Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN WAKAF

Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Sejarah Kelembagaan Ekonomi Islam

Diusun Oleh :
Difi Dahliana
NIM. F04408104

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
SURABAYA
2009
BAB I

PENDAHULUAN

Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan


fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan
(ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf
ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah
SWT yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui
wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara
lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat
(social benefit).

Mayoritas umat Islam Indonesia mempersepsikan, bahwa wakaf


keagamaan lebih penting daripada wakaf untuk tujuan pemberdayaan sosial.
Sehingga mereka lebih banyak mempraktikkan wakaf keagamaan. Seperti masjid,
musalla, makam dan sebagainya. Sementara untuk tujuan pemberdayaan, seperti
wakaf pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belum
dipandang penting.

Sudah saatnya umat Islam peka terhadap permasalahan ekonomi yang


semakin kompleks, melakukan ijtihad untuk menemukan inovasi-inovasi yang
dapat menjadi problem solving yang sesuai dengan syariat. Sejarah telah
membuktikan sejak masa Rasulullah, dinasti-dinasti Islam, dan sampai sekarang
di beberapa negara Muslim, pengelolaan wakaf yang efektif dan efisien mampu
membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Potensi wakaf yang begitu besar, tidak sepantasnya dibiarkan mubazir,
paradigma wakaf produktif harus dibangun.

BAB II

POKOK BAHASAN

1
A. Nomenklatur dan Definisi Wakaf

Ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari induk kata sebagai


sandaran hukum, identifikasi itu melahirkan ragam nomenklatur wakaf
yaitu:1

1. Wakaf sebagai al-Khayr

Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang
eksplisit dalam al-Qur’an dan Sunnah. Ulama berpendapat bahwa
perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr
(kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut:

“…dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan” (QS.


Al-Hajj: 77)

Ibadah bendawi merupakan kebaikan universal. Ia dianggap baik oleh


semua orang, baik oleh penganut Islam, penganut agama lain, maupun
orang-orang yang tidak beragama. Wakaf untuk kepentingan umum
secara empiris dapat dibedakan menjadi:

a. Wakaf yang berguna bagi semua orang (termasuk non-muslim),


seperti wakaf tanah untuk jalan.

b. Wakaf yang digunakan hanya oleh umat Islam, seperti wakaf masjid,
pemakaman muslim, dan sebagainya.

2. Wakaf sebagai S{adaqah Jariyah

Dalam hadis dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah.


Dalam perspektif ini, wakaf dianggap sebagai bagian dari sedekah. Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:

‫س َم ِعيل قَا َل َح َّدثَنَا ا ْلعَ ََلء ع َْن أ َ ِبي ِه ع َْن‬ْ ‫ع ِلي ْبن ح ْجر قَا َل َح َّدثَنَا ِإ‬ َ ‫أ َ ْخبَ َرنَا‬
‫سان‬ ِ ْ َ‫سلَّ َم قَا َل ِإذَا َمات‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫ أ َ َّن َرسو َل‬:َ‫أ َ ِبي ه َر ْي َرة‬

1
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif (Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2008), h. 7-8.

2
َ ‫ص َدقَة َج ِاريَة َو ِع ْلم ي ْنتَفَع ِب ِه َو َولَد‬
‫صا ِلح‬ َ ‫ع َمله ِإ َّّل ِم ْن ث َ ََلثَة ِم ْن‬
َ ‫ا ْنقَ َط َع‬
.‫يَدْعو لَه‬
“(Seluruh pahala) perbuatan manusia terputus apabila telah meninggal
kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak
saleh yang mendo’akannya”. (HR. Muslim)

Definisi wakaf menurut PP No. 28 Tahun 1997, adalah perbuatan


hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-
lamanya untuk kepentingan peribadadat atau keperluan lain sesuai dengan
ajaran Islam.2

Dalam buku III Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa


wakaf adalah perbuatan hukum seseorang, kelompok orang, atau badan
hukum dengan memisahkan sebagian harta benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.3

Rukun wakaf adalah orang yang berwakaf (wakif), orang yang


menerima wakaf (mauquf lahu), barang yang diwakafkan (mauquf), dan
lafaz/sig{hat wakaf.4

Dalam fiqh klasik, wakaf biasanya diharuskan mengandung tiga


syarat:

1. Barang yang diwakafkan itu berupa barang tetap yang dapat diambil
manfaatnya, sehingga tidak seperti mewakafkan makanan yang akan
habis setelah dimakan;

2. Yang diberi wakaf sudah jelas, bukan yang akan ada, sehingga tidak
mungkin memberikan wakaf kepada orang yang belum lahir, sudah
meninggal, mesjid yang belum ada, dan semacamnya;

2
Sofyan Hasan, Pengantar hukum Zakat dan Wakaf (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h.71.
3
Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab I, pasal 215, ayat (1).
4
Ahmad Rofiq dan Abdurrahman, Fiqih (Bandung: Armico, 1998), h. 85.

3
3. Barang yang diwakafkan bukan barang haram, tidak dibenarkan
mewakafkan tempat perjudian atau tempat lokalisasi pelacuran, atau
semacamnya.5

B. Landasan Syariah Wakaf

1. Al-Qur’an

Firman Allah SWT yang menjadi dasar hukum wakaf adalah:

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah : 267)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum


kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran :
92)

“Dan kebaikan apa saja yang mereka lakukan, maka sekali-kali mereka tidak
akan terhalangi dari pahalanya, dan Allah Maha Mengetahui keadaan orang-
orang yang bertaqwa”. (Q.S. Ali Imran, 115).

2. Hadith

Hadith Nabi Muhammad SAW. yang menjadi dasar hukum wakaf


adalah:

‫ص ِارى َح َّدثَ َنا ا ْبن ع َْون قَا َل‬ َ ‫ّللاِ األَ ْن‬ َ ‫س ِعيد َح َّدثَ َنا م َح َّمد ْبن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫َح َّدثَ َنا قتَ ْي َبة ْبن‬
‫اب أَ ْرضًا‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ب أ‬ ِ ‫ أَ َّن ع َم َر ْب َن ا ْل َخ َّطا‬- ‫ رضى هللا عنهما‬- ‫أَ ْنبَأَنِى نَافِع ع َِن ا ْب ِن ع َم َر‬
، ِ‫ّللا‬َّ ‫ فَقَا َل يَا َرسو َل‬، ‫ستَأ ْ ِمره فِي َها‬ ْ َ‫ ي‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ فَأَتَى النَّ ِب َّى‬، ‫ِب َخ ْي َب َر‬
« ‫ فَ َما تَأْمر ِب ِه قَا َل‬، ‫س ِع ْندِى ِم ْنه‬ َ َ‫ لَ ْم أ ِص ْب َماّلً قَط أَ ْنف‬، ‫ص ْبت أَ ْرضًا ِب َخ ْيبَ َر‬ َ َ‫ِإنِى أ‬
َ‫َّق بِ َها ع َمر أَنَّه ّلَ يبَاع َوّل‬ َ ‫صد‬ َ َ‫ قَا َل فَت‬. » ‫ص َّد ْقتَ بِ َها‬ َ َ‫ َوت‬، ‫صلَ َها‬ ْ َ‫ستَ أ‬ ِ ‫إِ ْن‬
ْ َ‫شئْتَ َحب‬
‫ َوفِى‬، ‫ب‬ ِ ‫الرقَا‬
ِ ‫ َوفِى‬، ‫اء َوفِى ا ْلق ْربَى‬ ِ ‫ق ِب َها فِى ا ْلفقَ َر‬ َ َ‫ َوت‬، ‫ورث‬
َ ‫ص َّد‬ َ ‫يو َهب َوّلَ ي‬
ْ َ
‫علَى َم ْن َو ِليَ َها أ ْن يَأك َل ِم ْن َها‬ َ ‫ ّلَ جنَا َح‬، ‫ف‬ ِ ‫ض ْي‬َّ ‫ َوال‬، ‫س ِبي ِل‬ َّ ‫ َوا ْب ِن ال‬، ِ‫ّللا‬َّ ‫س ِبي ِل‬َ
.ً‫غ ْي َر متَأَثِل َماّل‬
َ ‫ين فَقَا َل‬ َ ‫س ِير‬ ِ ‫ قَا َل فَ َح َّدثْت بِ ِه ا ْب َن‬. ‫غ ْي َر متَ َم ِول‬َ ‫ َوي ْط ِع َم‬، ‫وف‬ ِ ‫بِا ْل َم ْعر‬
Hadits dari Abdullah ibn Umar, katanya: Umar (Bapakku) mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, maka beliau mendatangi Rasulullah, dan berkata:
“Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang aku tidak hanya ingin
mendapatkan hartanya semata, maka apa yang akan engkau perintahkan
kepadaku dengan tanah itu? Jawab rasulullah: Jika engkau mau, pertahankan
5
Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 122.

4
pokok harta tanah itu, dan bershadaqahlah dari hasilnya.” Maka, Umar pun
bershadaqah dengan hasil sebidang tanah itu, beliau tidak menjual atau
menghibahkan tanah tersebut, ataupun mewariskannya. Shadaqahnya, beliau
salurkan kepada orang fakir-miskin, kerabat, memerdekakan budak, fii
sabilillah, tamu, ibnu sabil, dan beliau tidak melarang orang lain untuk
mengambil dan memakannya asal sebatas kewajaran, atau memberi makan
kawannya asalkan bukan untuk memperkaya diri. (HR. Bukhari & Muslim)

‫س َم ِعيل قَا َل َح َّدثَ َنا ا ْلعَ ََلء ع َْن أَ ِبي ِه ع َْن أَ ِبي‬
ْ ِ‫ع ِلي ْبن حجْ ر قَا َل َح َّدثَ َنا إ‬ َ ‫أَ ْخبَ َر َنا‬
‫ع َمله‬َ ‫سان ا ْنقَ َط َع‬ ِ ْ َ‫سلَّ َم قَا َل ِإذَا َمات‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ َّ ‫ أَ َّن َرسو َل‬:‫ه َر ْي َر َة‬
َ ِ‫ّللا‬
.‫صا ِلح يَدْعو لَه‬ َ ‫ص َدقَة َج ِاريَة َو ِع ْلم ي ْنتَفَع ِب ِه َو َولَد‬ َ ‫إِ َّّل ِم ْن ثَ ََلثَة ِم ْن‬

Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Jika anak keturunan Adam
wafat, maka terputuslah seluruh amalnya, kecuali tiga perkara: (1) Shadaqah
jariyah, (2) Ilmu yang bermanfaat, dan (3) Anak shalih yang mendoakannya”.
(HR. Muslim)

4. Ijma’

Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf


adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian
karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash,
Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-
wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh
khalayak ramai.6

C. Sejarah Wakaf pada Masa Nabi dan K{ulafa al-Rashidun

Dalam sejarah Islam wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW,
wakaf disyariatkan setelah hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah.
Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama kali
melaksanakan syariat wakaf. Pendapat pertama mengatakan yang pertama
kali mensyariatkan wakaf adalah Rasulullah yakni wakaf tanah milik Nabi

6
Tafsir Al-Qurthuby, 6/339.

5
SAW untuk dibangun masjid.7 Ketika Rasulullah dan Abu Bakr berangkat
hijrah, dalam perjalanan menuju Madinah, Rasulullah sempat singgah di
Quba, di sana Rasulullah sempat meletakkan pondasi masjid yakni masjid
Quba.8 Pendapat kedua mengatakan yang yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf adalah Umar ibn al-K{at{t{ab yakni wakaf tanah di K{aibar.

Pada tahun ketiga Hijriyah, Rasulullah SAW pernah mewakafkan


ketujuh kebun kurma di Madinah, yakni kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah
dan kebun lainnya.9 Kaum Muhajirin berpendapat, bahwa yang pertama kali
melaksanakan Syariat Wakaf adalah ‘Umar ibn al-K{at{t{ab.10

Setelah ‘Umar ibn al-K{at{t{ab mempraktikkan wakaf, kemudia


disusul oleh sahabat-sahabat yang lain. Di antaranya; Abu T{alh{ah yang
mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”.11 Selanjutnya disusul
oleh Abu Bakr yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang
diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah.
‘Uthman menyedekahkan hartanya di K{aibar. Aly ibn Aby T{alib
mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’ath ibn Jabal mewakafkan
rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-Ans{ar”. Kemudian
pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas ibn Malik, Abdullah ibn ‘Umar,
Zubair ibn Awwam dan Aishah Istri Rasulullah SAW.12

D. Perkembangan Wakaf pada Masa Dinasti Islam

Permasalahan yang muncul dalam era ini adalah tujuan mulia wakaf
generasi sahabat dibelokkan menjadi tujuan-tujuan tertentu yang tidak baik
walaupun secara hukum wakaf sendiri tidak menyalahi. Sebagai contoh,
orang-orang pada masa itu berwakaf dengan tujuan untuk menghalang-
halangi sebagian ahli waris mendapatkan haknya. Diperparah lagi adanya

7
Wahyudi, “Sejarah dan Perkembangan Wakaf”, http://bw-indonesia.net/index.php?
option=com_content&task=view&id =58&Itemid=54
8
Jusmaliani, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 153.
9
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf, h. 9.
10
Ibid.
11
Ibid, 10.
12
http://Republika Newsroom.co.id/sejarahdanperkembangan wakaf.doc (02 Mei 2009).

6
diskriminasi terhadap anak-anak perempuan, karena ada sebagian orang yang
berwakaf hanya untuk anak laki-lakinya, atau mewakafkan sebagian besar
hartanya agar harta waris tidak jatuh ke anak-anak perempuannya, minimal
jatahnya berkurang. Dalam kitab al-Mudawwanah dikatakan bahwa K{alifah
‘Umar ibn ‘Abd al-Aziz sebelum meninggal dunia pernah berkeinginan untuk
mengembalikan sedekah/wakaf orang-orang yang mengabaikan anak
perempuan mereka.13

Di lain sisi terjadi perkembangan wakaf yang signifikan, praktek


wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak
hanya untuk orang- orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal
untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan
membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa
dan mahasiswa. Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang
ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara
individu tanpa ada aturan yang pasti. 14

Namun, antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah


menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor
untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. Kemudian
dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan
menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara
individu atau keluarga. Pada masa khalifah Hisyam bin Abd al-Malik, dinasti
Umayyah (660-750M), hakim Mesir bernama Taubah ibn G{ar al-H{ad{ramy>
sangat perhatian dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang
pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh
negara Islam. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen

13
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi.. Hukum Wakaf. (Bogor: Dompet Dhuafa Republika dan
IIMaN, 2004).
14
Wahyudi, “Sejarah dan … .

7
Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang
berhak dan yang membutuhkan. 15

Pada masa Abbasyiah (750-1258M), dibentuk Bayt al-Mal khusus


untuk menyimpan harta wakaf. Pada masa juga dibentuk lembaga wakaf yang
disebut dengan sa{ dr al-Wuqu>f yang mengurus administrasi dan memilih staf
pengelola lembaga wakaf. Dana hasil pengelolaan wakaf juga digunakan
untuk membantu pembangunan pusat seni dan sangat berperan dalam
pengembangan arsitektur Islam.16

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup


menggembirakan, hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf
dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal).
Ketika S{alahuddin al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud
mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti
Fat{imiyah sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan
harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama.17

Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul


mal) kepada yayasan dan sosial adalah Raja Nuruddin al-Shahid dengan
ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah
Ibnu ‘Is{run dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa mewakafkan
harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil)
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik
negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan.18 S{alahuddin al-Ayyubi
banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti
mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah
mazhab al-Shafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-
H{anafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan
pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Shafi’i di samping
15
Ibid.
16
Muhammad Abdul Manan, Sertifikat Wakaf Tunai, diterjemahkan oleh Tjasmijanto dan
Rozidyanti, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI), h. 32.
17
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf, h.12.
18
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, h. 354-357.

8
kuburan Imam Shafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau
al-Fil.19

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi


tulang punggung dalam roda ekonomi, maka pada masa dinasti Mamluk
mendapat perhatian khusus yakni pada masa itu awal mula disahkannya
undang-undang wakaf. Dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-
1277 M) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih
hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al-Dzahir Bibers
perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf
yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa,
wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan
kepentingan masyarakat umum. 20

Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas


wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar
wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani
secara otomatis mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya
ialah peraturan tentang perwakafan. Di antara undang-undang yang
dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan
pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun
1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf,
sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan
melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan
perundang-undangan.

Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti


Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di
seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah
wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju
perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti
bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain.

19
http://MahchmudiMuhson.Lc-El_ShohwahDiscussion.net/universitasaustralia.com.au, (23
April 2009).
20
Wahyudi, “Sejarah dan … .

9
B. Perkembangan Menuju Era Wakaf Produktif

Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam di seantero


dunia umumnya dan Indonesia khususnya. Namun, pengumpulan dan
pendayagunaan harta wakaf secara produktif di tanah air masih sedikit dan
ketinggalan dibandingkan Negara lain. Padahal, semestinya wakaf dapat
dikelola secara produktif dan memberikan hasil kepada masyarakat, sehingga
dengan demikian harta wakaf benar-benar menjadi sumber dana dari
masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.

Dalam kondisi ekonomi yang masih memprihatinkan ini,


sesungguhnya wakaf dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup
masyatakat di bidang ekonomi. Terutama sekali jika wakaf dikelola dengan
manajemen yang rapi, teratur dan professional disertai kualitas para
pengelolanya. Karena itu, penafsiran lain mengenai wakaf penting dihadirkan
untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak umat Islam. Pemunculan wakaf
produktif menjadi pilihan utama ketika umat sedang dalam keterpurukan
kemiskinan yang akut.

Bukan hal yang salah jika wakaf produktif, sebagai bentuk penafsiran
yang relative baru mengenai wakaf sangat diharapkan mampu menginjeksi
ekonomi umat (Islam) yang telah lama terpuruk. Fleksibilitas konsep fikih
wakaf, ajaran wakaf masuk dalam wilayah ijtihad, dengan sendirinya menjadi
pendukung yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal. Agar
ajaran, konsep dan praktik wakaf bisa mengiringi perkembangan persoalan
yang semakin kompleks, sehingga relevan. Karena kesejahteraan dan
kemaslahatan umat tidak akan dicapai jika solusinya tidak relevan dan tidak
menyentuh akar permasalahannya.

Terlebih lagi sudah terlalu banyak kasus harta wakaf yang


terbengkalai, jangankan untuk menghasilkan sesuatu yang bisa disedekahkan
kepada nazir dan fakir miskin disekitarnya, bahkan untuk membiayai
pemeliharaannya (harta wakaf) sendiri pun senantiasa defisit. Di Indonesia

10
harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan (77 persen) daripada
yang menghasilkan atau produktif (23 persen). Pemanfaatan terbesar harta
wakaf adalah masjid (79 persen) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih
banyak berada di pedesaan (59 persen) daripada perkotaan (41 persen). Selain
itu, diketahui bahwa jumlah nadzir yang bekerja secara penuh itu minim (16
persen). Umumnya mereka bekerja sambilan dan tidak diberi upah (92
persen).21

Menurut Syafi'i Antonio, wakaf produktif adalah pemberdayaan


wakaf yang ditandai dengan 3 (tiga) ciri utama yaitu pertama, pola
manajemen wakaf harus terintegrasi. Kedua, asas kesejahteraan nazir,
pekerjaan sebagai nazir tidak bias diposisikan sebagai pekerjaan social, tapi
sebagai professional yang bias hidup layak dari profesi itu. Ketiga, asas
transparansi dan tanggungjawab (accountability).22

Langkah taktis sebagai derivasi dari disyariatkannya wakaf produktif


yakni berupa langkah-langkah teknis terus diupayakan. Wakaf produktif
dapat diselenggarakan dengan beberaa cara di antaranya:

2. Wakaf Uang dan Surat Berharga

Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai


modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf.23 Komisi fatwa MUI (2002) dalam mengeluarkan fatwa
pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai berikut :

a. Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang,


atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

b. Termasuk dalam uang adalah surat-surat berharga.

c. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
dibolehkan syar’i.

21
Muhammad Cholil Nafis, “Menghitung Potensi Wakaf Uang Indonesia”,
http://malangraya.web.id/2009/05/04/menghitung-potensi-wakaf-uang/
22
Achmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya
Progresif untuk Kesejahteraan Umat (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006), h. viii.
23
Republika Newsroom, “Diluncurkan, Gerakan Wakaf Uang”
http://www.republika.co.id/berita/51471/Diluncurkan_Gerakan_Wakaf_Uang, (20 Mei 2009).

11
d. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.24

3. Wakaf Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

Wakaf HaKI berarti menyedekahkan manfaat HaKI (royalti) kepada pihak


lain. 25 Wakaf HaKI pada dasarnya mencakup hak cipta, hak paten, hak
merk, hak desain industri, hak rahasia dagang, hak sirkuit terpadu, dan
hak perlindungan varietas tanaman.26

4. Wakaf Tanah Produktif

Badan Wakaf Indonesia (BWI) menginvestasikan seluruh tanah wakaf


yang berpotensi untuk dikembangkan secara produktif antara lain berupa
usaha pertanian, perkebunan, peternakan, pembangunan gedung
perkantoran, real estate, industri rumah tangga, dan sebagainya.27

5. Wakaf Benda Bergerak seperti Kendaraan

Aspek ekonomi-bisnis kendaraan dapat disewakan dengan akad ijarah.


Oleh karenanya pengelola wakaf kendaraan bias memperoleh manfaat
ekonomis dari wakaf kendaraan untuk disalurkan kepada pihak yang
berhak menerimanya.

Bentuk-bentuk wakaf produktif tentu tidak berhenti dan terbatas pada


empat bentuk di atas, seiring dengan dinamika kehidupan maka akan
senantiasa bermunculan hasil-hasil ijtihad dan inovasi-inovasi baru mengenai
wakaf produktif yang bertujuan menghancurkan struktur-struktur sosial yang
timpang dan menyediakan lahan subur untuk mensejahterakan umat.

24
Jaih Mubarok, Wakaf…, h. 127.
25
Jaih Mubarok, Wakaf…, h. 106.
26
PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
27
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, h. 85.

12
BAB III

PENUTUP

Wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, wakaf disyariatkan


setelah hijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Praktek wakaf menjadi
lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah di mana wakaf juga
menjadi modal untuk membangun dan membiayai lembaga pendidikan, serta
dikelola secara melembaga dibawah Departemen Kehakiman. Selanjutnya wakaf
mengalami perkembangan pesat pada masa dinasti Mamluk dan Turki Uthmani
karena pada masa itu dibuat undang-undang pengelolaan wakaf. Sampai saat ini
wakaf masih dilakukan di negara-negara muslim, termasuk Indonesia, dan
senantiasa berkembang menuju ke arah produktif dengan berbagai inovasi seperti
wakaf tunai, wakaf HaKI, dan lainnya.

Wakaf merupakan praktik ekonomi Islam yang mengedepankan pada


keadilan, kejujuran, kepercayaan, kerja sama, transparansi, tolong menolong dan
sebagainya, sehingga dapat dijadikan salah satu prinsip ekonomi yang selayaknya
dikembangkan. Pemanfaatan untuk kemaslahatan tidak berarti asal dihabiskan
tanpa ada perhitungan dan pertimbangan. Sudah saatnya dihindari penggunaan
atau penghabisan dana secara konsumtif. Wakaf produktif, dalam bentuknya,
dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih
menghasilkan dan mampu mensejahterakah umat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Muhammad. Sertifikat Wakaf Tunai, diterjemahkan oleh


Tjasmijanto dan Rozidyanti, Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI.
Abdurrahman dan Ahmad Rofiq, Fiqih, Bandung: Armico, 1998.
Azizy, Qodri. Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004.
Cholil Nafis, Muhammad. “Menghitung Potensi Wakaf Uang Indonesia”,
http://malangraya.web.id/2009/05/04/menghitung-potensi-wakaf-uang/
Djunaidi, Achmad dan Thobieb al-Asyhar. Menuju era Wakaf Produktif: Sebuah
Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press,
2006.
Hasan, Sofyan. Pengantar hukum Zakat dan Wakaf, Surabaya: al-Ikhlas, 1997.
Jusmaliani, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Kompilasi Hukum Islam (KHI), bab I, pasal 215, ayat (1).
Mubarok, Jaih. Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rektama Media, 2008.
PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
Wahyudi “Sejarah dan Perkembangan Wakaf”, http://bwindonesia.net/index.php?
option=com_content&task=view&id =58&Itemid=54.

14

Anda mungkin juga menyukai