kedua, yaitu
manusia. Perlu ditekankan bahwa uraian Alquran tentang diri manusia disini
bukannya bentuk lahiriahnya, tetapi kepribadiannya atau manusia dalam
totalitasnya (Shihab, 1994, 246-247).
Munzir Hitami (2009, 48-49) menjelaskan, ayat tersebut adalah bahwa
Allah tidak akan mengubah sesuatu (nikmat) yang ada suatu kaum sehingga
kaum itu mengubah sesuatu (mental, sikap) yang ada pada diri mereka.
Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 169

Dari redaksi ayat tersebut yang menggunakan term qawm dan kata ganti
plural (waw) pada kata kerja hatta yughayyiru dapat dijadikan isyarat bahwa
yang ditekankan adalah keterlibatan manusia dalam perubahan pada tingkat
komunitas kolektif.

Moralitas Bangsa Indonesia Saat Ini


Moralitas bangsa sangat berperan dalam mencapai tujuan suatu bangsa. Di era
globalisasi dewasa ini, kehidupan moral mendapatkan tantangan eksternal dan
internal. Tantangan eksternal berupa banyaknya ideologi dan nilai-nilai sosial
budaya dari luar yang dapat mempengaruhi kepribadian bangsa Indonesia.
Tantangan internal berupa pudarnya nilai-nilai lama dan belum mapannya
nilai-nilai baru. Situasi demikian membuat hilangnya pegangan hidup bersama
atau sering disebut krisis moral. Dampak lebih jauh dari krisis moral ini adalah
terjadinya krisis dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,
seperti dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan politik
(Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 73).
Moral berarti concerned with principles of right and wrong behaviour, or
standard of behaviour sesuatu yang menyangkut prinsip benar dan salah dari
suatu perilaku dan menjadi standar perilaku manusia (Crowther, terj. Januri dan
Alfan, 2011: 57). Dalam bahasa latin, moral berasal dari kata moralis (kata dasar
mos, moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara dan tingkah laku (Januri
dan Alfan, 2011: 57). Dalam bahasa arab, moral berasal dari kata khuluq,
jamaknya adalah akhlaq yang berarti budi pekerti, pekerti bathin, tingkah laku
(Hakim, 2004: 170).
Dari berbagai definisi di atas, tampak jelas bahwa moral merupakan
prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai
standarisasi baik-buruk, benar-salah, serta sesuatu yang bermoral atau tidak
bermoral (Januri dan Alfan, 2011: 57).
Pertanyaannya, bagaimanakah moralitas bangsa Indonesia saat ini? Bangsa
Indonesia yang notabene bangsa dengan penduduk musli terbesar di dunia
yang seharusnya mencerminkan Islam sebagai pedoman dalam bertindak
dan berperilaku, akan tetapi fakta yang terjadi dilapangan adalah sebaliknya.
Indonesia kini sedang dilanda krisis moral dalam berbagai aspek kehidupan,
mulai dari aspek ekonomi, politik, sosial-budaya, keamanan, dan sebagainya.
Hal itu nampak antara lain dalam gejala-gejala berikut:
170 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan


Demi mencapai tujuan pribadi atau kelompok, para elite politik sering mengguna­
kan cara-cara yang bertentangan dengan moral. Akibatnya, kepentingan dan
hak-hak orang banyak menjadi terabaikan. Hal ini ber­dampak pada kurangnya
kepercayaan masyarakat kepada para pemimpinnya. Rakyat merasa hanya
diperhatikan ketika dibutuhkan dalam pemilu, selebihnya rakyat merasa
ditinggalkan (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 76). Rakyat merasa muak
dengan olah para elite politik yang dalam banyak hal mengatasnamakan rakyat,
padahal sesungguhnya demi kepentingan pribadi dan golongan.

2. Berkembangnya kekerasan
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia cenderung memamerkan kekerasan. Banyak
permasalahan sosial diselesaikan dengan kekerasan dan perkelahian. Perkelahian
antar kelompok masyarakat, antar aparat keamanan, antar masyarakat dan
penegaqk hukum sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Bangsa indonesia yang semula dikenal ramah dan santun, sejak reformasi
cenderung menjadi beringas, kasar daan keras. Semuanya itu menunjukkan
bahwa nilai musyawarah yang diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia
seolah-olah tidak berlaku lagi. Budaya kekerasan disertai pengrusakan telah
menggantikan budaya musayawarah dalam menyelesaikan suatu masalah.
Tindakan kekerasan dan pengrusakan yang mengatasnamakan agamapun akhir-
akhir ini sedang terjadi (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 76-77).

3. Korupsi yang semakin meluas


Baru-baru ini, Political and Economic Rich Consultancy, sebuah lembaga penelitian
yang bermarkas di Hongkong, dan Transparancy Global Index, sebuah lembaga
penelitian yang beralamat di Jerman melaporkan, bahwa Indonesia merupakan
negara terkorup pertama di Asia dan negara terkorup ketiga di dunia.
Kita perhatikan, praktik korupsi di Indonesia saat ini telah memasuki tahap
yang sangat mengkhawatirkan, ia telah melanda seluruh lapisan pemerintahan,
mulai dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Demikian pula halnya
pada semua lapisan masyarakat. Pendek kata, praktik korupsi telah mensistem
di negeri ini, telah mengakar, bahkan dengan meminjam istilah Bill Dalton,
pengarang buku Indonesia Hand Book yang dilarang beredar di Indonesia,
bahwa korupsi telah menjadi cara hidup sehari-hari. Semua institusi, termasuk
lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi seperti Badasn Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantassan Korupsi (KPK) juga melakukan
praktik korupsi (Herdiansyah dan Syarbini 2016: 51).
Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 171

4. Penyalahgunaan narkoba
Kini, ditengah-tengah masyarakat kita, penyalahgunaan narkoba merupakan
salah satu bentuk dekadensi moral yang sedang mewabah dan menggejala. Badan
Narkotika Nasional (BNN) melaporkan, dulu Indonesia merupakan distribution
zone, daerah penyebaran narkoba. Namun kini, Indonesia merupakan production
zone, daerah pembuat narkoba. Sehingga 3,8 juta lebih penduduk Indonesia
terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Dan yang lebih memprihatinkan
ternyata pemakai narkoba tersebut 80% adalah generasi muda (Herdiansyah
dan Syarbini, 2016: 45).

5. Pornografi dan pornoaksi


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), pornografi adalah segala
bentuk tulisan atau gambar yang sengaja dirancang untuk merangsang gairah
seksual seseorang. Sedangkan pornoaksi adalah segala bentuk gerak atau
aksi yang dilakukan oleh seseorang, baik laki-laki atau perempuan dan bisa
membangkitkan birahi seksual manusia .
Melihat pengertian tersebut, muncul pertanyaan, bagaimanakah praktik
pornografi dan pornoaksi di Indonesia? Secara jujur, kita tidak mungkin
menutup mata, bahwa saat ini marak dan merebak bentuk-bentuk pornografi
dan pornoaksi ditengah-tengah masyarakat. Kita saksikan, tidak sedikit iklan-
iklan yang menawrkan keindahan tubuh perempuan, tidak sedikit majalah-
majalah yang mengeksploitasi kemolekan tubuh wanita, tidak sedikit VCD-
VCD dan situs-situs porno buatan Indonesia (Herdeiansyah dan Syarbini,
2016: 9).
Sarlito Wirawan, guru besar psikologi Universitas Indonesia, dengan jujur
melaporkan hasil penelitiannya tentang kejahatan seksual para remaja, pelajar
dan mahasiswa di kota-kota besar, ternyata dari 1.000 responden hasilnya adalah
67% pernah berpacaran, 62% pernah berpelukan, 54% pernah berciuman,
38% pernah raba-rabaan, 20,05% pernah berhubungan badan, bahkan 9,56%
pernah menggugurkan kandungan (Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 15).

Upaya-upaya Mengatasi Masalah Dekadensi Moral


Krisis moral bangsa Indonesia tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Bangsa
indonesia harus bangkit memperbaiki diri guna mencapai tujuannya. Alquran
dapat menjadi pedoman dalam menegakkan nilai-nilai moral bangsa. Hal-hal
yang dapat dilakukan untuk memperbaiki moral bangsa antara lain:
172 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Membiasakan perilaku mengedepankan kepentingan orang lain


Mengedepankan kepentingan orang lain dalam Islam disebut itsar. Perilaku
ini merupakan ajaran Islam yang paling mulia. Rasulullah bersabda: “Tidaklah
beriman seseorang diantaramu, hingga ia mencintai sudaranya, seprti ia mencintai
dirinya sendiri”.
Perilaku mengedepankan kepentingan orang lain juga disinggung dalam
firman Allah yang menceritakan kepedulian dan kasih sayang kaum anshor
terhadap kaum muhajirin. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hasyr ayat 9:

‫ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ‬
‫ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽﯾ ﯿ ﰀ ﰁ‬
‫ﰂﰃﰄﰅﰆ‬
Dan orang-orang (Anshor) yang telah menempati mota Madinah dan telah beriman
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke
tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa
yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin)
atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya
dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Al-Hasyr : 9).
Ayat ini menurut penafsiran Al-Maraghi, bahwa kaum Anshor men­
cintai orang-orang Muhajirin dan menginginkan kebaikan untuk orang-orang
Muhajirin itu sebagaimana halnya mereka menginginkan kebaikan untuk diri
mereka sendiri. Mereka tidak menginginkan sedikitpun dari harta fa’i (rampasan
perang) dan lain-lain yang diberikan kepada orang-orang Muhajirin. Mereka
mendahulukan orang-orang yang membutuhkan di atas diri mereka sendiri
dan memulai dengan orang lain sebelum diri mereka sendiri (Al-Maraghi, terj.
Bahrun, dkk, 1993: 67-68).

2. Keteladanan pemimpin
Mengingat bangsa Indonesia masih bersifat paternalistik, maka keteladanan
para pemimpin sangat dibutuhkan. Upaya perbaikan moral harus dimulai para
pemimpin, baik pemimpin formal (pemimpin negara) maun informal (tokoh
masyarakat dan pemuka agama). Para pemimpin dituntuk untuk memiliki
integritas moral yang tinggi. Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Integritas
moral tersebut berkaitan dengan kepercayaan masyarakat kepada mereka yang
memimpin (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 79). Apabila para pemimpin
itu rusak, maka rusaklah umat atau bangsa itu, dan jika mereka baik maka umat
dan bangsa itu baik juga (Al-Ghalayain, terj. An-Nadwi, 2010: 151).
Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 173

Rasulullah merupakan figur pemimpin yang harus diteladani, karena dalam


diri beliau terdapat uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Allah berfirman
dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 21:

‫ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵﯶ ﯷﯸﯹ ﯺ ﯻ ﯼﯽ ﯾ‬
‫ﯿ ﰀ‬
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.
(Q.S. Al-Ahzab : 21).
Ayat tersebut, menurut penafsiran Imam Ali Ash-Shabuny dalam kitab
Showatut Tafaasir adalah, bahwa Rasulullah merupakan figur yang luhur yang
wajib kita ikuti seluruh perbuatan dan perkataannya. Sedangkan makna uswatun
hasanah menurut Al-Maraghi adalah, bahwa Rasulullah merupakan contoh
terbaik dalam semua perkataan, perbuatan dan seluruh aspek kehidupannya
(Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 20-21). Sejalan dan sejalin dengan maksud
ayat tersebut, Siti Aisyah ketika ditanya bagaimana gambaran akhlak Rasulullah,
beliau menjawab, “akhlak Rasulullah adalah ibarat Alquran” (Ibnu Katsir, terj.
Bahreisy, 1993: 180).

3. Pemahaman dan penghayatan agama dengan benar


Tidak bisa disangkal, agama berkorelasi erat dengan moral. Setiap agama
mengandung ajaran moral yang dijadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada
umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral
yang baik pula. Meskipun moralitas tidak selalu berhubungan dengan agama,
merosotnya moralitas bangsa bisa dilihat sebagai rendahnya penghayatan dan
pemahaman agama di Indonesia (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 81).
Ayat Alquran yang berbicara tentang perlunya pemahaman dan peng­
hayatan agama dengan benar adalah Q.S. Luqman ayat 17:

‫ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯﯰ ﯱ ﯲ ﯳ‬
‫ﯴﯵ ﯶ‬
Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah)” (Q.S. Luqman: 17).
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, bahwa ayat tersebut
merupakan inti ajaran Luqmanul Hakim yang ditanamkan kepada anaknya
sebegai generasi penerus. Lalu, bagaimana konketstualisasi ayat tersebut jika
kita kaitkan dengan upaya menata kembali moralitas bangsa? Ayat tersebut
174 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

mendeskripsikan bahwa untuk menata kembali moralitas bangsa, hal yang harus
dilakukan adalah menanamkan pendidikan agama kepada anak-anak, remaja
dan pemuda sejak dini. Karena kita ketahui, bukankan dengan pemahaman
agama yang mendalam generasi muda akan memiliki moralitas yang baik
(Herdiansyah dan Syarbini, 2016: 47-48).

4. Pendidikan moral dan budi pekerti


Pendidikan nasional Indonesia dewasa ini menerapkan pola link and match.
Dengan sistem ini, para siswa diharapkan dapat menguasai teknologi dan
langsung bisa menerapkannya dalam dunia kerja. Namun, padatnya mata
pelajaran dan adanya ujian nasional, sekolah terasa bagaikan mesin pencetak
lulusan. Proses mendidik manusia menjadi manusia (humanisasi) sering
terabaikan. Nilai-nilai budi pekerti dan moralitas tidak diberi tempat lagi
disekolah (Sumodiningrat dan Wulandari, 2015: 81).
Oleh karena itu, mengingat betapa pentingnya moralitas dalam mem­
bangun bangsa, maka perlunya menjadikan pendidikan moral dan budi pekerti
sebagai kurikulum nasional dan menjadi pelajaran wajib di sekolah.

Penutup
Revolusi mental merupakan sebuah perubahan dalam bidang menyangkut
batin, watak atau kepribadian dan bukan bersifat fisik atau tenaga. Muncul­nya
gagasan revolusi mental ini karena melihat bangsa Indonesia saat ini sedang
mengalami krisis moral dalam berbagai aspek kehidupan, mulai aspek ekonomi,
politik, sosial-budaya, keamanan, dan sebagainya.
Oleh karena itulah, Islam datang dengan membawa sebuah solusi untuk
menata moralitas bangsa Indonesia. Adapaun solusi yang ditawarkan Islam
antara lain, membiasakan perilaku mengedepankan kepentingan orang lain,
keteladanan pemimpin, pemahaman dan penghayatan agama dengan benar serta
menjadikan pendidikan moral dan budi pekerti sebagai kurikulum nasional dan
mata pelajaran wajib di sekolah.
Dengan demikian, jika hal-hal tersebut diaplikasikan, maka moralitas bangsa
Indonesia akan membaik. Jika moralitas bangsanya baik, maka bangsa Indonesia
akan mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarakter serta menjadi bangsa
yang baldatun, thoyyibatun, warobbun ghofuur, bangsa yang aman, nyaman,
tentram, damai dan sejahtera dibawah naungan Allah S.W.T.. Aamiin.
Revolusi Mental Sebagai Upaya Untuk Menata Kembali Moralitas Bangsa 175

Pustaka Acuan:
Alquran dan Terjemahannya
Abu Alfida Ibnu Katsir. 1994. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8. Terjemahan oleh Salim
Bahreisy dan Said Bahreisy. Surabaya: Bina Ilmu.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1974. Tafsir Al-Maraghi Juz 28. Terjemahan
oleh Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly dan K. Anshori Umar Sitanggal.
Semarang: CV. Toha Putra.
Dindin Herdiansyah dan Amirullah Syarbini. 2016. Panduan dan Contoh-contoh
Musabaqah Syarh Alquran. Serang: LPTQ Provinsi Banten.
E. Mulyasa. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari. 2015. Revolusi Mental Pembentukan


Karakter Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Muhammad Quraish Shihab. 1994. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Muhammad Fauzan Januri dan Muhammad Alfan. 2011. Dialog Pemikiran
Timur-Barat. Bandung: Pustaka Setia.
Musthafa Al-Ghalayain. Idhotun Nasyi’in. Terjemahan oleh Fadlil Said An-
Nadwi. Surabaya: Al-Hidayah.
Taufiqul Hakim. 2004. Kamus At-Taufiq. Jepara: Pondok Pesantren Daar al-
Falah.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis:
Upaya Mengatasi Permasalahan
Lingkungan
Penulis: Ahmad Hamdani

Pendahuluan
Begitu banyak permasalahan di negeri ini yang bersumber dari buruknya
mental. Diskursus seputar revolusi mental pun telah menjadi perbincangan yang
menyita perhatian banyak kalangan. Menurut Juwaini (2014: 173-174), hal
ini disebabkan oleh dilema kerja saat ini yang berkembang semakin kompleks,
bukan hanya seputar proses manajemen dan teknologi produksi serta perluasan
pasar, tetapi juga tentang karisma moral dan kekuatan spiritual. Menariknya
kondisi ini berlaku pada semua sektor kehidupan, termasuk isu-isu lingkungan.
Lingkunagn (environment), merupakan salah satu isu penting yang dihadapi
manusia sejak awal kehidupannya hingga menjadi isu global saat ini. Seperti terlihat
pada Resolusi Stockholm tahun 1972, dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
membentuk badan yang khusus membidangi permasalahan lingkungan bernama
United Nations Environmental Programs (UNEP). Akan tetapi menurut Saifullah
(2007: 1), satu setengah daSaw.arsa setalah dicetuskannya resolusi tersebut, Komisi
Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB dalam laporannya
yang bertajuk Common Future, mengidentifikasi sejumlah gejala yang mengancam
eksistensi bumi. Di antara yang sangat mengkhawatirkan adalah, rusaknya lapisan

177
178 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

ozon, pemanasan global, hujan asam, dan pencemaran air laut oleh bahan berbahya
dan beracun (B3).
Bahkan, di Indonesia dewasa ini permasalahan lingkungan tetap saja
mengemuka. Berdasarkan data Rencana Strategis Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), disebutkan bahwa Indonesia terus mengalami
peningkatan pencemaran udara, penurunan kualitas air, masalah hutan dan
lahan, hingga ancaman punahnya keanekaragaman hayati (Restra KLHK, 2015:
4-5). Pelbagai gejala tersebut kemudian menderivat menjadi bencana nasional,
seperti pada tahun 2017 terjadi banjir Sumbawa dan Jakarta, kekeringan di
Pulau Jawa, gempa bumi di Tasikmalaya dan Banten, kebakaran hutan di Riau,
hingga deforestasi dan degradasi hutan yang selalu terjadi di Pulau Sumatera
dan Kalimantan. Seolah tidak berkesudahan, berdasarkan informasi dalam situs
www.nasional.kompas.com, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
mencatat ada 2.271 bencana yang terjadi di Indonesia sejak awal hingga akhir
tahun 2017.
Banyaknya permasalahan lingkungan yang terjadi secara dominan dan signifikan
tersebut, apabila dilihat secara seksama, sebenarnya berakar pada perilaku eksploitatif
dan konsumtif manusia yang berparadigma antroposentris dengan menempatkan
manusia sebagai centre of the universe. Manusia semakin terobsesi mengejar kepuasan
material, tetapi mengorbankan lingkungan. Bahkan demi mengejar kepentingan
tersebut, terkadang seseorang tidak lagi merasakan beban moral dan mengabaikan
etika lingkungan. Disinilah pentingnya revolusi mental berwawasan ekologis diletekan
dalam sendi-sendi kehidupan. Hal ini sesuai dengan semangat ajaran Islam, bahwa
umatnya perlu merestorasi diri dengan semangat menjaga alam sepanjang hayat,
sebagaimana termaktub dalam Q.s. Al-A’raf [7]: 56-58.
Tulisan ini akan memaparkan revolusi mental berwawasan ekologis
sebagai upaya mengatasi permasalahan lingkungan, dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimanakah Alquran memandang per­masalahan
lingkungan? Bagaimanakah konsep revolusi mental berwawasan ekologis?
Selanjutnya, bagaimanakah cara membumikan revolusi mental berwawasan
ekologis? Ketiga pertanyaan tersebut akan memberikan jawaban terhadap
permasalahan lingkungan yang terjadi, dengan harapan akan ter­cipta pemahaman
yang bijak untuk merevolusi mental agar bumi tetap lestari. Semoga tulisan ini
bisa menjadi ‘oase’ dalam meneguhkan diri menjaga lingkungan.

Telaah Permasalahan Lingkungan Perspektif Alquran


Bahaya terbesar bagi umat manusia di masa depan adalah rusaknya lingkungan
hidup yang sangat cepat. Peringatan ini menunjukan tentang gagalnya upaya
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 179

konservasi alam dalam mengimbangi cepatnya gerakan eksploitasi sumberdaya


alam yang didudukung oleh pelbagai peralatan mutakhir hasil rekayasa ilmu dan
teknologi modern (Zuhdi, 2012: 147). Peringatan ini juga mengajak manusia
untuk sejenak merenungkan pengaruh kehidupan bagi alam.
Sejak 1950-an masalah lingkungan mendapat perhatian serius, tidak saja
dari kalangan ilmuan, tetapi juga politisi dan masyarakat umum (Saifullah,
2007: 1). Selain itu, pada tahun 2009 tokoh-tokoh agama di dunia
berkomitmen mengadakan aksi masing-masing institusi dan umat beragama
dalam menanggulangi masalah lingkungan (Fachruddin, 2007: 1). Numun,
perbincangan tentang masalah lingkungan seolah tidak ada hentinya. Bumi
semakin panas. Ini bukan judul film, tetapi gejala nyata yang dirasakan dunia
saat ini. Suhu rata-rata udara di permukaan bumi yang pada abad lalu meningkat
0,750C, dalam 50 tahun terakhir ini naiknya berlipat ganda. Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) PPB, memproyeksikan bahwa tahun 2100
suhu rata-rata dunia cenderung meningkat dari 1,8 0C manjadi 40C—dan
skenario terburuk bisa mencapai 6,40C—. (Said, 2011: 2). Padahal menurut
Takdir (2014: 3-6), terjadinya permasalahan lingkungan ini akan memberikan
dampak serius, seperti timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap
kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan
terganggunya sistem alami (nature’s system).
Uraian di atas menjelasakan bahwa banyaknya bencana alam yang terjadi
tidak hanya kerana takdir ilahi, tetapi lebih banyak disebabkan hukum
kesimbangan alam yang tidak terjaga. Senada dengan ungkapan Arif, bahwa
krisis lingkungan yang terjadi saat ini bersumber pada kesalahan fundamentalis-
filosofis pada cara pandang manusia terhadap dirinya dan alam (2010: 262).
Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﯾ ﯿﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ‬
‫ﰋﰌﰍ‬
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.s. Al-Rum [30]: 41) (Mushaf
Al-Bantani, 2014: 408).
Ayat di atas dalam Tafsir Al-Maraghi dijelaskan, bahwa orang-orang musyrik
yang menyekutukan Allah S.w.t. merupakan penyebab kerusakan, sebagaimana
termaktub dalam Q.s. Al-Anbiya ayat 22. “Sekiranya ada di langit dan di bumi
Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”. Ayat di atas
juga menginformasikan, bahwa manusia telah melanggar larangan-larangan Allah
180 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

S.w.t. sehingga tersebarlah di antara mereka kezaliman, ketamakan, termasuk di


dalamnya orang-orang kuat mengambil harta orang-orang lemah. Maka kemudian
Allah S.w.t. menimpakan kepada manusia azab. (Al-Maraghi, 1946: 54).
Selain itu, Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan ayat
di atas dengan ungkapan, bahwa munculnya kekacauan, penyimpangan di
setiap penjuru alam, banyak kerusakan, sedikit manfaat, kurang tumbuhan,
sedikit hujan, kekeringan dan paceklik, disebabkan karena manusia dan dosa
mereka. Allah S.w.t. menjadikan itu semua sebagai balasan sebagaian perbuatan
dan perilaku manusia atas kemaksiatan dan dosa-dosa. (Zuhaili, 2006: 108).
Pernyataan tersebut senada dengan ungkapan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa
permasalahan lingkungan di bumi disebabkan oleh kemaksiatan. (Abdullah,
2008: 380).
Sebenarnya Allah S.w.t. telah memberikan peringatan untuk tidak berbuat
kerusakan di muka bumi. Peringatan ini dipertegas melalui firman Allah S.w.t.
berikut:

‫ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ‬
‫ﯢﯣ‬
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setalah (diciptakan) dengan baik.
Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguh­nya rahmat
Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan (Q.s. Al-a’raf [7]: 56) (Mushaf
Al-Bantani, 2014: 157).
M. Quraish Shihab (2007: 123), menjelasakan bahwa ayat di atas melarang
perusakan bumi karena merupakan bentuk pelampauan batas. Oleh karena itu, ayat
di atas melanjutkan tunutuan ayat yang lalu dengan menyatakan, “Dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya,
dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut sehingga kamu lebih khusyuk”.
Sesungguhnya rahmat Allah S.w.t. sangat dekat kepada al-muhsinin, yakni orang-
orang yang berbuat baik.

Berdasarkan pemaparan dua ayat di atas, dengan demikian tidak dapat


dipungkiri bahwa kerusakan alam, krisis ekologis, dan adanya pelbagai
bencana, secara langsung atau tidak dan secara spontan atau dalam rentang
waktu tertentu, disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Permasalahan
lingkungan yang disebabkan tingkah laku manusia tidak sebatas yang diutarakan
di dalam Alquran, tetapi juga yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat
kesalahan manusia dalam menanggapi persoalan ekologisnya. Secara spesifik
Chiras (1991: 454-460), mengklasifikasikan faktor perusak lingkungan yang
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 181

berasal dari manusia menjadi empat, yakni: perilaku manusia bermentalitas


frontier, kesulitan teknologi (tecnologcal fix), pandangan-pandangan pribadi
yang bersifat subjektif, dan masyarakat bersinergi rendah. Mentalitas frontier
ditunjukan oleh sifat-sifat berikut: skin-encaplusated ego, cavalier attitude, derived
self, biological imperialism, dll. Kesulitan teknologi yang dimaksud di sini adalah
kesulitan dalam memperoleh bahan atau teknik tertentu yang ramah lingkungan.
Pandangan-pandangan pribadi yang subjektif meliputi: apatis, mementingkan
diri sendiri, dan perasaan kurang berarti. Sedangkan masyarakat bersinergi
rendah adalah kurangnya partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam upaya
pengelolaan lingkungan.
Alam raya telah diciptakan Allah S.w.t. dalam keadaan yang sangat harmonis,
serasi, dan memenuhi kebutuhan makhluk-Nya. Sehingga, sudah selayaknya
menjaga lingkungan mendapatkan porsi besar dalam sistem kehidupan manusia.
Sebab, manusia dikaruniai kesempurnaan berpikir dan memiliki perasaann
yang dapat dikendalikan, berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia dipilih
untuk mengemban tugas merawat alam. Oleh keran itu, mental-mental perusak
lingkungan tidak semestinya ada. Apalagi bagi Indonesia sebagai negara dengan
jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Umat Islam memiliki modal untuk
menjadi pioner kemajuan karakter dan ketinggian peradaban dunia. Hal ini
karena umat Islam kental akan nilai-nilai spiritual, tidak saja untuk merevolusi
mental, tetapi juga untuk mewujudkan kembali status sebagai Khairu Ummah
(Umat Terbaik), sebagaimana termaktub dalam Q.s. Ali Imran [3]: 110.

Revolusi Mental Berwawasan Ekologis: Sebuah Paradigma


Istilah revolusi mental merupakan gabungan dari kata revolusi dan mental.
Istilah ini booming semenjak kampanye Joko Widodo dan Yusuf Kalla
sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kemudian revolusi mental ini
menjadi agenda kabinet kerja pada pemerintahan mereka. Joko Widodo
mengungkapkan:
Reformasi yang dilaksanakan di Indonesai sejak tumbangnya rezim Orde Baru
Soeharto tahun 1998, baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional.
Ia belum neyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka
pembangunan bangsa (nation building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita proklamasi Indonesia yang merdeka,
adil dan makmur, Indonesia perlu melakukan revolusi mental. (Darimis, 2015: 49).
Munculnya gagasan revolusi mental ini didasarin oleh kenyataan bahwa
bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan berkarater.
Pelbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial hingga pasca-
kolonial masih berlangsung hingga kini, mulai dari korupsi, toleransi, ingin
182 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menang sendiri, sifat oportunis, dan mengabaikan keserasian dengan lingkungan.


(Semiarto, 2015: v).
Revolusi mental berasal dari kata “revolusi” dan “mental”. Kata “revolusi”
dapat diartikan sebagai pembinaan ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan
sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata),
atau bisa juga berarti perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang.
(Hasan, 2014: 954). Adapun kata “mental” mengandung arti yang menyangkut
batin, watak, yang bukan bersifat fisik dan tenaga. (Hasan, 2014: 942). Menurut
Seto, revolusi mental adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara
yang berhubungan dengan pola pikir (mindset), sikap, dan kebaikan (akhlak)
dalam tempo singkat. (2016: 174).
Revolusi mental menurut Agustius Daniel adalah “mental revolution is
basicly ‘back to God’ movement, turned back and rely on God to change the old
person in us to new person. So, revolution the real power that will transformation
each of us into a new person is not from our own efforts and strength, but from the
power and grace of God”. (2014: 81). Secara sederhana, maksud dari ungkapan
ini adalah bahwa revolusi mental di sini adalah ‘kembali kepada Allah S.w.t.’
yang bertujuan untuk membangun peradaban baru yang lebih baik.
Secara sederhana, dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
revolusi mental merupakan sebuah gerakan ke dalam, untuk memperbaiki sikap
diri sebagai individu dan mengevaluasi sistem yang rusak. Hakikat revolusi
mental adalah proses kembali kepada Allah S.w.t. dan hidup sesuai petunjuk Allah
S.w.t. Hal ini telah dicontohkan oleh Muhammad Saw.. melalui sifat-sifatnya
yang terakumulasi dalam akhlakul karimah. Alquran telah menggambarkan ini
dalam Q.s. Al-Qalam [68]: 4, yang artinya “Dan sesungguhnya kamu benar-
benar berbudi pekerti yang agung”.
Menurut M. Quraish Shihab, dalam rangkaian ayat Alquran sesungguh­
nya tidak ditemukan sebuah terma yang persis sepadan dengan revolusi mental.
Namun demikian, ada beberapa ayat Alquran yang menggunakan terma yang
seakar katanya. Misalnya dalam Q.s. Al-Baqarah [2]: 71, Q.s. Al-Rum [30]: 9,
Q.s. Fathir [35]: 9, dan Q.s. Al-‘Adiyat [100]: 4. Lebih jauh, pada tataran nilai
Alquran secara jelas telah membawa gagasan-gagasan revolusi, baik revolusi mental-
spiritual maupun revolusi sosial. Bahkan, sejak awal Alquran memperkenalkan
dirinya sebagai kitab suci yang fungsi utamanya mendorong lahirnya perubahan-
perubahan positif dalam masyarakat. (Saifuddin, 2016: 58-59).
Secara sederhana, apiknya konsep revolusi mental jika dipadukan dengan
wawasan ekologis dapat menjadi sebuah solusi nyata dalam me­ngatasi
permasalahan lingkungan saat ini. Keterpaduan ini senada dengan peran dasar
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 183

manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana dalam Tafsir Alquran Tematik


disebutkan, bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang didelegasikan Allah
S.w.t. bukan hanya sekadar penguasa di bumi, tetapi juga peranannya untuk
memakmurkan bumi. Selain itu, digulirkannyan revolusi mental berwawasan
ekologis merupakan perwujudan dari semangat menjaga lingkungan agar bisa
diwariskan kepada generasi mendatang. Hal ini senada dengan kaidah ushul
fiqh berikut ini:
Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan. (Sugianto,
2014: 9).
Islam memiliki misi universal yaitu memberikan rahmat untuk semesta
alam (rahmatan li al-‘alamin) (Q.s. Al-Anbiya [21]: 107). Oleh karena itu,
Islam memberikan pandangan sistematis tentang Tuhan, manusia, dan alam.
Tema pokok Alquran (major theme of the Quran) berkisar pada tiga persoalan itu
dengan segala dialektika hubungan antara ketiganya (Rahmat dalm Fajar, 2008:
180). Dengan demikian, tidak salah jika dikatakan bahwa Islam mengandung
kerangka dasar etika ekologi yang relevan. Persoalannya kini terletak pada
seberapa jauh kreativitas intelektual umat Islam dalam mengelaborasi lebih
dalam dan serius suatu kajian etik yang universal, serta memadukannya dalam
persoalan yang lebih operasional agar pesan Islam tidak terhenti di langit yang
suci.
Ekologis sendiri berasal dari kata ekologi. Menurut Molles, ekologi
merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. (2016: 11). Makna ekologis di sini adalah sebuah gerakan yang
menyoroti tentang hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Konsep
lingkungan (ecologies) dalam kajian ilmu ekologi pada litelatur agama Islam
diperkenalkan dalam Alquran dengan beragam istilah, seperti al-‘alamin dan
ardun. Akan tetapi, dalam tulisan ini hanya dikaji tentang istilah yang terakhir
saja, yaitu terma ardun yang bermakna bumi dimana terdiri dari darat dan laut.
Kata ardun memiliki duan variasi makna; pertama, bermakna lingkungan
yang sudah ada di planet bumi. Kedua, bermakna lingkungan yang masih
mengalami proses penciptaan dan kejadian di planet bumi. (Fajar, 2008: 181).
Berdasarkan dua makna ini, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah, kata
ardun yang berkonotasi bumi sebagai lingkungan yang sudah jadi. Hal ini
untuk memudahkan mempertegas perumusan konsep lingkungan bumi dalam
ekologi.
Contoh ayat ekologis yang menggunakan kata ardun dengan pelbagai
konotasinya dalam Alquran. Salah satu contohnya adalah ayat Alquran yang
berkonotasi daur ulang dalam ekosistem bumi. Allah S.w.t. berfirman:
184 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﯧﯨﯩﯪﯫﯬ ﯭﯮﯯﯰﯱﯲ‬
‫ﯳﯴﯵ‬
…dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah. (Q.s. Al-Hajj; [22]: 5). (Mushaf Al-Bantani, 2014: 332).
Berdasarkan makna semantik kata ardun dalam ayat Alquran di atas,
terdapat indikasi kuat bahwa kata ardun tersebut dalam Alquran dijadikan
sebagai salah satu terma guna memperkenalkan istilah lingkungan dalam disiplin
ilmu ekologi. Ayat di atas juga memeberikan pesan, bahwa tidak ada satu pun
di muka bumi ini yang berdiri sendiri. Semuanya saling bergantung dan saling
membutuhkan. Inilah letiak urgensi menjaga lingkungan agar bisa memberikan
manfaat berkelanjutan.
Ironisnya, penyempitan wacana lingkungan dalam ekologi terapan dewasa
ini melahirkan suatu kenyataan, bahwa titik fokus kajian per­masalahan
lingkungan selalu didasarkan pada keuntungan bagi kepentingan manusia, bukan
keuntungan bagi lingkungan itu sendiri, atau keuntungan pahala yang didapat
dari Tuhan. Akibatnya, permasalahan lingkungan ditelantarkan, diacuhkan,
bahkan dikesampingkan. Sehingga, ekologi akan memunculkan wajah arogan,
bukan ekologi santun yang untuh dan menjunjung nilai-nilai humanis. Kondisi
ini menjadi pemicu terjadinya pelbagai permasalahan lingkungan di bumi
tercinta.
Pondasi yang harus dipersiapkan dalam revolusi mental adalah ajaran
agama Allah S.w.t. secara utuh, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Ketiga asas
tersebut merupakan integrasi ajaran Islam yang meliputi kelimuan syariat, adab,
kelembutan, ibadah zahiriyah dan ibadah batiniyah. (Ajat, 2018: 6-7). Pondasi
selanjutnya dalam mewujudkan revolusi mental yang bernilai ialah, perubahan
ke dalam jiwa individu pada beberapa dimensi: pertama, perubahan fitrah
fisik disebut fitrah jismiyah (jasadiyah); kedua, perubahan fitrah psikis (fitrah
ruhaniyah), dan; ketiga, perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah), yang
meliputi akal, qalb (hati), dan nafs. (Abdul, 1999: 39). Unsur-unsur inilah yang
kemudian membentuk mental seseorang menjadi sebuah tindakan yang baik.
Melalui revolusi mental inilah seharusnya pemerintah membangun ke­
pribadian bangsa. Sebagaimana Islam dengan totalitas ajarannya, me­nawarkan
konsep pembinaan mental yang tidak sekadar membina perkara yang dainggap
sepele, tetapi juga mengatur urusan yang berkenaan dengan manusia terhadap
tuhannya, dirinya, masyarakat sekitar, dan dengan lingkungannya. Revolusi
mental berwawasan ekologis ini dimulai dari komponen inti manusia, yaitu akal,
hati, dan jiwa. Ketika ketiga unsur ini baik maka baik pula kepribadian manusia,
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 185

begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, pemahaman ini harus dibumikan agar
lingkungan bisa diwariskan untuk generasi mendatang.

Menggagas Solusi: Membumikan Revolusi Mental Berwawasan Ekologis


Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan sia-sia jika berhenti hanya pada
tataran konsep atau sekadar inspirasi dokumentasi. Sebab, revolusi mental
berwawasan ekologis adalah gerakan nyata yang menjadi sumber kekuatan dalam
menyikapi permasalahan lingkungan. Sehingga, untuk mengimplementasikan
revolusi mental berwawasan ekologis, setidaknya ada beberapa cara yang bisa
dilakukan.
Pertama, kontekstualisasi peran manusia sebagai khalifah. Pendekatan ini
sangat mungkin dilakukan, mengingat bahwa Indonesia merupakan Negara
dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tafsir Alquran Tematik (2009: 11)
menyebutkan, bahwa peran manusia sebagai khalifah sejatinya adalah makhluk
yang didelegasikan untuk mekmurkan bumi. Kontekstualisasi peran manusia
bisa dijadikan pijakan dalam memelihara lingkungan. Paradigma antroposentrik
yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam harus segera digeser, bahkan
diubah sama sekali menuju paradigm yang menekankan manusia sebagai bagian
dari alam.
Kedua, Indonesia harus memiliki Environmental Data Base. Environmental
Data Base adalah sebuah langkah menghimpun data-data yang berhubungan
dengan kondisi lingkungan. Selain itu, Environmental Data Base merupakan
modal dasar untuk memetakan kebijakan dalam mengatasi dan menyikapim isu-
isu lingkungan. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan akan lebih me­nyentuh akar
permasalahan, karena produk kebijakan disesuaikan dengan kondisi lingkungan
dan masyarajat setempat. Cara ini juga dilakukan oleh Finlandia, sebuah negara
paling ramah lingkungan berdasarkan Environmental Performance Index (EPI),
yang diriilis oleh Universitas Yale dan Universitas Columbia Amerika Serikat.
Ketiga, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan No-Paper
dan digitalisasi file di lingkungan pemerintahan dan pendidikan pada perguruan
tinggi. Selain akan mempermudah aktivitas, prinsip No-Paper dan digitalisasi
file ini akan memberikan positif dalam mengurangi pemanasan global. Hal ini
karena konsumsi kertas di Indonesia masih sangat tinggi, padahal kertas dibuat
dengan memanfaatkan pohon. Kebijakan ini bisa dilakukan secara bertahap,
persuasif, dan terukur, sehingga di sini lain kebijakan ini bisa diterima oleh
produsen kertas.
Keempat, memperkuat program yang ada, menggagas program terintegrasi dan
lintas sektor. Program-program seperti ini adalah bentuk komitmen perwujudan
186 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan. Dampaknya bisa simultan,


tidak saja menyelesaikan permasalah lingkungan yang ada, tetapi juga berorientasi
pada pro-poor, pro-job, dan pro-growth.
Kelima, optimlisasi era digital dalam pendekatan sosial. Basis Indonesia
sebagai Negara dengan pengguna internet ke-6 terbanyak di dunia, menjadi
modal untuk membumikan revolusi mental berwawasan ekologis. Misalnya
dalam kegiatan “Gerbek Sampah” yang diinisiasi oleh Pemerintah DKI Jakarta,
penggunaan internet di sini begitu terasa manfatnya. Tidak sekadar untuk
menggaungkan kampanye isu-isu lingkungan, optimlisasi era digital ini juga bisa
memunculkan sebuah komunitas yang bisa bersinergi tanpa terhalang lagi oleh
jarak dan waktu. Melalui pendekatan sosial ini, masyarakat sudah selayaknya
aksi-aksi nyata guna mempercepat penyelesaian permasalahan lingkungan.
Sehingga pada akhirnya, masyarakat akan berada pada garda terdepan dalam
memelihara lingkungannya.
Apabila kelima cara di atas dapat direalisasikan dengan baik, maka secara
langsung akan dapat membumikan revolusi mental berwawasan ekologis.
Dengan demikian, pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan tidak
saja akan mengakar dalam setiap sanubari, tetapi juga memberikan solusi
terhadap permasalahan lingkungan dewasa ini.

Penutup
Permasalahan lingkungan di negeri ini bersumber dari kesalahan cara pandang
manusia terhadap dirinya dan alam, dengan menempatkan manusia sebagai
centre of the universe. Adanya permasalahan lingkungan pada dasarnya bermula
dari buruknya mental, karena mengabaikan petunjuk Alquran yang berhubungan
dengan interaksi manusai dengan alam. Alquran secara tegas telah memberikan
peringatan tentang hal ini, seperti tercermin dalam Q.s. Al-Rum [30]: 41
dan Q.s. AL-A’raf [7]: 56. Kegiatan merusak lingkungan ini bisa mengancam
eksistensi manusia dan alam, serta mendatangkan azab dari Allah S.w.t. Oleh
karena itu, permasalahan lingkungan dewasa ini perlu disikapi dengan bijak,
salah satunya melalui konsep revolusi mental berwawasan ekologis.
Konsep revolusi mental berwawasan ekologis menghendaki adanya
perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara yang berhubungan dengan
pola pikir (mindset), sikap, dan kebaikan (akhlak) terhadap lingkungan dan
bertujuan untuk membangun peradaban baru yang lebih baik. Keterpaduan
antara revolusi mental dengan wawasan ekologis senada dengan peran dasar
manusia sebagai khalifah di bumi. Sebagaimana dalam Tafsir Alquran Tematik
disebutkan, bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang didelegasikan Allah
Revolusi Mental Berwawasan Ekologis 187

S.w.t. bukan hanya sekadar penguasa di bumi, tetapi juga peranannya untuk
memakmurkan bumi. Selain itu, digulirkannyan revolusi mental berwawasan
ekologis merupakan perwujudan dari semangat menjaga lingkungan agar bisa
diwariskan kepada generasi mendatang.
Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan sia-sia jika berhenti hanya
pada tataran konsep atau sekadar inspirasi dokumentasi. Oleh karena itu,
ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk membumikan revolusi mental.
Pertama, kontekstualisasi peran manusia sebagai khalifah. Kedua, Indonesia
harus memiliki Environmental Data Base. Ketiga, mendorong pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan No-Paper dan digitalisasi file. Keempat, memperkuat
program yang ada, menggagas program terintegrasi dan lintas sektor. Kelima,
optimlisasi era digital dalam pendekatan sosial.
Revolusi mental berwawasan ekologis ini akan berjalan optimal jika
semua pihak, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dapat bersama-sama
mewujdukan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, sebagai pihak yang
merumuskan kebijakan, pemerintah harus mampu mendorong terwujudnya
iklim yang berwawasan lingkungan. Masyarakat dan pihak swasta sebagai subjek
pembangunan juga harus sadar bahwa setiap aktivitas yang dilakukan akan
memberikan pengaruh bagi lingkungan. Ketika pemahaman ini sudah dimiliki
oleh setiap orang, maka lingkungan akan ikut terjaga.

Pustaka Acuan:
Abdul Quddus. Échoteology Islam: Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan”.
Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Vol. 16, No. 2, Desember, 2014.
Achmad Cholil Zuhdi. “Krisis Lingkungan Hidup dalam Perspektif Alquran”.
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis (Mutawatir), Vol 2, No. 2, Desember, 2012.
Aji Purwanti, Semiarto. Revolusi Mental sebagai Strategi Kebudayaan. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, 2015.
Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2014.
Al-Maraghi, Ahmad Musthofa. Tafsir Al-Maraghi. Kairo-Mesir: Musthofa Al-
Babi Al-Habib, 1946.
Dasuqy, Fajar.”Ekologi Alquran”. Jurnal Kaunia, Vol. Iv, No. 2, Oktober,2008.
Departemen Agama RI. Tafsir Tematik Alquran: Pelestarian Lingkungan Hidup.
Jakarta: Lajnah Pelestarian Mushaf Alquran, 2009.
Ghoffar, M. Abdul (Penterjemah). Tafsir Ibnu Katsir. Bogor: Pustaka Imam As-
Syafi’I, 2008.
Juwaini. “Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Pembangunan Revolusi
188 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Mental Keilmuan. Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies. Vol.


I, No.I, Juni, 2014.\
Mangunjaya, Fachruddin. Ekopesantren: Bagaimanan Merancang Pesantren
Ramah Lingkungan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesai, 2016.
Molles Jr, Manuel C. Ecology: Concept And Application, Seventh Edition. New
York: McGraw-Hill Education, 2016.
Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi. Jakarta:
Darul Falah. 1999.
Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya. Serang: MUI Provinsi Banten, 2014.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Cet. ke-4. Jakarta: Rajawali
Press, 2014.
KLHK. Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Jakarta: KLHK, 2015.
Saifuddin.”Revolusi Mental dalam Perspektif Alquran: Sebuah Penafsiran M.
Quraish Shihab”. Jurnal Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, 2016.
Saifullah. Hukum Lingkungan: Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang
Konservasi Keanekaragaman Hayati. Malang: UIN Malang Press, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran, Vol.
5. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sugianto. “Membangun Lemma Ekonomi Islam Berbasis Qowa’id al-Fiqhiyah”.
Jurnal HUMAN FALAH, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni, 2014.
Sumantri, Arif. Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Alquran. Jakarta: Kencana,
2010.
Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munir fi al-Aqidat wa al-Syariat wa al-Manha.
Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
www.nasional.kompas.com/read/2017/12/21/17505651/bnpb-mencatat-ada
-2271-bencana-alam-sepanjang-2017/
Menjaga Lisan: Sebuah Upaya
Memperkukuh Revolusi Mental di Era
Global
Penulis: Musfiah Saidah

Pendahuluan
Indonesia saat ini sedang mengalami krisis mental. Sebuah problematika lama
yang masih terus diobati hingga hari ini. Wajar jika Presiden Joko Widodo
mengumandangkan kembali gerakan revolusi mental yang pernah digaungkan
oleh Ir. Soekarno. Melalui gerakan ini, Presiden Joko Widodo berharap adanya
perubahan sikap dan pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan. Akan tetapi,
kehadiran era global membawa kemudahan dalam akses informasi sekaligus
tantangan terhadap perubah nilai yang boleh jadi tidak sejalan dengan gerakan
revolusi mental.
Saat ini kita berada dalam ruang publik yang serba instan. Opini publik
semakin tidak terkontrol sehingga memberikan ancaman bagi hubungan
dalam bermasyarakat. Dampakanya, kemerdekaan yang telah dimiliki bangsa
Indonesia tidak diikuti oleh kepercayaan anatar sesama sehingga mudah diadu
domba. Produk lama warisan penjajah bernama devide et impera yang tumbuh
subur di era media. Berdasarkan data yang dari dewan pers, diketahui jika
terdapat 40.000 media online di Indonesia namun yang terverifikasi jumlahnya
tidak lebih dari 300 media. Selain itu Kominfo telah memblokir 11 situs yang

189
190 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dianggap melakukan provokasi berbau Suku Agama Ras dan Antar Golongan
(SARA) (www.cnnindonesia.com). Artinya terdapat banyak ancaman dari media
jika tidak disikapi dengan benar.
Hal ini menunjukan kebebasan berpendapat saat ini telah disalah artikan
menjadi ajang berekspresi melalui gagasan tanpa kendali. Hadir­nya berita bohong
atau biasa disebut hoax maupun ujuaran kebencian (hatespeech) akhirnya mudah
masuk dan merusak mental bangsa. Ironisnya hal ini dimanfaatkan oleh segelintir
orang yang memiliki kepentingan baik ekonomi maupun politis namun abai
terhadap dampak panjang kerusakan mental. Padahal di dalam Alquran terdapat
beberapa ayat yang memberikan tuntunan terkait ajaran dan upaya menjaga lisan
seperti yang terdapat dalam Q.s. Al-Hujurat: 12, Q.s. Al-Hujurat: 6, Q.s. Al-Nur:
15, Q.s. Al-Baqarah: 83. Q.s. Qaaf:18 dan ayat lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih jauh terkait upaya menjaga lisan dalam ruang perang informasi seperti
saat ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Bagaimana problematika
menjaga lisan di era global? Bagaimana solusi dalam mengupayakan revolusi
mental menjaga lisan? Diharapkan setelah adanya penulisan makalah sederhana
ini, maka akan diperoleh informasi dan solusi aplikatif yang dapat diterapkan
menuju bangsa maju seperti yang dicita-citakan.

Problematika Menjaga Lisan di Era Global


Kajian seputar menjaga lisan di era global seperti saat ini menjadi menarik
mengingat saat ini kehadiran media telah memberikan pengaruh terhadap
perubahan pola pikir masyarakat. Selain itu, media membuat masyakat saling
terkoneksi satu sama lain tanpa batas ruang dan waktu. Hal ini tentu memberikan
pengaruh. Sebagaimana pendapat Waskito, perilaku kaum muslimin saat ini
banyak berubah jika dibandingkan era tahun 80-90 an. Proses invansi media
yang luar biasa massif, intensif, kreatif dan terus menerus mengubah karakter
bangsa Indonesia menjadi lemah, konsumtif, hedonistik, miskin etika, malas,
cuek sosial dan jauh dari sifat religius (Waskito, 2013: 162-165).
Peran media perlu disikapi dengan baik dalam kondisi demokrasi yang
tidak sehat dan kondisi budaya yang belum matang. Hal ini merupakan sebuah
paradoks saat kemudahan akses informasi melanda namun masyarakat dengan
mudah terpengaruh oleh fitnah dan provokasi. Sebuah ironi saat semesta kaya
akan informasi namun miskin terhadap makna. Menurut William L. Rivers,
media komunikasi massa dapat mempengaruhi perubahan apalagi jika terkait
kepentingan orang banyak. Media juga mampu menggalang persatuan opini
publik terhadap peristiwa tertentu (2015:41).
Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 191

Setidaknya terdapat tiga alasan hal ini dapat terjadi, yaitu kebebasan ber­
pendapat yang salah kaprah, pola konsumsi informasi dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Pertama, kebebasan berpendapat yang salah kaprah. Kebebasan
mengemukakan pendapat di muka umum sebagaimana diamanahkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 28 telah menjadi dalil
legitimasi untuk mengungkapkan gagasan baik secara lisan maupun tulisan.
Padahal kebebasan berpendapat yang dimaksud adalah kebebasan berpendapat
yang bertanggung jawab. Oleh karena itu penting bagi manusia untuk menjauhi
prasangka dari sebuah berita yang belum tentu diketahui kebenarannya.
Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ ﭞ ﭟ‬
‫ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫﭬ ﭭ ﭮﭯ‬
‫ﭰ ﭱﭲ ﭳﭴ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, se­sungguhnya
sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain
dan janganlah di antara kamu ada yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat,
Maha penyayang. (Q.s. Al-Hujurat [49]: 12)(Departemen Agama RI, 2004: 745).
Menurut Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi kata wa laa tajassasu berarti
janganlah mencari-cari kesalahan orang lain. Hal tersebut disebabkan sejak
semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurangan),
kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita
itu dan memastikan tuduhan (kecurigaan) yang ada pada dirinya. Oleh karena
itu, Nabi SAW. melarang hal tersebut. Sedangkan menurut Al-Maraghi dalam
Tafsir Al-Maraghi kata wa laa tajassasu menyatakan bahwa jangan sebagian
kamu meneliti keburukan sebagian lainnya dan jangan mencari-cari rahasia-
rahasianya dengan tujuan mengetahui cacat-cacatnya. Akan tetapi puaslah
kalian dengan apa yang nyata bagi mu mengenai dirinya. Lalu pujilah atau
kecamlah berdasarkan yang nyata itu bukan berdasarkan hal yang kamu ketahui
dari yang tidak nyata (1993: 229).
Berdasarkan kedua tafsiran tersebut dapat diambil pelajaran bahwa Allah
S.w.t. melarang untuk mencari-cari aib orang lain. Jika hal tersebut sulit untuk
dilakukan maka Islam mengajarkan cara proteksi diri yang begitu mudah namun
elegan, yaitu dengan diam. Sebagaimana dalam sebuah hadis dikatakan:
Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bertutur kata
yang baik atau diam (Al-Asqalani, 2011: 265).
192 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Kedua adalah pola konsumsi informasi. Masyarakat Indonesia memiliki


tipe eksploratif sehingga mencari sumber informasi kemudian mengikuti dan
menyebarkannya secara berkelanjutan. Sayangnya, kebutuhan terhadap informasi
tidak diikuti dengan semangat literasi media. Saat ini lini masa dipadati berbagai
gagasan yang keluar dari perpanjangan lidah bukan lagi sekadar kata-kata yang
keluar dari lisan namun juga tulisan. Orang yang tertarik memperhatikan media
akan menyampaikan informasi yang diperoleh kepada orang lain yang terhubung
secara sosial. Aliran pesan memberikan efek berupa penyampaian pesan bahkan
dari orang yang belum pernah dikenal sebelumnya. Namun, informasi yang
disampaikan akan terlihat menarik melalui media. (Perse, 2008: 34)
Ketiga adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ketimpangan sosial dan
kesejahteraan yang tidak merata membuat kesenjangan sosial terjadi di banyak
tempat. Berdasarkan data dari Bank dunia menyebutkan bahwa lebih 60%
kekayaan Indonesia di kuasai oleh kalangan menengah ke atas. Di sisi lain angka
kemiskinan masih menjadi permasalahan yang berlum terpecahkan. Dengan
kondisi perekonomian yang tidak stabil, hoax dapat menjadi racun ampuh
untuk memberikan pemahaman yang salah. Pada dasarnya provokator hanya
membutuhkan berita bohong yang disebarkan melalui berbagai jenis media dan
diterima masyarakat sebagai berita tanpa perlu diklarifikasi.

Revolusi Mental Menuju Pembaruan


Revolusi merupakan hal yang tidak dapat terjadi secara instan. Penanaman nilai
dalam waktu yang lama akan memberikan pengaruh tumbuhnya budaya yang
hebat. Terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan demi mewujudkan revolusi
mental yang dicita-citakan. Pertama adalah menggubah pola pikir, kedua adalah
menggandeng media dan yang terakhir keterlibatan tokoh agama.
Pertama, pengubahan cara berpikir. Untuk tercapainya suatu ukhwah yang
kuat peran komunikasi bersifat penting. Rasa saling pengertian dan memahami
dalam rangka kebaikan diwujudkan melalui kerjasama (Raharjo, 2012: 170).
Manusia hendaknya memperhatikan rahasia antara yang patut dan tidak.
Bukan hanya mencari kesalahan dan aib. Perbedaan pendapat amat dijunjung
tinggi. Tetapi perbedaan pendapat yang dibangun di atas kebencian dapat
menjurus kepada konflik sehingga peran etika sosial dalam hal ini tindakan
tabayyun sebagai upaya menghindari konflik amat penting untuk membangun
masyarakat. (Misrawi, 2007:324).
Oleh karena itu, jika membahas mengenai revolusi mental maka tidak
terlepas dari perjuangan pribadi untuk membiasakan diri berkata baik.
Sebagaimana Allah S.w.t. berfirman:
Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 193

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ‬
‫ﭢﭣﭤ‬
Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat
yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum hingga kaum itu mengubah apa yang
ada pada diri mereka sendiri. Sungguh Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui
(Q.s. Al-Anfal [8]: 53) (Departemen Agama RI, 2004: 248)
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran, nash ini mem­perlihatkan
keadilan Allah dalam memperlakukan manusia sehingga tidak dicabut kenikmatan
mereka sebelum mereka sendiri yang mengubahnya dan mengganti sikap mereka
dengan perilaku yang baik (2013: 215). Berbagai upaya dan program sehebat
apapun jika tidak diikuti oleh tindakan dari pribadi manusia maka tidak akan
terwujud revolusi mental yang dicita-citakan. Hal ini dikarenakan misi besar revolusi
mental merangkul seluruh rakyat Indonesia.
Dalam mewujudkan perbaikan mental dalam upaya menjaga lisan di era
global Islam hadir dengan membawa solusi untuk mencari tahu kebenaran suatu
berita terlebih dahulu, Allah S.w.t. berfirman:

‫ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ‬
‫ﭮﭯﭰ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepada mu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum
karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatan mu itu.
(Q.s. Al-Hujurat [49]: 6) (Departemen Agama RI, 2004: 744).
Dalam kaitan ini, Alquran menggunakan kata fatabayyanuu. Kata perintah
tersebut menuntut penyampaian informasi agar berusaha dengan teliti dan
sungguh-sungguh dalam mencari keterangan dan informasi yang diterima
(Kementrian Agama RI, 2011: 397). Sedangkan menurut Al-Qurthubi dalam
Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwasanya kesalahan dalam menerima
informasi disebabkan karena tergesa-gesa dan tidak pelan-pelan. Sehingga pada
ayat ini menunjukkan rusaknya pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa
seluruh kaum muslimin itu unggul sampai ditetapkan adanya cacat. Allah
memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan secara teliti dan pemeriksaan
tersebut tidak akan berguna jika sudah dilakukan putusan (2009:30).
Dari kedua tafsiran tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa dalam
menyikapi sebuah berita hendaknya diperiksa telebih dahulu kebenaran isinya
sebelum menyampaikannya kepada orang lain. Hal tersebut penting dilakukan
untuk menghindari munculnya sebuah pemahaman yang salah dan akhirnya
menebar berita bohong ke banyak tempat. Di akhir ayat tersebut dikatakan
194 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

jika manusia akan menyesali perbuatannya. Jika kita liat ke fenomena yang
terjadi saat ini sudah terdapat beberapa orang yang akhirnya tertangkap polisi
karena melakukan ujaran kebencian. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 28 ayat
1 UU ITE mengatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan serta mengakibatkan kerugian
maka akan dipidana paling lambat 6 tahun penjara atau denda maksimal 1
milyar rupiah (2016: 24).
Selain itu dampak kekeliruan dalam menjaga lisan juga dapat me­mutuskan
hubungan pertemanan. Hal ini biasanya terjadi hanya karena status di media
sosial, kesalah pahaman membalas pesan elektronik dan kenyataan lain
yang membuat hubungan hidup antar manusia menjadi kurang harmonis.
Sebagaimana firman Allah S.w.t:
(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu
katakan dengan mulut mu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun dan kamu
menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (Q.s. Al-Nur
[24]: 15)(Departemen Agama RI: 490).
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah kata buhtan adalah
kebohongan yang sangat besar. Kata ini terambil dari kata buhita yang
berarti tercengang dan bingung tidak mengetahui apa yang harus dilakukan.
Kebohongan besar biasa menjadikan seseorang tidak mengerti bagaimana hal
tersebut dapat diucapakan. Penyebaran isu dinilai sebagai buhtan karena ia
adalah ucapan yang disengaja dan tanpa alasan serta bukti yang berkaitan
dengan kehormatan manusia. (2009:501).
Berdasarkan tafsiran tersebut, dalam menyikapi realitas yang terjadi di
masyarakat bahwasanya sering kali opini masyarakat tergiring oleh opini
mayoritas yang pada akhirnya mengesampingkan makna konfirmasi. Selain itu
terkadang masyarakat abai dengan kehadiran para penyebar isu yang lebih sering
terlihat di dunia maya bukan di dunia nyata. Oleh karena itu, penting bagi
manusia untuk menjaga lisannya dan melindungi diri dari pengaruh provokasi
yang bertebaran di berbagai media maupun dari mulut ke mulut. Dalam sebuah
hadis riwayat Buhkari, Rasulullah SAW. telah mengingatkan:
Dari Abu Hurairah dia mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya ada
hamba yang pasti mengucapkan kalimat yang tidak dipikirkannya terlebih dahulu yang
karenanya dia tergelincir ke dalam neraka yang lebih jauh dari apa yang ada diantara
Timur” (Al-Asqalani, 2011: 267)(HR. Bukhari, No. 6477).
Kedua, menggandeng media. Tidak dapat dimungkiri jika media memiliki
peran besar dalam menyediakan ruang berbicara. Namun hal tersebut menjadi
momok berbahaya saat isi berita yang ditayangkan di media pada akhirnya
membuka ruang berbicara tanpa batas, saling umpat dan menebar kebencian
Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 195

tanpa batas. Peran media dalam upaya merevolusi mental dalam rangka menjaga
lisan menjadi penting mengingat pengguna media sosial di Indonesia cukup
banyak. Berdasarkan data yang penulis himpun dari Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2006 terdapat 132,2 juta pengguna
internet di Indonesia. Dari jumlah tersebut 129,2 juta diantaranya menggunakan
media sosial (2016: 22).
Pada dasarnya pemilik media memahami dampak negatif munculnya
perpecahan akibat saling serang gagasan di media sosial. Mark Zuckenberg
seorang pendiri media sosial nomor 1 di dunia bernama Facebook sebagaimana
dikutip Syuhada dalam Jurnal Etika Media di Era “Post-Truth” menyebutkan
bahwa berita palsu dapat menyebar dalam sesaat karena penggunanya abai
dalam menyelesaikan bias konfirmasi. Penggunaan algoritma dalam membaca
fitur “like” dan “sharing” sangat mengeksploitasi elemen psikologi manusia dan
membuat mereka lebih cenderung untuk menerimanya. Sayangnya Facebook
justru mengabaikan perannya sebagia wadah sosial dalam meminimalisir efek
dan masalah yang dihadapi penggunanya seperti fakenews, hoax maupun
hatespeech (2017: 77).
Dari fakta tersebut dapat diketahui jika pemilik media pada dasarnya
mengetahui adanya efek negatif dari media yang didirikan namun belum
ada upaya meminimalisir hal tersebut. Untuk itu penulis menggagas adanya
gerakan menggandeng media. Secara sederhana apabila ingin membuat media
melakukan perubahan besar adalah dengan melakukan hal besar berupa gerakan
berhenti menggunakan media. Tentu jika tidak memiliki pengguna maka media
akan melakukan perubahan signifikan. Namun hal tersebut agak sulit untuk
diwujudkan karena media massa ibarat telah menjadi candu bagi masyarakat.
Oleh karena itu upaya menggandeng media dapat dilakukan dengan komunikasi
yang baik antara pemerintah dengan media maupun media dengan masyarakat.
Menurut Direktur Jendral (Dirjend), Informasi dan Komunikasi Publik
(IKP) Kominfo, Rosarita Niken Widiastuti mengatakan, media massa memiliki
potensi dalam membangun dan membentuk karakter bangsa. Media dapat
menentukan arah karakter dan nilai yang diterima publik (www.kpi.go.id). Oleh
karena itu dengan menggandeng media melalui pengawasan dan komunikasi
yang bijak antara pemerintah dan masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk
menyampaikan kritik terhadap isi berita di media massa maupun media sosial
dapat menjadi senjata melawan godaan kebohongan, pertikaian atau bahkan
perpecahan akibat dari tidak dapat menjaga lisan.
Ketiga adalah peran agama. Kejayaan sebuah bangsa dipengaruhi oleh
komitmennya terhadap keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah ta’la (Waskito,
196 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2011: 206). Peran agama diperlukan karena dalam permasalahan menjaga


keimanan melalui peran tokoh agama untuk memberikan arahan. Tokoh agama
merupakan tokoh kunci yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Sebagai
contoh, keterlibatan tokoh agama dalam upaya menangkal berita bohong
telah dilakukan oleh pemerintah provinsi Banten. Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo),
Banten merupakan daerah dengan tingkat pemanfaatan teknologi dan informasi
dengan kategori tinggi khususnya dalam penggunaan telepon genggam (HP)
dan Internet. Aplikasi yang paling dominan digunkan adalah browsing, chating,
download informasi, email dan upload (2013: 209-10).
Fakta tersebut menunjukan tingkat konsumsi masyarakat terhadap informasi
cukup besar. Jika tidak disikapi dengan bijak, hal tersebut membuka ruang
terbukanya kesempatan masuknya berita bohong maupun dorongan melakukan
ujaran kebencian. Oleh karena itu Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Agama
(Kemenag) Provinsi Banten berdasarkan berita yang penulis himpun mewartakan
akan mengerahkan 1.602 penyuluh agama dalam upaya melawan berita hoax
yang beredar di kalangan masyarakat. (www.kabarbanten.com). Hal tersebut
tentu diperlukan karena bahasa agama diyakini mudah diterima masyarakat
dalam menayampaikan kebenaran.

Penutup
Revolusi mental berbeda dengan revolusi fisik yang mengakibatkan pertumpahan
darah. Tantangan revolusi mental di era global memerlukan dukungan moral
dan spiritual dari masyarakat serta pemerintah dalam usaha bersama menjaga
lisan dalam upaya memperkukuh revolusi mental. Pemahaman kebebasan
berpendapat yang salah kaprah, pola konsumsi informasi dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang belum stabil mengakibatkan berbagai godaan menjaga
lisan tumbuh subur di era global.
Dalam menjawab problematika tersebut, penulis menggagas tiga solusi yang
dapat diaplikasikan dalam upaya menjaga lisan baik secara perkataan maupun
tulisan. Pertama, mengubah pola pikir dengan menumbuhkan kesadaran jika
manusia adalah makhluk sosial yang hidup bersama sehingga perlu menyadari
keberadaan orang lain sehingga tidak sembarangan dalam berkata. Selain
itu perlu adanya sikap tabayyun dalam memeriksa informasi yang diperoleh.
Kedua, menggandeng media, hal yang tidak mudah menahan media dari segala
kepentingan komersilnya namun hal yang mungkin menggandeng media untuk
ikut turut serta menyeleksi konten negatif untuk memberikan perlindungan
informasi terhadap konsumen. Ketiga, memaksimalkan peran tokoh agama
Menjaga Lisan: Sebuah Upaya Memperkukuh Revolusi Mental di Era Global 197

untuk memberikan arahan. Sebagai pembicara kunci, tokoh agama diyakni


dapat memberikan pesan yang dapat diterima masyarakat.
Oleh karena itu demi teraplikasinya gagasan ini, maka penulis meng­himbau
kepada berbagai pihak. Pertama, kepada pemerintah hendaknya lebih tegas
dalam menegakkan Undang-undang terkait transaksi elektronik yang dapat
mengakibatkan perpecahan karena lisan baik berupa perkataan maupun tulisan.
Selain itu, penulis menghimbau dibentuknya gerakan kerelawanan tentang literasi
media yang melibatkan berbagai kalangan dan terkoneksi melalaui media sosial.
Kedua, kepada masyarakat hendaknya lebih selektif dalam memilih informasi
dan menjadi pemutus apabila ada berita bohong yang didapatkan. Hal lain
dapat dilakukan dengan melakukan kontra narasi dengan menginformasikan
berita yang benar ketika ditemukan informasi yang menyesatkan. Ketiga,
kepada media, hendaknya media dapat menjadi perjuangan dari upaya revolusi
mental dengan membantu mewadahi informasi seputar literasi media yang
benar. Semoga dengan begitu tatangan era global berupa perang informasi yang
dirasakan saat ini dapat diatasi menuju Indonesia maju sejahtera bermental
benar.

Pustaka Acuan:
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz 18. Semarang: PT.
Karya Toha Putra
Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. 2004
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Arifianto, S. Dinamika Perkembagan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Komunikasi serta Implikasinya di Masyarakat. Jakarta: Media Bangsa. 2013.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Interner Indonesia. Info Grafis Penetarsi dan Perilaku
Pengguna Internet di Indoensia. 2016.
Kementrian Agama RI. Tafsir Al-Quran Tematik Komunikasi dan Informasi. Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran. 2011
Misrawi, Zuhri. Al-Quran Kitab Toleransi. Jakarta: Penerbit Fitrah. 2007.
Perse, Elizabeth M. Media Effect and Society. New Jersey: Lawrance Elbaraum
Associates. 2008.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Quran Terjemahan. Jakarta: Gema Insani. 2013
Raharjo, M Dawam. Menuju Persatuan Umat. Jakarta: Mizan. 2012.
Rivers, William L. Media Massa dan Masyarakat Modern Terjemahan. Jakarta:
Prena Media Grup. 2015
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol 8. Jakarta: Lentera Hati. 2009.
198 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Syuhada, Kharisma Dhimas. Etika Media di Era “Post-Truth”. Jurnal Komunikasi


Indonesia Vol 5 No 1. 2017
UU RI No. 19 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sekertariat Negara.
2016
Waskito, AM. Republik Bohong Hikayat Bangsa yang Senang Ditipu. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar. 2011.
Waskito, Am. Invansi Media Melanda Kehidupan Umat. Jakarta: Pustaka Al-
Kausar. 2013
Yunita. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170108110443-20-184798/
menkominfo-bakal-tertibkan-media-online-tak-jelas. Diakses pada tanggal 18
Maret 2018 pukul 14.50
Masykur. http://www.kabar-banten.com/redam-keresahan-akibat-hoax-1-602-
penyuluh-agama-dikerahkan/. Diakses pada tanggal 18 Maret pukul 15.00
Rahmat Gunawan. http://www.kpi.go.id/index.php/id/umum/38-dalam-
negeri/33910-peran-media-penyiaran-menentukan-keberhasilan-gerakan-
revolusi-mental-dan-pembentukan-karakter-bangsa Diakses pada tanggal 8
April 2018 pukul 19.46.
Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi
Provinsi Banten Melalui Edukasi Islami
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.02

Pendahuluan
Demoralisasi yang terjadi akhir-akhir ini begitu memprihatinkan, terutama
bagi para ibu bapak yang tidak ingin hal tersebut menimpa anak-anak mereka.
Beragam perbuatan tercela (al-af ’al al-madzmumah): korupsi, politik uang,
pengabaian anak-anak terlantar, perundungan, pembunuhan dan pembantaian
oleh massa yang main hakim sendiri, teror bom atas nama jihad dan perusakan
atas nama agama terdapat pada negeri yang mayoritas penduduknya beragama
Islam ini, serta sudah menjadi bagian dari citra Indonesia sehari-hari (Said Aqil
Siroj, 2006:356).
Aksi kejahatan—perundungan (bullying)—kembali terjadi di Provinsi
Banten, pada Jumat (9/3/2018), yang bertempat di sekitar kawasan Ruko
Modernland, Cipondoh, Kota Tangerang. Tindakan tidak terpuji tersebut
dilakukan oleh dua orang remaja wanita berinisial LS (15) dan YIZ (16) terhadap
siswi SMP yang berinisial WN (13). Sambil memaki, kedua pelaku memukul
dan menendang siswi SMP tersebut di bagian kepala hingga membuat siswi
tersebut terjatuh dan menangis (www.kompas.com, 2018).
Hal di atas menjadi catatan penting, bahwa tindakan kejahatan karena masih

199
200 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

terdapat watak (mental) yang buruk, sehingga perlu tindakan pembaharuan


atau pengintensifan perilaku baik masyarakat Banten, salah satunya dengan
menjadikan Alquran sebagai pedoman. Masyarakat Banten perlu melek
kandungan ayat suci Alquran agar kasus kejahatan di Provinsi Banten bisa
berkurang, bahkan tandas.
Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Provinsi Banten
mengungkapkan hasil survei melek huruf Alquran di Banten. Ternyata, hasil
survei menunjukkan tingkat kemampuan muslim membaca Alquran dari
tingkat cukup sampai dengan tingkat sangat buruk mencapai angka 76,72
persen. Sementara yang terbilang mampu dari tingkat agak baik sampai dengan
sangat lancar hanya 23,28 persen (www.kabar-banten.com, 2017).
Realitas di atas jadi catatan penting, bahwa masyarakat Banten masih perlu
meningkatkan pemahaman terhadap kandungan ayat suci Alquran, tentu saja
hal tersebut harus diawali dalam hal bisa membaca Alquran, dan tidak akan
terrealisasi jika masyarakat masih belum bisa atau belum baik membaca Alquran.
Sudah saatnya kita mengoreksi. Koreksi yang dilakukan tidak harus menghentikan
proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi
mental dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan
budaya nusantara, bersahaja dan berkesinambungan (E. Mulyasa, 2015:25).
Provinsi Banten yang dikenal sebagai daerah yang religius perlu menjadikan
Alquran sebagai pedoman hidup seutuhnya, agar terrealisasi pula visi Provinsi
Banten yang maju, mandiri, berdaya saing, sejahtera dan berakhlak mulia.
Pendidikan dalam hal ini berperan pula agar misi Provinsi Banten dalam
hal: (1) menciptakan tata kelola pemerintah yang baik (good governance); (2)
membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur; (3) meningkatkan akses
dan pemerataan pendidikan berkualitas; (4) meningkatkan akses dan pemerataan
pelayanan kesehatan berkualitas; serta (5) meningkatkan kualitas pertumbuhan
dan pemerataan ekonomi (.), dapat berjalan dengan ridha Allah agar tercipta
daerah yang sejahtera, aman, damai dan religius.
Bertolak dari realitas di atas, penulis akan memberikan interpretasi dalam
hal menjawab dan menanggulangi permasalahan yang terjadi di Provinsi Banten,
dengan menghadirkan teks Alquran, khususnya mengenai bagaimana agar
terrealisasi revolusi mental dalam hal pendidikan akhlak yang sesuai dengan
tuntunan Alquran. Tulisan ini akan berawal dari: (1) Bagaimana menciptakan
pola pendidikan yang baik?; (2) Apa penyebab perilaku bejat?; dan (3) Bagaimana
solusi menangani kasus dari keburukan perilaku?. Tiga hal tersebut diharapkan
mampu mewujudkan visi misi provinsi Banten, agar terrealisasi Provinsi Banten
yang religius dengan menjadikan Alquran sebagai pilar utama.
Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 201

Akhlak Sebagai Karakteristik Edukasi Islami


Akhlak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:27) diartikan sebagai:
(1) budi pekerti; dan (2) kelakuan. Dalam etimologi bahasa arab, akhlak
merupakan bentuk jamak yang mufrodnya adalah khuluq, yang memiliki arti
tabiat atau watak dasar (ath-thabi’ah); kebiasaan atau kelaziman (al-‘adat);
perangai (as-sajiyah); peradaban yang baik (al-muru’ah); dan agama (ad-dîn).
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’Ulûmuddin (1989:56) mengatakan, bahwa
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-
perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sedangkan menurut Muhammad Abdullah Darraz, akhlak diartikan sebagai
sesuatu kekuatan dari dalam diri yang berkombinasi antara kecenderungan pada
sisi yang baik (akhlak al-karimah) dan sisi yang buruk (akhlak al-madzmumah)
jika ditinjau dari pengertian secara terminologi (Ulil Amri Syafri, 2014:72).
Kecenderungan sisi baik dan buruk manusia terdapat dalam Alquran surat
Asy-Syams ayat 8-10, yang berbunyi:

‫ﭬﭭﭮﭯﭰﭱﭲﭳﭴﭵﭶﭷﭸﭹ‬
Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh
beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam Jalaluddin
Abdirrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jalalain (tt:263)
memberikan penjelasan: (Maka Dia mengilhamkan kepadanya [jalan] kejahatan
dan ketakwaannya) bahwa antara jiwa terdapat dua jalan, yakni keburukan dan
kebaikan. Kemudian Thabâthabâ’i dikutip dari M. Quraish Shihab dalam tafsir
kontemporernya Al-Mishbah Vol. XV (2010:345) menuturkan, bahwa yang
dimaksud dengan “mengilhami jiwa” adalah penyampaian Allah kepada manusia
tentang sifat perbuatan, apakah dia termasuk ketakwaan atau kedurhakaan setelah
memperjelas perbuatan dimaksud dari sisi substansinya sebagai perbuatan yang
dapat menampung ketakwaan atau kedurhakaan. Memakan harta, misalnya,
adalah suatu perbuatan yang dapat berbentuk memakan harta anak yatim atau
memakan harta sendiri. Jika memakan harta anak yatim, maka hal tersebut
merupakan bentuk kedurhakaan. Sedangkan yang kedua—memakan harta
sendiri yang dicari dari jalan halal—merupakan bentuk ketakwaan.
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai kebaikan menurut Abuddin
Nata dalam bukunya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (2012:129) adalah hati nurani.
Sedangkan alat yang digunakan untuk mencapai keburukan adalah hawa nafsu.
Dalam hal ini, pendidikan harus berupaya mengarahkan manusia agar memiliki
202 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

keterampilan dalam menggunakan akal dengan baik, dan mengatur diri agar
terhindar dari hawa nafsu yang membawa pada keburukan.
Beberapa indikator akhlak menurut Muhammad Iqbal dalam bukunya 8
Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang Dibenci Allah (2015:24) di
antaranya ialah: (1) berserah diri kepada Allah agar terhindar dari rasa takut dan
bersedih hati (Q.S.. Al-Baqarah [2]:112); (2) berdamai dan memiliki rasa empati
(Q.S.. An-Nisa [4]:128); (3) menahan amarah dan suka memaafkan (Q.S.. Ali
Imran [3]:134); (4) tidak membuat atau mencari-cari masalah, melainkan
memohon maaf (Q.S.. Al-A’raf [7]:56); (5) membalas dengan perbuatan baik
(Q.S.. Yunus [10]:26); (6) sabar dan tabah (Q.S.. Hud [11]:115); (7) bertakwa
dan senantiasa mengambil hikmah dalam tiap persoalan (Q.S.. Yusuf [12]:22);
serta (8) saling menasehati agar terhindar dari perbuatan keji dan munkar (Q.S..
An-Nahl [16]:90).
Dari beberapa indikator di atas, tentu figur yang dapat dijadikan suri teladan
adalah Rasulullah Saw.. dengan begitu keagungan budi pekerti yang dimilikinya
(Q.S.. Al-Ahzâb [33]:21). Selain itu, menurut Imam Al-Ghazali, Asmaul Husna
yang berjumlah 99 dapat diteladani oleh manusia, kecuali sifat ketuhanan-Nya
(M. Quraish Shihab, 2011:760). Berbuat baik tidak hanya akan menjadikan kita
pribadi yang lebih baik, tapi juga dicintai Allah Swt. sebagaimana termaktub
dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 195, yang berbunyi:

‫ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ‬
Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri)
ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Melacak Akar Penyebab Akhlak Buruk


Kebejatan perilaku menjadi pembahasan yang tidak pernah surut dan bisa
disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya hati yang di dalamnya tidak
tertanam nilai-nilai suci Alquran. Alquran memiliki isi kandungan yang me­
nyentuh hati, banyak orang yang terkesima dan jatuh hati. Jiwa yang kosong bisa
terisi dengan nilai-nilai rabbil izzati. Pikiran yang keruh dan kalut bisa jernih. Muka
yang masam bisa tercerahkan. Bahkan mereka yang tadinya memusuhi Alquran
bisa tunduk tak beraksi. Masyarakat yang terkucil menjadi masyarakat madani,
maju, tangguh, sukses dan disegani (Ashin Sakho Muhammad, 2017:197).
Seseorang yang dalam jiwanya tertanam nilai-nilai Alquran akan berbeda
dengan mereka yang dalam jiwanya tidak tertanam nilai-nilai luhur Alquran.
Nilai-nilai Alquran teraplikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Ia akan semakin
Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 203

berbeda dalam berperilaku, banyak perubahan baik yang akan terjadi (Raghib
As-Sirjani dan Abdul Muhsin, 2017:22).
Manusia Alquran memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersumber dari
gumpalan tanah yang menumbuhkan pelbagai macam sumber makanan yang
baik. Memenuhinya ala manusia, bukan ala binatang. Demikian pula dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniah (M.Quraish Shihab, 2013:364).
Seorang muslim sejati tahu bagaimana menyeimbangkan jasmani dan ruhani.
Idealnya ruhani yang baik didukung oleh jasad yang tangguh, karena pada
keduanya terdapat kebaikan yang begitu bermanfaat (Sri Nuryati, 2008:40).
Sebagian manusia bahkan menjadikan akhlak untuk membangun budi
pekerti yang baik. Semakin baik seseorang membangun budi pekerti dan
merealisasikannya, maka semakin baik masyarakatnya dalam berperilaku (M.
Quraish Shihab, 2017:17). Sejatinya, esensi diciptakannya manusia termaktub
dalam Alquran surat Adz-Dzâriyât ayat 56, yang berbunyi:

‫ﭳ ﭴﭵﭶﭷﭸ ﭹ‬
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.
Menggunakan akal dan menjaga diri dari berbuat buruk pada intinya
adalah bentuk dari ketaatan pada Allah Swt. dan yang menggerakkan hati
manusia mengerjakan kewajibannya sebagai bentuk taat pada Allah Swt.
disebabkan karena dua perkara. Pertama, dari dalam, yaitu perasaan sendiri
sebagai orang hidup harus berperangai utama. Kedua, dari luar, yaitu menilik
peraturan pergaulan hidup dan masyarakat bersama, untuk menuju hal tersebut
perlu disatukan tujuan diri (Hamka, 2017:85).
Budi pekerti—akhlak baik—pada manusia juga menjadi kewajiban dan
hak. Dia menjadi kewajiban, karena undang-undang budi pekerti menyuruhnya.
Dia menjadi hak, sebab undang-undang kesopanan memberi kebebasan kepada
manusia untuk mengajarkannya (Hamka, 2017:129). Tentu saja setelah
memahami bagaimana akhlak terbangun dan penyebab bobroknya akhlak,
harus ada akhlak yang kokoh (Matinul Khuluq) dalam jiwa setiap manusia
karena ia merupakan salah satu konsep pondasi inner beauty yang tidak boleh
hilang (Arif Hidayat, 2015:19).

Menggagas Solusi Menuju Banten Religius
Setelah mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perilaku
kejahatan karena akhlak yang tidak baik, maka penulis memberikan formulasi
yang diharapkan mampu menjadi solusi agar tercipta kehidupan masyarakat
Banten yang religius. Solusi yang penulis berikan antara lain:
204 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pertama, masyarakat Banten perlu memahami kandungan ayat suci Alquran,


yakni tidak hanya menjadikan Alquran sebagai bacaan tanpa dipelajari lebih
dalam, karena di dalam Alquran terdapat pelbagai macam pelajaran yang baik,
sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat Shâd ayat 29, yang berbunyi:

‫ﭲﭳﭴﭵﭶ ﭷﭸ ﭹ ﭺﭻ‬
Artinya: Kitab (Alquran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka
menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
Hasan Al-Bishri dikutip dari Aby Al-Fida’i Ismail bin Umar bin Katsir
Al-Quraisy Ad-Dimsyiqy dalam kitabnya Tafsir Alquran Al-‘Adzim (1999:63)
mengatakan mengenai tafsiran ayat di atas: “Demi Allah, tidaklah cara meng­
ambil pelajaran dengan menghafal huruf-hurufnya, dan tidak menghilangkan
aturannya, sehingga salah seorang dari mereka berkata: “saya telah membaca
Alquran seluruhnya”, tetapi tidak terlihat padanya Alquran pada akhlak dan
tidak pula pada amalnya. Dengan begitu, membaca ayat-ayat suci Alquran,
diikuti dengan perbuatan baik menjadi tujuan utama dari konsep revolusi
mental agar tercipta masyarakat Banten yang melek kandungan Alquran.
Kedua, menerapkan konsep keteladanan (qudwah). Hal ini sangat di­
perlukan, sebagaimana menurut Muhammad Abu Fath Bayanuni—dosen
Pendidikan dan Dakwah di Universitas Madinah—dikutip dari Ulil Amri Syafri
dalam bukunya Pendidikan Karakter Berbasis Alquran (2014:142) mengatakan,
bahwa menurut teorinya, Allah menjadikan konsep qudwah ini sebagai acuan
manusia untuk mengikuti. Selain itu, fitrah manusia adalah suka mengikuti
dan mencontoh, bahkan fitrah manusia adalah lebih kuat dipengaruhi dan
melihat contoh ketimbang dari hasil bacaan. Tuntunan hidup yang bersumber
pada Alquran menjadi realistis karena terdapat konsep qudwah pada penerapan,
sehingga semua konsep ajaran Islam tidak saja idealis, namun juga realistis.
Ketiga, membentuk program “Banten Nyantri”. Program ini penulis
pandang sebagai suatu hal yang perlu dibentuk, latar belakang dari program ini
adalah nilai-nilai kepesantrenan yang begitu baik, kehidupan pesantren ibarat
miniatur masyarakat. Di dalamnya terbentuk struktur kepengurusan mulai dari
pimpinan hingga anggota, serta kehidupan gotong-royong—bermasyarakat—
yang mencerminkan nilai kebaikan hidup. Kehidupan pesantren berbeda
dengan kehidupan non-pesantren. Di pesantren, seseorang lebih banyak jam
belajar daripada waktu santai, serta lebih beragam karakter masyarakatnya
karena banyak yang tidak hanya masyarakat pribumi.
Pada praktiknya, Banten nyantri diharapkan tidak hanya menjadi tugas
masyarakat akademis, tapi juga kalangan pemerintah, organisasi Islam dan
tentunya seluruh elemen masyarakat kalangan atas atau bawah. Formulasi dari
Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 205

gagasan ini diharapkan mampu mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih
maju, mandiri, bisa berdaya saing, sejahtera dan berakhlak mulia sesuai dengan
visi Provinsi Banten.
Program Banten nyantri bukan berarti mengekang seluruh lapisan ma­
syarakat untuk menetap di Pondok Pesantren. Tetapi ikut andil dalam hal:
(1) mensyiarkan ajaran Islam; (2) membentuk lembaga dakwah (3) mengikuti
kajian-kajian Islami (4) membangun madrasah atau pesantren bagi yang
mampu; (5) mengamalkan ilmu atau hadir di majelis taklim yang dekat dengan
tempat tinggal; (6) mengirimkan anak bagi ibu bapak agar mereka tinggal
atau menimba ilmu di pesantren (7) tidak berpikiran buruk terhadap pola
pendidikan yang diterapkan dalam pesantren; serta (8) Menjalin hubungan
dengan pihak pesantren untuk membentuk masyarakat Banten nyantri.
Segala sesuatu yang direncanakan, pada hakikatnya tidak akan berjalan
dengan baik jika bukan kita yang membangun, mengatur, melindungi, atau
menjalankannya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Alquran surat Ar-Ra’d
ayat 11, yang berbunyi:

‫ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ‬
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri.

Penutup
Dengan berakhirnya tulisan ini, maka dapat diambil benang merah. Pertama,
revolusi mental dapat dilakukan dengan menerapkan pola pendidikan Islami
yang sesuai dengan kandungan ayat-ayat Alquran. Pendidikan akhlak dalam
hal ini juga perlu, sebab akhlak merupakan karakteristik pendidikan Islami.
Pemberian yang Allah anugerahkan—ketakwaan dan keburukan—menjadi
ujian tersendiri. Ketakwaan tentu akan mengantarkan pada kemaslahatan,
sedangkan keburukan akan memberikan timbal balik (feedback) yang buruk
pula. Seorang muslim diharapkan mampu mengontrol hati nurani dan hawa
nafsunya.
Kedua, bejatnya perilaku yang merebak akhir-akhir ini disebabkan karena
tidak tertanamnya nilai-nilai suci Alquran dan tidak teraplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani yang tidak
seimbang juga menjadi salah satu faktor penyebabnya, sebab hati yang bersih—
baik bersikap—didukung oleh jasad yang tangguh
Ketiga, membentuk program “Banten Nyantri” sebagai solusi yang
diharapkan mampu mengurangi tindak kejahatan dan bisa menumbuhkan hati
206 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

masyarakat Banten yang dalam hatinya tersimpan nilai-nilai luhur Alquran dan
bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu, hal ini akan berjalan
dengan baik jika seluruh elemen masyarakat bergerak, membangun dan peduli
akan nasib generasi cemerlang masyarakat Banten yang diharapkan memiliki
kecakapan ilmu dan berudi pekerti baik.

Pustaka Acuan:
Sumber Buku
Ad-Dimsyiqy, Aby Al-Fida’i Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisy. 1999. Tafsir
Alquran Al-‘Adzim. Riyadh: Darut Tayyibah.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 1989. Ihyâ’ ‘Ulûmuddin. Beirut: Dâr Al-
Fikr.
As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli dan Al-Imam
Jalaluddin Abdirrahman bin Abu Bakar. tt. Tafsir Jalalain. t.pn: CV
Pustaka Assalam.
Departemen Agama RI. 2006. Alquran Al-Karîm dan Terjemah Bahasa Indonesia.
Kudus: Menara Kudus.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa: Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 2015. Lembaga Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
_____. 2015. Falsafah Hidup. Jakarta: Republika Penerbit.
Hidayat, Arif. 2015. Gantengnya tuh di sini: Mendesain Inner Beauty bagi Muslim
Ala Rasulullah Saw... Jakarta: Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia.
Iqbal, Muhammad. 2015. 8 Golongan yang Dicintai Allah dan 6 Golongan yang
Dibenci Allah. Bandung: Mizania.
Muhammad, Ahsin Sakho. 2017. Oase Alquran Penyejuk Kehidupan. t.pn: Qaf.
Muhsin, Raghib As-Sirjani dan Abdul. 2017. Orang Sibuk pun Bisa Hafal
Alquran. Surakarta: PQ.S. Publishing.
Mulyasa, E. 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nata, Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Nuryati, Sri. 2008. Halalkah Makanan Anda?. Surakarta: Aqwamedika.
Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsîr Al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian
Alquran. Tangerang: Lentera Hati.
_____. 2011. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat Jilid II. Tangerang: Lentera Hati.
Menjadikan Alquran Sebagai Pilar Visi Misi Provinsi Banten 207

_____. 2013. Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan.
_____. 2017. Akhlak: Yang Hilang Dari Kita. Tangerang: Lentera Hati.
Siroj, Said Aqil. 2006. TaSaw.uf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam
Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan.
Syafri, Ulil Amri. 2014. Pendidikan Karakter Berbasis Alquran. Jakarta: Rajawali
Pers.

Sumber Internet
Dares. 2017. “Visi Misi Provinsi Banten 2017-2022”. Diakses dari www.
bantenprov.go.id, Pada Tanggal 12 April 2018 Pukul 09.09 WIB.
Kabar Banten. 2017. “Hasil Survei LPTQ Terhadap Muslim di Banten, 76,72
Persen Belum Lancar Baca Alquran”. Diakses dari www.kabar-banten.com,
Pada Tanggal 19 Maret 2018 16.42 WIB.
Ridwan Aji Pitoko. 2018. “Polisi Tangkap Dua Remaja Wanita yang Aniaya
Siswi SMP di Tangerang”. Diakses dari www.megapolitan.kompas.com,
Pada Tanggal 18 Maret 2018 Pukul 20.24 WIB.
Revolusi Mental Masyarakat Banten
(Transformasi dari Mental Mustahiq
Menjadi Mental Muzakki)
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.15

Pendahuluan
Indonesia kaya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Tambang adalah bentuk SDA Indonesia yang hasilnya bisa dimanfaatkan menjadi
emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi. Pemerintah dengan wewenangnya
berhak mengatur dan mengelola hasil tambang. Sektor ini dijadikan sebagai
salah satu penunjang kesejahteraan rakyat, baik dalam skala besar maupun skala
kecil. Hal ini karena faktor pertambangan bernilai ekonomis dan menjadi salah
satu sumber pemasukan negara yang cukup besar nilainya (Salim HS, 2014:12).
Selain dari sektor pertambangan, sektor panganpun menjadi perhatian
khusus bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara agraris, secara langsung Indonesia
memiliki sumber pangan. Pangan menjadi kebutuhan dasar manusia untuk
mempertahankan hidup, sebagaimana (Isment, 2007:3 & Suryana, 2008:5)
kecukupan pangan adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Oleh karena
itu, ketahanan pangan menjadi isu sentral dalam pembangunan Indonesia
dan menjadi fokus utama dalam pertanian apalagi saat ini pemerintah sedang
menggaungkan swasembada pangan.
Sadar atau tidak, ternyata potensi alam ini dimiliki oleh masyarakat Banten.

209
210 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Di daerah Cikotok menjadi daerah penghasil emas, biji besi di Cikurut, bahan
semen di Anyar, intan di Cibaliung dan penghasil batubara di gunung Kencana
(banten.bps.go.id). Selain itu, provinsi Banten menjadi daerah penyangga
pangan Ibu kota (detiknews.com). Artinya, kekayaan produk tambang dan
pangan ini bisa mendongkrak perekonomian masya­rakat Banten khususnya dan
negara pada umumnya.
Namun, disamping berbangga dengan dengan kekayaan sektor per­
tambangan dan pangan ternyata tetap saja dihadapkan pada persoalan yang
pelik. Banten sebagai negara kaya tampaknya perlahan meredup setelah pelbagai
pertambangan milik negara telah dikuasai asing, pribumi menganggur, dan
kemiskinan semakin teratur dan terstruktur. Bagaimana tidak, kemiskinan di
provinsi tercinta ini masih menunjukkan angka yang memprihatinkan dari tahun
ke tahun. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan hingga September
2017 naik 10,7 persen dari total penduduk di Banten (BPSBanten.go.id).
Hal ini seperti sebuah aksi gali lubang tutup lubang yang tak berkesudahan.
Pemerintah seolah memangkas rumput namun tidak sampai pada akarnya.
Ironisnya, meskipun kekayaan SDA dan SDM berlimpah, ternyata terjadi
impor beras, daging sapi, bahkan garam padahal Indonesia adalah negara
maritim (dikelilingi pulau) harusnya justru mengeskpor bukan impor. Inilah
yang menjadi persoalan serius. Hal ini disebabkan karena belum tertanam
mental dan etos kerja yang lebih baik pada diri bangsa Indonesia serta minimnya
kemampuan sumber daya manusia menjadi faktor penghambat kesejahteraan
bangsa dan ini menjadi catatan penting bagi semua elemen masyarakat.
Padahal provinsi Banten mayoritas muslim seharusnya menerapkan nilai-nilai
Alquran, sehingga masyarakatnya tidak berada pada kondisi memprihatinkan
dan ketergantungan dengan yang lain. Kita harus sadar, Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya
(Q.S.. Al-Ra’du:11).
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dibutuhkan transformasi mental
masyarakat Banten yang malas bekerja dan hanya mengharap bantuan orang
lain saja (mustahiq) menjadi mental yang siap bekerja keras demi kehidupan
yang baik bagi mereka namun tidak melupakan yang lainnya (muzakki) dengan
menerapkan empat unsur transformasi dan tiga nilai revolusi mental. Hal inilah
yang dikaji lebih dalam makalah ini.

Tiga Nilai Revolusi Mental


Gagasan revolusi mental di Indonesia sebenarnya telah digaungkan sejak
pemerintahan Presiden Soekarno (Detiknews.2015). Menurutnya, revolusi
Revolusi Mental Masyarakat Banten 211

mental adalah salah satu gerakan untuk melatih dengan sekuat tenaga generasi
Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, dan
berjiwa api menyala-nyala.
Kata revolusi dipahami sebagai perubahan yang cukup mendasar dalam suatu
bidang. Sedangkan kata mental memiliki pengertian sesuatu yang menyangkut
batin, watak dan bukan bersifat badan atau tenaga. Jika digabungkan, maka
revolusi mental dapat dipahami sebagai gerakan perubahan mendasar dalam
watak, batin, pola pikir manusia.
Menteri dalam negeri Thahjo Kumolo mengatakan revolusi mental yakni
perubahan mendasar terhadap cara berfikir, bekerja, dan cara hidup yang
lebih baik (Hamry Gusman, 2016). Revolusi mental mengajak kita untuk
menyadari dan mengubah sikap hidup yang tidak hanya sekedar hanyut dalam
arus kehidupan serta tidak menjalani hidup sekedar pasrah mengalir seperti air,
namun perlu adanya perubahan-perubahan menuju kemaslahatan hidup yang
baik. Pendeknya, revolusi mental diartikan sebagai perubahan mendasar atas
pola pikir (mindset) dan pola kerja yang mencerahkan.
Ada tiga nilai dalam gerakan revolusi mental, yaitu integritas, etos kerja
dan gotong royong (Kemenko, 2015:29). Integritas dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988: 335) memiliki pengertian jujur dan dapat dipercaya.
Orang yang memiliki integritas adalah yang dianggap baik, panutan dan
menjadi teladan dalam banyak hal sebab mampu berkomitmen secara benar baik
perkataan maupun perbuatan. Wujud integritas untuk mencapai kemakmuran
dilakukan dengan cara masyarakat Banten harus berintegritas yang tinggi dan
yakin, bahwa bisa melakukan segala sesuatu dengan baik. Sehingga, pekerjaan
apapun yang dikerjakan akan maksimal dan optimal apalagi jika dibarengi
dengan tekad bulat memajukan kesejahteraan. Nilai integritas terdapat dalam
surat as-Shaf ayat 3:

‫ﮤ ﮥﮦﮧﮨﮩﮪﮫﮬﮭ‬
“Sangatlah besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
kerjakan”
Dengan demikian, jika masyarakat Banten memiliki integritas yang tinggi,
maka pasti mampu mengemban amanah untuk mengelola kekayaan ini dengan
penuh komitmen memajukan negara ini,
Nilai revolusi mental yang kedua, etos kerja. Etos kerja juga mengandung
sebuah makna tentang semangat yang menggelegar untuk mengubah sesuatu
lebih bermakna (Toto tasmara, 2002:21). Etos kerja ini tentang perilaku kerja
yang inovatif, memiliki daya saing yang tinggi, optimis, dan produktif juga
212 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

terangkai dalam Alquran surat at-Taubah ayat 105:

‫ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ‬
‫ﯬﯭﯮ ﯯﯰ‬
Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga
Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah
yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata “bekerjalah kamu” merupakan bentuk
perintah yang tidak hanya untuk Rasulallah Saw., namun bentuk perintah
ini juga berlaku untuk seluruh hambaNya. Lakukan dan kerjakan segala
amalan karna nanti di hari kiamat segala amalan yang pernah dilakukan akan
diperlihatkan dihadapan Allah swt, Rasul dan orang-orang mukmin.
Selain merupakan bentuk perintah, kata ini juga sebagai bentuk ancaman
untuk semua hamba Allah agar berusaha, bekerja, dan melakukan segala amalan
baik dan meninggalkan yang buruk. Revolusi mental mengajak setiap jiwa
untuk menuju pada perubahan yang lebih baik, sehingga jiwa akan terbiasa dan
selalu terdorong untuk melakukan hal yang baik-baik.
Bentuk kesadaran jiwa akan suatu keburukan, kemudian membiasakan
jiwa untuk terbiasa melakukan hal baik dapat menjadi titik awal perubahan
mental, jiwa, sikap menjadi lebih baik, berintegritas, selalu bekerja keras, dan
selalu membangun kemitraan (gotong royong). Pada titik inilah revolusi mental
seseorang untuk lebih baik akan terjadi.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bekerja adalah salah satu
kewajiban bagi umat manusia untuk mencari karunia dari Allah dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sikap kerja keras, inovatif dan memiliki
daya saing tinggi tentu akan membawa perubahan-perubahan dasar menuju
penghidupan yang lebih baik. Jika, masyarakat ditananmkan dengan karakter
kerja yang baik, maka akan selalu mengerjakan sesuatu dengan penuh usaha dan
pasti akan menjadi pekerja keras.
Sedangkan nilai revolusi mental yang ketiga adalah gotong royong.
Gotong royong menjadi kerjasama kelompok masyarakat untuk mencapai
tujuan positif secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam Alquran
gotong royong dikenal dengan istilah ta’awun. Kata ini terdapat pada surat
al-Maidah ayat 2:

‫ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶﯷ ﯸ ﯹﯺ ﯻ ﯼ‬
‫ﯽﯾﯿ‬
Revolusi Mental Masyarakat Banten 213

Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan janganlah
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat berat siksaannya.
Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan manusia untuk saling tolong
menolong dalam hal kebaikan dan melarang untuk tolong menolong dalam
keburukan. Semangat nilai-nilai gotong royong dapat tercermin pada sikap
saling berbuat baik dan membangun mitra yang baik terhadap sesama. Adanya
kerjasama tentu akan melahirkan kinerja dan keuntungan yang lebih baik pula
antar kedua belah pihak. Hal ini berarti, diperlukan kerjasama dan kemitraan
yang baik antar semua elemen masyarakat untuk bisa berjuang bersama
mensejahterakan masyarakat menuju masyarakat sejahtera.
Penjelasan nilai-nilai revolusi mental di atas menunjukkan bahwa pentingnya
penerapan tiga nilai tersebut sebagai gerakan hidup baru dalam bermasyarakat.
Masyarakat harus mampu mengubah pola pikir dan kerja lebih baik lagi demi
tercapainya cita-cita bangsa Indonesia menuju kesejahteraan bersama melalui
gerakan revolusi mental.

Transformasi Mental Masyarakat Banten


Melakukan suatu perubahan dibutuhkan keberanian. Dalam upaya menerapkan
mental bangsa Indonesia agar lebih baik, maka diperlukan keberanian untuk
melakukan transformasi. Empat unsur transformasi untuk merevolusi mental
masyarakat dapat dilakukan melalui:
a. Niat dan Semangat Berubah Lebih Baik (Niat)
Niat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna maksud dari suatu tujuan.
Secara bahasa Arab, niat adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu
tindakan (Kamus Al munawwir, 2007) atau simpelnya orang Arab berkata
bahwa niat berarti “sengaja”. Kadang, niat juga diartikan dengan sesuatu yang
dimaksudkan atau disengajakan dalam hati.
Apa yang ada dalam hati, terkadang berbeda dengan apa yang ada pada
lisan dan perbuatan. Maka, niat yang dilakukan oleh manusia hanya diketahui
oleh Allah dan pemiliki hati tersebut. Hal ini, memberikan titik terang bahwa
niat mengubah agar lebih baik adalah pondasi memajukan kondisi masyarakat
Banten sekarang ini. Di tengah kondisi masyarakat yang lemah ekonomi ini
diperlukan niat, tekad, komitmen dan semangat perubahan menuju Banten
sejahtera. Sebagai masyarakat, sudah sepantasnya kita memiliki keinginan untuk
mengubah nasib kita menuju lebih baik dan maju. Hal ini, membutuhkan
usaha keras dari pribumi itu sendiri untuk mengubah keadaan. Sebagaimana
dalam Q.S.. Al-Ra’du ayat 11
214 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Mengenai ayat ini, (Wahbah Zuhaili, 2015:126) mengungkapkan bahwa
Allah tidak akan mengubah keadaan dan kondisi umat Islam yang mulia,
kuat, makmur, sejahtera, unggul dan merdeka selagi umat Islam tersebut tidak
mengubah dirinya pada perbuatan yang keji.
Sedangkan, (Quraish Shihab, 2002: 556-557) menjelaskan bahwa ayat
tersebut berbicara tentang perubahan sosial. Ini dapat dipahami dari penggunaan
kata “qaum” pada ayat tersebut. Selain itu, ayat ini juga menekankan bahwa
perubahan yang dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang
dilakukan oleh masyarakat.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa ayat ini menunjukkan pesan
revolusi mental bagi manusia untuk memperbaiki kehidupannya melalui
perubahan-perubahan ke arah lebih baik. Perubahan tersebut tidak hanya
dilakukan oleh individu saja, namun juga dilakukan dan disebarkan kepada
masyarakat luas. Karna itu, boleh saja terjadi perubahan oleh penguasa namun
jika masyarakatnya tidak berubah maka keadaan akan tetap sama seperti
sediakala.
Untuk itu, masyarakat harus mempertahankan nilai-nilai positif yang
ditunjukkan dengan perubahan pola pikir dan mental pribadi masing-masing
yang dimulai dengan membangun niat, tekad, dan komitmen dalam hati untuk
sama-sama memperbaiki kondisi diri menuju lebih baik lagi. .

b. Penanaman Nilai Karakter Moral dan Karakter Kinerja (at-Tarbiyah)


Moral dalam Islam diartikan dengan akhlak. Karena dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budai pekerti atau kelakuan (Quraish
Shihab, 1999:253). Akhlak atau moral juga diartikan sebagai watak atau tabiat
manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu (Mukhson,
2013:9).
(Quraish Shihab, 1999:254) Adanya dua isyarat dalam Alquran mengenai
manusia bahwa kebikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan
dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Bentuk kebajikan yang kongkrit, tercermin dari moral. Moral sangat
penting posisinya, jika manusia bermoral maka ia dihargai dan dihormati orang
sekelilingnya. Begitu sebaliknya, jika seorang manusia tidak memiliki moral
artinya ia tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya.
Revolusi Mental Masyarakat Banten 215

Dengan segala kebaikan yang ada pada manusia maka karakter moral
bangsa harus dibangun sedini mungkin, bahkan harus dibangun sebelum
manusia mengenal kejahatan. Terdapat dua jenis karakter, yaitu karakter moral
dan karakter kinerja (Anis, Baswedan, 2015:13).
Pertama, karakter moral harus ditumbuhkan pada setiap pribadi. Bertakwa,
jujur, berintegritas, dan segala kebaikan lainnya harus menghiasi jiwa dan mental
masyarakat Banten sebagai bekal mengubah mental menjadi lebih beriman dan
cerdas untuk mengubah mental diri agar tidak menjadi mustahiq (mental selalu
ingin diberi) agar Banten sejahtera.
Kedua, karakter kinerja. Hal ini juga sangat dibutuhkan dalam me­revolusi
mental masyarakat Banten, sebab untuk mewujudkan Banten yang bahagia
harus dilakukan dengan kerja keras, professional dan tanggung jawab. Jika
hal ini yang dilakukan masyarakat, maka sangat dimungkinkan lambat laun
karakter ini akan melekat pada diri bangsa dan upaya mewujudkan Banten
sejahtera akan terwujud.

c. Nasionalisasi Aset-aset Bangsa (al-Watoniyah)


Sesuai dengan amanat pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (UUD) pada
sila kelima bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia da nisi UUD
pasal 33 ayat 2 menyebutkan “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Hal ini menjadi bukti bahwa segala kekayaan alam yang dimiliki Indonesia
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana yang kita ketahui, banyak
aset Indonesia yang dikelola asing sebagai sumber daya manusia Indonesia justru
terserap hanya sedikit yang menyebabkan pengangguran dimana-mana.
Nasionalisasi, proses menjadikan sesuatu milik negara atau bangsa
(KBBI:1988). Proses ini berarti sejalan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia,
saat ini sumber daya alam di Indonesia, Banten khususnya yang dikenal
dengan kawasan Industri, justru perusahaannya banyak dikuasai asing sehingga
diperlukan proses nasionalisasi bagi setiap bangsa Indonesia demi kesejahteraan
rakyat.
Hal ini dimulai dari keberanian bangsa Indonesia untuk mengambil sikap,
tidak dengan mudah memberi angin segar kepada asing untuk mengelolanya. Hal
ini terbukti, banyak orang asing yang menjadi pekerja kasar (angkut pasir) di negeri
kita, padahal pekerjaan itu pasti bisa dilakukan oleh pribumi (Kompas:2017).
Padahal, telah jelas Allah berfirman dalam Q.S. An-Nahl 90.
216 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﭺﭻﭼﭽﭾ ﭿ‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berbuat adil dan berbuat kebajikan.
Ayat di atas, sangat penting dikaji berkaitan dengan bagaimana sikap
menghadapi bangsa asing yang menguasai aset bangsa ini yakni. Lebih lanjut,
proses nasionalisasi menurut ayat ini dilakukan dengan menyuruh pribumi
untuk bersikap proporsional dan baik. Maksudnya, sikap proporsional ini tidak
boleh membiarkan negara dan bangsa ini terpuruk tapi kita juga tidak bisa diam
melihat keserakahan bangsa asing yang menjarah kekayaan negeri Indonesia
dengan trik, strategi dan perhitungan yang matang. Usaha ini dilakukan
dengan terus memperbaiki Sumber Daya Manusia dengan membekali dengan
pendidikan dan keterampilan.
Sedangkan, kata ihsan berarti baik, bagus. Maksudnya, hanya pemimpin
yang ihsan (tidak hanya janji di lisan) ia berani menasionalisasi aset bangsa
ini yang tentunya harus dengan mufakat semua elemen masyarakat demi
kesejahteraan rakyat.

d. Tawakkal
Tawakkal adalah pasrah diri terhadap kehendak Allah. Orang yang ber­tawakkal
artinya orang yang punya iman, artinya segala sesuai dengan pengawasan Allah.
Tanda orang yang bertawakkal bersikap optimis, tenang dan tentram atas apa
yang telah diterimanya. Tawakkal juga diartikan sebagai wujud penyandaran
hati kepada Allah dan percaya Allah berkuasa atas segala sesuatunya (Syaikh
Ahmad Farid, 2012: 348).
Kata tawakal disebut dalam Alquran sebanyak 83 kali dalam 31 surat
(Jejen, Musfah, 2001:189) diantaranya Q.S.. Ali Imran 159, al-Anfal 61, Hud
123, al-Furqan 58, al-An’am 66, asy-Syuara 217 yang semuanya mengacu pada
penyerahan.
Dengan demikian, Islam menyuruh pemeluknya untuk berusaha keras,
dan beramal di jalan Allah dan mewajibkan agar segala usaha dan amalnya
dikerjakan sambil bertawakal kepada Allah. Dalam rangka memajukan Banten
menuju lebih baik maka diperlukan mental bangsa agar menjadi pekerja keras,
bermoral, dan tawakal kepada Allah. Artinya, jika masyarakat telah sepakat
melakukan usaha terbaik untuk negeri ini, maka diperlukan niat yang baik,
karakter moral dan kinerja yang baik, menasionalisasi aset bangsa, setelah itu
serahkan kepada Allah.
Revolusi Mental Masyarakat Banten 217

Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk merevolusi mental
masyarakat Banten menjadi lebih baik lagi tidak bisa dilakukan secara instan.
Namun, diperlukan proses untuk mewujudkannya.
Dalam hal ini, transformasi menjadi jalan keluar untuk mengubah mental
masyarakat Banten agar aset negara tidak dikelola asing dan tidak import
kebutuhan pokok (mental mustahiq ) menuju masyarakat pekerja keras, mengelola
kekayaan alam secara mandiri dan ekspor kebutuhan pokok (muzakki) untuk
hidup sejahtera dan lebih baik lagi.
Proses transformasi ini terdiri dari (niat, tarbiyah, nasionalisasi dan
tawakkal) dan dengan menerapkan tiga nilai revolusi mental bidang ekonomi
yakni integritas, etos kerja dan gotong royong. Jika proses transformasi dan
nilai revolusi mental ini diterapkan oleh masyarakat Banten, maka akan tercipta
mental-mental pekerja keras (muzakki) yang akan membantu perekonomian
lebih baik lagi.

Pustaka Acuan:
Sumber Buku
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Indonesia dan Arab, Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007
Hayyie, Abdul, Tafsir al-Munir Wahbah Zuhaili Jilid 7, Jakarta: Gema Insani, 2014
Alquran dan Terjemahan, Jakarta: Kemenag RI, 2010
Baswedan, Anis, Merawat Tenun Bangsa, Jakarta: Serambi, 2015
Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2002
Gusman, Hamry, 5 Pilar Revolusi Mental, Jakarta:PT. Elex Media Komputindo,
2016
Ismet, M. Tantangan Mewujudkan Kebijakan Pangan yang Kuat, Jakarta: Badan
Urusan Logistik, 2007
Muchson, Nilai-nilai Pendidikan Karakter Dalam Serat Wedhatama, Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013
Musfah, Jejen, Indeks Alquran Praktis, Bandung: Mizan, 2001
Salim, HS, Hukum Pertambangan dan Batubara, Jakarta: Sinar Grafika, 2014
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta:
Lentera Hati, 2002
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran Vol 2, cet.
VIII, Jakarta: Lentera Hati, 2007
Shihab, M. Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan, 1999
218 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Suryana, A, Menelisik Ketahanan Pangan dan Swasembada Beras: Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian, 2008
Farid, Syaikh. Ahmad, Tazkiyatun Nafs, Ter. M. Suhadi, Yoyakarta: Ummul Quro,
2012
Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Tim Penyusun Pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007

Sumber Internet
www.BPSBanten.go.id
www.detiknews.com
www.kompas.com
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi
Mental dalam Membentuk Generasi
Qur’ani
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.04

Pendahuluan
Pesatnya kemajuan dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah membuka
era baru dalam perkembangan budaya, serta cara berfikir umat manusia yang
dikenal dengan era globalisasi. Pada era ini ditandai dengan semakin dekatnya
jarak dan hubungan serta komunikasi antar bangsa dan budaya umat manusia.
Dunia tampak sebagai satu kesatuan system yang saling memiliki ketergantungan
antar satu dengan yang lainnya. Dalam suasama semacam itu, tentunya umat
manusia membutuhkan seorang yang dapat membawa kepada jalan kebaikan.
Dalam realita hidup, generasi muda Indonesia, masih terbelenggu dengan
masalah narkoba atau obat-obatan terlarang. Banyak dari mereka yang ter­
perangkap dalam hasutan teman pergaulannya sehingga ikut-ikutan untuk
mengonsumsi barang itu. Setelah terperangkap, mereka akan terus membuat
semacam geng atau biasa disebut “Komplotan narkoba” untuk membujuk
generasi muda yang masih mengalami transisi. Tidak hanya orang dewasa
ataupun remaja, bahkan anak-anakpun bisa jadi korbannya.
Namun, semua itu tidak akan dibiarkan begitu saja oleh generasi muda
yang masih sadar dan tahu akan pentingnya nasib bangsa Indonesia di masa

219
220 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

depan. Mereka tidak akan tinggal diam dan termenung, melainkan cepat sigap
mangantisipasi serta menumpas habis masalah generasi muda penerus bangsa
untuk tuntas dari berbagai persoalan yang sedang menimpanya. Oleh karena
itu, harus ada cara bagaimana mengantisipasi hal tersebut.
Syekh Az-Zarnuji menjelaskan bahwa ketika temanmu itu mempunyai tabiat jelek
dan perusak maka jauhilah ia dengan secepatnya sebelum kejelekan temanmu itu
mempengaruhimu, lalu kamu berulah seperti apa yang dilakukannya. Namun jika
temanmu itu adalah sosok yang mempunyai tabiat baik, maka bertemanlah kamu
dengannya, supaya kamu mendapatkan petunjuk, sebab pertemanan itu berpengaruh,
karena itu buah dan manfaat dari sebuah pertemanan akan berpengaruh untukmu.
Hal ini seperti apa yang telah dikukuhkan dalam sebuah hadiys, bahwa sesungguhnya
pertemanan itu punya sisi yang dapat mempengaruhi, jika tidak maka semua makhluk
yang diciptakan Allah SWT akan terhindar dari kerusakan dan hal buruk atau celaka.
(2006:14)
Dengan demikian, sebagai seorang pelajar atau generasi muda hendak­nya
dalam bergaul membatasi dirinya untuk tidak berteman dengan orang-orang
yang malas atau mempunyai akhlak jelek.
Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar merupan tujuan utama dan termulia
diciptakannya seorang manusia. Sebagaimana Allah SWT ber­firman:

‫ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ ﮢ‬
‫ﮣﮤﮥ‬
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung (Q.S Ali-Imran [3]:104) (Tubagus Najib, 2012:63).
Dengan turunnya perintah tersebut, maka hendaknya ada sebagian orang
dari orang-orang yang beriman yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, agar umat manusia tidak tenggelam dalam kesesatan, dan sekaligus
dapat mengurangi jumlah kemaksiatan. Jika di dalam suatu masyarakat telah
ada sejumlah orang yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
maka masyarakat semacam itu akan terlindungi dari murka dan siksaan-Nya.
Dengan adanya ustad gaul akan dapat merubah mental generasi qur’ani
saat ini, karena ustad gaul dapat menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
serta berperan sangat penting bagi para remaja bahkan anak-anak, juga dapat
menyampaikan dakwah sesuai dengan situasi, kondisi, dalam masyarakat sekitar,
baik dalam bahasanya, gayanya, mauapun cara penyampaiannya. Sehingga
dapat diterima oleh masyarakat serta para remaja khususnya.
Bertolak dari pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud menjelaskan bahwa
ustad gaul dapat mengatasi rekonstruksi revolusi mental dalam membentuk
generasi qur’ani. Maka, starting point dari masalah di atas yaitu apa yang di
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 221

maksud ustad gaul? Bagaimana gagasan rekonstruksi revolusi mental? Apa saja
ikhtiar untuk membentuk generasi qur’ani?

Mengurai Makna Ustad Gaul


Ustad menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu tuan, guru,
atau mahaguru (laki-laki) pada madrasah. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:928).
Menurut Daradjat guru adalah pendidik professional, karena secara implisit
ia telah merelakan dirinya memikul sebagian tanggung jawab pendidik yang
terpikul di pundak orangtua. Di Negara-negara Timur sejak dahulu kala guru
dihormati oleh masyarakat. Orang India dahulu, menganggap guru itu sebagai
orang suci dan sakti. Di Jepang, guru disebut sensei, artinya yang lebih dahulu
lahir atau yang lebih tua. Di Inggris, guru itu dikatakan teacher, dan di Jerman
der Lehrer, keduanya berarti pengajar, melainkan pendidik, baik di dalam
maupun di luar sekolah. Ia harus menjadi penyuluh masyarakat. (2016:39-40).
Sedangkan gaul, mungkin orang beranggapan bahwa gaul itu identic dengan
aneka pernak-pernik yang melekat di tubuhnya, seperti gelang, cincin, anting,
kalung, rantai, dan lain-lain. Padahal, arti gaul itu sendiri bukanlah demikian,
sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti gaul itu adalah
hidup berteman atau bersahabat. (Tim Pustaka Phoenix, 2010:275).
Jadi, ustad gaul adalah seorang guru yang hidup berteman atau bersahabat
dengan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat dijadikan contoh
yang baik bagi kaaum remaja sebagai generasi di masa yang akan dating untuk
meneladani jejak dakwah menegakkan amar ma’aruf nahi munkar.
Agama Islam sangat menghargai orang-orang yang berilmu pengetahuan
seperti layaknya seorang guru, sehingga hanya mereka sajalah yang pantas
mencapai taraf ketinggian dan keutuhan hidup. Sebagaimana Allah SWT
berfirman

‫ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ ﰎ ﰏ ﰐﰑ‬
…Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat…
(Q.S Al-Mujadalah [58]:11) (Tubagus Najib, 2012:543)
Dengan demikian, Imam Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan dalam ayat
tersebut bahwa “Niscaya Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kalian karena ketaatannya dalam hal tersebut dan Dia me­
ninggikan pula orang-orang yang diberi ilmupengetahuan beberapa derajat di
Surga nanti. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan” (tt:450).
Oleh karena itu, Allah SWT akan meninggikan derajat di Surga nanti
kepada orang-orang yang beriman dan diberikan ilmu pengetahuan. Diantara­
222 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

nya kepada seorang guru, karena guru memiliki ilmu, selain memiliki ilmu, ia
mengamalkan kepada orang-orang yang senantiasa ingin mendapatkan ilmu
agar bermanfaat. Akan tetapi, jika seorang guru tersebut tidak beriman, maka
tidak akan ditinggikan derajat oleh-Nya, karena beriman dan berilmu harus ada
pada diri manusia, terutama oleh seorang guru sebagai penegak amar ma’ruf
nahi munkar.

Gagasan Rekonstruksi Revolusi Mental


1. Menggagas rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembinaan baru atau pembangunan kembali. (Qohar,
tt:213). Seorang ustad atau guru harus menyadari perannya sebagai orang
yang dipercaya, dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami
psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental, serta berakhlak mulia.
(Mulyasa, 2015:178). Di antara makhluk hidup di muka bumi ini, manusia
merupakan makhluk yang unik, dan sifat-sifatnya pun berkembang dengan
unik pula, menjadi apa dia, sangat dipengaruhi pengalaman, lingkungan
dan pendidikan. Untuk menjadi manusia dewasa, manusia harus belajar dari
lingkungan selama hidup dengan menggunakan kekuatan dan kelemahannya.
Pendekatan psikologis dan mental healt di atas akan banyak menolong guru
dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat, yang telah banyak dikenal
bahwa ia banyak membantu peserta didik untuk dapat membuat keputusan
sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﭞﭟﭠﭡﭢﭣﭤﭥﭦﭧﭨ‬
‫ﭩﭪ‬
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena
kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf. Dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah… (Q.S Ali-Imran [3]:110) (Tubagus Najib, 2012:64)
Cara berdakwah yang paling mendekati keberhasilan adalah hendaknya
si da’i hidup dengan apa yang ia sampaikan kepada umat atau pendengar
dakwahnya. Sebab, tujuan dakwah hanyalah untuk mengajak manusia kepada
jalan Allah SWT yang lurus. Dan seorang mukmin adalah siapa yang lahir
maupun batinnya lurus. Dan seorang mukmin adalah siapa yang lahir maupun
batinnya lurus. Jika hidup seorang mukmin setengah-setengah, maka ia dapat
dikatakan sebagai seoarang yang bersikap munafik. Oleh karena itu, seorang da’i
harus bersih dari segala sifat tidak terpuji. Karena keimanan yang kuat bernilai
sangat tinggi, dan ia tidak akan menyampaikan sesuatu kecuali yang baik serta
lurus di setiap masa dan tempat.
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 223

Syekh Manna’ Al-Qaththan mengatakan alam yang luas dan dipenuhi makhluk-makhluk
Allah SWT ini, gunung-gunung yang menjulang tinggi, samudranya yang melimpah,
dan datarannya yang menghampar luas, menjadi kecil dihadapan makhluk yang
lemah, seperti manusia. Yang demikian disebabkan Allah SWT telah menganugrahkan
kepadanya berbagai keistimewaan, dan memberinya kekuatan berfikir yang mampu
menebus segala sisi untuk menundukkan unsur-unsur kekuatan alam tersebut dan
menjadikan sebagai pelayan bagi kepentingan kemanusiaan. Allah SWT sama sekali
tidak akan melantarkan manusia tanpa memberikan kepadanya sebersit wahyu, dari
waktu ke waktu, yang akan membimbingnya ke jalan petunjuk sehingga mereka
dapat menempuh kehidupan ini atas dasar keterangan dan pengetahua. Ungkapan
tersebut memberikan penyerahan kepada setiap manusia, bahwa Allah SWT telah
menganugrahkan kepada manusia sebagai keistimewaan. (2004:257).
Oleh karena itu, seorang ustad gaul sangat berperan bagi kehidupan
generasi qur’ani saat ini, dan harus merekonstruksinya agar timbul banyak
generasi-generasi seperti ustad gaul tersebut, karena dapat mencetak generasi
yang berakhlak Alquran, dan dapat merubah mental generasi saat ini.
Setiap kali terdegar berita tentang wafatnya guru atau ulama, betapa
setiap dada mukmin pasti bergetar, khawatir yang patah takkan tumbuh dan
hilang berganti. (El Saha, 2008:9). Persoalan mendasar yang mungkin inheren
dengan keprihatinan umat dengan kelangkaan ustad saat ini, karena beban dan
tugas mereka begitu berat dalam merekat umat untuk tidak terpecah-pecah.
Pada dasarnya ustad memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam
pembangunan bangsa. Hal ini karena ketokohannya di bidang ilmu agama dan
merupakan panutan masyarakat. Sebagai panutan, mereka mempunyai charisma.
Sampai sekarang, masyarakat umumnya masih menerima dan menghayati
pengertian ustad sebagai ketokohan yang khas.
Selain itu, tugas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar bukanlah
merupakan tugas utama seorang ustad gaul atau setiap mukmin semata. Akan
tetapi, lebih jauh dari itu juga menjadi tugas utama Negara dan pemimpinnya.
Sebab, mereka mempunyai kekuasaan untuk menindak segala kemunkaran
melalui kekuasaan yang tengah disandangnya, seperti menghapuskan perzinaan,
perjudian, minuman keras, dan penimbunan barang kebutuhan pokok.
Pekerjaan semacam itu tidak dapat dilakukan oleh orang biasa yang tidak
mempunyai kewenangan atau kekuasaan apa pun. Apalagi jika ia bertindak
dengan kekerasan, tentunya ia akan menghadapi tuntutan hukum dari Negara.
Jika para pemimpin suatu negeri tidak mau menindak segala bentuk perbuatan
munkar dengan kekuatan dan kekuasaan yang telah diamanahkan, maka mereka
harus diberi peringatan oleh rakyat yang telah memilih mereka sebagai para
pemimpin pada negeri tersebut. Alhasil, tugas amar ma’ruf nahi munkar adalah
beban bagi setiap mereka yang mengaku dirinya sebagai muslim dan mukmin.
224 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Menuju ke arah revolusi mental


Setiap ustad atau guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang
memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi atau menjadi landasan bagi
kompetensi-kompetensi lainnya. Dalam hal ini, ustad atau guru tidak hanya
dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi dan yang paling
terpenting adalah bagaimana dia menjadikan pembelajaran sebagai ajang
pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik secara
berkesinambungan.
Revolusi mentalharus dapat membangun pribadi guru yang dapat dijadikan
contoh dan teladan bagi peserta didik. Guru merupakan contoh dan teladan
bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru.
(Mulyasa, 2015:174). Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap
bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan,
kerendahan, kemalasan, rasa takut, secara terpisah ataupun bersama-sama bisa
menyebabkan seseorang berfikir atau berkata “Jika saya harus menjadi teladan
atau dipertimbangkan menjadi model, maka pembelajaran bukanlah pekerjaan
yang tepat bagi saya. Saya tidak cukup baik untuk diteladani, di samping saya
sendiri ingin bebas untuk menjadi diri sendiri dan untuk selamanya tidak
ingin menjadi teladan bagi orang lain. Jika peserta didik harus memiliki model,
biarkanlah mereka menemukan dimanapun”. Alasan tersebut tidak dapat
dimengerti, mungkin dalam hal tertentu dapat diterima tetapi mengabaikan
atau menolak aspek fundamental dari sifat pembelajaran. Menjadi contoh dan
teladan merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru
tidak mau menerima ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah
mengurangi keefektifan pembelajaran, peran fungsi ini patut dipahami, dan
tidak perlu menjadi beban yang memberatkan, sehingga dengan keterampilan
dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran.

Ikhtiar Untuk Membentuk Generasi Qur’ani


1. Strategi dalam membentuk generasi
Dalam menangani hal dakwah, seorang ustad gaul harus mengetahui serta
mengamalkan 3 metode berdakwah yang dijelaskan dalam firman-Nya:

‫ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱﯓ‬
‫ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ‬
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik,
dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 225

Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk (Q.S An-Nahl [16]:125) (Tubagus Najib,
2012:281).
Berdasarkan ayat di atas, metode dakwah di dalam Alquran ada 3 perkara,
yaitu:
a. Bil Hikmah (Kebijaksanaan)
Yaitu cara penyampaian dakwah sesuai dengan keadaan penerima dakwah.
Contoh ceramah dalam pengajian, pemberian santunan kepada anak yatim,
korban bencana alam, pembangunan tempat ibadah, dan lain-lain.
b. Mauizhah Hasanah
Yaitu memberi nasehat atau mengingatkan kepada orang lain dengan
tutur kata yang baik, sehingga nasehat tersebut dapat diterima tanpa ada
unsur keterpaksaan. Miasalnya, ceramah umum, tabligh akbar, kunjungan
keluarga, penyuluhan, dan lain-lain.
c. Mujadalah (Bertukar pikiran dengan cara yang baik)
Pada zaman sekarang, bertukar pikiran menjadi suatu kebutuhan karena
tingkat berpikir masyarakat sudah mengalami kemajuan. Namun demikian,
seorang da’i harus mengetahui kode etik dalam pembicaraan atau perdebatan
sehingga akan memperoleh mutiara kebenaran, bahkan terhindar dari ingin
mencari popularitas ataupun kemenangan semata.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam ayat Wa Jaadilhum Billati Hiya Ahsan
yakni terhadap orang-orang yang dalam rangka menyeru mereka diperlakukan
perdebatan dan bantahan. Maka hendaknya hal ini dilakukan dengan cara yang
baik, yaitu dengan lemah lembut, tutur kata yang baik, serta secara yang bijak.
(2006:292).
Dari ketiga metode dakwah di atas. Maka ada beberapa upaya dakwah
ustad gaul dalam membentuk generasi qur’ani di antaranya;
1) Berdakwah dengan penuh kasih sayang
Seorang da’i atau ustad adalah pejuang yang mengembangkan kasih sayang
kepada segala sesuatu. Dia tidak akan menggunakan cara-cara yang keliru
untuk menyampaikan dakwahnya, misalnya menggunakan kekerasan,
kekuatan, dan paksaaan. Karena untuk meneguhkan iman dalam hati
seseorang tidak perlu menggunakan cara yang keliru seperti yang disebutkan
di atas. Untuk menerangkan keimanan kepada orang lain dibutuhkan
sikap kasih sayang, toleransi, dan kesabaran. Bila ini yang dilakukan maka
keimanan dapat tumbuh subur di hati setiap orang yang berjiwa qur’ani.
2) Mengiringi dakwah dengan do’a
Berdo’a merupakan tugas utama yang harus senantiasa dilakukan oleh
226 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

seorang da’i atau ustad, karena berdo’a merupakan sarana paling utama
untuk berhubungan dengan Allah SWT. Setiap ingin melakukan sesuatu
harus diawali dengan niat dan do’a, agar setiap aktivitas mendapatkan
ridho-Nya.
3) Berdakwah dengan cerdas
Seorang da’i atau ustad yang selalu mengajak orang lain ke jalan Allah SWT,
hendaknya berfikir objektif, sehingga dapat menempatkan dirinya sesuai
dengan lingkungan yang dihadapinya. Ketika ia berbicara dihadapan para
pendengarnya, ia menyesuaikan materi dan bahasanya sesuai kemampuan
berpikir para pendengarnya. Sehingga pembicaraan dapat diterima oleh
mereka, karena isi pembicaraanya dikagumi oleh para pendengarnya, tidak
muluk-muluk, tidak membosankan, dan tidak menyakitkan hati mereka.
4) Menjaga empati
Setiap mukmin khususnya para da’i dan ustad, hendaknya mempunyai
perasaan sangat prihatin ketika melihat kesesatan dan pembangkangan
umatnya terhadap agama Allah SWT. Dengan perasaan itu, maka hatinya
akan tergerak untuk membimbing ke jalan yang lurus, seperti yang
dirasakan oleh Rasulullah SAW., ketika melihat kaumnya sangat sesat,
sehingga Alquran menggambarkan sebegai berikut, seperti yang disebut
dalam firman-Nya:

‫ﭘﭙﭚ ﭛﭜﭝﭞ‬
Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan),
karena mereka (penduduk mekah) tidak beriman (Q.S Asy-Syu’ara [26]:3) (Tubagus
Najib, 2012:367).
Dengan demikian, Allah SWT mengisyaratkan bahwa beliau sangat
menghawatirkan keselamatan umatnya ketika mereka menentang ajaran
Islam. Sifat ini hendaknya dimikili oleh para da’i dan ustad.
5) Memiliki kedalaman ruhani
Seorang da’i atau ustad harus mempunyai ruhani yang sangat dalam, karena
perilaku dan tutur katanya akan dijadikan suri tauladan yang baik bagi
orang lain dan sebagai tanda bahwa ruhani adalah sehat. Jika seorang
da’i atau ustad sangat dalam keruhaniannya, maka ia akan sukses dalam
berdakwahnya kepada orang lain.
6) Melaksanakan dakwah dengan penuh kerinduan
Seorang da’i atau ustad yang melaksanakan tugasnya dengan penuh
kerinduan dan merindukan, maka ia tidak berharap imbalan apapun dari
selain Allah SWT. Karena ia mengetahui bahwa rizki itu sudah diatur oleh
Sang Pemberi Rizki yaitu Allah SWT.
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 227

7) Memelihara kebersihan qalbu


Hendaknya setiap da’i atau ustad mempunyai hati yang bersih dan hati
yang lemah lembut, ketika menyampaikan dakwahnya kepada orang lain.
Kalu tidak, maka hubungannya dengan Allah SWT akan kotor, sehingga
setiap kalimat dari dakwahnya tidak akan memberi pengaruh sedikitpun
bagi para pendengarnya.
Selain yang dipaparkan di atas, ustad gaul melakukan dakwah sesuai
dengan keberadaan jama’ahnya, apabila mayoritas para remaja, maka ustad gaul
menggunakan bahasa remaja, seperti halnya Alm. Ustad Jefri Albuchori, Ustad
Hannan Attaki, Ustad Evie Effendi, dan lain-lain. Para ustad gaul tersebut
menyampaikan dakwah dengan bahasa yang mudah dipahami terlebih kepada
generasi qur’ani. Sehingga apa yang disampaikan bisa diterima oleh orang yang
mendengarkannya. Di sisi lain dari penampilan atau gaya penyampaiannya,
menggunakan pakaian yang sederhana, tetapi sesuia syar’i. Dan materi yang
disampaikan sangat diterima oleh masyarakat yang mendengarkannya. Di
samping itu Aziz berpendapat bahwa seorang da’i harus berwawasan luas agar
suasana lebih hidup, dinamis, berisi, tidak monoton, menarik, memasyarakat,
dan enak didengar. (2015:33). Selain itu, seorang da’i harus humoris dan punya
bakat menghibur. Bakat itu diperlukan karena tugas seorang da’i yang harus
mampu menghipnotis dan menghibur para pendengar. Bahkan di zaman sekarang
ini, dakwah bagi pendengar sudah identik dengan hiburan (entertainment).
Sebenarnya, menegakkan tugas amar ma’ruf nahi munkar di tegah
masyarakat yang telah rusak merupakan pekerjaan yang cukup meminta
perhatian. Sehingga nilainyapun akan jauh lebih bagus dari pada beribadah
dengan cara mengasingkan diri dari banyak orang banyak. Andaikata tugas
ini tidak mempunyai nilai dari ibadah seseorang, tentunya Rasulullah SAW.
tidak akan pernah meninggalkan kediaman beliau untuk berhijrah, dan tidak
akan melepaskan diri beliau dari senantiasa beribadah kepada Allah SWT. Atau
dengan kata lain, tentunya beliau tidak akan bergaul dengan orang banyak,
demikan pula, andaikata tugas suci ber-amar ma’ruf nahi munkar tidak lebih
mulia nilainya dari berbagai macam ibadah-ibadah individu yang lain, tentunya
Allah SWT tidak akan berfirman sebagai berikut:

‫ﮬﮭ ﮮﮯ ﮰ ﮱ‬
Wahai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan” (Q.S
Al-Muddatsir [74]:1-2) (Tubagus Najib, 2012:575).
Memang semua ajaran agama ini berisikan nasihat bagi setiap pe­ngikutnya.
Karenanya, menegakkan tugas suci amar ma’ruf nahi munkar merupakan
pengabdian paling besar. Demikian pula setiap da’i harus mengenalkan kepada
228 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

setiap muslim atas kitab Alquran sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘﭙ ﭚﭛ‬
Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Alquran) kepada mereka, yang Kami
jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman (Q.S Al-A’raf [7]:52) (Tubagus Najib, 2012:157).
Pemuda termasuk dalam naungan Surga jika pemuda yang tumbuh dalam
keadaan beribadah kepada Allah SWT. (Handoko, 2014:9). Mengapa pemuda
yang demikian itu menjadi begitu istimewa? Karena masa remaja itu dipenuhi
dengan berbagai gejolak dan problematika. Apalagi dengan kondisi kejiwaan
masih labil, kemungkinan para pemuda terjerumus ke dalam pergaulan yang
rusak, hanya menuruti syahwatnya jauh lebih besar dari pada kemungkinan
menjadi pribadi yang tenang (Mutmainnah) dan rajin (Istiqamah) mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Pertalian dan kerja sama yang erat antara guru-guru lebih berharga dari pada
gedung yang molek dan alat-alat yang cukup. Sebab apabila guru-guru saling
bertentangan, anak-anak akan bingung dan tidak tahu apa yang dibolehkan
dan apa yang dilarang. Oleh karena itu, guru hendakya jangan bersikap seperti
majikan terhadap bawahannya. Malahan ia harus mengabdi kepada guru-guru
lain, artinya ia harus mengurus dan siap sedia memperjuangkan kepentingan
guru-guru lain. (Daradjat, 2016:44)

2. Final goal generasi qur’ani


Alquran sangat mudah untuk dipelajari jika ia benar-benar dan bersungguh-
sungguh untuk mempelajarinya, sebagaimana Allah SWT berfirman

‫ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢﮣ ﮤ ﮥ‬
Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk peringatan, maka adakah orang
yang mau mengambil pelajaran? (Q.S Al-Qamar [54]:17) (Tubagus Najib, 2012:529).
Dengan demikan, bahwa Alquran itu mudah untuk dipelajari jika benar-
benar ingin mempelajarinya. Alquran mencakup sehgala aspek, bukan hanya
tilawahnya, tetapi juga pemahaman terjemah dan tafsirnya. Bagi umat Islam
yang peduli dengan ketentuan agama, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak
bisa lancar membaca dan memahami isinya dengan baik. Apalagi selama ini
banyak pihak dan lembaga yang konsen dalam memberikan perhatian kepada
Alquran, agar dikaji dan dipelajari secara serius, terpadu, dan berkesinambungan.
Mereka berusaha secara optimal dengan berbagai cara untuk mendekatkan
dan mengakrabkan masyarakat muslim Indonesia dengan bacaan, hafalan,
Ustad Gaul: Rekonstruksi Revolusi Mental dalam Membentuk Generasi Qur’ani 229

dan pemahaman Alquran. Apabila seorang telah mempelajari Alquran serta


memahaminya, maka akan dapat menjadi seseorang berkarakter qur’ani.
Alquran mempunyai banyak sisi keutamaannya, sebagaimana Ahsin Sakho
Muhammad mengibaratkan Alquran seperti berlian yang mempunyai banyak
sisi. Jika dipandang dari satu sisi akan menampakkan keindahan tersendiri.
Dilihat dari sisi yang lain akan tampak keindahan yang lain. Berlian itu sendiri
selalu berkelipan sepanjang zaman. Hanya mereka yang mempunyai hati tulus,
bersih, dan haus akan nilai-nilai Alquran akan bisa menikmati keindahan itu.
(2017:6). Selain itu, bahasa Alquran sangat indah dan teliti. Sebagaimana
Quraish Shihab mengibaratkan keindahan bahasa Alquran bagaikan seorang
perempuan yang menyandang aneka tolak ukur kecantikan, warna kulit putih
menarik, bibirnya bagaikan delima merekah, matanya bagai bintang kejora,
hidungnya mancung menarik, dan perawakannya semapai. (2013:337)

Penutup
Ustad gaul adalah seorang guru yang hidup berteman atau bersahabat dengan
masyarakat di lingkungan sekitarnya. Sehingga dapat dijadikan contoh bagi
kaum remaja sebagai generasi di masa yang akan dating untuk meneladani jejak
dakwah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan berarti ustad gaul itu
identik dengan aneka pernak pernik yang melekat di tubuhnya.
Sebagai seorang ustad gaul memiliki peran dalam rekonstruksi revolusi
mental membentuk generasi qur’ani di antaranya sebagai orang yang dipercayai
oleh masyarakat, sebagai penasihat untuk senantiasa berada dalam jalan yang
lurus, serta sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar untuk dapat mencetak
generasi yang berkarakter qur’ani serta menjadi generasi yang bermanfaat bagi
agama, nusa, dan bangsa.
Dalam upaya dakwah ustad gaul membentuk generasi qur’ani di antara­
nya berdakwah dengan penuh kasih sayang, memupuk sikap pengorbanan,
mengiringi dakwah dengan do’a, berdakwah dengan cerdas, menjaga empati,
me­miliki kedalaman ruhani, melaksanakan dakwah dengan penuh kerinduan,
serta memelihara kebersihan qalbu.
Alhamdulillah ‘alaa Kulli Haal. Dengan selesainya makalah yang sederhana
ini, berharap akan selalu ada seseorang yang dapat menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar untuk kemaslahatan umat. Selanjutnya, sebagai pemerintah harus
ada perhatian khusus terhadap ustad, terlebih kepada ustad yang mengajarkan
Alquran, agar ustad dengan pemerintah bisa bersatu untuk mewujudkan generasi
yang berkarakter qur’ani.
230 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
Al-Mahalli, Jalaluddin. Tafsir Jalalain. Surabaya: Nurul Huda. tt.
Al-Qaththan, Manna. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah.
1425H./2004M.
Aziz, Muhammad Abdul. Jurus Jitu Da’i Profesional. Kediri: Lirboyo Press. 2015.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’lim. Bandung: Alharomain Jaya. 2006.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2016.
El Saha, M. Ishom. Manajemen Kaderisasi Ulama. Jakarta: Transwacana. 2008.
Handoko, Rahmat. Pemuda Pemudi Yang Dirindukan Surga. Jakarta: Matabara.
2014.
Ibrahim, Ibnu. Dakwah Jalan Terbaik Dalam Berpikir dan Menyikapi Hidup.
Jakarta: PT. Gramedia. 2014.
Kasir, Ibnu Abul Fida Ismail. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
2006.
Maarif, Ahmad Syafii. Alquran dan Realitas Umat. Jakarta: Republika. 2010.
Muhammad, Ahsin Sakho. Oase Alquran Penyejuk Kehidupan. Jakarta: PT. Qof
Media Kreativa. 2017.
Mulyasa, E. Revolusi Mental Dalam Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 2015.
Najib, Tubagus. Mushaf Al-Bantani Alquran dan Terjemahnya. Serang: Majelis
Ulama Indonesia Provinsi Banten. 2012.
Qohar, Mas’ud Khasan Abdul, Kamus Istilah Pengetahuan Populer. Yogyakarta:
CV Bintang Pelajar. tt.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. 2013
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru. Jakarta: PT
Media Pustaka Phoenix. 2010.
Yusuf, Kadar M. Studi Alquran. Jakarta: Amzah. 2014.
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya
Mewujudkan Revolusi Mental Kaum
Buruh Perkotaan di Banten
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.01

Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berpenduduk muslim terbesar di
dunia. Terkait hal tersebut, seharusnya bangsa ini mencerminkan karakter Islam
pada diri manusia-manusianya. Manusia pada hakikatnya selalu menginginkan
kebahagiaan. Namun sebenarnya, kebahagiaan yang hakiki bukan didapat dari
bebasnya kehidupan yang kita jalani, melainkan melalui pola hidup yang konsisten
menaati peraturan tertentu, yaitu agama. Agama berperan sebagai pendorong
atau penggerak serta mengontrol tindakan anggota-anggota masyarakat agar
tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya
sehingga terciptanya ketertiban sosial. Karena dalam kehidupan bermasyarakat,
selalu terdapat permasalahan-permasalahan atau bahkan penyimpangan sosial yang
dilakukan oleh manusia. Penyimpangan sosial dapat terjadi disebabkan beberapa
faktor, salah satunya yaitu bobroknya akhlak. Akhlak yang buruk tercipta dari
moral yang buruk, dan moral yang buruk merupakan hasil dari mental yang
buruk.
Mental secara bahasa diartikan sebagai kejiwaan, rohani, batin, mengenai
pikiran atau pola pikir (mindset), sikap, dan kepribadian. Mental yang ber­sumber

231
232 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dari agama akan menjadi kuat dan tahan terhadap berbagai benturan zaman,
sehingga agama akan tetap memposisikan dan membimbing manusia sebagai
manusia seutuhnya sesuai dengan fitrahnya. Manusia dipandang sebagai satu-
satunya makhluk moral, yakni makhluk yang dapat menilai baik dan buruk. Orang
baik adalah orang yang memfokuskan dirinya untuk meraih tujuan penciptaan­
nya.1 Dengan demikian, merevolusi mental menjadi lebih baik merupakan salah
satu cara untuk mengurangi angka penyimpangan sosial.
Banten merupakan salah satu provinsi yang didalamnya terdapat
penyimpangan sosial. Sebagian penduduknya ada yang bersifat hedonis, fragmatis
dan memiliki mobilitas yang tinggi. Banten juga merupakan salah satu daerah
industri yang termasuk maju dalam segi perekonomian. Namun, alangkah
baiknya kemajuan perekonomian tersebut diseimbangi oleh kemajuan moralitas.
Beberapa waktu lalu, di salah satu kota provinsi banten terjadi kerusuhan
antar pencari nafkah (transportasi ojek online dengan transportasi umum).
Mereka saling bertentangan, beradu kekuasaan, saling menyakiti hanya demi
kepentingan materi. Hal ini berarti ada pengaruh yang signifikan antara masalah
keduniawian dengan moralitas dan mentalitas. Masalah ekonomi berimbas pada
buruknya mental, sehingga berpengaruh terhadap buruknya akhlak. Terkait
hal ini perlu adanya transformasi solusi demi meningkatkan mutu mentalitas
masyarakat banten, yaitu Uzlah.
Uzlah adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia dan berusaha
menghindari kenikmatan dunia. Uzlah pada masa lalu dilakukan dengan cara
berpindah tempat ke gunung-gunung, bukit-bukit, desa-desa, dan segala tempat
yang dirasa jauh dari kehidupan perkotaan yang sarat akan lingkungan masyarakat
yang hedonis. Hal tersebut bertujuan untuk mem­bentuk kepribadian yang
sederhana demi terciptanya ketenangan batin untuk beribadah. Ketika seseorang
dapat memaksimalkan ibadahnya, maka hal tersebut akan berpengaruh kepada
kesucian jiwanya, kebaruan mentalnya, serta berpengaruh terhadap akhlaqnya.
Namun permasalahannya, jika kita memahami Uzlah dalam konteks sekarang,
terlebih lagi jika kita tinggal di kota metropolitan apakah masih relevan makna
Uzlah tersebut untuk di terapkan di masa kini?. Oleh karena itu, penulis akan
mencoba memberikan sebuah gagasan tentang reaktualisasi Uzlah di masa
modern untuk mewujudkan revolusi mental.
Demi terfokusnya masalah, maka penulis akan memberikan batasan dan
cakupan masalah terkait hal ini dengan menjadikan kaum buruh sebagai objek
penelitian dan membatasi area penelitian yang hanya terpusat di Banten.

1
Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika, dan Tasawuf. (Jakarta:Ushul Press, 2009) hal.73
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 233

Tujuannya agar para pembaca dapat lebih memahami secara fokus terkait
maksud penelitian ini dan dapat melihat dengan jelas manfaat dari makna Uzlah
bagi masyarakat buruh perkotaan.

Revolusi Mental Dalam Perspektif Islam


Revolusi mental berasal dari kata revolusi dan mental. Revolusi merupakan perubahan
yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Adapun kata mental mengandung arti
yang menyangkut pola pikir, batin, watak, akhlak, moral, yang bukan bersifat fisik
atau tenaga.2 Revolusi mental adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan
negara menyangkut pola pikir (mindset), sikap dan kepribadian (akhlak), sehingga
hal tersebut berpengaruh dalam perubahan amal atau perbuatan.
Terkait konteks perubahan (revolusi) masyarakat sosial, di dalam Alquran
dijelaskan dalam ayat berikut:

‫ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ‬
‫ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟﯠ ﯡ ﯢ‬
‫ﯣﯤﯥ ﯦﯧ‬
Baginya manusia ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak
ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S.ar-
Ra’d:11)
Hal tersebut juga dijelaskan dalam ayat:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ‬
‫ﭢﭣﭤ‬
Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat
yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang
ada pada diri mereka sendiri. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S.al-Anfâl:53)
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, kedua ayat diatas berbicara
tentang perubahan.3 Ayat pertama yang menggunakan kata m (apa) berbicara

2
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
2002) hal.954
3
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol.6. hal.232
234 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

tentang perubahan apapun, baik dari nikmat atau suatu yang positif menuju ke
niqmat (murka ilahi) atau sesuatu yang negatif, maupun sebaliknya. Sedangkan
ayat kedua berbicara tentang perubahan nikmat. M.Quraish Shihab menggaris
bawahi ada beberapa hal yang menyangkut kedua ayat diatas:
Pertama, kedua ayat tersebut menjelaskan tentang perubahan sosial
bukan perubahan individu. Dapat dipahami dari kata qaum (masyarakat)
pada kedua ayat tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja.
Namun, perubahan tersebut bisa dimulai dari hanya seorang individu yang
menyebarluaskan ide-idenya, lalu diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini,
berarti perubahan tersebut bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat.
Pola pikir (mindset) dan sikap perorangan itu menular kepada masyarakat, lalu
sedikit demi sedikit mewabah pada masyarakat luas.
Kedua, penggunaan kata qaum juga menunjukkan bahwa hukum
kemasyarakatan itu tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku,
ras, dan agama tertentu. Tetapi, ia berlaku umum, kapan dan dimanapun
mereka berada. Selanjutnya, karena ayat tersebut berbicara tentang qaum, berarti
sunnatullâh yang dibicarakan berkaitan dengan duniawi, bukan ukhrawi.
Ketiga, kedua ayat tersebut juga berbicara tentang dua pelaku pe­rubahan.
Pelaku yang pertama adalah Allah SWT yang mengubah nikmat yang di­
anugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat. Sedangkan pelaku kedua adalah
manusia, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam
mereka atau apa yang terdapat dalam diri mereka (mâ bi anfusihim).
Keempat, kedua ayat tersebut juga menekankan bahwa perubahan yang
dilakukan oleh Allah haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh
masyarakat menyangkut dirinya. Tanpa perubahan ini mustahil akan terjadi
perubahan sosial. Karena itu boleh saja terjadi perubahan pemimpin sistem,
tetapi jika dalam diri masyarakat tidak berubah, keadaan tetap bertahan
sebagaimana sediakala.
Berdasarkan penafsiran ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, jika
kita ingin melakukan perubahan pada suatu bangsa maka kita harus melakukan
perubahan tersebut dalam diri kita terlebih dahulu. Perubahan tersebut berdasar
dari jiwa kita dan dapat dimulai dengan merubah mental kita dengan perubahan
yang progressif, sehingga akan meluas kepada perubahan akhlak dan moralitas
kita.
Pondasi yang harus dipersiapkan untuk merevolusi mental adalah perubahan
ke dalam jiwa individu pada beberapa dimensi, yaitu: 1) perubahan fitrah fisik
(fitrah jismiyah/jasadiyah); 2) perubahan fitrah psikis (fitrah ruhaniyah); 3)
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 235

perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah).4 Perubahan fitrah psikofisik


(fitrah nafsaniyah) meliputi:
1. Akal (Aql)
Mesin berfikir adalah akal (cognitive process), maka untuk merevolusi pola
pikir kita harus merevolusi akal. Akal dapat dikatakan sebagai cahaya ruhani
untuk menerima ilmu yang membedakan baik dan buruk, sempurna atau
kurang. Menurut Ibnu Zakariya, semua kata yang memiliki akar kata ‘ain,
qaf, lam memiliki arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa
perkataan, pikiran, maupun perbuatan.5 Sedangkan menurut Abdul Aziz al-
Umairy, akal adalah ketajaman pengetahuan seseorang dalam menganalisa
suatu perkara serta pembeda yang cerdas dengan lebih cerdas. Akal pula
merupakan bagian dalam manusia yang tidak diketahui bentuknya tetapi
terlihat hasil analisanya.6
2. Hati (Qalb)
Hati atau qalb berasal dari kata qalaba (kalbu) yang berarti berubah, berpindah
atau berbalik. Sedangkan kata qalb itu sendiri berarti jantung atau hati.
Diantara fungsi hati adalah: pertama, menerima kesaksian Allah sebagai tuhan
(Q.S.al-A’raf: 182); kedua, sebagai wasilah mendapat ma’rifah (Q.S.al-Hajj:
46); ketiga, sebagai tempat bersemayamnya iman (Q.S.al-Hajj: 32); keempat,
sebagai sumber kebaikan dan keburukan pribadi seseorang. Seperti itulah
Rasulullah SAW. menyampaikan dalam suatu sabdanya bahwa hati adalah
sentral dalam tubuh manusia, jika baik hatinya maka baik perbuatan seluruh
jasadnya dan sebaliknya. Sehingga model terbaik mengendalikan hati adalah
dengan berjalan berseberangan dengan keinginan atau hawa nafsu (Q.S.an-
Nazi’at: 40-41).
3. Jiwa (Nafs)
Dalam Alquran, kata nafs menunjuk kepada diri (self). Yakni, kata umum
yang meliputi seluruh motivasi dan aktifitas manusia baik pemikiran atau
pemahaman secara keseluruhan. Nafs memiliki banyak jenisnya, yaitu:
ammarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radiayah, mardiyah, dan
kamilah.7 Fathi Yakan menyebutkan bahwa ada tiga karakter manusia
dalam memerangi hawa nafsu: pertama, golongan yang dapat dikuasai oleh

4
Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam (sebuah pendekatan psikologi). (Jakarta: Daarul
Falah, 1999) hal.39
5
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam al-Maqayis fi al-lughah.
6
Al-Umairy, Abdul Aziz. Maratib al-Aql Wa ad-Din. (Thaba’ah Mushahah, 2009) hal.11
7
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan. (Jakarta: PT.al-Husna, 2003) hal.267
236 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

nafsunya hingga ia tertancap di bumi dan berbekal hidup dengan dunia


(Q.S.al-J siyah: 23); kedua, golongan yang senantiasa berjuang memerangi
dengan gigih, tetapi terkadang ia mengalami kemenangan dan terkadang
mengalami kekalahan (Q.S.Ali Imran: 135); ketiga, golongan yang berhasil
menolak segala kejahatan, perbuatan keji dan dosa-dosa karena mereka
selalu menang dalam pertempuran melawan hawa nafsu.

Pengertian Dan Bentuk Uzlah Pada Era Klasik


Secara bahasa, Uzlah berasal dari kata ta’azzala ‘an ‘al-syai’ atau menghindar
dari sesuatu.8 Ibn Mandzur memperjelas pengertian Uzlah dengan ayat Alquran
fain lam tu’minu fa i’taziluni dan in lam tu’minu fala takunu ‘alayya wala ma’i.9
Sedangkan secara terminologi, menurut al-jurjani, Uzlah adalah membebaskan
diri dari masyarakat dengan cara menghindarkan diri atau memutuskan
hubungan dengan mereka.10
Muhammad Abdullah Darraz berpendapat bahwa Uzlah merupakan
pengasingan diri yang dilakukan oleh seseorang ke tempat sunyi, bisa di dalam
kota maupun diluar kota. Hal ini dilakukan karena menurutnya penduduk
kota di tempat ia menetap tidak berperilaku baik, sehingga apabila ia tidak
menghindar maka ia akan terpengaruh. Uzlah yang dilakukan tidaklah berlaku
selamanya, apabila ia sudah merasa siap untuk kembali kepada masyarakat maka
ia harus kembali.11
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Uzlah
adalah mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, dari pergaulan manusia, dan
berusaha menghindari kenikmatan dunia dengan tujuan untuk membentuk
kepribadian yang sederhana demi terciptanya ketenangan dalam beribadah.
Dalam Alquran, Uzlah tersirat dalam ayat berikut:

‫ﭑﭒﭓﭔﭕﭖﭗﭘ ﭙ ﭚﭛﭜﭝ‬
‫ﭞﭟﭠﭡﭢﭣ ﭤ‬

8
Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar (Bangli: Yayasan Pesantren Islam, 1999) hal.252
9
Abu al-Fadhl Muhammad Ikram ibn al-Mandzur. Lisan al-Arab Jilid XI. (Beirut: Dar al-Shadr
1994) hal.440
10
Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani. Kitab at-Ta’rifat. (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1983) hal.150
11
Muhammad Abdullah Darraz. Dustur al-Akhlaq fi al-Qur’an. (Beirut: Muassasah ar-Risalah,
1991) hal.647
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 237

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah,
maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya tuhanmu akan melimpahkan
sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu
dalam urusanmu” (Q.S.al-Kahfi: 16)
Az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut: “Dan ingatlah! Hai
ashabul kahfi akan seruan itu, yang muncul dari antara kamu kepada yang lain.
Ketika kalian berketetapan hati untuk melarikan diri, menyelamatkan agama
kalian, maka asingkanlah diri kalian. Berpisahlah dengan kaum kalian seraya
ber-Uzlah secara fisik dan non fisik dengan berpindah dari tempat tinggal secara
mental/kejiwaan dengan ketetapan tidak menyembah apa yang mereka sembah,
melainkan hanya kepada Allah semata.12
Menurutnya, Allah memerintahkan mereka ber-Uzlah secara fisik dengan
cara masuk ke gua besar didalam gunung secara total. Di tempat yang sunyi
itu mereka dapat memurnikan jiwa dengan beribadah kepada Allah dan
mampu menjauhi orang-orang musyrik. Ini dilakukan mereka sehingga Allah
mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan persoalan mereka
serta menjadikannya bermanfaat. Hal ini berarti, Uzlah merupakan alat yang
mampu merevolusi mental seseorang, menentramkan hati, menenangkan hidup
serta meningkatkan kekhusyu’an seseorang dalam beribadah.
Uzlah terbagi dua, yakni Uzlah zahir dan Uzlah bathin. Uzlah zahir ialah
ketika seorang manusia mengasingkan diri dan menahan badannya dari manusia
agar tidak menyakiti orang lain dengan akhlak yang buruk, meninggalkan
kesenangan-kesenangan nafsu dan meninggalkan amal buruknya yang zahir agar
indera batinnya terbuka dengan niat yang ikhlas, meninggal dan masuk kubur
dengan kepasrahan.13 Sedangkan, Uzlah bathin ialah ketika seorang manusia
mengasingkan dirinya dari pikiran-pikiran bangsa nafsu dan syaitan, seperti
menyenangi makanan, minuman, pakaian, riya’, kemasyhuran. Hatinya secara
sadar tidak memasuki sifat sombong, ujub, kikir, dengki, mengumpat, mengadu
domba, pemarah, dan sebagainya yang merupakan sifat-sifat tercela. Manusia
yang didalam hatinya memiliki sifat-sifat seperti itu, maka ia termasuk dari
mufsidin (orang-orang yang merusak) walaupun pada lahirnya termasuk orang
yang shaleh. Tujuan konsep Uzlah pada tahap awal adalah membersihkan hati
dari semua itu, serta menahan nafsu dan hawa nafsu.
Berikut ini akan dipaparkan manfaat ataupun faedah yang akan diperoleh
seseorang dalam ber-Uzlah:14

12
Dr.Wahbah az-Zuhaili. Tafsir al-Munir. (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990) hal.220
13
Abdul Qadir al-Jailani. Sirrur Ashror. (Beirut: Dar Fikr) hal.20
14
Imam al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin Juz II. (Kairo: Isa al-Bab al-Halabi) hal.226
238 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

1. Tersedianya waktu untuk beribadah, bertafakkur, dan merasakan keintiman


dalam bermunajat kepada Allah
Al-Zabidi menjelaskan bahwa seseorang yang mengamalkan Uzlah,
otomatis mempunyai banyak waktu untuk berhubungan dengan Allah
dengan menjalankan berbagai macam ibadah serta merenungkan ayat Allah
SWT.15 Pada zaman dahulu, ber-Uzlah merupakan budaya di kalangan
bangsa Arab. Setiap tahun, mereka menyisakan beberapa waktu untuk
berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan
berdo’a mengharapkan rezeki dan pengetahuan. Dengan demikian orang
yang ber-Uzlah dapat terhindar dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik
dengan segala kelapangan waktu yang ia miliki untuk beribadah.
2. Terbebasnya dari ghibah, riya’ dan akhlaq mazmumah
Menurut Ibn al-Qudamah sudah menjadi kebiasaan orang membicara­kan
kejelekan orang lain ketika berkumpul dengan sesamanya. Dengan ber-
Uzlah, seseorang dapat terhindar dari hal tersebut, karena ia tidak bergaul
didalamnya. Kecenderungan seorang alim adalah menjaga pergaulan,
tingkah laku, memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mengabdi
kepada Allah , sementara yang tidak alim adalah sebaliknya.16
3. Terbebas dari fitnah, permusuhan antar muslim, dan fanatisme golongan/
bangsa
Seseorang yang mengasingkan diri dari masyarakat secara tidak langsung
berarti ia membentengi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan-perbuatan
yang mengundang munculnya fitnah, permusuhan antar sesama manusia,
dan fanatisme golongan/bangsa dimana ia berada. Ketika seseorang
memutuskan untuk bergabung pada satu kelompok, ia akan sangat sulit
untuk berbuat demi kelompok lain. Dengan ber-Uzlah berarti ia telah
membatasi pergaulannya sehingga tidak melaku­kan ashabiyah (fanatisme)
yang berdampak negatif pada kesatuan dan persatuan umat.
4. Terbebas dari kejahatan manusia
Al-Ghazali dengan tegas mengatakan bahwa sesungguhnya seorang manusia
banyak sekali menimbulkan kesulitan bagi manusia lain. Terkadang dengan
kejahatan yang nyata seperti mencuri, menghina, dan bahkan terkadang
dengan kejahatan hati seperti ghibah, namimah dan lain sebagainya. Ketika
seseorang ber-uzlah maka ia terhindar dari hal seperti itu.

Muhammad al-Zabidi. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin Juz VI. (Beirut: Dar al-Fikr) hal.341
15

16
Armyn Hasibuan. Transformasi Uzlah dalam Kehidupan Modern. (Medan: IAIN Sumatera
Utara, 2015) hal.98
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 239

5. Terbebas dari menyaksikan orang berakhlak rendah dan kurang akal


Al-Ghazali mengistilahkan penglihatan terhadap hal-hal jelek dengan buta
kecil (al-umy al-ashgar) Hal ini dianggap penting karena pengaruh melihat
hal-hal yang tidak baik sangat besar pada pembentukan sifat, mental, dan
tingkah laku. Apabila yang selalu dilihatnya adalah hal baik, maka ia akan
terbiasa untuk melakukan hal baik juga, dan sebaliknya.

Urgensi Uzlah Bagi Kaum Buruh Perkotaan


Para buruh merupakan pekerja yang memiliki tingkat kesetresan yang cenderung
tinggi. Setiap hari mereka bekerja, berusaha keras dalam men­cari nafkah dengan
ambisi dapat memenuhi kebutuhan serta keinginan duniawinya. Sebagian dari
mereka memiliki pola pikir untuk tidak menyia-nyiakan waktunya dengan
hal lain selain mencari uang agar tercapainya kehidupan yang berkecukupan.
Mereka berlomba dalam mengikuti per­kembangan zaman yang semakin
modern, stylish, agar tidak ketinggalan zaman. Hal tersebut membuat mereka
lupa akan kebutuhan jiwanya, batinnya, serta kebutuhan ibadahnya.
Semakin berkembangnya kemajuan teknologi, maka persaingan antar buruh
semakin ketat sehingga mereka saling memperebutkan kekuasaan. Hal tersebut
tentu akan berpengaruh kepada jiwanya. Mereka akan mengalami kesetresan
karena lelahnya bekerja, dan penatnya pikiran. Sehingga ber­pengaruh kepada
emosionalnya. Dengan adanya sifat individualis serta matrealistis pada sebagian
kaum buruh, maka morallah yang menjadi keterpengaruhannya. Berdasarkan
hal ini dapat kita simpulkan bahwa kaum buruh memerlukan revolusi pada
mentalnya, pola pikirnya, moralnya, akhlaknya, agar mereka dapat meraih
ketenangan hati dan jiwanya dengan cara ber-Uzlah.
Keseimbangan antara bekerja dan beribadah sangatlah penting untuk kita
lakukan demi tercapainya hidup yang sakinah. Sebagaimana yang tertera dalam
Alquran:

‫ﭑﭒﭓﭔ ﭕﭖﭗﭘﭙﭚﭛﭜﭝﭞﭟﭠﭡ‬
‫ﭢ ﭣ ﭤ ﭥﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ‬
‫ﭰﭱﭲﭳﭴ ﭵﭶ ﭷﭸﭹﭺﭻ ﭼﭽﭾ‬
‫ﭿﮀﮁﮂ ﮃﮄﮅﮆﮇ ﮈ ﮉﮊﮋﮌﮍ ﮎﮏ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat
pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila shalat telah
240 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perdagangan
atau permainan, mereka segera menuju kepadanya dan mereka tinggalkan engkau
(Muhammad) sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah
lebih baik daripada permainan dan perdagangan” dan Allah pemberi rezeki yang
terbaik” (Q.S.al-Jumu’ah: 9-11).
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa keseimbangan antara
bekerja dan beribadah sangatlah penting. Hal tersebut guna me­nyeimbangkan
kebutuhan jasmani dan rohani seseorang agar tetap sehat badan serta pikiran
(mental). Oleh karena itu, disela-sela waktu kerjanya, mereka membutuhkan
waktu untuk beribadah. Terbebasnya seseorang dalam beberapa waktu dari
kegiatan duniawi secara tidak langsung memberikan perubahan baginya untuk
mendedikasikan diri secara utuh pada Allah SWT demi tujuan ukhrawi.
Disamping itu, ia akan merasakan ketenangan batin dan kemantapan jiwa serta
kejernihan pikiran (mentalnya lebih siap) dalam beraktifitas kembali di waktu
berikutnya.
Ibn at-Thailah al-Sakandari mengatakan bahwa, “bagaimana mungkin
hati seseorang dapat terang dan bersih dari noda bila bayangan dunia masih
memantul dari lensa hatinya?. Oleh karena itu, ber-Uzlah merupakan salah satu
cara yang dapat kaum buruh lakukan untuk merevolusi mental dan pikirannya.

Reaktualisasi Uzlah Di Masa Modern dan Pengaruhnya Terhadap


Revolusi Mental
Uzlah merupakan suatu bentuk peribadatan yang telah dipraktekkan para
rasul dan salafus shalih semenjak ribuan tahun lalu. Uzlah merupakan proses
kematangan diri yang menyuguhkan banyak keuntungan serta hal-hal
positif yang sangat bermanfaat untuk kehidupan, baik secara pribadi atau
bermasyarakat.17 Namun permasalahannya, apakah Uzlah pada masa klasik
masih relevan dengan kehidupan yang modern saat ini? Terkait hal ini, perlu
adanya dua sudut pandang dalam melihat pengertian Uzlah. Pertama secara
kontekstual, kedua secara tekstual.
Uzlah secara kontekstual mungkin masih relevan dan dapat di­implemetasikan
dalam kehidupan modern. Namun, jika dipahami secara tekstual, yakni
dengan pengertian bahwa Uzlah harus dilakukan di lereng-lereng gunung, di
bukit-bukit, desa-desa atau tempat-tempat terpencil yang jauh dari pergaulan
masyarakat, maka jawabannya tergantung pribadi masing-masing. Mungkin
seseorang pada masa kini cenderung menjawab tidak untuk melakukan Uzlah

17
Ibn at-Thailah al-Sakandari. Al-Hikam. (Jakarta: Mizan, 2006) hal.25
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 241

karena tidak relevan dengan masa kini yang modern. Sebab perkembangan
zaman terus mengalami perubahan serta kondisi sosial yang membutuhkan
tanggung jawab terhadap keluarga, anak, istri, suami, orang tua, atau bahkan
orang lain sekalipun.
Uzlah dalam ajaran Islam pada dasarnya harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman, yakni dengan makna yang lebih kontekstual. Nilai-
nilai faedah yang terkandung dalam Uzlah dapat diimplementasikan dengan
menjauhi berbagai hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam atau syari’at.
Dalam hal ini dapat dikatakan seseorang di masa kini dapat ber-Uzlah secara
bathin, yakni tidak perlu mengasingkan diri dari pergaulan manusia, serta
perkembangan zaman. Tetapi, cukup dengan membiasakan diri dengan menjaga
hatinya agar tidak mengalami kehampaan spiritual dan dzikir kepada Allah.
Fisiknya tetap pada hal dunia, seseorang akan tetap bekerja tapi dengan aturan
yang disiplin yang tentunya tidak meninggalkan ibadah. Namun hatinya tetap
hidup dan mengingat Allah dengan kondisi, suasana, waktu, dan aktifitasnya
yang berorientasi pada kekhusyu’annya kepada Allah.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan sementara bahwa Uzlah
sebagaimana yang telah diaplikasikan oleh para nabi dan salafus shalih masih
relevan untuk zaman modern ini. Sibuknya seseorang beraktifitas mungkin
hanya menyisakan beberapa hari saja untuk beristirahat dalam sebulan. Oleh
karena itu, waktu-waktu tersebut jangan hanya dijadikan ajang untuk pesta
dan hura-hura, tetapi akan lebih berdaya guna apabila dimanfaatkan untuk
mengisinya dengan hal-hal yang bernuansa ibadah spiritual. Seseorang mungkin
dapat pergi ke suatu tempat yang jauh dari keramaian untuk merenung dan
bertafakkur atas alam ciptaan Allah yang sangat luas, sambil mengisinya dengan
berbagai ritual sebagai bentuk lahiriyah dari dedikasinya kepada Allah.
Transformasi Uzlah yang lebih modernisasi dapat dilihat dalam tabel
berikut:18
Formasi Klasik Modern
Menghindari, mawas diri,
Pengasingan diri dari pergaulan yang dilakukan secara latihan
Makna manusia untuk beribadah periodik, menuju kehidupan
kepada Allah SWT lebih ilahiyah ditengah kehidupan
bermasyarakat.
Luar kota atau dalam kota Dimana saja, asalkan tidak
Tempat
dengan tempat khusus teganggu untuk ibadah

18
Armyn Hasibuan, Op.Cit,. hal.101
242 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

TaSaw.uf yang bersifat falsafi,


TaSaw.uf yang bersifat amaliyah
sehingga hati dan jiwa dijaga
TaSaw.uf melalui amalan-amalan zikir
dari pengaruh eksternal yang
dan bacaan
mengotorinya
Uzlah bathiniyah (menjaga
Uzlah lahiriyah (mengasingkan hati agar tidak terpengaruh
Bentuk
diri dari kehidupan secara total) dengan kehidupan duniawi yang
memperdaya)
Membersihkan hati dan
Beribadah kepada Allah secara
Tujuan menjernihkan pikiran dan jiwa
khusyu’
dengan integritas syari’ah.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat dipahami bahwa keuntungan dari


ber-Uzlah sangatlah banyak, salah satunya untuk merevolusi mental. Uzlah
masih relevan untuk dilakukan di zaman modern seperti sekarang ini, sehingga
kaum buruhpun dapat melakukanya di tengah kesibukannya mencari hal-hal
berkaitan duniawi.

Penutup
Uzlah merupakan salah satu alat untuk merevolusi mental setiap orang,
khususnya kaum buruh. Uzlah di masa modern dapat membantu kita dalam
mengabdi kepada Allah juga tidak meninggalkan pengabdian kita kepada
keluarga dan masyarakat. Ber-Uzlahnya kaum buruh dapat dilaksanakan dengan
cara menyisakan sedikit waktu bekerjanya untuk menyempatkan diri beribadah,
berzikir dan bermunajat kepada Allah. Tentunya dengan dukungan lingkungan,
yakni musholla atau tempat ibadah yang nyaman sehingga terciptanya
kekhusyu’an para buruh dalam beribadah. Kaum buruh juga dapat mengikuti
kajian-kajian yang sifatnya membangun dan memberi pencerahan pola pikir
dan hati. Karena, seseorang yang telah menuntut ilmu, ia akan pulang dengan
hati yang lebih tenang, dan pikiran yang lebih jernih sehingga hal tersebut
berpengaruh terhadap kebugaran jiwa dan mentalnya. Karena sesungguhnya
orang yang bermental baik, akan merefleksikan pengetahuannya kepada perilaku
dan akhlak yang juga baik.
Demi terwujudnya revolusi mental, maka kita perlu memperbaharui cara
beribadah kita dengan terus meningkatkannya. Tentunya hal tersebut perlu
dukungan dari pemerintah atau pimpinan suatu instansi terkait. Sebagai saran
yang penulis sampaikan bahwa demi terciptanya perwujudan revolusi mental
kaum buruh di banten, diperlukan hal sebagai berikut:
Reaktualisasi Uzlah dalam Upaya Mewujudkan Revolusi Mental Kaum Buruh 243

1. Pemerintah perlu meningkatkan fasilitas peribadatan di tempat-tempat


pekerja seperti perusahaan, mall atau bahkan hotel. Tujuannya agar ketika
para karyawan beribadah, mereka bisa mencapai kekhusyu’annya. Karena
sejauh ini penulis melihat bahwa masih banyak sekali musholla pada mall-
mall, bahkan hotel yang posisinya diletakkan di dekat besment, parkiran,
bahkan dapur. Sehingga, tempat ibadah tersebut menjadi kurang bersih,
kurang nyaman, udara panas sehingga dapat mengganggu orang yang
beribadah didalamnya.
2. Para pemimpin perusahaan atau pemilik instansi tertentu perlu bekerja
sama dengan suatu organisasi tertentu yang terkait dengan tujuan ber-
Uzlah. Salah satu contohya adalah organisasi JATMAN (Jam’iyah Ahlit
Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah). Mereka adalah organisasi yang
anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang mengamalkan thariqah.
JATMAN merupakan organisasi keagamaan sebagai wadah pengamal
ajaran thariqah al-mu’tabarah yang merupakan salah satu pilar dari ajaran
Islam yang telah dirintis dan dikembangkan oleh para salafus shalihin yang
bersumber dari Rasulullah SAW. dengan sanad yang muttasil. Tujuan kerja
sama ini adalah agar organisasi tersebut dapat melakukan kajian-kajian
kepada karyawan perusahaan tersebut. Mengajarkan nilai-nilai keagamaan
guna membangun mental-mental positif pada para buruh.

Pustaka Acuan:
Al-Quran al-Kariim
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam al-Maqayis fi al-lughah.
Al-Habsyi, Husin. Kamus al-Kautsar. Bangli: Yayasan Pesantren Islam, 1999.
Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain. (Tafsir Alquran al-adzim). Semarang:
Taha Putra.
Al-Umairy, Abdul Aziz. Maratib al-Aql Wa ad-Din. Thaba’ah Mushahah, 2009.
Hasibuan, Armyn. Transformasi Uzlah Dalam Kehidupan Modern. Medan: IAIN
Sumatera Utara, 2015.
Kartanegara, Mulyadhi. Filsafat Islam, Etika, dan TaSaw.uf. Jakarta:Ushul Press,
2009.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan. Jakarta: PT.al-Husna, 2003.
Mahardi, Dedi. Revolusi Mental. Depok: Khalifah Mediatama, 2017.
Muhammad Ikram, Abu al-fadhl. Lisan al-Arab Jilid XI.
Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam (sebuah pendekatan psikologi).
Jakarta: Daarul Falah, 1999.
244 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Saifuddin. Revolusi Mental Dalam Perspektif Alquran. Banjarmasin: IAIN


Antasari Banjarmasin.
Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah Vol.6. hal.232
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2002.
Revolusi Mental Base On Islam Ramah:
Upaya Menciptakan Kehidupan Berbangsa
yang Damai
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.03

Pendahuluan
Multikukturalisme di Indonesia memang selalu menjadi perbincangan, baik
dalam forum nasional maupun internasional. Tahun 1979, di kota Vatikan
Roma, diadakan konferensi Agama Internasional yang dihadiri oleh seluruh
tokoh pembesar agama dunia. Dalam konferensi tersebut terungkap, bahwa
Indonesia merupakan Negara percontohan dalam kehidupan toleransi antar
umat beragama. Bahkan Paus Paulus II mengatakan, “Indonesia meskipun terdiri
dari beragam suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama, namun hidup dalam
kerukunan dan keramahtamahan”, LPTQ Provinsi Banten (2016: 135).
Namun sayang, kekaguman dunia internasional tersebut kini tinggal
kenangan, sebab perbedaan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, dan agama
kini sering menjadi pemicu dan pemacu lahirnya radikalisme, fanatisme buta,
persaingan tidak sehat, perselisihan, perpecahan, bahkan tindakan saling serang
yang megikis habis nilai-nilai toleransi yang selama ini kita jaga.
Dan kini, radikalisme dan intoleransi tidak hanya menjadi fenomena yang
berkembang bukan hanya dalam komunitas tertentu, tapi keberadaannya sudah
berkembang dalam corak yang berbentuk trans-nation dan trans-religion. Banyak

245
246 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

yang menyoroti fenomena tersebut di tengah multikukturalnya Indonesia. Hal


ini perlu di garisbawahi, di renungkan dan di cari solusinya. Sebab, tumbuhnya
radikalisme dan menjamurnya intoleran dapat mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa.
Kita perhatikan konflik yang selama ini terjadi di berbagai daerah, mulai
dari kerusuhan Sambas, Sampit, Ambon, Timor Timur, Poso, Bogor, Kuningan,
Pandeglang sampai Tumanggung, Jawa Tengah, (Khamami Zada: 2008),
peristiwa-peristiwa tersebut merupakan contoh konflik horizontal yang sangat
menguras energy, merugikan materi, merenggut nyawa dan mengorbankan
keharmonisan bangsa Indonesia. Ini juga menjadi tanda menjamurnya tindakan
radikalisme dan hilangnya nilai toleransi di Indonesia yang selama ini menjadi
kebanggaan.
Bahkan dewasa ini, isu intoleransi dan faham-faham radikalisme yang
mengatasnamakan agama menjadi semakin kompleks seiring berkemang­nya
teknologi informasi dan komunikasi (TIK).. Imbasnya, Kementrian Komunikasi
dan Informasi menutup 22 situs-situs Islam yang ditengarai menyuburkan faham
radikal dan intoleransi di Indonesia (Hasani: 2015). Padahal Islam merupakan
totalitas kerifan, cinta dan perda,aian dintara manusia, Agus (2009: 13).
Berdasarkan survei yang nasional dilkukan Wahid Institut yang bekerja
sama dengan lemabag Survei Indonesia (LSI) tahun 2016,telah diketahui bahwa
setidaknya ada 0,4% dari masyarakat Indonesia yang telah melakukan tindakan
radikalisme; Ada potensi 11 juta warga Indonesia yang siap melakukan tindakan
radiklisme. Selain itu, dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9% memiliki
kelompok yang dibenci, Abdul Munip (2012). Kondisi ini telah menjadi
paradox yang memilukan, sebab Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal
Ika nya belum mampu menunjukkan ketangguhan.
Menyoal radikalisme dan intoleransi yang sering kali di absahkan dengan
ayat-ayat Alquran menjadi sangat menarik untuk dibahas. Ini karena Alquran
dengan tegas mengakui kemajemukan. Ratusan ayat di dalamnya secara eksplisit
menyerukan sikap santun, perdamaian dan toleransi terhada sesame umat Islam
dan umat agama lain. Hal ini senada dengan ungkapan Zuhairi Mishrawi
(2010: 75), bahwa Alquran adalah lumbung ajaran toleransi.
Berangkat dari permasalahan diatas, tulisan sederhana ini berupaya untuk
terciptanya kehidupan bangsa Indonesia yang damai dengan mengacu pada
beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimana dengan masalah radikalisme dan
intoleransi di Indonesia? Lalu, kenapa harus revolusi mental? Lantas bagaimana
solusi Alquran untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang damai? Ketiga
pertanyaan tersebut akan menghadirkan jawaban untuk permasalahan
Revolusi Mental Base On Islam Ramah 247

radikalisme dan intoleransi yang kian hari kian memanas dengan lendasan
Alquran dan hadits.

Radikalisme dan Intoleransi; Problem Bernegara Hari Ini


Indonesia dikenal dengan Negara yang tumbuh dan berkembnag dengan
keargaman suku bangsa, bahasa, adat istiadat dan agama yang bahkan telah
berkembang melebihi usia republic ini.karena factor-faktor tersebutlah para
pendiri bangsa merumuskan nilai-nilai dan falsafah bangsa yang disarikan dalam
Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai basis
konstitusi Negara yang salah satu nilai di dalamnya adalah toleransi.
Sayangnya, Indonesia saat ini tengah menghadapi masalah yang serius.
Terjadinya dekadensi moral yang ditandai dengan maraknya tindakan radikalisme
yang identik dengan intoleransi terhadap perbedaan, ekstrim dalam menyikapi
masalah, dan menjadikan kekerasan sebagai cara untuk me­nye­lesaikan masalah
kian menjadi momok menakutkan bagi wajar bangsa ini.
Radikalisme sendiri berasal dari kata radix yang berarti “akar”. Ia merupakan
faham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk
mencapai kemajuan. Radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang
sedang berlangsung. Respon tersebut dapat muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan, bhakan perlawanan terhadap aasumsi, ide, lembaga atau nilai-nilai
yang dianggap bertanggung jawab terhadap keberlangsungan keadaan yang
ditolak.
Sederhananya, radicalisme adalah suatu pemikiran atau sikap yang ditandai
oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap
tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain.
Kedua, sikap fanatic, yaitu sikap yang selalu merasa benar sendiri dan selalu
menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu sikap membedakan diri
dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderung
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan, Enma Laisa (2014: 3).
Sedangkan intoleransi menurut (KBBI: 2014, 544) adalah sikap tidak
mengaindahkan nilai-nilai humanis; tidak tenggang rasa dan tidak toleran. Dan
dalam konteks sosial, budaya dan agama, intoleransi adalah sikap dan perbuatan
yang menghendaki adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang
berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat,
Husein Muhammad (2015).
Masalah-masalah terkait radikalisme dan intoleransi yang banyak terjadi di
Indonesia dewasa ini, sejatinya berawal dari kebobrokan mental masyarakat itu
sendiri. Selain itu, tindakan radikalisme dan intoleransi juga disebabkan oleh
248 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

kesenjangan sosial ekonomi. Karena factor ekonomi sosial sangat berpengaruh


terhadap kehidupan masyarakat. Susunan masyarakat dimana yang satu hidup
dalam kemewahan, sedangkan yang lain dalam kesengsaraan dan kemiskinan
sangat erat hubungannya dengan tindak radikal yang berupa tindak kejahatan
seperti pembunuhan dan perampokan.
Dalam hal ini, Soedjono D. S.H., berpendapat bahwa krisis di bidang
ekonomi akan menjadikan orang miskin, pengangguran, gelandangan dan
sebagainya menjadi sangat sensitive dan cenderung bersikap intolerasi, serta
membawa mereka ke arah dekadensi moral, tindakan radikalisme, bahkan
terorisme, Lukman Fatahullah (1997: 96-97).
Ketika masyarakat berada dalam keadaan yang gamang, dan bingung dalam
menentukan tauladan, memilih sumber informasi, serta bingung dimana harus
menempatkan diri, Indonesia dapat menjadi lahan yang subur untuk tumbuh
dan berkembangnya paham-paham radikal yang selama ini dianggap telah
hilang seperti PKI, Jamaah Islamiyah, IS dan sebagainya, serta memberi akses
untuk masuknya kelompok-kelompok ekstrim penganut paham-paham radikal
agama seperti ISIS (Islamic State in Iraq and Syiria), BNPT (2015:123).
Agama memang bersifat sensitif. Mudah terbakar fanatisme, mejadi kipas
paling kencang untk melakukan tindakan yang sangat keras, baik dalam
kehidupan sosial maupun individu. Berbeda dengan Islam yang menurut Abdul
MoQ.s.ith Ghazali (2009: 215) hadir membawa ajaran nilai-nilai toleransi
dalam bentuk symbol, praktik sekaligus tokohnya.
Alquran memang menjelaskan bahwa Islam sebagai rahmat bagi alam
semesta (rahmatan li al-‘alamin) mengakui kemajemukan. Terbukti dengan
banyaknya ayat yang menyerukan sikap santun dan toleransi terhadap umat
agama lain, diataranya tercermin pada Q.S.. At-Tbah[9]: 13; Q.S.. An-Nahl[16]:
125; Q.S.. Muhammad[47]: 4; Q.S.. Al-Mumtahanah[60]:8; dan Q.S.. Al-
Baqarah[2]: 190.
Nanum, harus diakui bahwa selain ayat-ayat tersebut, terdapat pula ayat-
ayat yang berpotensi untuk dijadikan pemantik dalam terhadap tindakan
kekerasan yang diatas namakan agama jika dipahami dengan salah. Diatara
dalil yang dijadikan rujukan radikalisme menurut Hasani Ahmad Said (2015)
adalah: pertama, firman Allah swt dalam Q.S.. Al-Taubah[9]: 36 yang berbunyi:

‫ﯡﯢﯣ‬
...Perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan…
Berbasis pemahaman yang tekstual-literal, bahwa orang musyrik harus
diperangi, bisa saja sesorang kemudian melakukan kekerasan terhadap orang
Revolusi Mental Base On Islam Ramah 249

lain, manakala ia melihat praktik kemusyriikan dari versinya. Kedua, Q.S.. Ali-
Imran[3]: 19 yang berbunyi:

‫ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ‬
Sesungguhnya agama yang diridhai Allah adalh ISLAM …
Ayat tersebut bisa saja dipahami sebagai sebuah legitimasi untuk menafika
eksistensi agama lain. Yahudi dan Nasrani dinilai sebagai agama yang harus
dihapuskan oleh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.. Bahkan
ayat tersebut dianggap telah menaskh ayat tentang jaminan kebebasan dalam
beragama dan brkeyakinan (Q.S..Al-Baqarah[2]: 256).
Ketiga, pada Q.S.. Al-Baqarah[2]: 208 sebagai berikut:

‫ﮭﮮﮯﮰ ﮱﯓ ﯔ‬
Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian dalam ‘agama Islam’ secara
keseluruhan...
Ayat tersebut seringkali dijadikan justifikasi untuk konsep Islam yang
Kaffah dengan formulasi Negara Islam. Bagi mereka, Islam secara “formal”
harus diterapkan secara totalitas dalam setiap lini kehidupan umat Islam. Maka
munculah konsep Islam al-Din wa Daulah, Islam adalah agama dan Negara.
Yang sebaga impliksinya, hokum-hukum produk manusia, atau system Negara
yang tidak berlandaskan Islam dianggap sebagai Negara thagut.
Keempat, terdapat pada Q.S.. Al-Maidah[5]: 51 yang berbunyi :

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ‬
Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orag-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)…”
Pada ayat ini, pemahaman golongan radikal antipasti dengan pemimpin
yang dianggap kafir karea tidak berhukm kepada Allah. Ayat ini tidak jaarng
dimaknai dengan literal yang kemudoan menjadikan mereka eksklusif, juga
menuntut mereka untuk melakukan aksi simbolik yag bertujuan untuk
membedakan antara Muslim dan non-Muslim.
Para kelompok radikal militant membaca ayat-ayat Alquran di dalam
kesunyian, seakan-akan makna ayat tersebut begitu transparan sehingga ide moral
dan konteks sejarah tidak relevan dalam penafsiran mereka. Padahal pemahaman
teradap konteks diturunkannya ayat-ayat Alquran sangatlah penting, karena
Alquran tidak turun dala sebuah ruang yang hampa, Harfin Zuhdi (2010: 68).
Hal ini senada dengan ungkapan Yusuf Qardhawi (2009: 61), bahwa salah
satu penyebab utama terjadinya sikap radikal dalam agama adalah lemahnya
250 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

pengetahuan tentang hakikat agama itu sendiri, dan kurangnya bekal untuk
memahaminya secara mendalam, mengetahui rahasia-rahasianya, serta mengenali
ruhnya.
Jika dilihat sepintas, ayat-ayat tersebut memang tampak benar dan
merupakan dalil yang kuat. Akan tetapi, jika dilihat dengan seksama, maka
akan terlihat bahwa mereka kurang teliti dalam memahami dalil-dalil tersebut,
baik dari segi teks maupun konteknya. Sehingga melahirkan pandangan yang
sempit, ekstrim dan radikal, dan pada gilirannya akan menimbulkan tindakan
terorisme.
Dari beberapa contoh ayat diatas, penulis contohkan satu diantara contoh
penafsiran yang radikal pada penafsiran Q.S.. Al-Taubah[9]: 29, Allah berfirma :

‫ﭽﭾ ﭿﮀﮁﮂﮃﮄﮅﮆﮇﮈ ﮉ‬
‫ﮊﮋﮌﮍﮎﮏﮐﮑ ﮒﮓﮔﮕ‬
‫ﮖﮗﮘﮙ ﮚ‬
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak
mengharamkan apa yang telah dihramkan Alla swt dan Rasul-Nya dan tidak beragama
dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah, sedangkan mereka dalam ekadaan yang patuh dan tunduk.
Sepintas pemahaman radikal akan muncul ketika membaca ayat tersebut.
Namun bila ditinjau dari pendekatan sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul),
ayat ini berkenaan dengan perang terhadap ahli kitab (musyrik), Karen aad
sekelompok Nasrani yang merasa khawatir terhada ajaran nabi Muhammad,
lalu mereka mengumpulkan pasukan dari suku Arab yang beragam Kristen
dan bergabung dengan kekuasaan Romawi untuk me­nyerang umat muslim,
sehingga umat muslim merasa cemas terlebih setelah mereka mendengar bahwa
pasukan penyerang sudah smapai di Yordania. Kecemasan umat muslim tersebut
dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat ini, Al-Maraghi (2001: 52-53).
Tentu saja konteks ketika ayat itu turun sangat berbeda dengan konteks masa
kini, sehingga perintah pada ayat ini tidak menjadi relevan lagi, terutama dengan
konteks Indonesia.

Kenapa Harus Revolusi Mental?


Seperti yang telah di singgung sebelumnya, bahwa penyebab utama terjadinya
tindakan radikalisme dan intoleransi di Indonesia adalah karena lemah dan
bobroknya mentalitas manusianya. Oleh karena itu, langkah solutif yang pertama
kali harus dilakukan adalah dengan merevolusi mental masyarakat itu sendiri.
Revolusi Mental Base On Islam Ramah 251

Haryatmoko, sebagaimana dikutip oleh Semiarto (2015: 22) me­ngatakan


bahwa yang dimaksud dengan revolusi mental adalah perubahan mendasra dari
pola berfikir (mindset) manusia dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Dalam keadaan bangsa yang majemuk, revolusi mental harus di lakukan
sebagai sebuah terobosan untuk memberantas praktik-praktik yang buruk yang
selama ini berkemabng diantara multikulturalnya bangsa, seperti radikalisme
dan intoleran yang jika dibiarkan akan mengancam persatuan, kesatuan dan
perdamaian bangsa ini.
Maka dalam hal radikalisme dan intoleransi, revolusi atau perubahan pola
pikir yang harus dilakukan adalah: pertama, merubah sudut pandang dalam
menyikapi keadaan sosial dan ekonomi. Dalam hal ini manusia harus berusaha
memandang keadaan ekonomi yang berbeda bukan sebagai alasan untuk
bersikap radikal, brutal dan sebagainya. Namun keaan ekonomi yang berbeda,
seharusnya dijadikan motivasi untuk merubah keadaan ekonomi tersebut.
Kedua, dalam hal radikaisme agama, perlu diadakan kontruksi baru dalam
metodologi penafsiran untuk menjinakkan ayat-ayat yang sringkali di anggap
sebagai pembolehan untuk tindakan radikalisme, yaitu dengan : 1) al-Quran
harus di tempatkan sebagai paradigma kitab rahmah dan perdamaian. Sehingga
segala bentuk tafsir atau pemahaman Alquran yang bertentangan dengan nilai-
nilai harus ditinjau ulang, atau dihilangkan; 2) ayat-ayat tenag perdamaian harus
di pandang sebagai ayat muhkamat atau pokok, sementara ayat-ayat konflik
atau perang harus di pandang sebagai ayat mutasyabihat, dimana penafsirannya
harus mengacu pada ayat-ayat yang muhkamat sehingga tidak menghasilkan
pemahaman sang tekstual dan sempit; 3) pemahaman dan penafsiran ayat-ayat
yang dapat memicu sikap dan tindakan radikal, harus mempertimbangkan
beberapa aspek seperti asbab an-nuzul, aspek munasabah, juga koteks kekinian
yakni dalam konteks masyarakat multicultural. Abdul Mustaqim (2014).

Islam Ramah Sebagai Solusi Hidup Damai


Selama ini, radicalisme dan intoleransi menjadi common enemy karena selalu
menimbulkan kerusakan dan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Anehnya,
perbedaan selalu menjadi isu utama penyebab tumbuhnya radikalisme dan
intoleransi tersebut. Karena masih banyak masyarakat yang belum bisa menerima
arti dari perbedaan, akibatnya, perbedaan dipaksa harus melebur dalam satu
pemahaman yang mereka bangun sendiri.
Padahal, berdasarkan catatan sejarah, Nabi Muhammad telah me­letakkan dasar-
dasar pluralisme dan toleransi dalam piagam Madinah. Piagam tersebut secara tegas
menggarisbawahi adanya pengakuan terhadap seluruh penduduk Madinah tanpa
252 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

memandang adanya perbedaan agama dan suku, sebagai anggota yang tunggal
dengan hak-hak dan kewajiban yang sama, Abudin Nata (2013: 127).
Alquran dengan tegas menyatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah.
Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya Q.S.. Al-Hujurat[49]: 23, yang
artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang mulia diantara kamu di sisi Allah adalah ia yang paling bertakwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (Departemen Agama RI (2005:518).
Pada prinsipnya, Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan kasih
sayang, menjunjung tinggi sifat tolong menolong, toleransi, perdamaian, saling
menasehati dalam hak dan kesabaran, menghargai egaliter (kesamaan derajat),
tenggang rasa, demokratis dan sebagainya, Yatimin (2006: 19).
Prinsip-prinsip tersebut sangat banyak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran.
Salah satunya dalam Q.S. Al-Anbiya[21]: 107:

‫ﮐﮑﮒ ﮓﮔ ﮕ‬
Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.
Khitab (objek sasaran) kewajiban ayat ini memang spesifik kepada Nabi
Muhammad Saw.. Namun tentu saja titah mengemban misi kerahmatan tidak
hanya berlaku baginya, melainkan untuk selruh umat muslim yang mewarisi
keteladanannya (Q.S.. Al-Ahzab[33]: 21). Sebagai umat yang meneladaninya,
tak elok rasanya jika kita mengabaikan nilai-nilai kerahmatan yang di
dengungkan Allah swt melalui ayat-ayat-Nya dan Nabi Muhammad melalui
sabda-sabdanya. Juga malu rasanya jika keberadaan kita sebagai umat muslim
bukannya menebarkan rahmat, justru malah menebarkan laknat bagi kehidupan
bersama dalam bangsa dengan melakukan tindakan-tindakan radikalisme dan
intoleransi, Nurul Huda (2007: 162-163).
Ibnu Mandzur, seorang ahli bahasa terkemuka, mengatakan bahwa kata
“rahmat” dalam ayat ini mengandung makna kepekaan hati (Riqqah al-Qalb),
kelembutan hati (At-Ta’athuf) dan mudah memberi maaf (Al-Maghfirah), Husein
Muhammad (2015:2). Alquran juga menegaskan:

‫ﭥ ﭦ ﭧ ﭨﭩ‬
...Rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu…
Para ahli tafsir sepakat bahwa rahmat Allah yang dimaksud mencakup
orang-orang mukmim dan orang-orang kafir, orang baik (al-Birr), dan yang
jahat (al-Fajir), serta semua makhluk Allah. Kerahmatan Islam juga berarti
Revolusi Mental Base On Islam Ramah 253

menghormati orang lain, termasuk yang berbeda agama, bukan hanya ketika dia
masih hidup, bahkan juga ketika dia sudah mati.
Pernyataan diatas memberikan bukti bahwa Islam mempunyai tujuan
untuk mewujudkan kebaikan dalam kehidupan. Islam adalah agama yang selalu
mengutamakan kemaslahatan bagi semua makhluk tanpa terkecuali. Islam adalah
agama yang ramah, yang selalu mengajarkan perdamaian dan melarng berbagai
bentuk tindakan radiklisme dan intoleransi. Sebab, radikalisme dan intoleransi
tidak hanya membawa dampak yang buruk bagi konteks masyarakat yang
plural, tapi juga implikasinya dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.

Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa radikalisme dan
intoleransi sejatinya merupakan realitas dari kemajemukan suatu bangsa. Adanya
perbedaan merupakan sunnatullah yang mesti di sukuri, sehingga sikap toleransi
harus menjadi landasan dalam kehidupan. Sebab, dalam konteks masyarakat
yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia
menghargai adanya perbedaan pada masing-masing anggota masyarakat.
Dalam keadaan bangsa yang majemuk, revolusi mental harus di lakukan
sebagai sebuah terobosan untuk memberantas praktik-praktik yang buruk yang
selama ini berkemabng diantara multikulturalnya bangsa, seperti radikalisme
dan intoleran yang jika dibiarkan akan mengancam persatuan, kesatuan dan
perdamaian bangsa ini.
Islam mempunyai misi untuk menjadi agama yang ramah dengan
menciptakan perdamaian, keadilan dan menebar kasih saying (rahmatan li al-
‘alamin). Berdasarkan konsep ini, maka tidaklah tepat jika dalil-dalil agama di
absahkan sebagai dasar dari tindakan radikalisme dan intoleransi yang ini marak
terjadi. Adanya berbagai konflik terkait dengan radikalisme dan intoleransi
sebenarnya berakar pada dua hal, pertama, kesenjangan sosial-ekonomi yang
sering kali mendrong manusia menjadi sensitive, intoleransi dan bertundak
radikal. Kedua, adanya ketidak tepatan dalam memahami teks-teks keagamaan
sehingga menimbulkan pemahaman yang salah tentang pokok-pokok ajaran
agama.
Oleh karena itu, umat muslim perlu membumikan kembali sikap toleransi,
cinta damai dan saling mengasihi demi kembali terwujudnya negeri Indonesia
yang laksana Qith’ah min al-Jannah (serpihan surge) yang bisa dijadikan contoh
kehidupan berbangsa yang damai.
254 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Harmonisasi Dalam Kebhinekaan.
Cet. I. bogor: 2005.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Al-Hudd Kelompok
Gema Insani, 2002.
Ma’arif, Nurul Huda, Islam Mengasihi Bukan Membenci. Cet. I. Bandung:
Mizan, 2017.
Simarmata, Henry Thomas, dkk, Indonesia Zamrud Toleransi. Cet, II. Friedrick-
Ebert-Stiftung, 2017.
Tahir, Suaib, Isis Buka Islam. Cet. II. Badang Penanggulangan Terorisme, 2016.
Qardhawi, Yusuf, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme Dalam Berislam
dan Upaya Pemecahannya. Solo: Era Adicitra Intermedia, 2009.
Muhammad, Husein, Toleransi Islam; Hidup Damai Dalam Masyarakat Plural.
Cet. I. Cirebon: Fahmina Institut, 2015.
Perpustakaan Nasional RI, Panduan dan Contoh Pensyarah MSQ. Cet. I. Lembaga
Pengembangan Tilawatil Qur’an Provinsi Banten, 2016.
Zada, Khamami, dkk, Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari berbagai Konflik
Sosial. Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2008.
Rais, Moch Lukman Fatahullah, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Misrawi, Zuhairi, Alquran Kitab Toleransi; Tafzir Tematik Islam Rahmatan lil
‘Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis, 2010.
Kartono, Kartini, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Cet. III. Jakarta: Raja
Grafindo Petsada, 1998.
Said, Hasani Ahmad, Fathurrahman Rauf, Radikalisme Agama Daam Pers[ektif
Hukum Islam. Dalam Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XII. No. 3, 2015.
Laisa, Enma, Islam dan Radikalisme. Dalam Jurnal Islamuna. Vol. 1, No. 1,
2014.
Mustaqim, Abdul, De-Radikalisme Penafsiran Alquran dalam Konteks
KeIndonesiaan yang Multikultural. Diakses Minggu, 8 Juni 2014, pukul
06:48
Munip, Abdul, Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah. Dalam Jurnal
Pendidikan Islam. Vo. 1. No. 2, 2012.
Pesantren Budaya Nusantara:
Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental
Perspektif Alquran
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.05

Pendahuluan
Dewasa ini timbul kerisauan disebagian kalangan masyarakat terhadap perilaku
manusia Indonesia yang dianggap telah menyimpang dari nilai-nilai luhur
agama, budaya dan falsafah bangsa. Bahkan sebagian masyarakat yang lain
berani menjustifikasi bahwa telah terjadi kerusakan moral yang amat parah, baik
di tingkat elit, rakyat, maupun pelajar dan remaja. Pada tingkat elit rusaknya
moral bangsa ini ditandai dengan maraknya praktek ketidakadilan, korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK), praktik
KKN di Indonesia tahun 2017 menjadi 3.5% dari 3% pada tahun 2016.
Dengan skor ini peringkat Indonesia terdongkrak cukup signifikan, yakni
berada di urutan 37 dari keseluruhan negar yang disurvai oleh Transparancy
International. Pada tingkat akar rumput (rakyat), hancurnya moral bangsa ini
ditunjukan dengan merajalelanya pelbagai tindakan kejahatan dan kriminal,
seperti penipuan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan
termasuk juga tindak kekerasan atas nama ras, suku dan agama. Kerusakan
moral juga terjadi dikalangan pelajar. Hal ini ditandai dengan maraknya seks
bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan lain sebagainya. Direktur remaja

255
256 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dan perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M. Masri Muadz mengatakan


bahwa 63% remaja Indonesia pernah melakukan seks bebas. Sedangkan remaja
korban narkoba di Indonesia ada 2.2 juta orang atau 4.5% dari total jumlah
korban. Selain itu, berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI
Jakarta, pelajar SD, SMP, SMA, yang terlibat tawuran mencapai 1.8% atau
sekitar 2.318 siswa dari total 2.645.835 siswa di DKI Jakarta (Dharma Kusuma,
2016: 8).
Pelbagai kerusakan moral di atas, mengindikasi telah hilangnya nilai-nilai
karakter yang melekat pada bangsa Indonesia, seperti kejujuran, kesantunan,
kebersamaan, rasa malu, tanggung jawab, kepedulian sosial, dan lain sebagainya.
Untuk itu, perlu usaha untuk menjadikan nilai-nilai yang melekat pada bangsa
ini, kembali menjadi budaya dan karakter yang membanggakan.
Munculnya gagasan revolusi mental sebagai jargon yang mengemuka­kan
pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2014-2018 yaitu
Joko Widodo dan M. Yusuf Kalla, diharapkan menjadi jawaban dari gerakan
yang dapat merubah arah bangsa ini ke arah yang lebih baik. Namun terasa jauh
panggang dari api, harapan tersebut seolah masih melangit belum membumi
bersama kemajuan zaman. Berbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman
pra-kolonial hingga pasca kemerdekaan masih berlangsung hingga kini, mulai
dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri,
cenderung menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan
hukum dan sikap oportunis, ternyata masih banyak ditemukan.
Pondok pesantren yang diyakini sebagai pendidikan nonformal yang
tersebar di Indonesia, sampai dengan saat ini masih tetap eksis dan bertahan di
tengah-tengah masyarakat. Dan dari pesantren, tidak sedikit mencetak kader-
kader bangsa yang memiliki karakter, mental, tanggung jawab, dan akhlak
yang terbaik dalam mewujudkan bangsa ini. Hal ini terjadi, karena pondok
pesantren memiliki ciri khas terus dikembangkan sesuai dengan aturan dan
norma yang terdapat dalam manhaj agama islam. Tidak hanya ranah kognitif
yang diunggulkan di pesantren akan tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik.
Dengan seabreg kelebihan pesantren tersebut, “pesantren budaya” mencoba
hadir untuk menjawab kegelisahan yang terjadi dalam mental bangsa ini.
Berkangkat dari itulah, untuk memudahkan penyusunan makalah ini, perlu
kiranya dibuat perumusan untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam
revolusi mental. Bagaimanakah konseptula pesantren budaya?, Seperti apakah
revolusi mental dalam perspektif Alquran?, Seperti apakah lanskap pesantren
budaya dalam membumikan revolusi mental?
Tentunya kajian ini akan mencoba membuat konsep pesantren budaya
Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 257

untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang bermartabat, melalui pendekatan


tematik Alquran. Sehingga, revolusi mental yang digadang-gadang sebagai solusi
dari berbagai permasalahan yang terus menimpa negeri ini dapat membumi.

Menelisik Makna Pesantren Budaya Nusantara


Sebelum lebih jauh membahas makalah ini, perlu kiranya penulis memapar­kan
terlebih dahulu judul yang mendasari pembuatan makalah ini.

1. Pesantren
Pesantren atau yang lebih dikenal dengan pondok pesantren terdiri dari dua kata
yaitu “pondok dan pesantren”. Menurut Azra, kata pondok berasal dari bahasa
Arab yaitu “funduk” yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal
sederhana. Dengan penggunaan kata “pondok” orang membayangkan “gubuk”
atau “saung bambu”, suatu lambing yang baik tentang kesederhanaan sebagai
dasar pemikiran kelompok, di sini guru dan murid tiap hari bertemu dan
berkumpul, dan dalam waktu yang lama bersama-sama menempuh kehidupan
untuk menimba ilmu (2011: 19).
Sedangkan pesantren berasal dari kata santri dengan awalah “pe” dan
akhiran “an” menjadi pesantrian, kemudian berubah menjadi pesantren (santri-
pesantrian-pesantren). Proses perubahan tersebut sesuai dengan hukum tata
bahasa Indonesia, yakni fonem “ian” berubah menjadi “en”, sehingga menjadi
pesantren yang berarti tempat tinggal para santri (Rustiawan, 2005: 274).
Dalam wawasan Abdurrahman Wahid, pondok pesantren adalah sebagai
institusi yang menggambarkan komunitas subkultur, artinya memiliki keunikan
dalam aspek-aspek cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai
yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern yang ditaati sepenuhnya (Mughits,
2008:9). Sehingga pesantren telah banyak berpengaruh dalam pola kehidupan
masyarakat Indonesia lebih khusus masyarakat pedesaan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah
sebuah lembaga pengkajian ilmu keislaman yang merupakan hasil penyerapan
akulturasi dari masyarakat Indonesia dari kebudayaan agama Hindu-Budha
dan kebudayaan islam yang kemudian menjelmakan suatu lembaga yang lain
dengan warna Indonesia.

2. Budaya
Menurut KBBI budaya diartikan sebagai pikiran, akal budi, atau adat istiadat
(Tim Pustaka Phoenix, 2010: 54). Sedangkan menurut Mulyana, budaya
258 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi (2006: 25).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan suatu
pola hidup menyeluruh yang dimiliki oleh sebuah kelompok yang terbentuk
dari sistem yang rumit termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa,
pakaian, karya seni, dan lain sebagainya.

3. Nusantara
Nusantra secara etimologi tersusun dari dua kata “nusa” dan “antara”, dalam
bahasa Sanskerta berarti pulau atau kelupauan. Sedangkan antara dapat diartikan
sebagai laut, sebrang atau luar. Secara terminologi nusantara dapat diartikan
sebagai kemampuan yang dipisahkan oleh laut atau bangsa-bangsa (Abduh,
2003: 13).
Dari pengertian di atas bahwa nusantara adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra
sampai Papua. Sehingga, budaya nusantara merupakan perwujudan cipta,
karya, dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya
manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat bangsa, serta
mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa.
Dengan demikian, pesantren budaya nusantara merupakan perpaduan antara
konsep pondok pesantren dengan keberagaman budaya yang ada di Indonesia,
dengan tetap memperhatikan elemen-elemen yang ada di pondok pesantren.
Elemen-elemen dasar tradisi pondok pesantren terdiri dari pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab klasik, dan kyai. Masjid tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan
dianggap sebgai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam praktik sholat lima waktu, khutbah dan sholat jum’at, dan pengajaran
kitab-kitab islam klasik (Dhofier, 2011: 85). Elemen-elemen penting selanjutnya
adalah santri, perlu diketahui bahwa santri ada dua macam, yakni pertama santri
mukim (yaitu murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam pondok
pesantren). Dan kedua santri kalong (murid yang berasal dari desa-desa di sekitar
pesantren, dan biasanya tidak menetap di pesantren). Selain itu ada unsur penting
lainnya yaitu kyai atau ulama, artinya orang yang mengetahui, memahami ilmu-
ilmu keislaman secara mendalam Rustiawan, 2005: 276).

Revolusi Mental Perspektif Alquran


Selain makna pesantren budaya, perlu juga dipaparkan makna dari revolusi
mental, sehingga didapat pemahaman yang utuh. Menurut KBBI, Revolusi
mental berasal dari dua kata yaitu “revolusi” dan “mental”. Kata revolusi dapat
Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 259

diartikan sebagai perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial)


yang dilakukan dengan kekerasan, atau bisa juga perubahan yang cukup
mendasar dalam suatu bidang (Tim Pustaka Phoenix, 2010: 219).
Menurut Purwanto istilah mental dapat didefinisikan sebagai pandangan-
pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma serta aturan-aturan yang
dimiliki oleh seorang individu yang dijadikan kerangka acuan atau pedoman
untuk memahami dan mewujudkan perilaku atau tindakan tertentu terhadap
lingkungan yang dihadapi. Sedangkan Supelli mengartikan mental sebagai nama
genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup, misalnya mentalitas zaman.
Di dalam cara hidup ada cara berfikir, cara memandang masalah, cara merasa,
mempercayai/ meyakini, cara berperilaku dan bertindak (2008: 23).
Dari pengertian di atas revolusi mental dapat dimaknai sebagai perubahan
mendasar pola pikir masyarakat dan penguasa dalam konteks kehidupan bangsa
dan bernegara dan merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat dengan cara
cepat untuk mengangkat kembali nilai-nilai strategis yang diperlukan oleh
bangsa dan negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan kesejahteraan
rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi.
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, revolusi mental tampaknya tidak bisa
dipisahkan dari kajian perubahan sosial dan kebudayaan. Menurut J. Lewis
Gillin dan J. Philip Gillin memahami perubahan sosial sebagai suatu variasi
dari cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Cara-cara
hidup itu meliputi norma, nilai, keyakinan keagamaan, cara-cara mengolah
tanah, berburu, menangkap ikan dan lain sebagainya (2004: 67).
Menurut Soekanto perubahan sosial merupakan ruang lingkup pe­rubahan
sosial yang meliputi unur-unsur kebudayaan, baik yang material maupun yang
immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan
terhadap unsur-unsur immaterial. Dia mencontohkan pengorganisasian buruh
dalam masyarakat kapitalis yang telah menyebabkan perubahan-perubahan dalam
hubungan antara buruh dengan majikan, dan pada gilirannya menyebabkan
perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik. Lebih jauh,
dia berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan tersebut mencakup semua bagiannya:
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan-
perubahan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial (1992: 80).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa perubahan sikap mental
atau pola pikir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perubahan sosial
260 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dan kebudayaan. Perubahan sosial dan kebudayaan yang terkait erat dengan
perubahan mental, terutama menyangkut cara-cara hidup, seperti cara berpikir,
cara memandang masalah, cara merasa, meyakini, cara berperilaku, bertindak, di
samping itu juga pangangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-
norma.
Dalam rangkain Alquran sesungguhnya tidak ditemukan sebuah term yang
persis sepadan dengan “revolusi mental” ( ). Namun demikian, ada beberapa
ayat Alquran yang menggunakan term seakar kata dengan . Sebagaimana Allah
SWT berfirman dalam Alquran:

‫ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲﭳ‬
‫ﭴ ﭵ ﭶ ﭷﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ‬
Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum
pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat,
dan tanpa belang”. Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang
sebenarnya”. Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris mereka tidak melaksanakan
(perintah) itu. (Q.S.. Al-Baqarah [2]: 71) (Depag RI, 2007: 11).
Selain ayat di atas, masih terdapat ayat yang lain yang menggunakan term
“ats-tsaurah”, seperti terdapat dalam surat Ar-Ruum [30]: 9 dengan menggunakan
kata “mengolah”. Surat Fathir [35]: 9 dengan menggunakan kata “menggerakan,
dan surat Al-A’diyat [100]: 4 dengan menggunakan kata “menerbangkan”. Dari
keempat ayat tersebut apabila diperhatikan maka semuanya menggunakan
kata kerja. Hal ini menunjukan bahwa dalam revolusi ada proses perubahan,
pergerakan dan pergeseran. Lebih jauh pada tataran nilai Alquran secara jelas
telah membawa gagasan-gagasan revolusi, baik revolusi mental-spiritual maupun
revolusi sosial.
Menurut M. Quraish Shihab, sejak semula Alquran memperkenal­kan
diri sebagai kitab suci yang fungsi utamanya mendorong lahirnya perubahan-
perubahan positif dalam masyarakat. Atau, dalam bahasa Alquran “mengeluarkan
manusia dari kegelapan menuju terang benderang”. Sebagaimana Allah SWT
berfirman:

‫ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ‬
‫ﭰﭱﭲﭳ‬
Alif laam raa (ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu Muhammad) agar
engkau mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dengan
izin Tuhan, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha perkasa, Maha terpuji (Q.S.
Ibrahim [14]: 1) (Depag RI, 2007: 253).
Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 261

Ayat di atas menggunakan bentuk jamak untuk kata “Adz-Dzulumat” dan


bentuk tunggal untuk kata “an-nur”, Quraish Shihab dengan merujuk pendapat
ahli tafsir mengemukakan hal ini mengisyaratkan bahwa kegelapan bermacam-
macam serta beraneka ragam dan sumbernya pun banyak, berbeda dengan kata
“an-nur”: yang artinya cahaya (2012:310).

Landskip Pesantren Budaya Nusantara dalam Membumikan Revolusi


Mental
Alquran telah mendorong manusia terlebih muslim untuk konsen belajar
agama, sebab Alquran dalam semua uraiannya termasuk dalam masalah
pendalaman ilmu pengetahuan, selalu memandang manusia secara utuh. Dalam
pemaparan Quraish Shihab, Alquran dalam memaparkan ajarannya senantiasa
memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat serta bangsa. Individu
dilihatnya secara utuh, fiisk, akal, dan kalbu. Dan masyarakat dihadapinya
dengan penekanan adanya seruan untuk mengkaji ilmu pengetahuan dan
dibagikan kinerja secara proposional. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ‬
‫ﯴﯵﯶ ﯷﯸﯹﯺﯻ ﯼ ﯽﯾ‬
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (Q.S. At-Taubah [9]: 122)
(Depag RI, 2007: 206).
Ayat tersebut di atas menggarisbawahi terlebih dahulu motivasi bertafaqquh
atau memperdalam pengetahuan bagi mereka yang dianjurkan keluar, sedang
motivasi utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh. Dalam pandangan
Quraish Shihab, ayat ini tidak berkata bahwa hendaklah jika mereka pulang
mereka bertafaqquh, tetapi berkata “untuk memberi peringatan kepada kaum
mereka apabila mereka telah kembali kepada mereka supaya mereka berhati-hati”.
Peringatan itu hasil tafaqquh, tidak mereka peroleh pada saat terlibat dalam
perang karena yang terlibat ketika itu pastilah sedemikian sibuk menyusun
strategi dan menangkal serangan, mempertahankan diri sehingga tidak mungkin
ia dapat bertafaqquh memperdalam ilmu pengetahuan (2010: 191-192).
Memang harus diakui bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan
agama harus memahami arena serta memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi
itu tidak berarti dapat dilakukan oleh mereka yang tidak ikut terlibat dalam
perang itulah yang lebih mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu dari
pada mereka yang terlibat langsung dalam perang.
262 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Penegasan ayat di atas memberikan motivasi untuk memperdalam ilmu


pengetahuan agama dalam sebuah lembaga, baik formal maupun nonformal,
termasuk di dalamnya pondok pesantren. Memperdalam ilmu pengetahuan
merupakan langkah awal dalam memahami teori-teori tentang sesuatu, akan
tetapi perlu diingat untuk membumikan revolusi mental, tidak hanya ilmu
pengetahuan sebagai ranah kognitif yang dikejar. Akan tetapi, masalah sosial
kemasyarakatan juga perlu diperdalam. Sehingga revolusi mental secara utuh
dapat dipraktekan.
Revolusi mental yang digagas oleh Joko Widodo mempunyai tiga pilar
utama yaitu: integritas, etos kerja, dan gotong royong. Integritas meliputi:
jujur, dapat dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab, Etos kerja meliputi:
kerja keras, optimis, produktif, inovatif, dan berdaya saing, sedangkan gotong
royong meliputi: bekerjasama, solidaritas tinggi, komunal, berorientasi pada
kemaslahatan, kewargaan. Namun demikian, masih banyak karakter positif
bangsa Indonesia yang belum disebutkan di sini, seperti religius, toleran dan
tenggang rasa, ramah, santun, cinta damai, dan cinta tanah air. Untuk mencapai
itu semua, dengan memperhatikan elemen-elemen yang ada di pesantren.
Pesantren budaya nusantara memiliki konsep yang tidak biasa seperti pesantren
pada umumnya:
Pertama, konsep asrama yang dibuat dalam pesantren budaya nusantara,
berdasar pada rumah-rumah adat yang ada di Indonesia. Hal ini di­maksudkan,
agar para santri sebagai salah satu elemen yang harus ada dalam pesantren,
mengenal dan memahami budaya-budaya leluhur Indonesia yang diwujudkan
dalam rumah-rumah adat. Dalam pandangan Sucipto, rumah adat atau rumah
tradisional yang jumlahnya sekitar 35 rumah adat, adalah rumah yang dibangun
sebagai tempat tinggal bagi masyarakat zaman nenek moyang dahulu yang
memiliki ciri dan bentuk yang khas. Dengan konsep ini, para santri secara tidak
langsung diajarkan tentang budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang melekat pada
bangsa Indonesia, sehingga para santri memiliki jati diri yang kuat untuk saling
menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia, yang digambarkan
melalui rumah adat.
Lebih jauh Alquran mengeksplorasi tentang pentingnya saling mengenal
terhadap perbedaan-perbedaan, sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ‬
‫ﮄ ﮅﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ‬
Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laik-laki dan
seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-
Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 263

suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisis
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Maha teliti
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) (Depag RI, 2007: 517).
Kedua, konsep bahasa yang dijadikan sebagai bahasa komunikasi dalam
keseharian pesantren budaya, tidak melulu menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa utama, bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan,
akan tetapi juga menggunakan komunikasi dengan bahasa-bahasa daerah yang
ada di Indonesia. Jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) berjumlah 742 bahasa. Jumlah yang sangat banyak ini
pesantren budaya menjadwalkan agar para santri meskipun tidak menguasai,
tapi setidaknya mengenal bahasa daerah yang ada di Indonesia. Dengan konsep
seperti ini, maka para santri akan lebih menghargai perbedaan-perbedaan bahasa
yang ada di Indonesia. Sehingga menjadikan santri memiliki toleransi yang
tinggi terhadap perbedaan.
Dalam Alquran bahwasanya menciptakan perbedaan bahasa dan warna
kulit sebagai tanda kebesaran bagi orang-orang yang mengetahui, sebagiaman
Allah SWT berfirman:

‫ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨ ﮩ ﮪ‬
‫ﮫﮬﮭ‬
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi,
perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengatahui (Q.S. Ar-Ruum [30];
22) (depag RI, 2007: 406).
Ketiga, konsep yang tidak kalah penting dalam pesantren budaya
adalah guru atau ustadz sebagai role model bagi para santri. Revolusi mental
di pesantren harus dapat membangun pribadi guru atau ustadz yang dapat
dijadikan contoh atau teladan bagi para santri. Sebab, terdapat kecenderungan
yang sangat besar untuk menganggap bahwa guru atau ustadz menjadi sorotan
bagi para santri dalam perilaku sehari-hari. Sebab, menyesuaikan antara konsep
keilmuan dengan amaliah keseharian, baik dalam berkomunikasi, berpakaian,
memberikan pengajaran maupun amaliah yang lainnya.
Dalam masalah teladan, Alquran menyebutkan dalam kehidupan harus
menjadi contoh bagi orang lain, sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﯯﯰ ﯱﯲﯳﯴﯵ ﯶﯷ ﯸ ﯹﯺﯻﯼ ﯽﯾ‬


‫ﯿ ﰀ‬
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasullallah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
264 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah (Q.S. Al Ahzab [33]: 21) (Depag RI, 2007: 420).

Penutup
Revolusi mental merupakan istilah yang cukup hangat untuk dibicarakan,
meskipun bukan istilah baru namun karena diungkapkan oleh presiden Republik
Indonesia terutama di awal pemilihan presiden 2014. Maka hal tersebut menjadi
ramai dan menarik diperbincangkan.
Gagasan revolusi mental ini muncul karena dilandasi oleh kenyataan
bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul dan ber­
karakter. Berbagai kebiasaan yang tumbuh subur sejak zaman pra-kolonial
hingga pasca kemerdekaan masih berlangusng hingga kini, mulai dari korupsi,
intoleransi terhadap perbedaan, sifat tamak, ingin menang sendiri, cenderung
menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, melecehkan hukum dan
sikap oportunis. Sebab itulah, masalah revolusi mental menjadi masalah yang
mengemuka di negeri tercinta ini. Pesantren budaya nusantara menjadikan
jargon “revolusi mental” sebagai suatu peluang untuk mengembalikan kembali
keadaan mental Indonesia yang sudah semakin terpuruk, menuju kepada mental
yang bermartabat, dengan cara: kontruksi asrama tempat tinggal para santri
menyerupai rumah-rumah adat yang ada di Indonesia atau miniatur rumah
adat sebagai asrama. Kemudian, bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi
bukan hanya bahasa Indonesia, Arab dan Inggris, tapi juga dikenalkan bahasa-
bahasa daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, guru atau ustadz tidak hanya
menyampaikan materi secara klasikal, akan tetapi menjadi contoh atau teladan
bagi para santri dalam setiap amaliah keseharian.
‘Ala kulli hal, semoga tulisan ini menjadi kontribusi dalam membumi­
kan revolusi mental di Indonesia, revolusi mental bukan hanya cita-cita, akan
tetapi terwujud dalam kehidupan bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang lebih bermartabat.

Pustaka Acuan:
Amman, Saifuddin, Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: PT. Mawardi
Prima, 2000.
Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Bandung: Muzan,
2002.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemah, Jakarta: CV. Dana Nala, 2007.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 2011.
Pesantren Budaya Nusantara: Ikhtiar Membumikan Revolusi Mental Perspektif Alquran 265

Direktorat Jendral Kelembagaan Islam Depag RI, Pola pemberdayaan Masyarakat


Melalui Pondok Pesantren, Jakarta, 2003.
El-Saha, M. Ishom, dan Masuki, Intelektualisme Pesantren, Jakarta: Diva Press,
2004.
Hasyim, Maskur, Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia, 2002.
Ismail, Faisal, Pijar-Pijar Islam Pekumpulan Kultur dan Struktur, Yogyakarta:
LESFL, 2002.
Lembaga Qur’an Indonesia, Ensiklopedia Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Ma’arif, Ahmad Syafe’I, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan,
Bandung: Mizan, 2009.
Majid, Nurkholis, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan, Bandung: Mizan,
2008.
Mughits, Abdul, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Prenada Media Group,
2008.
Mulyana, Dedi, Komunikasi Antar Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Nashr, Sayyid Hosen, The Heart of Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Rustiawan, Hafid, Modernisasi Sistem Pendidikan di Pesantren (Jurnal Alqalam),
Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IAIN SMH Banten,
2005.
Shihab, M, Quraisy, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,
Jakarta: Lentera Hati, 2012.
Shihab, M, Quraisy, Wawasan Alquran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Toha, Muhammad, Membumikan Alquran: Fungsi Peran Wahyu dalam Kehidupan,
Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1992.
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
2010.
Zuhaili, Wahbah, Tafsirul Wajiz, Jakarta: Gema Insani Press, 2007.
Masyarakat Madani dalam Perspektif
Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai
Revolusi Mental
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.06

Pendahuluan
Cita-cita sosial Islam menempati posisi strategis dalam kerangka ajaran
Islam, karena merupakan arah dan acuan kehidupan keberIslaman. Gerakan
Islam, bagaimanapun bentuknya, sepanjang diorientasikan dalam rangka
memperjuangkan cita-cita sosial Islam, dengan demikian, merupakan faktor
instrumental untuk mengantarkan umat kepada pencapaian (tepatnya
penghampiran) cita-cita tersebut.
Menurut Amien Rais (1995: 15), menjelaskan dalam perspektif ini gerakan
Islam, seyogyanya melakukan interpretasi dan aktualisasi cita-cita sosial Islam
dalam konteks sosial, budaya, dan dinamika masyarakat yang dihadapinya.
Interpretasi cita-cita sosial tersebut mengambil bentuk perumusan nilai-nilai
dasar (basic values), dan nilai-nilai instrumental (instrumental values), dan
aktualisasi diselenggarakan dalam suatu proses dinamis dan sistematis untuk
mencapai masyarakat madani.
Konsistensi gerakan Islam baik pada tujuan maupun khitah perjuangan­
nya, dengan cita-cita sosial Islam yang dimaksud akan mengukuhkan gerakan
masyarakat madani sebagai gerakan Islam untuk mencapai tujuan bersama.
Kemampuan menginterpretasikan dan mengaktualisasikan cita-cita sosial Islam

267
268 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

dalam konteks perubahan sosial mencerminkan efektivitas gerakan sebagai


agen reformasi untuk mencapai sebuah revolusi mental. Dalam hal ini, proses
pencarian cita-cita sosial menuntut adanya reformasi dan perubahan sosial
yang berkesinambungan antara penerapan masyarakat madani untuk mencapai
revolusi mental, karena pada dasarnya masalah revolusi mental merupakan
masalah yang konkrit dan perlu ada usaha dan formulasi untuk mencapai
kearah tersebut.
Masyarakat madani atau civil society secara umum bisa diartikan sebagai
suatu masyarakat atau institusi sosial yang memiliki sifat kemandirian,
toleransi, keswadayaan, kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung
tinggi norma dan etika yang disepakati secara bersama-sama. Di Indonesia,
secara historis, upaya untuk merintis lahirnya institusi semacam ini ini sudah
muncul sejak masyarakat kita sudah mulai bersentuhan dengan pendidikan
modern, berkenalan dengan sistem kapitalisme global, dan modernisasi. Setelah
meraih kemerdekaan, semangat masyarakat madani semakin berkembang dan
menecapai puncaknya pada tahun 1950 ketika organisasi-organisasi politik dan
kemasyarakatan berkembang pesat dan pemerintahan dibawah pemerintahan Ir.
Soekarno bertekad unruk membangun negara modern dengan system demokrasi.
Tapi sejalan dengan itu, bangsa kita senantiasa gagal dalam membangun fondasi
masyarakat madani untuk meningkatkan kemampuan individu dalam upaya
mencapai tujuan bersama yaitu revolusi mental (Abdulahmed, 2001: 89).
Para pakar ilmu-ilmu sosial, aktifis sosial, dan politisi umumnya melihat
kegagalan itu disebabkan karena minusnya pertisipasi masyarakat dalam proses
pembangunan, proses percepatan globalisasi budaya yang tidak mampu direspon
secara berimbang yang akhirnya menyebabkan penyakit culture shock (kekagetan
budaya) yang kemudian mengakibatkan gagalnya anggota masyarakat (secara
individual) menemukan pijakan ideologis yang kuat. Dalam masyarakat yang
demikiam tentu saja kemandirian menjadi sikap hidup yang langka. Baik sejara
politis (karena minimnya partisipasi) maupun secara umum kulural umumnya
anggota masyarakat tidak memiliki kemandirian dan ketidakjelasan sehingga
berakibat pada melemahnya revolusi mental bangsa Indonesia.
Data diatas bisa berubah kapanpun selama pengembangan masih terus
dilakukan, lalu bagimana pengaruh masyarakat madani terhadap revolusi
mental? Dan bagaimana solusi dan strategi Alquran tentang masyarakat madani
dalam upaya mencapai revolusi mental. Makalah ini dibuat semoga nantinya
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membentuk keluarga
madani sebagai upaya untuk mencapai revolusi mental.
Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 269

Konsep Masyarakat Madani


Dalam paradigma sosial politik Islam, dengan melacak sumber-sumber
doktrinalnya, ada dua kata kunci yang bisa menghampirka kita pada konsep
masyarakat madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua
kata kunci yang memiliki eksistensi kualitatif (memiliki keutamaan-keutamaan
tertentu) inilah yang menjadi nilai-nilai dsar dan nilai-nilai instrumental bagi
terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, sepeerti dalam istilah “ummah
Islamiyah”. “ummah wasathan”, “ummah Muhammadiyah”. “ummah wahidah”,
“khira ummah”, dan lain-lain, , merupakan pranata sosial utama yang dibangun
oleh Nabi Muhammad SAW. setelah hijrah dimadinah. (Din Syamsuddin,
2000: 95).
Terminologi “ummah” dalam bahasa Arab menunjukkan pengertian
komunitas keagamaan tertnetu, yakni komunitas yang mempunyai ke­yakinan
keagamaan yang sama. Secara umum, seperti diisyaratkan Alquran, terminologi
“ummah” menunjukkan suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas
tertentu atas dasar komitmen keagamaan etnis, dan moralitas.
Dalam perspektif sejarah, “ummah” yang dibangun oleh Nabi Muhammad
Saw. dimaksudkan untuk membina solidaritas para pemeluk Islam (kaum
Muhajirin dan kaum Anshar). Khusu bagi kaum Muhajirin, konsep “ummah”
merupakan sistem sosial alternative pengganti sistem sosial tradisional dan
kesukaan yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam. Hal ini menunjukan
bahwa konsep “ummah” mengundang konotasi sosial, ketimbang konotasi
politik.
Menurut Quraih Shihab dalam buku Tafsir Alquran Tematik (2001: 98) Kata
“ummah” disebut sebanyak 54 dalam Alquran baik dalam bentuk tungga maupun
bentuk dalam bentuk jamak. Penyebutan dalam Alquran menunjukkan bahwa
makna “ummah” adalah masyarakat madani yang didalamnya dijelaskan bahwa
masyarakat madani merupakan sebuah konsep umat Islam yahng ditegaskan
atas dasar solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan
moral terhadap eksistensi dan kelestarian masyarakat berorientasi kepada nilai-
nilai Islam yang bertujuan untuk membantu memeperbaiki kepribadian dan
mengembangkan kemampuan individu untuk mencapai tujuan bersama.
Kendati demikian, eksistensi umat Islam, tidaklah bersifat ekslusif. Karena
Islam merupakan agama universal (rahmatan lil-a’alamin), maka nilai-nilai Islam
harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan
kesemestaan ini menuntut adanya upaya universalisasi (evelasi) nilai-nilai Islam
untuk menjadi nilai-nilai nasional ataupun global (Hikam 1996: 3).
270 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Seperti telah disebutkan diatas, penyebutan kata “ummah” dalam Alquran


dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
“ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai ”relatif ”.
Artinya bahwa perwujudan “ummah” dalam keagamaan realitas sosial budaya
kaum muslimin tidak seragam dan bercorak tunggal. Sebagain implikasinya,
perwujudan “ummah” akan sangat tergantung kepada realitas sosial budaya
tertentu. Korelasi demikian menunjukkan bahwa cita-cita ideal agama (Islam)
adalah terwujudnya masyarakat yang berperadaban tinggi sebagai struktur
fisik dari umat Islam yang natinya mampu mewujudkan cita-cita bersama dan
mampu mewujudkan tujuan untuk mencapai revolusi mental sehingga dengan
penerapan masyarakat madani, mampu meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia yang meiliki mental yang kuat dalam upaya mencapai revolusi
mental.

Masyarakat Madani Terhadap Revolusi Mental


Harus diakui bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi masalah mendasar
dalam hal kualitas sumber daya manusia. Secara umum, kehidupan masyarakat
kita masih diikuti oleh lemahnya kualitas pengalaman disiplin nasional dan
etos nasional. Hal ini ditunjukan, umpamanya oleh rendahnhya penghargaan
terhadap waktu, lemahnya penghayatan nilai kualitas nilai kualitas dan prestasi,
serta penghayatan terhadap norma-norma hukum.
Menurut Qurasih Shihab (2011: 120), menghadapi tantangan persaingan
antar bangsa yang semakin keras di masa depan, bangsa Indonesia perlu
mengembangkan beberapa sikap orientasi yang kondusif kepada kemajuan,
yaitu: (a) sikap orientasi yang kondusif kepada kemajuan, (b) orientasi kualitas
(quality oriented), (c) orientasi terhadap tujuan (goal oriented), dan (d) orientasi
kepada masa depan (future oriented).
Dalam hal ini, seorang manusia modern yang maju adalah yang cenderung
merealisasikan segala cita, rasa kedalam karya nyata, dan kemudian senatiasa
cenderung untuk meningkatkan karya nyatanya itu menjadi karya terbaik,
dalam proses dinamis dan sistematis untuk menghampiri cita-cita (tujuan
hidup), sebagai manifestasi dalam rangka mencapi sebuah tujual sosial yaitu
revolusi mental.
Dalam perspektif diatas menurut Dr. Tarmdizi Taher dalam bukunya
Menuju Umatan Wasathan (2006: 98), menjelaskaan bahwa masyarakat modern
dalam mencapai revolusi mental harus memiliki kecendrungan antara lain: (1)
bersifat rasional dalam menghadapi segala masalah, yaitu dapat memberikan
pertimbangan yang logis dalam menentukan pilihan, (2) bersifat terbuka (outward
Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 271

looking), yaitu toleran, apresiatif dan akomodatif terhadap perkembangan diluar


dirinya yang dinilai mengandung kebaikan, dan (3) disiplin terhadap waktu,
yaitu kecendrungan untuk mengisi dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-
baiknya. Disiplin waktu ini melahirkan kecenderungan untuk menampilkan
hidup yang berencana dengan perencanaan strategis dan berorientasi pada
efesien dan efektivitas kerja. Hal-hal inilah yang mampu membantu setiap
individu dalam rangka pengembangan daya saing dan mentalitas setiap invidu
sehingga mampu mewujudkan dan mencapai revolusi mental.
Dalam hal ini, proses pencapaian cita-cita sosial yaitu revolusi mental menuntut
adanya reformasi dan perubahan sosial yang berkesinambungan. Hal demikian
diharapkan dapat menunjukkan nuasa pemikiran Islam mengenai penerapan sistem
kemasyrakatan yang dapat diterapkan dalam upaya mencapai revolusi mental dalam
dua masa besar, yaitu “masa perkembangan Alquran” (Qur’anic development period).
Pada masa pertama, Nabi Muhammad SAW. merumuskan cita-cita sosial Islam
berdasarkan wahyu Tuhan dan menerapkan dalam konteks sosial budaya masyarakat
Arab. Pada masa kedua, para pemikir muslim melakukan hal yang serupa dalam
setting sosio-historis yang berbeda yang telah melahirkan pemikiran dan pranata sosial
yang beragam (Tarmidzi, 2006: 107).
Cita-cita masyarakat madani merupakan refleksi tauhid yang merupa­kan
prinsip sentral dan kardinal dalam Islam. Menurut Amien Rais dalam buku­nya
Cakrawala Islam (1992: 18), menegaskan bahwa kesatuan hubungan utama
atara masyarakat madani dengan refleksi tauhid menekankan pada kesatuan
tiga eksistensi: Tuhan, alam dan manusia. Manusia seagai subjek kehidupan
merupakan khalifah Tuhan yang diberi kuasa untuk memanfaatkan alam untuk
membangun peradaban bumi. Keberhasilan misi kakhalifaan tersebut sangat
tergantung kepada kemampuan manusia dalam mengembangkan sunnatullah
dalam dirinya, yakni dengan menginternalisasikan kekuatan-kekuatyan Tuhan
(al-Asma al-Husna), sehingga manusia dapat memahami dan memanfaatkan
sunatullah pada alam semesta. Pengembangan misi kekhalifahan ini meniscaya­
kan kerja kolektif manusia bersama manusia yang lainnya. Dengan demikian
konsep mayarakat madani mengandung dimensi sosial, baik pada proses
maupun tujuan.
Proses dam tujuan dalam hal ini terjalin dalam hubungan simbiotik yang
bersifat dinamis, yaitu bahwa proses pencapaiannya tujuan masyarakat madani
adanaya komunitas sosial dengan kulaitas tertentu, yang pada giliran berikutnya
mendukung terjadinya proses yang lebih baik, lebih maju dalam mewujudkan
komunitas sosial yang lebih kualitatif sehingga nantinya pada saat upaya
pencapain revolusi mental dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya.
272 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Masyarakat Madani: Upaya Mencapai Revolusi Mental


Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk sosial. Sebagai
mahkluk individual, manusia membutuhkan makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Sedangkan sebagai makhluk sosial,
manusia membutuhkan teman untuk bergaul untuk menyatakan suka dan
duka. Dengan memenuhi berbagai kebutuhan lainnya yang bersifak kolektif.
Manusia membutuhkan kedua sisi kehidupan tersebut.
Sebagai makhluk sosial, mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia
lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana manusia berada. Membentuk
lingkungan sosial yang ramah, peduli santun saling menjaga dan menyayangi,
saling membantum taat pada aturan, menghargai hak-hak asasi manusia dan
sebagainya, lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan manusia dapat
melakukan berbagai aktifitasnya dengan tenang. Keinginan untuk mewujudkan
lingkungan yang demikian itu, pada gilirannya mendorong perlunya membina
masyarakat yang pendidikan, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yaitu salah
dengan membentuk mashyarakat madani dalam kehidupan bersmasyarakat.
Karena hanya didalam masyarakat madani akan tercipta lingkunan dimana
berbagai aturan dan tujuan bersama dapat terealisasi (Muthada, 1997: 15).
Alquran sebagai sumber ajaran Islam telah memberikan perhatian yang
besar terhadap perlunya pembinaan masyarakat madani. Seperti yang dijelaskan
dalam firman Allah aza wazala dalam Q.S. Ali Imran (3): 110).

‫ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤﭥ ﭦ ﭧ‬
‫ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱﭲ ﭳ ﭴ ﭵ‬
‫ﭶﭷ‬
Kamu sekalian adalah umat yang terbaik (khairul ummah) yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”
(Q.S. Ali Imran (3): 110) (Mushaf Al-bantani 2013).
Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2000: 90),
menjelaskan bahwa kata ummah yang terdapat dalam ayat diatas berasal dari kata
amma yauma yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata ini dapat diketahui
bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang memiliki keyakinan yang
sama. Menghimpun diri seca harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam al-mufradat fi Gharib Alquran (1998: 325), masyarakat
diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama,
waktu, tempat, baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.
Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 273

Kemudian Ali Sari’ati (1986: 15), berpendapat bahwa ayat diatas menjelas­
kan tentang masyarakat yang merupakan sekumpulan dari manusia antara
satu dan lainnya yang terkait dalam satu nilai, adat istiadat yang didalamnya
terdapat sistem hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ibn Khaldun dalam buku Filsafat Islam tentang sejarah
(1976: 35), mengatakan bahwa adanya masyarakat yang memiliki ciri-ciri yang
demikian itu merupakan suatu keharusan, karena menurut wataknya, manusia
adalah makhluk sosial.
Alquran merupakan pedoman umat Islam yang memberikan solusi me­nganai
segala permasalahan yang ada dimuka bumi, tidak lain dengan permasalahan
revolusi mental yang ada di Negara Indonesia. Alquran memberikan solusi
melalui masyarakat madani yang didalamnya terdapat beberapa strategi yang
diterapkan dalam masyarakat madani sehingga dapat menjadi basis dalam upaya
mencapai revolusi mental, strategi yang dijelaskan dalam Alquran mengenai
penerapan masyarakat madani dalam upaya mencapai revolusi mental sebagai
berikut:

Pertama; Musyawarah Antar Manusia


Kata musyawarah, berasal dari bahasa arab musywarah yang menunjukan isiim
mashdar dari kata kerja syawara, yusyawiru. Kata ini terambil dari akar kata sya,
wau dan ra yang bermakna pokok pengambilan sesuatu, menampakkan dan
menawarkan sesuatu.
Menurut Quraish Shihab (2000: 67), kata musyawarah mulanya bermakna
mengeluarkan madu karena berasal dari kata syaara (Saw.ara). Makna ini
kemudian berkembang sehingga mencakup segala sesuatau yang dapat diambil
atau dapat dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah juga
juga dapat berarti mengatakan atau mengerjakan sesuatu. Musyawarah pada
dasarnya hanyab digunakan pada hal-hal yang baik, baik menyangkut urusan
pribadi ataupun urusan umum. Oleh karena itu, musyawarah sangat diperlukan
dalam menjalankan kehidupan, terutama untuk menyelesaikan problem yang
dihadapi masing-masing individu atau masyarakat pada umumnya. Karena
pada dasarnya urgensi musyawarah begitu besar dan sangat diperlukan dalam
rangka penyelesaian dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dalam hal ini
merupakan pondasi awal untuk membentuk masyarakat madani dalam upaya
untuk mencapai revolusi mental. Seperti dijelaskan dalam firman Allah swt Q.S.
Asy-Syura (42): 38,

‫ﮙﮚﮛ ﮜﮝ ﮞﮟﮠﮡﮢﮣﮤ‬
274 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Dan bagi mereka orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan sholat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Asy-Syura
(42): 38). (Mushaf Al-Bantani, 2013: 487).
Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2002: 178),
menjelaskan bahwa ayat diatas berisi tentang sifat-sifat orang mukmin, yaitu
mengamalkan perintah Allah swt yang oleh Nabi Muhammad Saw., mengerjakan
sholat, memusyawarahkan urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rezeki
yang pernah mereka peroleh. Dari ayat ini dapat dikatakan bahwa musyawarah
merupakan salah satu bentuk ibadah. Musyawarah bukanlah produk sosial
melainkan institusi yang dihasilkan oleh wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah Saw..
Dengan demikian, musyawarah merupakan bagian dari ajaran Islam.
Ini artinya bahwa dalam masalah-masalah dunia, seperti strategi perang,
pemilihan pemimpin, menghadapi sebuah perbedaan dan lain sebagainya, Islam
mengajarkan demokrasi yang tetap berpegang teguh kepada Alquran.
Alquran juga menjelaskan sisi penting dari musyawarah, yaitu konsultasi.
Dalam masalah yang memerlukan masukan dari orang lain, konsultasi merupakan
suatu hal yang diperintahkan Allah swt. Seperti disebutkan dalam Firman-Nya:

‫ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚﯛ ﯜ‬
‫ﯝ ﯞ ﯟﯠﯡﯢﯣﯤﯥ‬
“Jika kamu (Muhammad) berada dalam karagu-raguan tentang apa yang kami
turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab
sebelum kamu. Sesungguhnya telah dating kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab
itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” (Q.S. Yunus
(10): 94) (Mushaf Al-Bantani 2013: 219).
Menurut Quraish Shihab (2002: 78) menjelaskan bahwa ayat diatas
menunjukkan bahwa apanila seseorang ragu tentang suatu hal, hendaklah
bertanya kepada orang yang dianggap mengetahuinya. Salah satu maksud dan
tujuan dari bertanya adalah untuk berkomunikasi. Allah Saw. mengabadikan
konsultasi yang dilakukan oleh Ratu Bilqis dengan para pembesar kerajaannya
ketika hendak mendapatkan tawaran “merger” dari Raja Sulaiman dalam Q.S.
An-Naml ayat 32:

‫ﯖﯗﯘﯙﯚ ﯛﯜﯝﯞﯟﯠ ﯡﯢ‬


Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami
beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada mereka yang mempunyai
pengetahuan jika kamu ingin mengetahui” (Q.S. An-Naml (27): 32) (Mushaf Al-
Bantani 2013: 479).
Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 275

Ayat-ayat diatas membuktikan bahwasanya dari kegiatan, musyawarah


ada manfaat yang dapat diambil oleh peserta musyawarah, yaitu membentuk
kepribadian dan meningkatkan kemampuan serta mengambil pelajaran dari
pengalaman dan keahlian orang lain dalam berbagai bidang. Oleh sebab itu
dengan musyawarah akan tercapai kesatuan umat yang dapat dijadikan upaya
untuk mencapai revolusi mental.

Kedua; Berprilaku Adil


Secara umum, al-adl (keadilan/tindakan yang adil) artinya suatu keadaan yang
terdapat pada jiwa seseorag yang membuatnya menjadi lurus. Menurut Al-Jurjani
(1969: 152) menjelaskan bahwa dari kata al-adl diambil pengertian keadaan
menengan antara diantara dua keadaan yang ekstrem. Oleh karena itu, kata al-adl
dapat berarti al-miizan (timbangan) dengen mengikuti firman Allah:

‫ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ‬
Allah-lah yang menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan menurunkan
dengan keadilan. Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat?” (Q.S.
Asy-Syura (42): 17). (Mushaf Al-Bantani, 2013: 485).
Menurut Quraih Shihab (2002: 92), menjelaskan bahwa adil adalah sifat
yang utama bagi setiap manusia, yang ditumbuhkan oleh tiga kekuatan yang
terdapat pada dirinya, yaitu al-hikmah (kebijaksanaan), al-iffah (memelihara
diri dari maksiat) dan asy-syja’ah (keberanian). Ketiga kekuatan itu berjalan
beriringan sehingga menimbulkan dorongan untuk selalu berbuat adil terhadap
dirinya dan orang lain. Maksud sifat adil disini adalah memberikan hak
kepada yang berhak menerimanya dengan tidak membesar-besarkan antara
orang yang satu dengan lainnya, melainkan berdasarkan besar kecilnya hak itu.
Pengertian ini menunjukkan bahwa baik memberikan hak dan penghargaan
maupun menuntut kewajiban dan menjatuhkan hukuman adalah sama-sama
adil apabila dilakukan secara proporsional. Allah swt berfirman dalan Q.S.
An-Nisa (4): 58):

‫ﯘﯙ ﯚﯛﯜﯝﯞﯟ ﯠﯡﯢﯣ ﯤﯥﯦ‬


‫ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh) kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi penghargaan
yang sabaik-baiknya kepada kamu, sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat (Q.S. An-Nisa (4): 58) (Mushaf Al-Bantani, 2013: 87).
276 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Menurut Quraish Shihab dalam buku Tafsir Al-Misbah (2002: 108),


menegaskan bahwasanya ayat menunjukkan bahwa kita dituntut untuk berbuat
adil kepada siapapun meskipun musuh kita. Artinya, bertindak sesuai dengan
batasan hukum yang berlaku.
Maka dari itu dari solusi dan strategi yang dijelaskan oleh Alquran mengenai
penerapan masyarakat madani dalm kehidupan bermasyarakat merupakan tanggung
jawab bersama sehingga nantinya dapat memberikan perubahann kepada setiap
individu dan mampu dijadikan strategi untuk mencapai revolusi mental.

Penutup
Masyarakat madani secara umum bisa diartikan sebagai suatu masyarakat
atau institusi sosial yang memiliki sifat kemandirian, toleransi, keswadayaan,
kerelaan menolong satu sama lain, dan menjunjung tinggi norma dan etika
yang disepakati secara bersama-sama. Di Indonesia, secara historis, upaya untuk
merintis lahirnya institusi semacam ini ini sudah muncul sejak masyarakat
kita sudah mulai bersentuhan dengan pendidikan modern, berkenalan dengan
system kapitalisme global, dan modernisasi.
Masyarakat madani dalam konsep Alquran, akan terwujud manakala setiap
anggota masyarakatnya menjadikan musyawarah dan keadilan sebagai salah
satu pilar penyangga kehidupan masyarakat tersebut. Alquran mengisyaratkan
bahwa bermusyawarah merupakan salah satu berntuk fitrah manusia dengan
berpegang teguh dengan bagaimana cara yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.,
dan keadilan sebagai bagian dari sesuatu yang ma’ruf tidak ada tawar menawar
lagi. Praktik musyawarah dan keadilan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw.
yang dijadikan acuan setiap muslim dalam membangun sebuah bangsa yang
memilki kemampuan sumber daya yang baik dan mampu berdaya saing sehingga
nantinya mampu memberikan perubahan dan mencapai revolusi mental
Demikianlah ajaran Islam menekankan ditegakkannya musyawarah dan
keadilan ditengah-tengah masyarakat, keduanya memberikan kebebasan yang penuh
dan sempurna kepada setiapn individu dalam batas-batas yang sama dengan tidak
merusak dan tidak pula mempersempit ruang gerak individu lain. Orang yang
berhati jahat sekalipun akan berhati-hati dengan keadaan yang dapat merugikan
dirinya. Menerapkan musyawarah dan menegakkan keadilan tidak akan berjalan
dengan sendirinya, banyak resiko dan pengorbanan yang besar untuk menegakkan
keduanya. Namun kedua hal tersebut merupakan barometer bagi ketakwaan seorang
muslim. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, kecuali harus berbuat adil agar
tujuan dari revolusi mental dapat dicapai dengan cara yang baik dan bernilai mulia
di sisi Allah swt.
Masyarakat Madani dalam Perspektif Al-Quran Sebagai Upaya Mencapai Revolusi Mental 277

Pustaka Acuan:
Abdulahmed, Sultan. Alquran untuk Hidupmu. Jakarta: Outskirt Press. 2001.
Al-Jurjani. Asy-Syaksiyah al-mumtazah, terj. Moh Nurhakim. Jakarta: Gema
Insani. 1969.
Basri, Asghary. Solusi Alquran tentang Problem Sosial, Politik, Budaya. Jakarta:
Rineka Cipta. 1994.
Khaldun, Ibn. Filsafat Islam tentang sejarah. Jakarta: Pustaka Media. 1976.
Kementrian Agama RI. Tafsir Tematik Pembangunan Generasi Muda. Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran. 2011.
Kementrian Agama RI. Tafsir Tematik Alquran dan Kenegaraan. Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Alquran. 2011.
Hikam. Masyarakat Madani di Dunia Islam. Jakrta: Salim Press. 1996.
Nata, Abudin. Tafsir Al-Ayat Al-Taebawiy. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.
Pemprov Banten. Mushaf Al-Bantani. Jakarta: LPQ Kemenag RI. 2013.
Raghib, Al-Asfiari. Almufradat Fil Ghoril Jakarta: CV Pustaka Ceria. 2002.
Rais, Amien. Dinamika Masyarakat di Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Setia. 1995.
Rais, Amien. Cakrawala Islam. Jakarta: GS Press. 1992.
Rosyanti, Imas. Esensi Alquran. Bandung: CV Pustaka Setia. 2002.
Sari’ati, Ali. Quranic Society Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran.
Jakarta: Erlangga. 1986.
Shihab, Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1996.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati. 2002.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta:
PT logos cahaya ilmu. 2000
Taher, Tarmidzi. Menuju Ummatan Wasathan. Jakarta: PPIM. 1998.
Muthada. Masyarakat Madani Pelopor Perubahan. Jakarta: Rajawali Press. 1997.
Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri
Mental Ekologi di Tengah Gempuran
Modernisasi)
Penulis: Peserta Nomor MQ. 1.08

Pendahuluan
Manusia adalah Makhluk yang paling Unik diantara Makhluk Allah SWT
lainnya. Keuinikan terlihat ketika manusia selalu mencari makna dan nilai-nilai
luhur yang dicita citakannya. Hal ini selaras dengan perintah Allah SWT agar
manusia senantiasa berfikir tentang Alam Semesta, sebagai tangga yang mesti
dilalui untuk mendaki kejenjang yang lebih tinggi dalam mengenal Allah SWT.
Dalam perjalanan hidupnya, manusia mengemban amanah yang dibebankan
kepadanya agar dipenuhi, dijaga dan dipelihara dengan sebaik-baiknya, yakni
dengan dikarunia potensi yang ada pada diri manusi (fitrah, akal, ruh, qalb dan
jasmani), (M. Quraish Shihab, 2000: 283).
Menurut Fahrudin M. Mangunjaya (2005: xiv), kurangnya kesadaran dan
pemahaman seseorang tentang masalah lingkungan hidup menjadi salah satu
indicator penyebab kerusakan lingkungan, selain itu didukung dengan lemahnya
penegakan hokum bagi mereka yang merusak lingkungan dengan skala besar
(makro). Manusia dengan segala kegiatannya, mereka mengeksploitasi alam
dengan terus menguras energi dan seumber daya alam yang ada di dalamnya.
Gambaran umum tentang terjadinya beragam bencana ekologis yang

279
280 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

menimpa diberbagai daerah, khususnya di Povinsi Banten seperti gempa


bumi, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain sebagainya. Situasi
ini telah memaksa semua kalangan untuk mulai berfikir sekaligus bergerak
cepat menemukan formula yang tepat bagaimana situasi lingkungan yang
terus memburuk ini dapat segera diselamatkan, terutama dalam mengantisipasi
terjadinya gempa bumi dan tsunami yang dahsyat akan melanda wilayah pesisir
Pandeglang-Banten (Perkiraan BPPT, 2018).
Bencana yang terjadi bukan hanya ulah dan perbuatan tangan manusia
secara langsung terhadap alam, (Q.S Ar-Rum [30]: 41), akan tetapi ada
efek rusaknya prilaku dan moral manusia itu sendiri yang diakibatkan oleh
gempuran modernisasi, sehingga dapat berakibat mendatangkan murka dari
Allah SWT. Karena fenomena alam yang terjadi tidak cukup disikapi hanya
dengan sains dan teknologi belaka, akan tetapi termasuk pula pada perilaku
manusia yang disebabkan rusaknya Hati, (Endang Busri, 2000: 243). Alquran
sudah memberikan peringatan keras untuk tidak melakukan kerusakan dimuka
bumi ini. Bahkan, manusia diperintahkan menjadi khalifah untuk menjaga dan
merawat bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30).
Bagi umat perlu kiranya mengelaborasi pesan-pesan Universal Alquran
dalam membangun infrastruktur teknologi, ekonomi, politik dan ekologi
berdasarkan pada landasan Spiritual yang telah ada, terutama diwilayah Provinsi
Banten, (Asep S Muhtadi, 2012: iii).
Islam, sebagai agama yang mewarnai Kultur Masyarakat Banten, sepantasnya
selalu dijadikan sandaran dalam menjawab berbagai aspek kehidupan, termasuk
masalah ekologi. Namun, yang menjadi teka-teki saat ini, mengapa masyarakat
Banten belum masih belum menuai manfaat sendiri dari petunjuk yang
diberikan secara berlimpah dalam kitab suci Alquran. Para penganut Islam
di Banten seolah gagal “Membumikan dan Melautkan” pasan Alquran untuk
menjaga lingkungan dan membangun kesejahteraan umat (Khayran Ummah),
perubahan yang terjadi karena rusaknya lingkungan, kemudian berdampak pada
rusaknya keseimekologis itu sendiri.
Berpijak dari kepentingan tersebut keberadaan pendidikan lingkungan dikemas
dalam pengajian yang berkelanjutan, seyogyanya dapat diintegrasi­kan dalam bingkai
Alquran oleh masyarakat Banten sebagai langkah solutif untuk menjaga lingkungan
yang berwawasan Alquran dan kearifan lokal, bahkan eksisnya diyakini akan
berdampak positif terhadap masyarakat Banten sendiri.
Dengan demikian Pokok Bahasan dari permasalahan diatas, agar ter­ciptanya
stabilitas kehidupan yang Baldatun Toyyibatun Wa Rabbun Ghofur, perlu kiranya
penulis memberikan interpretasi tentang ”Membangun Spirit Ekologi Qur’ani”
Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 281

secara komprehensif, sebagai kajian guna mensosialisasikan nilai-nilai agama


tentang Ekologi, dengan harapan simpulan akhir dalam kajian ini, memperoleh
jawaban: Bagaimana Alquran berbicara tentang Ekologi?, Bagaimana peran
pemerintah dalam penataan Ekologi yang berpedoman pada Alquran ?, serta
bagaimana langkah kongkrit dalam merektualisasi ekologi Qur’ani ditengah
gempuran modernisasi?.
Kajian sederhana ini merupakan kajian pemikiran keagamaan dengan
menelusuri literaturyang berhubungan dengan Ekologi Banten dengan segala
derivasinya, kemudian dikembangkan melalui pendekatan tematis, dengan
menggunakan Alquran dan Hadist sebagai rujukan, serta didukung dengan
beberapa pandangan para Ahli.

Ekologi dalam Kajian Alquran


Pada bebarapa buku diungkapkan, kata ekologi pertama kali dikenal oleh Ernst
Haeckel pada tahun 1868. Istilah Ekologi berasal dari Bahasa Yunani: Oikos
yang artinya rumah dan Logos yang berarti ilmu. Karena itu secara harfiah
ekologi berarti Ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumah
tangganya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang makhluk hidup, (Otto
Soemarwoto, 2004: 22).
Menurut Slamet Ryadi (1981: 11), ekologi adalah ilmu yang mem­pelajari
hubungan timbal-balik (inter-relationship) antara organisme atau sekelompok
organisme dengan lingkungannya secara alamiyah melalui suatu tatanan
(Ecosystem). Demikian pula Mangunjaya (2005: 8), Elly M Setiadi, dkk (2010:
180) memberikan definisi yang cukup komperhensip terkait ekologi, yakni
sebagai suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995: 570) Ekologi adalah ilmu mengenai hubungan timbal balik antara
Makhluk Hidup (kondisi) dan alam sekitar (lingkungannya).
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, terdapat tiga kata
kunci untuk merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal balik, hubungan
anatara sesame organisme dan hubungan Organisme dengan lingkungannya.
Ekologi secara sederhana dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari
proses timbal balik antara sesama makhluk hidup dan makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Allah SWT. menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi daratan, lautan,
dan segala sesuatu yang ada didalamnya adalah untuk keperluan umat manusia,
sebagaimana Firman Allah SWT.:
282 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

‫ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶﯷ ﯸ‬
‫ﯹ ﯺﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ‬
”Dialah Allah, yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu dan dia
berkehendak menuju langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala
sesuatu” (Q.S Al-Baqarah [2]: 29), (Kemenag, 1971: 13).
Umat islam telah diberi petunjuk menemukan segala seuatu untuk
keperluan keselamatan hidup manusia di Dunia dan di Akhirat kelak. Sebagai
agama yang Ramah Lingkungan, Alquran telah banyak berbicara tentang alam
raya serta potensi yang ada didalamnya, sebagaimana ayat-ayat yang berkaitan
dengan deskripsi penciptaan alam, aktivitas alamiah, perintah untuk mengambil
pelajaran darinya, serta untuk menjaga keberlangsungan­nya (Q.S Al-An’am [6]:
102), (Q.S Al-Hijr [15]: 19), (Q.S An-Nur [24]: 43), (Q.S Al-A’raf [7]: 53) dan
(Q.S Al-Waqiah [56]: 68-70).
Berdasarkan pada beberapa kajian para peneliti, terdapat ayat-ayat Alquran
yang dapat dideskripsikan dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, yaitu
ayat-ayat yang berkaitan dengan Binatang (Fauna) yang di­temukan dalam
Alquran sebanyak 50 kali (ad-dabbah 18 kali dan al-an’am 32 kali), Tumbuh-
tumbuhan (Flora) sebanyak 21(nabat 9 kali dan al-harts 12 kali), Tanah (al-ard)
sebanyak 451 kali, Air (al-maa) sebanyak 63 kali, Lautan (bahr) sebanyak 32
kali, (Agus S Djamil, 2004: 517), dan Udara atau Angin (ar-riih) sebanyak 28
kali, Analisis Muhammad Fahmi As-Syafi’I (Ad-Dalil Al-Mufahrasy).
Menurut Djamil (2004: xxxi), ayat-ayat diatas menantang manusia
untuk memahami proses alam sebagai sumber ilmu pengetahuan yang harus
diperdalam, dan kemudian dijadikan Pemantik keimanan. Ayat-ayat diatas pula
merupakan bukti kebenaran dan kebesaran Islam sebagai satu-satunya agama
yang diridhoi Allah SWT.
Dalam Balutan Alquran, Allah SWT telah menyampaikan akan kebesaran
dan potensi yang besar untuk dieksplorasi oleh manusia, karena sejatinya
Allah SWT Menundukan Apa yang ada di Bumi dan di Lautan, hanya untuk
kesejahteraan manusia.

‫ﭑ ﭒ ﭓﭔﭕﭖ ﭗﭘﭙﭚﭛﭜﭝ ﭞﭟ‬


‫ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ‬
Apakah kamu tiada melihat bahwasannya Allah menundukkan bagimu apa yang ada
di bumi dan bahtera yang berlayar dilautan dengan perintah-Nya. Dan dia menahan
(benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan dengan izin-Nya? Sesungguhnya
Allah benar-benar maha Pengasih lagi maha Penyayang kepada Manusia (Q.S Al-Hajj
[22]: 65), (Kemenag, 1971: 521).
Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 283

Ekologi dalam Bingkai Pemerintah


Ditengah derasnya perkembangan pembangunan diera modernisasisaat ini,
kewajiban Negara dalam mengelola lingkungan tercantum dalam UUD 1945,
hal tersebut dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, lihat pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Pemerintah sebagai
pemangku kebijakan, seyogyanya membuat kebijakan-kebijakan yang tidak
bertolak belakang dengan Ekologi. Pemerintah harus membuat kebijakan-
kebijakan yang sinergi dengan Ekologi, baik dari tatanan pemerintah pusat
sampai pada kebijakan-kebijakan daerah (titik fokus Desa).
Pemerintah Desa saat ini sedang diperhatikan oleh pemerintah pusat, dengan
bantuan Dana Desa yang sangat besar seyogyanya mampu mem­bangun dan
membina masyarakat agar selalu menjaga dan melestarikan keseimbangan hidup
yang berkaitan dengan kepentingan Ekologi dan tidak hanya mementingkan
keseimbangan modernisasi, semisal membuat peraturan semisal bagi warganya
agar tidak boleh menebang pohon apabila belum menyediakan benih untuk
ditanami kembali, peraturan ekonomi berbasis lingkungan, peraturan pem­
bangunan perumahan berbasis lingkungan, dan lain sebagainya.
Dayung bersambut bagi masyarakat yang mencintai tanah airnya
yang harmonis dengan alam, apabila pemerintah melalu desa dapat meng­
implementasikan sebagai kebijakan yang selaras dengan kepentingan ekologi­nya,
mereka mencintai alam akan merasa didampingi dengan peraturan pemerintah
tersebut. Sebab, masyarakat akan mengakui bahwa kesalahan yang terkait dengan
hubungan antar manusia di dunia secara umum dapat mengakibatkan kerusakan
secara langsung.
Fakta sejarah membuktikan pelestarian alam telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. dengan membentuk kawasan haram, yaitu kawasan yang
diperuntukan untuk melindungi sumber daya alam agar tidak diganggu.
Rasulullah SAW. menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh diganggu aturan
ekosistemnya, semisal sumber mata air, sungai dan lain sebagainya. Bahkan
hal ini diperlihatkan pula ketika umat Islam sedang melaksanakan ibadah Haji
wajib membayar DAM (tebusan) apabila merusak kelestarian alam semisal
mematahkan kayu, memburu binatang dan lain sebagainya.
Islam sangat jelas menggambarkan bahwa setiap pemeluknya harus menjaga
kelestarian lingkungan alamnya dengan baik sebagai implementasi ibadah kepada
Allah SWT. Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang ekologi. Dengan
demikian, Ekologi Qur’ani sebagai Fikih Lingkungan Hidup bukan hanya akan
berdampak positif bagi umat muslim di Banten sebagai Agama yang mayoritas
284 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

tapi akan memberikan dampak positif bagi segenap Alam oleh karena itu Ekologi
Qur’ani sebagai Fikih Lingkungan harus di dibumikan dilubuk sanubari Masyarakat
Banten yang kemudian pada akhirnya ,menjadi pribadi yang memakmurkan,
melestarikan dan cinta pada lingkungan.

Sadar Lingkungan: Reaktualisasi Ekologi Qur’ani di era modernisasi


Modernisasi banyak memberikan dampak positif terhadap masyarakat
Banten yang Agamis. Namun disisilain, masyarakat Banten saat ini dengan
dalih modernisasi terbuai dengan Pola dan Gaya Hidup yang Materialisme,
Paragmatisme, Hedonisme, Konsemerisme dan Lain sebagainya yang jauh dari
nilai-nilai Agama dan Ekologi (Jajat Burhanudin, 2006: 97). Banyaknya
Industri dan Gedung-gedung menjadi penyebab terjadi longsor dan banjir
di beberapa daerah Banten, seperti Pandeglang Selatan wilayah Panimbang,
Patia dan sekitarnya. Di daerah Patia, membuang sampah dan limbah ke laut,
penambangan pasir, menangkap ikan dengan Cara di Bom mengganggu dan
merusak ekosistem laut.
Dalam Islam, manusia mempunyai peran penting dalam menjaga kelestarian
alam (Lingkungan Hidup).

‫ﯟﯠﯡﯢﯣﯤ ﯥﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ‬
‫ﯫ ﯬﯭﯮﯯ ﯰﯱﯲ‬
Sesungguhnya kami telah mengemukakan Amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dam mereka khawatir akan
menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia amat
zalim dan amat bodoh (Q.S Al-Ahzab [33]: 72) ((Kemenag, 1971: 680).
Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap tihannya, manifestasi
dari keimanan seseorang dapat dilihat daro prilaku manusia, sebagai Khalifah
terhadap lingkungannya. Islam mempunyai konsep yang sangat detail terkait
pemeliharaan dan kelestarian alam (lingkungan hidup).
Sebagaiman Firman Allah SWT:

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ‬
‫ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ‬
Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi’ mereka berkata:’Mengapa engkau hendak
menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan dengan memuji
Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 285

engkau dan mensucikan engkau?’ Tuhan Berfirman:’Sesungguhnya Aku mengetahui


apa yang kamu tidak ketahui (Q.S Al-Baqarah [2]: 30) (Kemenag, 1971:13).
Pemerintah dan masyarakat Banten berhak mengelola alam ini guna me­
ngambil manfaat darinya, dengan tidak meninggalkan tugas dan kewajiban
terhadap keberadaan ekosistem yang ada didalamnya, hal ini dibebankan kepada
umat manusia. Sebagai Rasulullah SAW. pernah bersabda yang artinya : “Dari
Aisyah R A Nabi SAW. bersabda “barang siapa yang menggarap tanah yang tidak
dimiliki oleh siapapun, maka ia berhak atas tanah itu (HR. Bukhari).
Allah menggariskan takdirnya atas bumi, pertama kalinya dengan mem­
berikan segala fasilitas terbaik bagi semua penghuni bumi, diciptakan gunung,
menurunkan air hujan yang menghidupkan bumi setelah masa-masa keringnya.
Belum cukup dengan itu Allah SWT memperindah polesan kehidupan di bumi
dengan menciptakan hewan, tumbuhan, angina dan awan di angkasa. Setelah
selesai dengan segala penciptaannya, Allah SWT Memberikan sebuah Amanat
kepada Manusia.

‫ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ‬
‫ﯢﯣ‬
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat dengan
kepada orang-orang yang berbuat baik (Q.S Al-A’raf [7]: 56), (Kemenag, 197: 230).
Hal ini diperparah dengan sikap yang tamak dan serakah yang melekat
pada diri manusia. Dengan demikian, tidak keliru apabila beberapa Sarjana
Muslim yang konsen dengan isu lingkungan, mengharuskan manusia untuk
memperbaiki aspek spiritualnya untuk menciptakan lingkungan yang asri.
Karena tindakan merusak alam merupakan tindakan kezaliman. Semua
perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan
perbuatan dosa dan kemungkaran. Maka setiap individu maupun Kelompok,
yang melihat tindakan tersebut, wajib menghentikannya melalui segala cara
yang mungkin dan dibenarkan.
Namun terkadang sebaliknya, masyarakat sering menyepelekan lingkungan
serta tidak memperdulikan ekosistem yang ada di dalamnya, seperti penebangan
pohon di hutan untuk keperluan pemukiman dan industry, over eksploitasi, alih
fungsi tanah secara besar-besaran (sebagaimana terjadi di berbagai wilayah Banten),
membuang sampah ke sungai, membuang limbah industry ke laut, pembakaran
Hutan untuk pembukaan lahan, penggalian pasir yang tidak sesuai aturan dan lain
sebagainya.
286 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Kondisi lingkungan seperti ini berada di ambang kehancuran, terlebih


apabila berlakunya Otonomi daerah tidak disertai tanggung jawab dari pemangku
kebijakan (Pemerintah). Sebab hal ini pula merupakan salah satu indicator
penyebab terjadinya kerisis lingkungan, sehingga rakyat semakin sengsara, hal
ini pelu adanya penanaman nilai-nilai yang baik terhadap lingkungan hidup
demi terciptanya ketentraman. Seperti:
1) Sikap Hormat terhadap alam (Respect For Nature)
Dalam Alquran Allah Berfirman:

‫ﮐﮑﮒ ﮓﮔ ﮕ‬
Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
Alam (Q.S Al-Anbiyaa [21]: 107), (Kemenag, 197: 508).
Hormat terhadap Alam merupakan suatu perinsip dasar bagi manusia
sebagai bagian dari alam seluruhnya. Seperti halnya, setiap anggota
komunitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan
bersama (kohesivitas sosial).
2) Prinsip tanggung jawab (Moral Responsibility For Nature)
Terkait prisnsip di atas ada tanggung jawab moral terhadap alam, karena
manusia diciptakan sebagai Khalifah (Penanggung jawab) di muka bumi
dan secara ontologis manusia adalah bagian Integral dari alam.
3) Solidaritas kosmis (Cosmic Solidarity)
Terkai dari kedua prinsip moral tersebut adalah prinsip solidaritas. Sama
halnya dengan kedua prinsip itu, prinsip solidaritas muncul dari kenyataan
bahwa manusia adalah bagian Integral dari semesta alam semesta.
4) Prinsip kasih saying dan kepedulian terhadap alam (Caring For Nature)
Sebagai sesama anggota Komunitas Ekologis yang setara, manusia digugah
untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh
isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Kasih sayang dan kepedulian
ini juga muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas
ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi,
dipelihara (tidak disakiti) dan dirawat.
Manusia umumnya bergantung pada keadaan lingkungan sekitar (alam)
yang berupa sumber daya alam sebagai menunjang kehidupan sehari-hari,
seperti pemanfaatan air, udara dan tanah yang merupakan sumber alam yang
utama. Lingkungan yang sehat dapat terwujud jika manusia dan lingkungan
dalam kondisi yang baik.
Krisis lingkungan yang terjadi pada saat ini adalah efek yang terjadi akibat
dari pengelolaan atau pemanfaatan lingkungan manusia tanpa menghiraukan
Spirit Ekologi Qur’ani (Mematri Mental Ekologi di Tengah Gempuran Modernisasi) 287

etika. Dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi oleh manusia yang
berkarakter dalam krisis etika atau krisis moral. Manusia kurang peduli terhadap
norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan
norma-norma ciptaan dan kepentingan sendiri. (Abdul Mazid Aziz Al-Zindan,
1997: 68).
Manusia modern menghadapi alam hamper tanpa menggunakan Hati
Nurani. Alam dieksplitasi dengan begitu saja dan mencemari tanpa merasa
bersalah. Akibatnya terjadi penurunan kualitas Sumber Daya Alam seperti
punahnya sebagian Spesies dari muka Bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas
alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah
yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia. Etika Islam tidak melarang
manusia untuk memanfaatkan Alam, namun hal tersebut harus dilaksanakan
secara seimbang dan tidak berlebihan.

Penutup
Berdasarkan Kajian dan Analisis Penulis, sungguh menarik mencermati susunan
kalimat dalam beberapa ayat Alquran yang menyinggung tentang Lingkungan.
Ketika Allah SWT menginformasikan tentang Fenomena Alam, atau manfaat
disekitarnya, maka di ujung ayat-ayat tersebut ditutup dengan Anjuran ”Supaya
kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya)” dan “supaya kamu bersyukur”.
Untuk menggali jutaan misteri yang terkandung di dalamnya, langkah solutifnya
dapat dieksplorasi dengan menanamkan nilai Spirit Qur’ani.
Adapun upaya implementasi yang mesti dilakukan dalam merestorasi
kajian-kajian sebagai media pendidikan cinta lingkungan di Banten, dapat
dilakukan dengan menambah wawasan ramah lingkungan kepada Pemerintah
dan Masyarakat yang ada, khususnya di wilayah Banten, baik oleh pemerintah
maupun no-pemerintah, kemudian dilengkapi dengan elemen-elemen Pesantren,
dan ditunjang dengan Pasilitas serta sarana pendukung Ilmu Pengetahuan
tentang Lingkungan.
Gagasan untuk merestorasi Spirit Qur’ani di Banten, tidak hanya bernilai
positif bagi pemerintah, namun akan berdampak positif pula bagi kehidupan
masyarakat sekitar. Sebab melalui ini, selain terus membina para pejabat
pemerintah dengan meneladani ilmu-ilmu tentang Lingkungan. Seluruh aktivitas
“Pendidikan Lingkungan dikemas dalam Pengajian” adalah bentuk kegiatan
dakwah yang dapat dilakukan melalui bahasa Agama (lisan dan perbuatan),
yakni selain membentuk kelompok-kelompok pengajian bagi pemerintah, dapat
pula dengan pola membimbing masyarakat sekitar untuk cinta lingkungan
berbasis Alquran.
288 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
_____, Alquran dan Terjemahnya, Jakarta: Kementrian agama, 1971.
_____, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
_____, Laporan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Banten, Banten: Prodata
Nusaraya, 2013.
_____, Fiqih Lingkungan, Jakarta: PP Muhammadiyah pustaka Ramadhan, 2005.
Al-Qordlawi, Yusuf, Pendidikan Islam, Maktabah Wahbah: Kaeherah, 1997.
As-Syafii, Husain Muhammad Fahmi, Al-Daliilul Al-Mufaharas, Iskandarariah
Mesir: Daar Al-Salman, 2008.
Aziz Al-zindan, abdul Mazid, Pendidikan Lingkungan, Bandung: Pelajar, 1997.
Burhanudin, Jajat (penyunting), Mencetak Muslim Modern, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006.
Busri, Endang, Futurologi dan Phenomenology Nilai Spritual, Pontianak: Karya
Utama, 2002.
Djamil, Agus S, Alquran dan Lautan, Bandung: Mizan, 2004.
Mangunjaya, Fahrudin M, Konservasi Alam Dalam Islam, Jakarta: Y. Obor
Indonesia, 2005.
Masturi, Niam Ulin, Pelestarian Lingkungan dalam Prespektif Islam, Semarang:
Raja Karya, 2014.
Marzuki, Melestarikan Lingkungan Hidup dan Mensikapi Bencana Alam dalam
Perspektif Islam, Yogyakarta: Media Karya, 1998.
Muhtadi, Asep S, Alquran Kitab Ramah Lingkungan, Bandung: Mizan, 2000
Nasr, Sayyed Hoessein, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, Yogyakarta: IRCiSod,
2005.
Putra, Dulay Haidar, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Ryadi, Slamet AL, Ecology(Ilmu Lingkungan), Surabaya: Usana Opi, 1981.
Sajogyo, Ekologi Pedesaan, Jakarta: Rajawali, 1982.
Setiadi, Elly M, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2010
Shihab, M Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan Media Utama,
2009
Shihab, M Quraish, Wawasan Alquran, Bandung: Mizan Media Utama, 2000.
Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta:
Imagraph, 2004
Usman, M idris, Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Bogor: Media, 2013.
Wijaya, Nyoman, Ekologi, Bandung: Pelajar, 2000.
Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan
Masyarakat Kota Tangerang dalam
Mewujudkan Kota Tangerang Yang Bersih
Indah dan Aman (Studi Kasus Revolusi
Mental di Kota Tangerang)
Penulis: Peserta Nomor MQ.1.12

Pendahuluan
Di negara maju biasa kita lihat sungai, jalan, dan selokan yang bersih. Itu
disebabkan bukan karena banyaknya petugas kebersihan dan alat pemungut
sampahnya, melainkan kesadaran warganya untuk menjaga kebersihan dan
tidak membuang sampah sembarangan dijalan. Mereka menerapkan prinsip
hidup bersih dimulai dari diri mereka dengan adanya komitmen dari seluruh
lapisan masyarakatnya.1
Bagi warga Jepang kebersihan adalah cara mendekatkan diri pada tuhan,
sehingga mereka terus berlomba-lomba manjaga kebersihan dan menjadikan hal
itu sebagai budaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Selain faktor tersebut,
ternyata masyarakat Jepang sejak kecil dididik untuk berbudaya bersih dan
memikirkan kenyamanan orang lain. Orang tua di Jepang mendidik anak-anak
mereka sejak kecil untuk selalu menjaga kebersihan dimanapun mereka berada,
seperti membuang sampah pada tempatnya, mengelompokan sampah sesuai

1
Agus Hardoyo, Mejaga Kebersihan Bagian dari Revolusi Mental, Diakses dari http//:www.
facebook.com/agus_day/kfa773jhf99wjbf/ Pada 15 April 2015 Pukul 20.30 WIB

289
290 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

jenisnya, mengelap ‘dudukan” wc dengan tisu sesudah memakainya, dsb.2


Menjaga kebersihan merupakan cerminan dari revolusi mental. Karena
yang dibangun dalam revolusi mental adalah pola pikir / mental manusia untuk
lebih baik. Kehidupan yang bersih merupakan representative dari nilai-nilai
islam yang diajarkan dalam Alquran. Al-Quran memerintahkan kita untuk
hidup bersih. Tuntunan hidup bersih didalam al-Quran tertera dalam Q.S..al-
Baqarah 2/222. Alquran juga memerintahkan agar kita.3
Masalah sampah di Indonesia terdapat kurang lebih 14 persen merupa­
kan sampah plastik. Sedangkan dari total jumlah sampah diperkirakan jumlah
sampah plastic sebesar 57%. Sampah plastik merupakan sumber pencemaran
laut di Indonesia, sebesar 75% berkaratgori sangat tercemar, 20 % tercemar, dan
5 % tercemar ringan.4 Ini menunjukan bahwa masyarakat di Indonesia masih
banyak permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan kebersihan.
Sebagaimana Hadis Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya Islam itu bersih,
maka jadilah kalian orang bersih, tidak masuk syurga kecuali orang yang bersih (HR.
Baihaqi).5 Dengan permasalah diatas hadist nabi ini bisa menjadi acuan dan dasar
agar kita bisa hidup bersih mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW.
Kota Tangerang pernah dijuluki kota terkotor ke 2 se Indonesia pada tahun
2006, karena masih kurangnya meanset kesadaran untuk ber­komitmen, dalam
Alquran Q.S.. az-Zumar:17-18 komitmen seorang muslim dibangun untuk selalu
berkomitmen dalam kebaikan untuk menjaga lingkungan. Adanya predikat seperti
itu kota tangerang bangkit untuk berjuang membenahi label kota terkotor dengan
kota terbersih. Atas upaya dan kerja dari lapisan masyarakatnya, akhirnya kota
tangerang mendapat piala adipura sejak tahun 2010 sampe sekarang menjadi piala
Andipura kencana.6 Maka dari itu Alquran sebagai acuan dan dasar hukum untuk
revolusi mental dalam kebersihan.
Revolusi Mental Bersih Perspetif Alquran
Dalam Alquran ada 2 ayat terkait pembahasan mengenai revolusi mental yaitu

2
Andri Haris, Mari Mulai Revolusi Mental dengan Menjaga Kebersihan, Diakses dari http/kompasiana.
com/mari-mulai-revolusi-mental-dengan-menjaga-kebersihan/?24480mdsgedjn93n03/ Pada 15 April
2018 Pukul 16.30 WIB.
3
Akhsin Sakho Muhammad, Oase al-Qur’an Penyejuk Kehidupan, (Jakarta: PT. Qaf Pustaka
Kreativa, 2018) h. 67.
4
http:ppid/menlhk.go.id/siaran_pers/browse/544
5
Shoheh al-Baihaqi
6
Wiji Harahap, Kota Tangerang Menangkan Piala Adipura Diakses dari http://www.infopinang.com/
berita/kota-tangerang-menangkan-piala-adipura/jfjhjbuu83939937ndfidsjiu/, pada 14 April 2018
pukul 22. 30 WIB
Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 291

surat al-Anfal ayat 8/53 dan surat ar-Ra’d ayat 13/11 keduanya mempunyai
konteks yang sama mengenai reolusi mental7

‫ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞﭟ ﭠ ﭡ‬
‫ﭢﭣﭤ‬
Yang demikian itu sesungguhnya Allah tidak akan merubabah suatu nikmat yang telah
diberikan Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada
diri mereka sendiri, Sungguh Allah maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S..
al-Anfal 8/53)8
Alquran juga menjelaskan mengenai pentingnya untuk hidup bersih, hidup
bersih merupakan langkah yang harus ditempuh oleh muslim untuk memulai
dalam beribadah. Ibadah apapun harus dimulai dengan sesuatu dan niat yang
bersih, baik bersih dari kotoran dan dosa. Islam adalah agama yang bersih.
dahulu ketika Islam masuk ke Indonesia banyak yang tertarik dengan islam
akibat pola hidup bersih. Kerajaan Demak membuat masyarakat yang belum
mengenal islam disitu terpesona karena pola hidup bersih masyarakat kerajaan
demak.9 Maka mereka semua setelah menjadi islam merasa senang karena dalam
Islam diajarkan untuk menjaga kebersihan. Sebagaimana Firman Allah:

‫ﯚﯛﯜﯝﯞ ﯟ ﯠ‬
...Sesungguhnya Allah menyukai orang bertaubat dan menyukai orang yang mnyuci­
kan diri(Q.S. al-Baqarah 2/222).10
M. Quraish Shihab menjelaskan mengenai kebersihan merupakan ceriman
dari nilai-nilai luhur yang melekat di diri muslim. Seseorang bisa diukur
keimannya berdasarkan kebersihannya karena keberihan merupakan sebagian
dari iman. Iman merupakan spirit untuk mendekatkan diri kepada Allah
maupun untuk memotivasi diri dalam berbuat sesuatu. Spirit untuk melakukan
sesuatu kebersihan itu terjadi jika mereka mau menghayati nilai-nilai yang ada
dalam al-Quran. Nilai-nilai dalam Alquran itu sangat kental dengan dorongan
agar kita menjadi lebih baik untuk menjalani hidup.11
Bersih mengandung arti segala sesuatu yang terlepas dari najis dan kotoran

7
M. Quraish Shihab, Revolusi Mental dalam al-Qur’an Diakses dari http://youtube/watch?/
nd28479h pada 15 April pukul 20.00 WIB
8
MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012
9
Amin Sudarsono, Ijtihad Mambangun Basis gerakan, (Jakarta: Muda Cedekia, 2000), h. 30
10
MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012
11
M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
(Jakarta: Lentera Hati, 2006) h. 56
292 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

yang ada pada diri dan lingkungan, yang dimaksud dengan bersih ruhani
yaitu suatu kondisi dimana rohani terbebas dari dosa-dosa, belenggu-belenggu
nestapa, dan sesuatu yang menyebabkan matinya hati untuk menerima pedoman
dari Alquran atau petunjuk ilahi.12 Indikator kebersihan adalah suatu acuan
untuk menentukan kebersihan baik kebersihan jasamana dan kebersihan ruhani.
Indikator kebersihan ruhani bisa dinilai dengan senangnya menghadiri majlis-
majelis ilmu, suka menderngarkan nasihat-nasihat yang baik, suka sedekah,
berkata jujur, dan senantiasa selalu berdzikir setiap waktu. Indikator kebersihan
jasmani dilihat dari cara dia menjaga kebersihan seperti menjaga kebersihan
pakaian, kebersihan badan, selalu suci dari najis.13
Alquran juga memerintahkan untuk menjaga alam dan lingkungan karena
manusia yang beriman dan betaqwa kepada Allah mereka yang bisa menjaga
kebersihan. Sifat manusia pada hakikatnya manusia yang ingin memperoleh
kebahagiaan. Kebahagiaan yang ada di manusia disebabkan dengan terpenuhnya
kebutuhan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan manusia kadangkalanya
manusia tak menghiraukan kebersihan dari lingkungannya.14 Padahal Alquran
menjelaskan tentang pentingnya menjaga lingkungan dalam upaya mewujudkan
revolusi mental.

‫ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ‬
‫ﰋ ﰌ ﰍ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜ ﭝ‬
‫ﭞ ﭟﭠ‬
Telah Nampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan
masnusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah (Muhammad), berpergilah di bumi
lalunlihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu, Kebanyakan dari mereka
adalah orang yang menpersekutukan (Allah) (Q.S. Ar-Rum 30/41-42).15
Manusia diciptakan dengan segala hal yang bisa dilakukan olehnya.
Kerusakan alam yang saat ini terjadi merupakan sebagian dari aktifitas manusia.
Aktifitas manusia kadang tidak disengaja bisa membuat kerusakan lingkungan.

12
Irja, Etika dam Susila, (Medan: Firma Islamia), 1992, h. 19
13
Wardah Arminah, Menjadi Muslim yang Bersih, Diakses dari http://www.islapos.com/
kolom/menjadi-muslim-yang-bersih./1319jds, Pada 15 Aplil 2017 pukul 23.30 WIB
14
Said Aqil Munawar Husin Al-Munawar, al-Quran Membangun Tradisi Kesholehan Haqiqi,
(Jakarta: Ciputat Press, 2004) h. 98
15
MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012
Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 293

Sebagai mana yang dijeskan Q.S.. ar-Rum ayat 41-42 kita dituntut untuk
menjaga lingkungan. Karena itu menjaga lingkungan merupakan implementasi
dari nilai-nilai yang tertanam dalam Alquran dan suatu hal yang harus di­
laksanakan oleh seluruh komponen masyarakat yang menginginkan keindahan
dan kenyamanan16
Dalam membangun hidup bersih diperlukan komitmen dari ma­syarakat­
nya. Komitmen “Mitsaqon Gholizho” merupakan salah satu unsur dimensi dalam
pro-aktivitas , ia lahir dari akal dengan berpikir yang disadari, Kesadaran bukan di
otak, tetapi berpusat di hati. Hati adalah alat untuk menghayati, oleh karena itu
komitmen merupakan hasil kerja hati dengan penghayatannya. Diantara prasayarat
terpenting unuk ibadah adalah kehadiran hati yang sebenarnya merupakan esensin
ibadah. Tanpa hati, ibadah tidak ada artinya dan tidak diterima disisi Allah.17
Komitmen dan integritas yang baik di masyarakat akan menjadikan sebuah
perubahan yang menjadikan keadaan bersih yang lebih baik. Hati orang mukmin
adalah hati yang cemerlang, yang tidak keluar dari fitrahnya yang suci. Hati orang
mukmin bergerak pada jalan yang lurus, yaitu jalan spiritual yang lempeng menuju
nilai-nilai kemanusian, dan memiliki hati yang bersih dapat mengantarkan drajat
yang tinggi di hari akhir. Dengan adanya Komitmen dan Integritas, membangun
manusia dapat dilakukan dengan baik.18

Permasalahan Menjaga Kebersihan Zaman Now


1. Kurangnya kesadaran dari dalam diri
Masyarakat era modern sekarang ini banyak yang tidak peduli mengenai
sampah. Mereka seenaknya saja membuang sampah sembarangan sehingga
sampah yang ditimbulkan akibat ulah mereka bisa berdampak buruk bagi
lingkungan. Kurangnya kesadaran itu disebabkan karena di beberapa sekolah
yang ada di perkotaan sudah terdapat cleaning service. Sehingga mereka tidak
bisa cara untuk membuang sampah, mengelola sampah, dan menjaga kebersihan.
Karena memang dari kecil mereka sudah dimanjakan dengan pembantu untuk
membersihkan tempat mereka.19

16
Alfian Muhammad, Menjaga Lingkungan dalam Islam, Diakses Dari http://www. Alfian.Moch.
blogspot.com/15-12-15/menjaga-lingkungan-dalam-islam, pada 11 April 2018 pukul 10.30 WIB
17
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Islam: Mengurai Akar
Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) h. 24
18
Komaruddin Hidayat, “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan
Modern”, dalam Budi Munawar RAchman, Kontektualisasi Doktrin Dalam Sejarah, (Jakarta:
Paramadina, 1995) h. 23
19
Maritsa Handana, Peduli sampah Masyarakat kini, Diakse dari http://kompasiana.com/peduli-
294 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Permasalahan kurangnya kesadaran diri untuk menjaga kebersihan sangat


menghambat terjadinya revolusi mental khususnya dalam menjaga kerbersihan.
Karena dalam menjaga kebersihan lingkungan maupun masyarakat diperlukan
sinergi dari segala lapisan masyarakat.20

2. Kurangnya kerjasama di lingkungan masyarakat dalam menjaga


lingkungan
Kebersihan suatu lingkungan masyarakat tidak akan tercapai tanpa ada­nya
sinergitas, integritas dan kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat. Lingkungan
yang kumuh bukan semata-mata pemerintah tidak bisa menerapkan program
kebersihan lingkungan, tetapi kurang kerjasaman dari masyarakat untuk
membangun lingkungan yang bersih. Kurangnya komunikasi antara masyarakat
dan pemerintah mengenai kebersihan lingkungan bisa menjadi penghambat
untuk menjadikan lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman.21

3. Masarakat jaman now tidak mau repot


Era teknologi saat ini dapat merubah meadset berpikir manusia. Masyarakat
saat ini ingin tampil praktis. Mereka seenaknya saja membuang sampah di
mana saja asal tidak ketahuan orang, buang air kecil dipohon, padahal informasi
mengenai tempat-tempat untuk buang air kecil banyak ditemukan dimana-
mana. Pemerintah sudah menyediakan jenis-jsnis tempat sampah, tetap saja
mereka membuang sampah sembarangan. Sampah yang seharusnya di buang
ke dalam sampah organik, mereka tetaptidak patuh membuangnya ke sampah
non organik

Upaya mewujudkan Kota Tangerang yang Bersih, Indah dan Nyaman


Upaya dalam mewujudkan kota yang bersih tidak lepas dari komitmen dan
kesungguhan warganya untuk hidup berubah. dalam Alquran dijelaskan bahwa
Allah tidak merubah nasib sebuah kaum melainkan kaum itu sendiri yang
merubahnya. Kota Tangerang yang bermoto “Kota Akhlaqul Karimah”22 dimana
seluruh lapisan masyarakat baik dari pemerintah, ulama, masyarakat, pengusaha

sampah-masyarakat-kini/uwfnnw72383nnd9bw837/, pada 15 April 2018 pukul 20.00 WIB


20
Yoga Saputra, Sampah problematika kini Diakses dari http//www.facebook.com/komunitas_
samkot?/hdfikh688 pada 14 April 2018 pukul 21.30
21
Halimi, Kebersihan lingkungan masyarakat, Diakses dari http://www.istitut.com/
kolom/93739/kebersihan-lingkungan-masyarakat, pada 10 April 2018 pulul 22.30 WIB
22
Http://www.kotatangerang.go.ig/beranda/kota-tangerang-akhlaqul-karimah
Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 295

d.l.l, bahu membahu mewujudkan kota yang menerapkan prinsip hidup bersih
menurut Alquran. Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah dan nyaman
diperlukan beberapa cara diantaranya:

1. Adanya Forum Kota Tangerang Sehat (FKTS)


FKTS singkatan dari Forum Kota Tangerang Sehat merupakan sebuah wadah
untuk menjadikan Kota Tangerang yang bermartabat dan berdaulat terhadap
kebersihan setiap warganya. FKTS dibentuk karena adanya upaya pemerintah
dalam membangun komitmen dan integritas seluruh masyakat untuk hidup
sehat, bersih dan nyaman.
Program-Program FKTS:
a. Kampung Sehat
Kampung sehat merupakan cerminan hidup dalam masyarakat Islam yang
diajarkan oleh Alquran, dalam al-Quran dijelaskan tidak hanya kebersihan
dalam diri sendiri melainkan lingkungan juga dijaga kebersihannya. Al-
Quran juga melarang kita untuk merusak lingkungan yang terdapat dalam
Q.S.. ar-Rum 41-42.
Di Kota Tangerang program kampung sehat sudah dijalankan dari tahun
2010 dimana ketika itu Kota Tangerang mendapat predikat kota terkotor
ketika tahun 2006, maka dari itu seluruh lapisan masyarakaat bahu
membahu menjadikan kampung sehat, mulai dari selokan, gorong-gorong,
dan menghias rumah-rumah yang ada di kampung dengan hiasan yang
berasal dari dauran sampah, menjadikan kampung menjadi kampung hijau
sehingga nyaman di huni oleh masyarakatnya.
b. Sarasehan & Sosialisasi Lingkungan
Serasehan lingkungan merupakan upaya pemerintah kota tangerang untuk
bisa berkonsultasi bertukar atara masyarakat dan pemerintah. Merumuskan
keluhan dan permasalah masyarakat mengenai kebersihan dan sampah. Di
sini masyarakat bisa mendapat informasi mengenai cara pengelolaan sampah
yang ada di masyarakat lewat pakar yang sudah bepengalam mengnai sampah,
c. Sedekah Sampah
Sedekah sampah adalah program kota tangerang dimana masyarakat yang
mempunyai sampah yang masih bisa didaur ulang dikumpulkan untuk di
jual lalu uangnya di sedekahkan. Uang sedekah itu masuk kedalam Badan
Zakat Infak dan Shodaqoh (BAZIS) Kota Tangerang.23

23
http://www.klh.kotatangerang,go.id
296 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

2. Teknologi Pengelolaan Sampah di Kota Tangerang


Di kota tangerang, untuk menjadikan kota tangerang bersih, indah dan nyaman
dengan adanya pengelolaan sampah yang baik dan modern. Di negara maju,
pengeloaan sampah dipakai dengan teknologi modern. Di kota tangerang
masyarakat dan pemerintah berintegritas dalam mengelola sampah dengan
teknologi modern.
Tempat Pebuangan Akhir (TPA) di kota tangerang terletak di Kelurahan
Kedaung kecamatan neglasari, lebih setidaknya 100 ton sampah yang masuk
kedalam TPA itu. Terdapat berbagai macam sampah seperti sampah yang
berbahaya, beracun, limbah rumah sakit, sampah plastik dll. 24 TPA Kedaung
terdapat banyak olahan sampah, seperti pupuk kompos, gas hasil sampah umtuk
masak, kerajinan dari sampah yang sudah dipilih dll. Pemerintah dan masyarakat
kota tangerang bahu membahu dengan masyarakat agar terus mencari teknologi
yang tepat untuk mengelola sampah di kota tangerang

3. Aplikasi Jemput Sampah Online


Tidak hanya revolusi kebersihan saja, revolusi teknologi kebersihan juga ada
di Kota Tangerang. Di era modern saat ini atau yang kita kenal dengan “era
zaman now” dimana masyarakat yang semakin cerdas, dan melek teknologi.
Dinas Kebersihan Kota Tangerang meciptakan sebuah aplikasi mirip seperti
Ojek online untuk mengangkut sampah yang ada di masyarakat. Bisa dengan
di download aplikasi nya dan login lalu pilih untuk penjemputan sampah.
Dengan adanya aplikasi ini masyarakat sadar untuk tidak membuang sampah
sembarangan, sehingga pola revolusi mental bisa ditanamkan pada masyarakat
kota tangerang.

Penutup
Alquran memerintahkan untuk menjadikan menjaga kebersihan dan
lingkungan. Menjaga kebersihan merupakan nilai-nilai dari revolusi mental.
Alquran juga memberikan solusi untuk menjaga kebersihan. Manusia adalah
makluk yang senantiasa berinovasi untuk mnciptakan sesuatu yang bermaslahat
dalam kehidupan,.semua itu tidak akan terjadi jika seluruh lapisan masyarakat,
pemerintah, ulama dan pengusaha tidak bahu membahu dalam memenjadikan
semangat untuk hidup bersih.

24
Arif Hasan, Pengolaan Sampah di Kota Tangerang, Diakses dari http://www.tangerangsatu.
co.id/12032016/28e2r2rindsd, Pada 15 April 2018 pukul 21.00 WIB
Komitmen dan Integritas Seluruh Lapisan Masyarakat Kota Tangerang 297

Pustaka Acuan:
MUI Propinsi Banten, Mushaf al-Bantani dan Terjemahannya, 2012
Al-Munawar, Said Aqil Munawar Husin al-Quran Membangun Tradisi
Kesholehan Haqiqi, Jakarta: Ciputat Press, 2004
Hidayat, Komaruddin “Etika Dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam
Kehidupan Modern”, dalam Budi Munawar RAchman, Kontektualisasi
Doktrin Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995
Irja, Etika dam Susila, Medan: Firma Islamia, 1992
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan Islam:
Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Press, 2004
Muhammad, Akhsin Sakho, Oase Alquran Penyejuk Kehidupan, Jakarta: PT.
Qaf Pustaka Kreativa, 2018
Alfian Muhammad, Menjaga Lingkungan dalam Islam, Diakses Dari http://
www. Alfian.Moch.blogspot.com/15-12-15/menjaga-lingkungan-dalam-
islam
Arminah, Wardah, Menjadi Muslim yang Bersih, Diakses dari http://www.
islapos.com/kolom/menjadi-muslim-yang-bersih./1319jds
Halimi, Kebersihan lingkungan masyarakat, Diakses dari http://www.istitut.
com/kolom/93739/kebersihan-lingkungan-masyarakat
Handana,Maritsa, Peduli sampah Masyarakat kini, Diakse dari http://kompasiana.
com/peduli-sampah-masyarakat-kini/uwfnnw72383nnd9bw837/
Harahap, Wiji Kota Tangerang Menangkan Piala Adipura Diakses dari http://
www.infopinang.com/berita/kota-tangerang-menangkan-piala-adipura/
jfjhjbuu83939937ndfidsjiu/
Hardoyo, Agus Mejaga Kebersihan Bagian dari Revolusi Mental, Diakses dari
http//:www.facebook.com/agus_day/kfa773jhf99wjbf/ WIB
Haris, Andri, Mari Mulai Revolusi Mental dengan Menjaga Kebersihan,
Diakses dari http/kompasiana.com/mari-mulai-revolusi-mental-dengan-
menjaga-kebersihan/?24480mdsgedjn93n03/
Hasan, Arif, Pengolaan Sampah di Kota Tangerang, Diakses dari http://www.
tangerangsatu.co.id/12032016/28e2r2rindsd,
Http:www.ppid/menlhk.go.id/siaran_pers/browse/54
Http://www.klh.kotatangerang,go.id
Http://www.kotatangerang.go.ig/beranda/kota-tangerang-akhlaqul-karimah
298 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Saputra, Yoga, Sampah problematika kini Diakses dari http//www.facebook.


com/komunitas_samkot?/hdfikh688
Shihab, M. Quraish, Revolusi Mental dalam Alquran Diakses dari http://
youtube/watch?/nd28479h
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an
Penulis: Dimyati Sajari
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: dimyati@uinjkt.ac.id

KETAKWAAN merupakan kondisi spiritual yang diidamkan oleh setiap orang


beriman. Idaman setiap orang beriman ini didasarkan pada pernyataan Alqur’an
bahwa orang yang paling bertakwalah yang paling mulia di sisi Allah Swt
(QS 49: 13). Oleh sebab itu, setiap orang beriman berusaha, sesuai dengan
kemampuannya dan “caranya” masing-masing, meningkatkan ketakwaannya
supaya menjadi makhluk yang paling mulia di sisi-Nya.
Usaha meningkatkan ketakwaan-diri itulah yang dimaksud dengan
pendidikan takwa, yang akan menjadi fokus tulisan di bawah ini. Tentu diakui
bahwa tulisan ini tidak berpretensi untuk menyuguhkan tentang “Pendidikan
Takwa di dalam Alqur’an” secara utuh dan menyeluruh dikarenakan belum
memungkinkan untuk disajaikan di dalam tulisan ini.

Perintah Allah
Usaha pendidikan atau peningkatan ketakwaan itu, tentu saja, diperintahkan di
dalam Alqur’an. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk bertakwa dengan
sebenar-benarnya bertakwa yang biasa dibaca sang khatib Jum’ah, yaitu ittaqû
ّ ّ
Allâha haqqa tuqâtihi (‫اتقوا اهلل حق تقاته‬, QS Ali Imrân: 102). Secara bijak, ada

299
300 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

jaminan bahwa perintah ini mampu dilaksanakan oleh hamba-Nya dikarenakan


diperintahkan tanpa melebihi batas kemampuan hamba-Nya (lâ yukallifu Allâhu
nafsân illâ wus‘ahâ, QS Al-Baqarah: 286). Kemudian, pengamalan perintah ini
ّ
pun supaya ditempuh sesuai kemampuan masing-masing (‫فاتقوا اهلل ما استطعتم‬,
QS Al-Taghâbun: 16), yang antara satu dengan yang lainnya tidak boleh saling
memaksakan kemampuannya ke pihak yang lainnya.
Sifat Mahabijak Allah itu menjadikan peningkatan atau pendidikan
ketakwaan bukan saja ada jaminan akan kemampuan sang hamba untuk
melaksanakan-Nya, tetapi juga tidak terasa memberatkan. Di samping tidak
memberatkan, pengetian “sesuai kemampuan masing-masing” itu, tampaknya,
dapat dipahami bahwa peningkatan ketakwaan itu hendaknya diupayakan
dengan caranya atau metodenya masing-masing. Dengan demikian, metode
pendidikan atau peningkatan ketakwaan itu dapat beragam di antara orang-
orang bertakwa.
Perintah Allah Swt tentang “sesuai kemampuan masing-masing” itu
dinyatakan pula oleh Rasulullah s.a.w. Di dalam salah satu sabdanya yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah s.a.w. bersabda:
ْ َ َ ْ ُ ُْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َُْ ْ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ
‫ف ِإذا أمرتكم بِش ٍء فأتوا ِمنه ما استطعتم وإِذا نهيتكم عن شء‬
ْ َ
ُ ُ‫اجتَنب‬
‫(ر َو ُاه ُمسلم)ء‬
َ ‫وه‬ ‫ف‬
“Tatkala aku perintah kalian dengan suatu perintah, maka tunaikan perintah itu sesuai
kemampuan kalian. Bila aku larang kalian tentang sesuatu, maka jauhilah.” HR.
Muslim.

Makna Takwa
Sebelum mengungkap tentang metode peningkatan atau pendidikan ketakwaan
di dalam Alqur’an, maka makna takwa itu perlu dipahami supaya tidak
menimbulkan kesalahpengertian. Tentu saja, tidak ada kewajiban untuk
menyetujui hal-hal yang diungkap dalam tulisan ini.
Kata takwa (= taqwâ, ‫ )تقوى‬merupakan salah satu di antara kata-kata agama
yang banyak dikenal, sering diucapkan, dan sering diwasiatkan atau dinasehatkan.
Di dalam Alqur’an, kata takwa ini digunakan dalam bentuk dua bentuk, yaitu
isim (ism, kata benda) dan fi‘il (kata kerja), yang penyebutannya tampak sama
banyaknya dengan penyebutan kata iman, amal, shalat dan zakat (Murtadha
Muthahhari, 1999: 12). Di dalam Al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfâzh Alqur’ân
al-Karîm dapat diketahui bahwa jumlah kata takwa di dalam al-Qur’an, dengan
berbagai bentuknya, adalah berjumlah 233 kali. Penyebutan yang sebanyak ini
memungkinkan kata takwa, semisal dikemukakan Fazlur Rahman (1996: 43),
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 301

merupakan istilah tunggal yang terpenting di dalam Alqur’an.


Adapun terjemahan kata takwa itu terbagi menjadi dua bagian yang tak
terpisahkan. Misalnya, Murtadha Muthahhari (1999: 13-14) menyatakan bahwa
kata takwa di dalam pengartian atau penterjemahan-penterjemahan ke dalam
bahasa Persia menjadi “menjauhi” dan “takut.” Menurut Muthahhari, bila kata
takwa itu digunakan dalam bentuk isim (kata benda), seperti kata taqwâ dan
atau muttaqîn, maka diartikan dengan makna “menjauhi.” Muthahhari memberi
ّ
contoh ungkapan hudân li al-muttaqîn (‫)هدى للمتقني‬. Ayat ini, kata Muthahhari,
diartikan dengan “petunjuk bagi orang-orang yang menjauhi (larangan).” Hanya
saja, Muthahhari menginformasikan, jika kata ini digunakan dalam bentuk fi‘il
(kata kerja), khususnya dalam bentuk fi‘il amr yang muta‘alliq-nya disebutkan,
ّ
maka diartikan dengan “takut.” Misalnya, ungkapan ittaq Allâh (‫ )اتق اهلل‬atau
ّ
ittaqû al-nâr (‫ )اتقوا انلار‬diartikan menjadi “takutlah kepada Allah” atau “takutlah
kepada neraka.”
Di dalam bahasa Indoensia, kata takwa dalam bentuk fi‘il amr (kata kerja)
juga diartikan dengan “takut.” Namun, dalam Alqur’an dan Terjemahnya terbitan
Kementerian Agma RI, kata takwa dalam bentuk fi‘il, baik fi‘il madhi, mudhari‘
ataupun amr diartikan dengan “bertakwa.” Contoh dalam bentuk fi‘il madhi
ّ ّ
adalah ayat “Fa’ammâman a‘thâ wa al-Taqâ” (‫فأما من أعطى واتىق‬, Adapun orang
yang memberikan—hartanya di jalan Allah—dan bertakwa) (QS al-Lail: 5.
Lihat pula 2: 189, 103, 203, 212; 3: 15, 76, 172, 198; 5: 65, 93; 7: 96, 201;
12: 109, dll). Contoh dalam bentuk fi‘il mudhari‘ adalah ayat: “Wa man yattaqi
ّ
Allâha yaj‘al lahû makhrajâ” (‫ومن يتق اهلل جيعل هل خمرجا‬, barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, QS 65:2) dan
ّ
ayat “kadzâlika yubayyinu Allâhu âyâtihî linnâs la‘allahum yattaqûn” (‫كذ لك يبي‬
ّ ّ ّ
‫اهلل ايته للناس لعلهم يتقون‬, demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia supaya mereka bertakwa) (QS 2: 187. Lihat pula 2: 21, 63, 179, 183,
224; 3: 28, 120, 125, 179, 186; 26: 106, 124, 142, 161, 177 dst). Contoh
ّ
dalam bentuk fi‘il amr adalah ayat: “Wattaqû Allâh la‘allakum tuflihûn” (‫واتقوا‬
ّ
‫اهلل لعلكم تفلحون‬, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung) (QS 2:
189. Lihat juga 2: 194, 196, 203, 206, 223, 231, 233, 278, 282; 5: 2, 4, 7, 8,
11, 35, 57, 88, 96, 100 dsb).
Akan tetapi, ketika kata takwa dalam bentuk fi‘il amr itu dikaitkan dengan
zharaf zaman, maka diartikan secara tidak konsisten, yakni ada yang diartikan
dengan “takut” dan ada yang diartikan dengan “penjagaan diri.” Umpamanya
yang diartikan dengan “takut” adalah ayat: “wattaqû yawmân lâ tajzî nafsun ‘an
ّ
nafsin syaiân” (‫واتقوا يوما ال جتزى نفس عن نفس شيئا‬, dan takutlah kamu kepada suatu
hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun)
302 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

(QS 2: 123). Adapun contoh yang diartikan dengan “penjagaan diri” atau
“pemeliharaan diri” adalah ayat: “Wattaqû yawmân lâ tajzî nafsun ‘an nafsin
ّ
syaiân” (‫واتقوا يوما ال جتزى نفس عن نفس شيئا‬, dan jagalah dirimu dari—azab—hari
kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau
sedikitpun) (QS 2: 48) dan ayat: “wattaqû yawmân turja‘ûna fîhi ilâ Allâh”
(dan peliharalah dirimu dari—azab yang terjadi pada—hari yang pada waktu
itu kamu semua dikembalikan kepada Allah) (QS 2: 281).
Dari pengartian-pengartian di dalam Alqur’an dan Terjemahnya itu,
tampaknya pengartian pada Surat al-Baqarah ayat 48 dan 281 itulah yang
paling tepat. Hal ini sesuai yang dikatakan Muthahhari bahwa kata takwa
itu berasal dari akar kata waqyan, yang berarti menjaga dan memelihara. Arti
dari kata ittaqâ adalah penjagaan. Dengan demikian, ungkapan seperti ittaqû
Allâh dan ittaqû al-nâra berarti “peliharalah dirimu dari siksa balasan Ilahi”
dan “peliharalah dirimu dari siksa neraka.” Atas dasar ini, Muthahhari (1999:
14) menyatakan bahwa terjemahan yang benar dari kata taqwâ ialah menjaga
dan memelihara diri, dan kata muttaqîn berarti orang-orang yang menjaga dan
memelihara diri.
Di bagian lain, Muthahhari (1999: 16) tampak tidak menolak makna takwa
itu dengan takut. Namun, kata takut di sini tidak dimaksudkan “takut kepada
Allah,” melainkan “takut kepada hukum keadilan Ilahi.” Jadi, bila dikaitkan
dengan arti “penjagaan dan pemeliharaan diri” itu, maka kata takwa dapat
didefinisikan menjadi “menjaga dan memelihara diri dari perbuatan-perbuatan
yang tidak baik karena takut hukum keadilan Ilahi akan mengakibatkan
perbuatan yang tidak baik ini berakibat pada yang tidak baik pula (kepadanya),
baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.”
Pengertian seperti itu sejalan dengan yang dikemukakan Fazlur Rahman
(1996: 43). Menurut Rahman, akar perkataan taqwâ adalah wqy yang berarti
“berjaga-jaga atau melindungi diri dari akibat-akibat perbuatan sendiri yang
buruk dan jahat.” “Dengan demikian,” kata Rahman, “takut kepada Allah
dengan pengertian takut kepada akibat-akibat perbuatan sendiri—baik akibat-
akibat di dunia maupun di akhirat—adalah tepat sekali.”
Definisis atau pengertian takwa menurut Muthahhari dan Rahman itu
sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh (t.t.: 124-5). Menurut Abduh,
akar kata takwa adalah waqâ yaqî wiqâyah yang berarti jauh atau menjauhi
kesusahan (kemadharatan) atau menolak kesusahan. Kemudian, di dalam
Alqur’an kata takwa ini dinisbahkan kepada lafal Allah sehingga menjadi “takwa
Allah,” yang dalam bentuk amr-nya adalah ittaqî Allâh. Abduh mengartikan
kalimah ittaqî Allâh ini dengan “takut kepada azab dan siksa-Nya.” Selanjutnya,
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 303

penyandaran kata takwa kepada Allah ini, menurut Abduh, adalah untuk
menunjukkan betapa besar azab dan siksa-Nya, yang kalau tidak demikian maka
manusia tidak akan takut kepada Allah, tidak akan mengakui kekuasaan-Nya
dan tidak akan tunduk kepada kehendak-Nya. Dari sini Abduh mendefinisikan
orang yang bertakwa sebagai “orang yang menjaga dirinya dari siksa” (man
yahmâ nafsahu min al-‘iqâb, ‫)من حيىم نفسه من العقاب‬.
Pendefinisian Abduh tentang orang yang bertakwa dengan “orang yang
menjaga dirinya dari azab dan siksa-Nya” itu menunjukkan bahwa konsep
takwa, sebagaimana dikatakan Toshihiko Izutsu (1966: 195), berkaitan erat
dengan visi eskatologis. Dengan demikian, bila kata takwa ini diartikan dengan
takut, maka takut yang tidak biasa, tapi takut yang bersifat eskatologis, yakni
takut yang luar biasa akan azab dan siksa Allah di akhirat nanti. Untuk rasa
takut yang biasa, menurut Izutsu (1966: 196) di dalam Alqur’an digunakan kata
khasyyah dan khawf. Namun, Abduh (t.t.: 125) tidak berkesimpulan semacam
ini. Artinya, Abduh tidak memandang takwa itu sebagai ketakutan yang bersifat
eskatologis belaka, melainkan bersifat duniawi pula sehingga bersifat duniawi
ukhrawi atau dunia akhirat. Dengan demikian, orang yang bertakwa, dalam
pandangan Abduh, tidak hanya menjaga diri dari azab dan siksa-Nya di akhirat
nanti, tetapi juga di dunia ini.

Kebajikan Negatif
Oleh karena itulah orang yang bertakwa berarti orang yang memiliki rasa
tanggung jawab dunia akhirat, dan sebab rasa tanggung jawabnya inilah orang
yang bertakwa, sebagaimana dikatakan Rahman, disebut sebagai makhluk
yang bermoral. Dalam konteks inilah Rahman (1995: 187) memandang takwa
sebagai konsep sentral moralitas bagi manusia, meski bukan sebagai konsep
moralitas yang bersifat positif, melainkan yang bersifat negatif. Artinya, karena
takwa itu berarti menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang
akan mengakibatkan tidak baik pula kepadanya, baik di dunia ini maupun
di akhirat nanti, maka takwa itu merupakan moralitas yang bersifat negatif
atau, dalam istilah Mustansir Mir, merupakan kebajikan yang bersifat negatif
(negative virtue). Hanya saja, Mir (1987, h. 157) tetap mengatakan bahwa di
dalam Alqur’an kebajikan negative (takwa) ini sering disebut bersamaan dengan
kebajikan yang bersifat posistif, positive virtue, semisal, “Orang-orang yang
bertakwa dan berbuat baik” (QS 7: 35; 4: 128, 129; 5: 93; 16: 128). Kalimat
“berbuat baaik” di sini dipandang Mir sebagai kebajikan positif.
Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa metode pendidikan takwa itu
tidak diwujudkan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
304 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

larangan-larangan-Nya, tetapi justeru diawali dengan cara sebaliknya, yaitu


dengan cara menjauhi larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah-
perintah-Nya. Atau, dalam istilah Abduh (t.t.: 125), “dengan cara menjauhi
apa yang dilarang-Nya dan mengikuti apa yang diperintah-Nya” (bi ’jtinâbi mâ
nuhiya wattibâ‘i mâ umira).
Metode pendidikan takwa itu berbeda dengan pemahaman yang dominan
selama ini. Boleh dikata, selama ini metode pendidikan takwa lebih merujuk
kepada makna takwa yang dikemukakan Al-Imâmaini al-Jalâlaini (1896: 2) yang
menyatakan bahwa takwa adalah imtitsâl al-awâmiri wa ‘jtinâbu al-nawâhî. ,”
seperti dikemukakan oleh Al-Imamaini al-Jalalaini. Beranjak dari makna takwa
seperti ini, maka proses pendidikan atau peningkatan ketakwaan ditempuh
dengan cara “peningkatan pelaksanaan perintah-perintah-Nya dan penjauhan
dari larangan-larangan-Nya.” Dengan demikian, orang yang paling bertakwa
adalah orang yang paling banyak melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
paling banyak menjauhi larangan-larangan-Nya.
Hanya saja, berdasarkan pengertian takwa di atas, maka dapat dikatakan
bahwa takwa itu pada hakikatnya bersifat negative atau merupakan sebuah
kebajikan yang negative (a negative virtue), yang proses perwujudannya lebih
menekankan pada “peninggalan larangan” dibanding “pelaksanaan perintah.”
Kemudian, supaya orang beriman itu dapat menjauhi larangan-Nya (dan
melaksanakan perintah-Nya), maka pendidikan ketakwaan dapat mengambil
dua bentuk. Pertama, menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang buruk
dan jahat atau perbuatan-perbuatan dosa dengan cara menjauhkan diri dari
lingkungan (masyarakat) dan hal-hal yang akan mengakibatkan dosa. Dalam
bentuk “ekstrimnya,” penjauhan semisal ini mengambil bentuk “pengucilan diri
dari masyarakat dan orang banyak.” Sudah tentu, pendidikan takwa semacam
ini tidak dapat disalahkan karena kualitas ketakwaan, sebagaimana dikatakan
Quraish Shihab (1997: 128), merupakan “kualitas keimanan.” Artinya, kalau
tidak mengucilkan diri dia dapat terkena dosa, seperti halnya orang yang
hidup di tengah-tengah lingkungan yang berpenyakit menular dapat tertulari
penyakit menular tersebut. Apalagi Allah berfirman, “bertakwalah kamu kepada
Allah menurut kesanggupanmu” (QS al-Taghabun: 61). Sedangkan kemampuan
mereka adalah dengan cara mengucilkan diri dari masyarakat orang banyak.
Oleh karena itu, cara mereka ini tidak dapat disalahkan, meski metode ini dapat
dipandang sebagai perwujudan kualitas keimanan/ketakwaan yang masih lemah.
Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat (buruk dan jahat)
dengan cara senantiasa melatih diri menjauhi perbuatan tersebut sehingga,
dengan latihan ini, terbentuk kualitas keimanan dan rohani yang kuat. Kualitas
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 305

keimanan dan rohani seseorang yang kuat ini akan menjaga orang tersebut dari
perbuatan dosa dan maksiat sehingga orang tersebut terjaga dari kemaksiatan,
meski hidup di tengah-tengah lingkungan yang penuh dengan peralatan dan
fasilitas kemaksiatan. Dengan demikian, orang tersebut tidak perlu menjauhi,
apalagi mengucilkan diri dari, masyarakat. Bahkan, mereka ini adalah orang-orang
yang beriman yang senantiasa berbuat kebaikan di tengah-tengah masyarakat.
Inilah “hakikat ketakwaan” yang sebenarnya, yang sepadan maknanya dengan
“hakikat kebajikan” (haqîqah al-birr), semisal dikemukakan Muhammad al-
Ghazali (1995: 17), bersasarkan Firman Allah: “Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang
yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa” (QS 2: 177).
Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas, hakikat takwa sama dengan
hakikat birr; pendidikan takwa sama dengan pendidikan birr. Dengan kata
lain, kata takwa sinonim dengan kata birr atau hakikat ketakwaan sama dengan
hakikat kebajikan; pendidikan takwa sama dengan pendidikan kebajikan. Dalam
istilah lain, seperti dikatakan Toshihiko Izutsu, orang-orang yang memiliki cirri-
ciri birr dan orang-orang yang memiliki cirri-ciri takwa pada dasarnya adalah
sama. Izutsu juga mengatakan bahwa, dengan mengutip pendapat Ibn Taimiyah,
kata takwa bila digunakan secara “mutlak,” maka maknanya sama dengan birr
(dan iman). Namun, bila tidak digunakan secara mutlak, maka makna takwa
berbeda dengan makna birr. Misalnya, dalam ayat: “dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) birr dan takwa” (QS 5: 2). Ayat yang menyebutkan
birr dan takwa secara bersama-sama semacam ini, menurut Ibn Taimiyah yang
dinukil Izutsu, merupakan dua konsep yang berbeda satu sama lain, yang
masing-masing secara khusus digunakan sebagai syarat yang penyebutannya
secara tidak mutlak, maka kata takwa di sini berarti dalam arti sempit atau tidak
sama dengan syarat yang lainnya. Umpamanya, ayat “wa in tashbirû wa tattaqû”
ّ
(‫وان تصربوا وتتقوا‬, QS 3: 120, 125, 186), “wa in tu’minû wa tattaqû” (‫وان تؤمنوا‬
ّ ّ
‫وتتقوا‬, QS 3: 179, 47: 36), “in tuhsinû wa tattaqû” (‫ان حتسنوا وتتقوا‬, QS 4: 128)
ّ
dan “in tushlihû wa tattaqû” (‫ان تصلحوا وتتقوا‬, QS 4: 129), maka makna takwa di
sini berbeda maknanya dengan kata sabar, iman, ihsan dan ishlah.
Di samping bermakna berbeda, penyebutan secara iqtirânân itu menunjuk­
306 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

kan pula bahwa pendidikan takwa berkaitan dengan pendidikan konsep-konsep


lain, terutama dengan konsep keimanan. Penyebutan yang terutama berkaitan
dengan konsep keimanan ini—Izutsu bahkan mengatakan bahwa semuanya
berkaitan dengan konsep kunci “iman”—dikarenakan konsep ketakwaan, seperti
kata Quraish di atas, merupakan kualitas keimanan. Oleh karena merupakan
kualitas keimanan, maka di beberapa ayat disebutkan bahwa orang yang beriman
identik dengan orang yang bertakwa, semisal ayat: “Kehidupan dunia dijadikan
indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-
orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa (= beriman) itu lebih
mulia daripada mereka di hari kiamat” (QS 2: 212) dan “Orang-orang yang
beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa” (QS 10: 63, 27: 53 dan
41: 18). Kesamaan makna takwa dengan iman ini menunjukkan bahwa proses
pendidikan ketakwaan sama dengan proses pendidikan keimanan.
Meski begitu, di beberapa ayat orang-orang beriman dipandang belum
mencapai taraf ketakwaan sehingga mereka diperintah untuk bertakwa. Dalam
hal ini berarti, peningkatan atau pendidikan ketakwaan ditujukan untuk orang
beriman. Umpamanya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman” (QS 2: 278); “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS 3: 102); dan “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya” (QS 5: 35).
Pendidikan ketakwaan bagi orang beriman yang belum mencapai taraf
ketakwaan itu dilalui melaui proses ibadah atau peningkatan kualitas beribadah.
Hal ini, misalnya, perintah: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa” (QS
2: 21) dan “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
(QS 2: 183). Metode peningkatan ketakwaan bagi orang beriman dengan
cara beribadah ini dikarenakan ibadah, seperti kata Abduh (t.t.: 186), akan
menyampaikan orang beriman tersebut kepada ketakwaan.

Tingkatan Ketakwaan
Konsekuensi logis dari proses pendidikan ketakwaan itu pastilah meng­hasilkan
ketakwaan orang-orang bertakwa yang bertingkat-tingkat. Tingkatan ketakwaan
ini, menurut Quraish Shihab, sesuai dengan tingkat pengabdian dan kedekatan
mereka kepada Allah. Quraish menyebutkan sebuah hadis yang menyatakan
bahwa “iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah ketakwaan.” Quraishpun
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 307

(1997: 129) mengatakan, “Kalau takwa diibaratkan sebagai pakaian, maka


jelas pakaian bermacam ragam dan kualitasnya, demikian pula halnya dengan
takwa.”
Pendapat Quraish tentang tingkatan-tingkatan ketakwaan sebagai hasil
daripendidikan ketakwaan itu berdasarkan ayat yang menyebutkan cirri-ciri
orang bertakwa, yaitu di ayat 133-135 Surat Ali Imran yang artinya: “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
Berdasarkan ayat itu, maka pendidikan ketakwaan dilatih dan di­biasakan
dengan: a). Menafkahkan sebagian hartanya, baik sewaktu lapang atau sempit
(tidak kikir); b). Mampu menahan amarahnya (lapang dada), bahkan memaafkan
orang yang melakukan kesalahan atau kalau dapat, berbuat baik terhadap
mereka; c). Bila melakukan dosa besar dia sadar dan memohon ampunan Allah;
dan d). Tidak berkelanjutan melakukan hal-hal yang diketahuinya sebagai dosa.
Sementara itu, bila dilihat di Surah al-Baqarah ayat 2-4, maka pendidikan
takwa dapat dikatakan melalui proses: a). Beriman kepada yang gaib; b).
Mendirikan shalat; c). Menafkahkan sebagian rizkinya; d). Beriman kepada
Alqur’an dan kitab-kitab sebelumnya; dan e). Beriman kepada hari akhir.
Jika pendidikan ketakwaan di Surah Ali Imran ayat 133-135 dan Surah
al-Baqarah ayat 2-4 itu disatukan, maka hampir terangkum semuanya di Surah
al-Baqarah ayat 177, yaitu melalui a). Peningkatan keimanan kepada Allah; b).
Peningkatan keimanan kepada hari akhir; c). Peningkatan keimanan kepada
para malaikat; d). Peningkatan keimanan kepada kitab-kitab; e). Peningkatan
keimanan kepada nabi-nabi; f ). Melatih atau membiasakan diri memberikan
harta yang dicintai kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, ibn sabil dan peminta-peminta; g). Memerdekakan hamba sahaya; h).
Mendirikan shalat; i). Menunaikan zakat; j). Menepati janji; dan k). Bersabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Bila diringkas, maka terdapat 14 proses pendidikan ketakwaan, yaitu:
1. Peningkatan keimanan kepada Allah.
2. Peningkatan keimanan kepada malaikat-malaikat Allah.
308 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

3. Peningkatan keimanan kepada kitab-kitab Allah.


4. Peningkatan keimanan kepada rasul-rasul Allah.
5. Peningkatan keimanan kepada hari akhir.
6. Melanggengkan mendirikan shalat.
7. Senantiasa enunaikan zakat.
8. Melatih atau membiasakan diri memberikan harta yang dicintai, baik di
waktu lapang atau sempit, kepada karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, ibn sabil (musafir) dan peminta-minta.
9. Melatih atau membiasakan diri untuk mampu menahan amarah (lapang
dada), bahkan memaafkan orang yang melakukan kesalahan atau, kalau
sanggup, berbuat baik terhadap mereka.
10. Bila melakukan dosa segera sadar dan memohon ampun kepada Allah.
11. Melatih atau membiasakan diri untuk tidak berkelanjutan melakukan hal-
hal yang diketahuinya sebagai dosa.
12. Memerdekakan hamba sahaya.
13. Melatih atau membiasakan diri untuk selalu menepati janji.
14. Melatih atau membiasakan diri untuk senantiasa bersabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan.

Pembinaan Takwa
Supaya orang-orang bertakwa ikhlas menempuh keempat belas proses pendidikan
takwa tersebut, maka sesuai makna dan pengertian takwa yang diungkap di atas,
meniscayakan adanya internalisasi yang tiada henti akan azab dan siksa-Nya
yang amat dahsyat, yang hanya mampu dihindari melalui penjauhan larangan-
larangan-Nya dan pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Melalui cara inilah in syâ
Allâh orang-orang bertakwa ikhlas menempuh keempat belas proses pendidikan
ketakwaan di atas dan in syâ Allâh dapat selamat dari segala azab dan siksa-Nya.
Untuk itu, diperlukan adanya pengetahuan tentang sebab-sebab yang
menimbulkan azab dan siksa Allah tersebut. Menurut Abduh, takut kepada
azab dan siksa Allah ini, baik siksa dunia maupun akhirat, berarti “takut” kepada
sebab-sebabnya, yakni memelihara diri dari sebab-sebab yang menimbulkan
siksa-Nya (bittiqâ’i asbâbih), yang meliputi dua hal, yaitu sebab melanggar agama
dan syariat-Nya (mukhâlafatu dîni Allâhi wa syar‘ihi) serta sebab melanggar
hukum-hukum-Nya atau sunnah-sunnah-Nya yang diberlakukan pada ciptaan-
Nya (mukhâlafatu sunânihi fî nizhâmi khalqihi), yang sering disebut Sunnatullah
atau hukum alam. Dalam pandangan Abduh, menjaga diri dari siksa akhirat
adalah dengan cara menjaga diri melalui keimanan yang benar (al-imân al-
Pendidikan Takwa di dalam Al-Qur’an 309

shâlih), tauhid yang murni, amal shalih, menjauhi kemusyrikan, kekufuran,


kemaksiatan dan kekejian. Adapun siksa dunia dijaga melalui pengetahuan
terhadap sunah-sunah Allah di dunia (alam) ini, khususnya yang berkaitan
dengan kesehatan badan dan keseimbangan ciptaan (yang berpasang-pasangan)
serta hukum social kemasyarakatan.
Dalam konteks itulah Abduh memberikan contoh tentang takwa yag ber­
kaitan dengan makanan yang baik, semisal Firman-Nya yang artinya: “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah
halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS 5: 87), dan haramnya khamar,
seperti Firman-Nya yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS 5: 90).
Artinya, makanan dan minuman itu berkaitan dengan kesehatan badan
sehingga orang yang beriman harus menjaga diri dari makanan dan minuman
yang tidak baik dan tidak halal. Kemudian, minuman-minuman keras, perjudian
dan kemusyrikan berkaitan secara langsung dengan keteraturan kehidupan
sosial, sehingga orang-orang beriman diwajibkan menjauhi perbuatan-perbuatan
syaitan tersebut.

Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti kata takwa yang
tepat bukanlah “takut,” tetapi “menjaga dan memelihara diri,” yakni menjaga dan
memelihara diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan berakibat
tidak baik pula terhadapnya, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dengan
demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang menjaga dan memelihara diri
dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yang akan mendatangkan azab dan
siksa-Nya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dunia maupun akhirat.
Beranjak dari arti dan pengertian takwa itu berarti metode pendidikan
ketakwaan tidak diawali dengan pelaksanaan perintah-perintah-Nya baru
kemudian meninggalkan larangan-larangan-Nya, tetapi justeru sebaliknya,
yakni dengan mendahulukan peninggalan larangan-larangan-Nya dibanding
pelaksanaan perintah-perintah-Nya. Jadi, pendidikan takwa yang tepat adalah
meninggalkan larangan-larangan-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-
Nya. Hanya saja, dalam ranah praksisnya metode ini tetap ditempuh secara
bersamaan.
Wallâhu a‘lam.
310 Peran Keluarga dalam Ketahanan dan Konsepsi Revolusi Mental Perspektif Alquran

Pustaka Acuan:
Abduh, Syaikh Muhammad, Tafsir Al-Manar, Juz I, t.t.
Al-Ghazali, Muhammad, Nahw Tafsir Mawdhu’i li Suwar Al-Qur’an Al-Karim,
Kairo: Dar al-Syuruq, 1995.
Al-Imâmaini al-Jalâlaini, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Kudus: Makatabah wa
Mathba’ah Menara Kudus, 1896.
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concpts in the Qur’an, Montreal: McGill
University Press, 1966.
Mir, Mustansir, Dictionary of Qur’anic Terms and Concepts, USA: Garland
Reference Library of the Humanities, 1987
Muthahhari, Murtadha, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan
Kehidupan, Jakarta: Lentera, 1999.
Rahman, Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1996.
_____, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung:
Pustaka, 1995.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.

Anda mungkin juga menyukai