Anda di halaman 1dari 28

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari “bahasa Arab: ‫(وقف‬waqafa), jamaknya

‫(اوقاف‬awqaf) yang berarti perbuatan yang dilakukan wakif untuk menyerahkan

sebagian atau keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah

dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.”1

Menurut Rachmadi Usman pengertian wakaf adalah “berhenti atau

menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk

penggunaan yang mubah, serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah

SWT.”2

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian

wakaf adalah menahan sesuatu harta dari pada pewakafdan memberikan

manfaatnya untuk kebajikan dan kepentingan agama dan umat Islam atau kepada

penerima wakafyang telah ditentukan oleh pewakafsebagaimana yang dinyatakan

didalam hukum wakafdari pertama harta itu diwakafkan sampai pada akhirnya

semata-mata karena Allah SWT untuk selama-lamanya dan tidak boleh diambil

kembali atau dimiliki oleh pihak lain.

Oleh karena itu, perlu kiranya kita kaji, analisis dan terapkan strategi

pengelolaan dalam rangka pengembangan wakafsecara berkesinambungan agar

harta wakaf berguna dalam pemberdayaan ekonomi umat.Namun untuk


1

Rahmat Syafe’I, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005), hal. 124.
2

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
51

13
14

melakukan optimalisasi fungsi wakaf dan pengembangannya disini perlu

berpedoman pada aspek-aspek hukum mengenai wakaf sebagaimana dipraktekkan

dalam sejarah Islam. Berdasarkan hal tersebut kita perlu lebih memikirkan dan

mengoptimalkan cara mengelola wakaf yang ada supaya dapat mendatangkan

kemanfaatan semua pihak, baik bagi wakif maupun mauquf ‘alaih (masyarakat).

Sedangkan menurut istilah (syara’) yang dimaksud dengan

wakafadalahsebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama yaitu sebagai

berikut:

1. Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud

dengan wakaf ialah:

‫حبس مال ميكن االءنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف ىف رقبته على مصرف مباح موجود‬

Artinya: “Penahan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertaidengan

kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf

(penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif (pengelola) yang

dibolehkan adanya.”3

2. Imam Taqiy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni dalam kitab

Kifayat al-Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf

adalah:

‫ممنوع من التصرف ىف عينه وتصرف منا فعه ىف الرب تقربا اىل اهلل تعاىل‬

Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza, (Dar al-Ihya al-
Kutub: Indonesia, t. t.), hal. 81.
15

Artinya: “penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan

kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola

manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.”4

3. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf

ialah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tidak musnah

seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan

untuk mendapat ridha Allah.5

4. Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah

menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekal

zatnya (‘ain)-nya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah

ditentukan syara’, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang

dimanfaatkannya itu.6

Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh para ulama di atas, kiranya

dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu

benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna

diberikan di jalan kebaikan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa wakaf

dilakukan untuk suatu tujuan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam ikrar

wakaf.Dalam menentukan tujuan wakaf berlaku asas kebebasan kehendak dalam

batas-batas tidak bertentangan dengan hukum syari’ah.


4

Abi Bakr bin Muhammad Taqiy al-Din, Kifayat al-Akhyar, (PT Al-Ma’arif: Bandung, t.
t.), hal. 119.
5

Ahmad Azhar Basyir, Wakaf; Ijarah dan Syirkah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2011) hal.
5.
6

Idris Ahmad, Fiqh Al-Syafi’iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986), hal. 156.
16

Sedangkan pengertian wakaf menurut para ulama mazhab adalah sebagai:

1. Menurut Imam Abu Hanifah wakaf adalah menahan suatu benda yang
menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan
manfaatnya untuk kebajikan.
2. Mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: tidak melakukan suatu
tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak milik,
dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan
(sosial), baik sekarang maupun akan datang.
3. Menurut Imam Malik berpendapat bahwa sesuatu yang diwakafkan itu
bisa untuk selamanya atau boleh dalam waktu tertentu artinya boleh
tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif
namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat
melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan
wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh
menarik kembali wakafnya. Perbuatan menjadikan manfaat hartanya
untuk digunakan oleh mauquf bih (penerima wakaf), walaupun yang
dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat
digunakan seperti mewakafkan uang.
4. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal mendefinisikan wakaf
adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang
berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
5. Menurut Mazhab Imamiyah mengatakan bahwa mazhab lain sama
dengan mazhab Syafi’I dan Ahmad Ibn Hanbal, namun berbeda dari
segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik
mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf ‘alaih tidak
berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik
menjual atau menghibahkan.7

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dijelaskan bahwa adanya perbedaan

diantara pengertian dari wakaf.Suatu hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu

perbedaan kecenderungan dalam hal penguasaan terhadap benda yang

diwakafkan.Dari definisi di atas, tampak jelas bahwa para ulama memandang

kepemilikan benda wakaf sama sekali terlepas dari tangan wakif. Artinya antara

Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, Fiqif Empat Mazhab,


(Bandung: Masyim, 2012), hal. 289.
17

benda wakaf dan manfaatnya harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak

lagi menjadi hak milik wakif.

Wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang

diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran

syari’ah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan dalam pasal 5

UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan

potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan

untuk memajukan kesejahteraan umum.

Sedangkan dalam ungkapan para ulama terlihat bahwa benda wakaf tetap

menjadi hak milik wakif dan hanya manfaatnya saja yang diambil untuk

kepentingan kemaslahatan umum. Oleh karena itu, pemilikan harta wakaf tidak

lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh

menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli

warisnya.Jadi, yang timbul dari wakaf hanyalah menyumbangkan manfaat.

Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu

sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda

itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya

untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan

benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan diperbolehkan berlaku untuk

suatu masa tertentu atau untuk selamanya sesuai niat si wakif. Setelah sempurna

prosedur perwakafan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang

diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya

kepada yang lain, baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak.
18

Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh

ahli warisnya.Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada

mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif

tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut.Apabila

wakifmelarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada

mauquf ‘alaih.

1. Ijma’ para Ulama Mazhab tentang Wakaf Tanah

Para ulama mazhab juga sepakat tentang kebolehan wakaf dengan barang-

barang yang tidak bergerak, misalnya tanah, rumah dan kebun.Mereka juga

sepakat, kecuali Hanafi tentang sah wakaf dengan barang-barang bergerak, seperti

binatang dan sumber pangan.Manakala pemanfaatannya bisa diperoleh tanpa

menghabiskan barang itu sendiri.Selanjutnya para ulama mazhab sepakat pula

tentang keabsahan mewakafkan sesuatu dengan ukuran yang berlaku di

masyarakat.Misalnya sepertiga separuh dan seperempat, kecuali pada masjid

kuburan.Sebab kedua benda yang disebut belakangan ini tidak bisa dijadikan

kongsi.8

2. Wakaf menurut KHI

Pengertian wakaf dirumuskan dalam ketentuan pasal 215 ayat (1) KHI:

“Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan

hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya

untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya

Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat, Ciputat Press, 2005), hal. 71.
19

sesuai dengan ajaran Islam.”9Benda milik yang diwakafkan tidak hanya benda

tidak bergerak (benda tetap), tetapi juga dapat benda bergerak asalkan benda yang

bersangkutan memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai.

Ketentuan pasal 215 ayat (4): “benda wakaf adalah segala benda baik

benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya

sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.” 10 Karena fungsi wakaf disebutkan

dalam pasal 216 KHI: “Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf

sesuai dengan tujuan wakaf.”11Dengan demikian, fungsi wakaf disini bukan

semata-mata mengekalkan objek wakaf, melainkan mengekalkan manfaat benda

wakaf.

B. Dasar Hukum Wakaf

1. Al-Qur’an

Setiap perbuatan manusia yang menyangkut dengan kitab Allah SWT

tidak terlepas dari hukum yang telah ditentukan oleh syara’, seperti wajib, haram,

sunnah, makruh dan mubah.Wakaf merupakan kitab Allah SWT yang khairu

jazim (boleh mengerjakan boleh meninggalkan) artinya sunnah Rasulullah SAW.

Allah SWT telah mensyariatkan wakaf sebagai salah satu cara

mendekatkan diri kepada Allah, mereka yang jahiliyah tidak mengenal arti wakaf,

tetapi wakaf itu diciptakan dan diserukan oleh Rasulullah SAW karena kecintaan

Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
65.
10

Ibid, hal. 66.


11

Ibid, hal.66.
20

beliau kepada orang-orang fakir dan kepada tempat yang membutuhkannya.

Adapun landasan hukum wakaf menurut para ulama adalah:

Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 92, yang berbunyi:

) ۹٢ :‫الرب حىّت تنفقوا ممّا حتبّون وما تنفقوا من شيء فاء ّن اهلل به عليم (ال عمران‬
ّ ‫لن تنالوا‬

Artinya: “Kamu tidak akan mencapai kebaikan sehingga kamu menafkahkan

sebagian harta kamu yang kamu cintai dan apa saja yang kamu

nafkahkan, sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui.”(Ali Imran:

92).12

Seorang manusia tidak mungkin memberikan sesuatu yang sangat dicintai,

kecuali tersambung dengan sebab memberikan yang sangat dicintai kepada yang

memperoleh yang lebih baik dari pada sesuatu yang telah diberikan. Berdasarkan

tabiat manusia demikian, jelaslah wakaf yang terbaik diantara bermacam-macam

infak karena wakaf mayoritas ulama berpendapat adalah sedekah yang tidak

berakhir pahalanya dibandingkan dengan sedekah-sedekah yang lain. Dalam surat

Al-Hajj ayat 77, Allah SWT berfirman:

)۷٧ :‫يا ايها الذين آمنوا اركعوا واسجدوا واعبدوا ربّكم وافعلوا اخلري لعلّكم تفلحون (احلج‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,

sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat

kemenangan.”(Al-Hajj: 77).13

12

Mahmud Yunus, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung: Al-Ma’arif, 2005), hal. 113.
13

Ibid, hal. 662.


21

Berbuat kebajikan terbagi kepada beberapa macam, melaksanakan seluruh

perintah Allah SWT, menyayangi semua makhluk dengan cara memperhatikan

kebutuhannya baik dengan cara menolong dengan tenaga ataupun dengan harta

yang bermanfaat dan pertolongan dengan harta yang memberi faedah buat

sipemberi sampai ke alam kubur tidak akan berakhir pahalanya. Selanjutnya

Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 262 yang bunyinya:

‫د رهبم وال‬HH‫رهم عن‬HH‫ا وال أذى هلم أج‬HHّ‫وا من‬HH‫ا أنفق‬HH‫ون م‬HH‫بيل اهلل مّث ال يتبع‬HH‫واهلم يف س‬HH‫ون أم‬HH‫ذين ينفق‬HH‫ال‬

)۲٦٢ :‫خوف عليهم وال هم حيزنون (البقرة‬

Artinya: “orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian


mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati.”(Al-Baqarah: 262).14

Ayat ini terkhusus menginfak kepada orang lain atau kepada suatu

lembaga yang dibolehkan pada jalan Allah, karena diturunkan ayat ini pada saat

Usman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf menginfak keduanya dijalan Allah.

Adapun Usman bin Affan, menyiapkan tentara pemberani pada peperangan tabuk

beserta seribu unta sekalian pelananya dan membekali tentara tersebut dengan

seribu dinar. Sementara Abdurrahman bin ‘Auf bershadaqah setengah dari pada

hartanya. Tujuan daripada sahabat Rasulullah SAW tersebut untuk mengharap

keridhaan dan pahala di sisi Allah SWT dengan catatan tidak menyebut-nyebut

setelah memberi dan tidak menyakiti perasaan sipenerima.

14

Ibid, hal. 82.


22

Dari sejarah dua sahabat Rasulullah tersebut dapat kita pahami bahwa,

pemberian keduanya yang berdasarkan firman Allah SWT merupakan wakaf

dijalan Allah, karena benda yang diberikan oleh Usman bin Affan adalah benda

yang utuh yaitu unta beserta pelananya. Dan juga yang diinfak oleh Abdurrahman

bin ‘Auf merupakan harta.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 267 Allah SWT juga berfirman yaitu:

‫وا اخلبيث‬H‫ا لكم من االرض وال تيمم‬H‫ا أخرجن‬Hّ‫بتم ومم‬H‫ا كس‬H‫ات م‬H‫وا من طيب‬H‫وا أنفق‬H‫ذين آمن‬H‫يا أيّها ال‬

)٢٦٧ : ‫غين محيد (البقرة‬


ّ ‫منه تنفقون ولستم بآخذيه إال أن تغمضوا فيه واعلموا أ ّن اهلل‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian


dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumiuntuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji,”(Al-Baqarah: 267).15

2. Hadits

Hadits merupakan dalil kedua setelahAl-Qur’an yang mana hadits dapat

mengkhususkan isi kandungan Al-Qur’an yang dalalahnyasecara umum. Di

antara hadits-hadits yang berhubungan dengan wakaf yaitu:

‫ اذا مات االنسان انقطع عمله اال من‬: ‫عن ايب هريرة ان رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال‬

)‫ صدقة جارية او علم ينتفع به او ولد صاحل يدع له (رواه مسلم‬: ‫ثالثة اشياء‬

15

Ibid, hal. 54.


23

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “bila manusia

mati terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah,

ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang mendoakan

kepadanya (Diriwayatkan oleh Muslim).”16

Berdasarkan hadits di atas maka dapat dijelaskan bahwa amal orang yang

telah meninggal terputus pembaharuan pahalanya, kecuali semasa dalam

kehidupannya pernah melakukan amalan yang tak akan putus pahalanya,

walaupun amalan tersebut sekarang orang lain yang melakukannya, namun

pahalanya tetap sampai kepada orang yang telah meninggal disebabkan

amalannya sewaktu masih hidup. Para ulama berpendapat bahwa sedekah jariyah

yang terdapat dalam hadits dipertanggungkan kepada wakaf dan anak yang shaleh

dipertanggungkan kepada orang Islam.

‫ت‬H‫ اصاب عمر ارضا خبيرب فاتى النيب صلى اهلل عليه وسلم يس‬: ‫عن ابن عمر رضى اهلل عنهما قال‬

‫ه‬HH‫دى من‬HH‫و انفس عن‬HH‫ط ه‬H ‫اال ق‬HH‫ب م‬HH‫رب مل اص‬HH‫ا خبي‬HH‫بت ارض‬HH‫ول اهلل إين أص‬HH‫ا رس‬HH‫ ي‬: ‫ال‬HH‫ا فق‬HH‫ره فيه‬HH‫أم‬

‫دقت هبا‬HH‫لها وتص‬HH‫ت اص‬HH‫ت حبس‬HH‫لم ان ش‬HH‫ه وس‬HH‫لى اهلل علي‬HH‫ول اهلل ص‬HH‫ال رس‬HH‫ه ؟ فق‬HH‫رىن ب‬HH‫ات أم‬HH‫فم‬

‫رىب وىف‬HH H ‫راء وىف الق‬HH H ‫دق هبا ىف الفق‬HH H ‫ورث ؟ وتص‬HH H ‫ع وال حتب وال ت‬HH H‫ اهنا ال تب‬: ‫ر‬HH H ‫دق هبا عم‬HH H ‫فتص‬

‫املعروف‬HH ‫ا ب‬HH ‫ل منه‬HH ‫ا ان ياءك‬HH ‫اح على من وليه‬HH ‫يف ال جن‬HH ‫بيل و الض‬HH ‫بيل اهلل وابن س‬HH ‫اب وىف س‬HH ‫الرق‬

)‫ويطعم غري متمول (روه الشيخان‬


16

Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad, (Jakarta:
Gema Insani, 2002), hal. 117.
24

Artinya: “Dari Ibnu ‘umar r.a. dia berkata: ‘Umar telah mendapatkan sebidang
tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi SAW untuk minta
pertimbangan tentang tanah itu, maka katanya: “wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dimana aku
tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya,
maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan
dengannya?” Maka kata Rasulullah SAW kepadanya: “jika engkau suka,
tahanlah tanah ini dan engkau sedekahkan manfaatnya. Maka ‘Umar pun
menyedekahkan manfaatnya, dengan syarat tanah itu tidak akan dijual,
tidak diberikan dan tidak diwariskan.Tanah itu dia wakafkan kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, sabilillah, ibnus-sabil dan tamu. Dan
tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan
sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa
menganggap tanah itu miliknya sendiri. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
dan muslim).17

Hadits ini jelas sekali menggambarkan tentang hukum wakaf berdasarkan

perbuatan seorang sahabat Rasulullah SAW melalui anjuran-Nya, dan juga dapat

kita pahami dalam hadits ini kemana tempat yang mesti diwakafkan, bagaimana

benda tersebut setelah menjadi harta wakaf dan tidak berdosa orang yang

mengurusinya mengambil sedikit dari hasil harta wakaf tersebut.

Praktek perwakafan telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena

wakaf disyariatkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah pada tahun kedua

Hijriyah.Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang pertama

kali melaksanakan wakaf.Pendapat pertama menyatakan bahwa yang pertama kali

melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yaitu wakaf tanah Rasulullah SAW

untuk dibangun masjid. Hal ini karena ada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan

oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: “kami bertanya

tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah

17

Ibid, hal. 160.


25

wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakafRasulullah

SAW.”18

3. Ijma’

Selain dasar dari Al-Qur’an dan hadits di atas, para ulama sepakat (ijma’)

menerima wakaf sebagai suatu amal jariyah yang disyariatkan dalam Islam.Tidak

ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena

telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat

Nabi SAW dan kaum muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.

4. Ijtihad

Ketentuan-ketentuan detail mengenai perwakafan didasarkan kepada

ijtihad para ahli hukum Islam.

C. Rukun dan Syarat Wakaf

Adapun rukun wakaf menurut Jalaluddin Mahalli aadalah:

1. Waqif (orang yang mewakafkan) yaitu pihak yang mewakafkan yang


mempunyai kecakapan hukum atau ahli dalam membelanjakan hartanya,
kecakapan itu ada empat kriteria yaitu:
a. Merdeka
b. Berakal sehat
c. Dewasa
d. Tidak di bawah pengampunan (mahjur ‘alaih)
2. Mauquf ‘alaih (pihak yang menerima wakaf) yaitu orang yang
berwewenang mengelola harta wakaf yang sering disebut nadhir,
kadangkala juga diartikan peruntukan harta wakaf.
3. Mauquf (harta yang diwakafkan) yaitu setiap benda yang diwakafkan
harus ditentukan dengan jelas mana benda yang akan diwakafkan, milik
sendiri yang bisa menghasilkan faedah seperti buah-buahan atau bisa
menghasilkan manfaat yang bisa disewakan dari benda terebut, benda
yang diwakafkan harus utuh bentuknya dan tahan lama supaya menjadi
sedekah jariyah.

18

Ibid, hal. 189.


26

4. Sighat atau iqrar (pernyataan atau ikrar wakif sebagai kehendak untuk
mewakafkan hartanya) yaitu suatu pernyataan penyerahan harta benda
wakaf. Dalam hal ini yang nampak perberdaan adalah bentuk pernyataan
apakah lisan baik shareh, kinyah ataupun tindakan. Pernyataan yang
berbentuk shareh seperti wakaftu, sabbaltu, habbastu kaza ‘ala kaza,
ataupun berkata “tanahku diwakafkan atau aku ridha menjadi wakaf di
atasnya.” Dan jika berkata “aku bersedekah dengan demikian di atas
demikian sebagai sedekah yang diharamkan atau shadaqah selamanya atau
sedekah yang tidak boleh dijual, tidak boleh dihibbah, tidak boleh
diwariskan.” Semua ucapan demikian merupakan pernyataan yang jelas
tertuju kepada wakaf. Sighat dinyatakan sah apabila melengkapi hal-hal
sebagai berikut”
a. Nama dan identitas pewakif
b. Nama dan identitas nadhir
c. Data dan keterangan harta benda wakaf
d. Peruntukan harta benda wakaf
e. Jangka waktu wakaf.19

Sedangkan syarat adalah “sesuatu yang dinisbahkan (dikaitkan) hukum

kepadanya, untuk terwujudnya hukum itu terlebih dahulu harus memenuhi suatu

syarat tersebut dan tidak pasti dengan terwujudnya syarat bisa menyebabkan

terwujudnya suatu hukum.”20 Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat

dijelaskan bahwa syarat menyangkut sesuatu dengan hal yang lain artinya bila

wujud yang pertama ada maka baru diperdapatkan wujud yang kedua.

Menurut Zakaria Anshari, syarat dari wakaf tersebut ada enam macam

yaitu:

1. Lafadz/ucapan wakaf
2. Pewakaf merupakan orang yang cakap hukum
3. Orang yang menerima wakaf harus ada saat berlangsungnya wakaf
4. Barang yang diwakaf harus mampu diserah terimakan ketika diwakaf
5. Barang yang diwakafkan harus tetap manfaatnya
6. Tempat diwakaf tidak boleh kepada maksiat

19

Jalaluddin Mahalli, Minhajjut Thalibin, Juz. III, (Indonesia, Darul Ihya, t. t), hal. 98.
20

Muhammad Jarjani, Ta’rifat, (Jakarta: Darul Hikmah, t. t), hal 123.


27

Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa ikrar

(pernyataan) wakaf adalah pernyataan kehendak untuk melakukan wakaf dan

harus dilakukan secara lisan atau tulisan oleh wakif secara jelas dan tegas kepada

nadhirdihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan

2 orang saksi.PPAIW kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar wakaf,

selanjutnya adalah nadhir, hal ini dapat terdiri dari perorangan, organisasi atau

badan hukum.Apabila perorangan, nadhirharus memenuhi syarat-syarat berupa

dewasa, sehat akal dan cakap bertindak hukum.

Sementara dalam hal akad wakaf semua mazhab menyatakan bahwa

“wakaf adalah akadtabarru’ yaitu transaksi sepihak yang sah sebagai suatu akad

yang tidak diperlukan kabul dari pihak penerima wakaf, sebagai suatu bentuk

perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya kemestiaan penataan kepada

apayang dinyatakan dari kehendak perbuatan hukum itu oleh pihak yang

berkepentingan.”21

Suatu benda yang diwakafkan baru dianggap sah apabila melengkapi:

1. Benda tetap atau bergerak, secara menyeluruh yang dijadikan sandaran


dalam perwakafan tanah atau benda lain dilihat dari kekekalan fungsi atau
manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang bergerak maupun barang
yang tidak bergerak.
2. Benda yang diwakafkan benar-benar menjadi milik tetap si pewakifketika
berlangsung akad wakaf. Oleh karena demikian, jika seseorang
mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya, maka
hukumnya tidak sah menurut syara’ walaupun barangnya nanti menjadi
miliknya.
3. Benda yang diwakafkan harus ditentukan, yaitu diketahui ketika akad
wakaf. Wakaf yang tidak disebutkan secara jelas terhadap harta yang
diwakafkan tidak diakui dan tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan

21

Zainuddin Malibari, Fathul Mu’in, Jilid III, (Semarang: Hikmah Keluarga, t. t), hal.
156.
28

sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah budak, kitab-kitab atau buku-buku


dan lain-lain.
4. Benda yang diwakafkan mungkin dimiliki dan diambil manfaat oleh
mauquf ‘alaih (orang atau lembaga penerima wakaf) kapanpun diperlukan.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa benda wakaf

adalah segala sesuatu benda baik yang bergerak ataupun tidak bergerak.Benda ini

disyaratkan memiliki daya tahan dan tidak habis hanya sekali pakai dan bernilai

menurut ajaran Islam.Selain itu benda yang diwakafkan adalah milik pelaku

wakaf, bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.Dalam mazhab

Hanafi benda wakaf juga dapat berupa uang, yaitu dinar dan dirham. Disini jelas

bahwa uang dapat ditahan pokoknya dan diambil hasilnya, seperti uang yang

ditempatkan dalam deposito mudharabah, misalnya: menghasilkan keuntungan

yang dapat di maanfaatkan tanpa menghabiskan pokoknya, sesuai dengan konsep

wakaf berupa menahan pokok dan mengambil manfaat.

D. Manfaat Wakaf dan Tujuan Wakaf

1. Manfaat Wakaf

Adapun manfaat dari harta wakaf adalah:

a. Sebagai salah satu cara untuk beribadah kepada Allah SWT.

b. Membuka jalan bagi orang beriman yang suka memberi wakaf dan

berlomba-lomba dalam amal kebajikan dan mengharapkan pahala.

c. Memberi pahala yang berterusan kepada pewakaf selepas kematian

sebagaimana harta wakaf tersebut kekal dimanfaatkan.

d. Untuk kebaikan Islam, seperti membina masjid, surau, tanah

perkuburan, sekolah, dan pesantren.


29

e. Membantu mengurangkan beban orang fakir dan miskin serta anak

yatim.22

Manfaat wakaf pada umumnya adalah untuk kepentingan bersama atau

untuk kemaslahatan umat dalam pembahasan ulama tentang wakaf, sesungguhnya

telah cukup maju.Banyak gagasan yang mereka kemukakan sudah mengantisipasi

perkembangan zaman.Ulama madzhab Maliki misalnya membolehkan

mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan, dan membolehkan mewakafkan

uang.Ulama madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali berpendapat bahwa baik

harta bergerak, seperti mobil dan hewan, maupun harta tidak bergerak seperti

rumah dan tanaman, boleh diwakafkan.

Bebepara Ulama terdahulu seperti Az-Zuhri (wafat tahun 124 H)

berpendapat bahwa boleh mewakafkan dinar dan dirham.Caranya ialah

menjadikan dinar dan dirham tersebut sebagai modal usaha (dagang) kemudian

menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.Menurut Madzhab Hanafi (Wahbah

Al-Zuhaily, 1997) bahwa uang yang diwakafkan dijadikan modal usaha dengan

sistem mudlarabah atau sistem bagi hasil lainnya.Keuntungan dari bagi hasil

diberikan untuk kepentingan umum.23

Dangan demikian dapat diketahui bila wakaf itu dijalankan atau dilakukan

menurut semestinya akan meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat

sehingga terbentuklah atau terjalinlah hubungan yang harmonis antara si kaya

dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya dengan si miskin akan timbul rasa
22

Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarahdan Syirkah, (Bandung: PT Al-
Ma’arif, 2011), hal. 6-7.
23

Departemen Agama R.I., Tanya Jawab Wakaf Uang, (Jakarta, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Pemberdayaan Wakaf, 2011), hal. 27.
30

syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan rezeki kepadanya, disamping itu

akan timbul rasa hormat kepada si kaya yang telah menolongnya.

Akhirnya timbul sinar keimanan bagi setiap individu dan terhindarlah dari

segala perpecahan dan perselisihan di antara anggota masyarakat.Memang inilah

yang di harapkan dan menjadi sasaran dari ajaran agama Islam.

Manfaat barang wakaf bersifat terus-menerus dari sesuatu barang yang

jelas yang dapat dimanfaatkan, dan wujud barang tersebut masih tetap

ada.Misalnya mewakafkan barang yang tidak bergerak, hewan dan yang

sejenisnya.Barang yang diwakafkan harus memenuhi syarat yaitu mengandung

unsur manfaat.Adapun sesuatu yang tidak mengandung manfaat, maka tidak sah

mewakafkannya sebagaimana tidak diperbolehkan menjualnya.Barang wakaf

tersebut harus mengandung manfaat yang berkelanjutan, apabila barang yang

diwakafkan mengandung manfaat yang berlangsung dalam rentang waktu tertentu,

maka tidak diperbolehkan mewakafkannya.24

Barang yang diwakafkan dari sesuatu yang jelas bukan sesuatu barang

yang masih samar, sesuatu barang yang masih samar tidak dibolehkan. Misalnya

seseorang mengatakan: “Aku wakafkan salah satu rumahku.” Maka wakaf seperti

ini tidak sah sebab penentuannya masih samar dan tidak jelas. Dari ungkapan ini

menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan hukum apakah nilai barang tersebut

sama atau tidak sama, sebab orang yang berwakaf tidak menentukan barang yang

24

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat,
(Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), hal. 21.
31

diwakafkan secara pasti. Yang benar, jika nilai barangnya sama maka wakaf

tersebut sah.25

Dari perkataan di atas menunjukkan bahwa tidak disyaratkan barang yang

diwakafkan dapat diketahui. Sekiranya seseorang mewakafkan salah satu properti

yang ia miliki tanpa ia ketahui property yang mana, maka wakafnya tersebut sah.

Sebab, properti tersebut telah jelas keberadaannya.Sedangkan menurut mazhab

Hanbali akad ini tidak sah. Sebab barangnya tidak diketahui, dan jika barang

tersebut tidak diketahui, maka boleh jadi jumlahnya lebih banyak dari apa yang

telah dibayangkan oleh orang yang mewakafkannya. Namun, pendapat yang lebih

kuat adalah bahwa wakaf tersebut sah.Sebab, sebenarnya orang tersebut tidak

dipaksa untuk mewakafkan hartanya, dan wakaf sendiri bukanlah sebuah

persengketaan. Masalah ini sama seperti seseorang yang bersedekah dengan

sejumlah dirham yang tidak ia ketahui jumlahnya. Sedekah orang tersebut adalah

sah dan ia tidak boleh membatalkannya. Sebab, ia telah bersedekah dan berderma.

Oleh karenanya, pendapat yang lebih kuat adalah boleh mewakafkan sesuatu yang

jelas, meskipun tidak diketahui yang mana barangnya.Sebab, wakaf adalah murni

sedekah.Jika seseorang melakukannya, maka hukumnya pun sah.26

Dapat disimpulkan bahwa barang yang diwakafkan harus mengandung

manfaat, manfaatnya tersebut bersifat terus-menerus, barang yang diwakafkan

berupa barang yang jelas dan dapat dimanfaatkan dengan tetap mempertahankan

keberadaannya.

25

Ibid, hal. 22.


26

Ibid, hal. 24.


32

Fungsi wakaf menurut PP itu adalah mengekalkan manfaat benda wakaf,

sesuai dengan tujuan wakaf yakni untuk kepentingan peribadatan dan keperluan

umum lainnya.Agar wakaf itu dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka

pelembagaannya haruslah untuk selama-lamanya.Syarat pelembagaan untuk

selama-lamanya ini, menunjukkan pengaruh kuat mazhab Syafi’i (juga dari

mazhab Hambali), seperti telah disinggung di muka. Untuk memenuhi fungsi

yang demikian itu pula, maka harta kekayaan yang dipisahkan itu haruslah tanah

milik, karena hak milik atas tanah menurut Hukum Agraria Indonesia adalah hak

turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh seseorang atas

tanah. Dan agar benda wakaf itu tetap dapat bernanfaat bagi peribadatan dan atau

keperluan umum lainnya, maka ia harus dikelola oleh suatu badan yang

bertanggung jawab baik kepada wakif, masyarakat, maupun kepada Allah SWT

yang menjadi pemilik mutlak benda wakaf itu. Itulah sebabnya maka di dalam

sistem perwakafan tanah milik di Indonesia, ditentukan pula kedudukan

nadhiryaitu kelompok orang atau badan hukum yang diserahkan tugas

pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.Pengurus wakaf atau nadhir wakaf ini,

menurut PP itu merupakan salah satu unsur wakaf.Tanpa adanya unsur ini wakaf

dianggap tidak sah di Indonesia.27

2. Tujuan Wakaf

Dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebaikan, yang

mengantarkan seseorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya, baik tujuan

umum maupun tujuan khusus.


27

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet. I, (Jakarta: UI-
Press, 2006), hal. 105.
33

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum wakaf bahwa Allah SWT telah telah mewajibkan

hamba-Nya untuk saling bekerja sama, bahu membahu, saling kasih sayang.

Rasulullah SAW “menggambarkan keadaan sesama muslim dalam kecintaan dan

kesayangan di antara mereka dengan gambaran satu tubuh, jika salah satu organ

tubuh sakit maka seluruh anggota tubuh lainnya akan kesakitan pula.”28

Tidak diragukan lagi bahwasanya diantara kebaikan dalam wakaf ini

adalah insaf dalam fisabilillah, untuk membantu persatuan umat Islam, membantu

meningkatkan rasa persatuan dan tanggung jawab menjaga dan menolong agama

dan umat Islam.Maka jenis-jenis infak begitu teramat banyak macam dan jenisnya

dan tidak diragukan lagi bahwa di antara infak yang terpenting saat ini adalah

menahan harta benda namun bisa mengalirkan manfaatnya.Wakaf memiliki

keistimewaan lain daripada sedekah lainnya, ia bisa memlihara segala

kepentingan publik, kehidupan masyarakat, mendukung sarana dan prasarana

kemasyarakatan.

Wakaf memiliki keistimewaan lain daripada infaq-infaq/sedekah lainnya,

ia bisa memelihara berbagai kepentingan publik, kehidupan masyarakat,

mendukung sarana dan prasarana kemasyarakatan secara kontinyu.

Keistimewaan wakaf yaitu di dalam wakaf ada sejumlah manfaat dan

maslahat yang tidak kita peroleh dalam sedekah-sedekah lainnya, karena manusia

terkadang menginfakkan banyak hartanyafi sabilillah kemudian habis, pada saat

yang sama di sana ada fakir miskin yang membutuhkan bantuan, sebagian fakir

28

Zainuddin Malibari, Fathul…, hal. 160.


34

miskin lagi terbengkalainya urusannya, maka tidak ada yang lebih baik dan lebih

manfaat untuk seluruh masyarakat selain menahan sesuatu harta dan mengalirkan

manfaat untuk fakir miskin dan ibnu sabil.

Wakaf juga dimana dengannya menjadi lestari harta benda berdasarkan

hukum Allah dan tersalurkan manfaatnya untuk kemaslahatan umum adalah satu

jenis dari sedekah jariyah setelah orang yang bersedekah itu wafat, kebaikannya

terasakan oleh semua orang dan berlipat-gandalah pahalanya, serta terselesaikan

berbagai kebutuhan fakir miskin.Pengembangan berbagai sarana sosial, misalnya

rumah sakit, sarana layanan kesehatan, menyantuni ibnu sabil, penanganan

pengungsi, anak yatim, menanggulangi bencana kelaparan, gizi buruk.Maka

jadilah wakaf sebagai sebab bangkitnya masyarakat dan bukan kehancuran.

b. Tujuan Khusus

Sebenarnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting yaitu

pengkaderan, generasi dan sumber daya manusia dan lain-lain. Karena, manusia

menunaikan wakaf untuk tujuan yang sangat baik, semuany tidak keluar dari

koridor syariat Islam di antaranya:

1) Membela agama, yaitu beramal untuk keselamatan hamba pada akhir


kelak nanti. Maka wakafnya tersebut menjadi sebab keselamatan,
penambahan pahala dan mungkin juga untuk pengampunan dosa.
2) Memelihara hasil capaian manusia, manusia menggerakkan hasratnya
untuk selalu terkait dengan apa yang ia miliki, memelihara peninggalan
orangtuanya dan keluarganya. Maka ia mengkhawatirkan atas
kelestarian dan kelanggengan harta peninggalan tersebut, ia khawatir
anak-anaknya akan melakukan pemborosan, dan hura-hura. Maka, ia
pun menahan harta benda tersebut dan mendayagunakannya, hasilnya
bisa dinikmati oleh anak keturunannya ataupun public, adapun pokok
hart tetap lestari.
3) Menyelamatkan keadaan sang wakif, misalnya ada seseorang yang
merasa asing, tidak nyaman dengan harta benda yang ia miliki, atau
merasa asing dengan masyarakat yang ada di sekelilingnya, atau
35

khawatir tidak ada yang mengurus harta bendanya nanti setelah ia


meninggal karena tidak ada keturunan dan sanak saudara, maka dalam
keadaan seperti ini yang terbaik baginya adalah menjadikan harta
bendanya tersebut dijalan Allah SWT sehingga bisa menyalurkan
manfaatnya dari hasil harta tersebut ke berbagai sarana publik.
4) Memelihara keluarga, yaitu untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan orang-orang yang ada dalam nasabnya, dalam keadaan
seperti seseorang mewakafkan hartanya untuk menjamin kelangsungan
hidup anak keturunannya.
5) Memelihara masyarakat, bagi orang-orang yang mempunyai pengaruh
besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat, maka ia mewakafkan
harta bendanya untuk tujuan itu, dengan harapan bisa menopang
berbagai tanggung jawab urusan sosial kemasyarakatan.29

Memelihara masyarakat, bagi orang-orang yang memiliki atensi besar

terhadap kelangsungan hidup masyarakat, maka ia mewakafkan harta bendanya

untuk tujuan itu, dengan harapan bisa menopang berbagai tanggung jawab urusan

sosial kemasyarakatan.

Mengenai hal wakaf dalam Islam dikenal ada dua macam pelaksanaan

wakaf, kedua pelaksanaan tersebut sering dilakukan dalam praktek kegiatan

perwakafan di kalangan masyarakat Islam, baik pada masa Rasulullah SAW

maupun pada masa sesudahnya hingga saat ini.

E. Perubahan dan Pengalihan Harta Wakaf

Tentang perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat

ketat pengaturannya dalam mazhab Syafi’i. Namun demikian, berdasarkan

keadaan darurat dan prinsip maslahat, di kalangan para ahli hukum (fikih) Islam

mazhab lain, perubahan itu dapat dilakukan. Ini disandarkan pada pandangan agar

manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai sedekah jariyah, tidak mubazir

29

Nasaruddin Umar, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat


Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2007), hal. 21.
36

karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.Dengan perubahan itu, status

benda itu sebagai harta wakaf pada hakikatnya tidaklah berubah. Misalnya,

dengan menukar tempat tanah wakaf, status wakaf tidaklah berubah, karena

dengan pertukaran tempat itu seakan-akan tanah wakaf itu dipindahkan ke tempat

lain. Ini mungkin terjadi sebab statusnya di tanah asal tidak dapat dipertahankan

lagi karena tidak dapat dimanfaatkan sebagai tanah wakaf.Mengubah peruntukan

(tujuan) wakaf dengan misalnya mengubah peruntukan bangunan yang semula

untuk pemeliharaan anak yatim piatu, menjadi tempat sekolah atau madrasah

dapat dilakukan, karena untuk pemeliharaan anak yatim piatu telah ada gedung

baru atau di tempat itu tidak diperlukan lagi gedung pemeliharaan anak yatim

piatu.Semua perubahan itu dimungkinkan berdasarkan pertimbangan agar tanah

atau harta wakaf itu tetap mendatangkan manfaat.30

Ibnu Qudamah, salah seorang pengikut mazhab Hambali dalam kitabnya

Al-Mughni mengatakan, harta wakaf yang telah mengalami kerusakan sehingga

tidak mendatangkan manfaat lagi seperti tujuannya semula, hendaklah dijual saja.

Harga penjualannya itu dibelikan pada benda lain yang mendatangkan manfaat

sesuai dengan tujuan wakaf semula. Barang yang dibeli dengan menjual harta

wakaf tersebut di atas, mempunyai kedudukan yang sama dengan wakaf semula.31

Melihat kondisi di atas, para ulama berbeda pendapat.Sebagian ulama

Syafi’iyyah (ulama bermazhab Syafi’i) dan Malikiyah (ulama bermazhab Maliki)

berpendapat, bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi, tetap tidak boleh
30

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet. I, (Jakarta: UI-
Press, 2006), hal. 93.
31

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat,Cet. I, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2007), hal. 153.
37

dijual, ditukar atau diganti dan diindahkan.Karena dasar wakaf itu sendiri bersifat

abadi, sehingga kondisi apapun benda wakaf tersebut harus dibiarkan sedemikian

rupa.32

Namun dilain pihak, bahwa benda wakaf yang sudah atau yang kurang

berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai dengan peruntukan yang dimaksud si

wakif, maka Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Abu Tsaur dan Ibnu Taimiyah

berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan

benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan

tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi

kepentingan umum khususnya kaum muslimin.33

Dengan demikian, perubahan dan atau pengalihan benda wakaf pada

prinsipnya bisa dilakukan selama memenuhi syarat-syarat dan dengan

mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-

undang yang berlaku.Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan benda

wakaf itu bertujuan untuk meminimalisir penyimpangan peruntukan dan menjaga

keutuhan harta wakaf agar tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan

eksistensi wakaf itu sendiri.Sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk

meningkatkan kesejahteraan umat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, berkata

“mengganti sesuatu yang diwakafkan dengan yang lebih baik terbagi menjadi

dua”:

32

Ibid, hal. 151.


33

Ibid, hal. 152.


38

a. Menukar atau mengganti karena kebutuhan mendesak, misalnya bangunan

masjid yang rusak dan tidak mungkin dimanfaatkan lagi maka dapat dijual

dan harganya digunakan untuk membeli tanah dan membangun masjid di

tempat lain yang lebih aman. Contoh di atas diperbolehkan karena pada

prinsipnya bila sesuatu yang pokok (asal) tidak lagi mencapai maksud

yang diinginkan pemberi wakaf maka dapat digantikan dengan yang

lainnya dengan cara menjual, dan menukar. Fatwa ini, ini tidak

bertentangan dengan larangan hadits untuk menjual barang wakaf jika

benda itu masih dapat dimanfaatkan secara baik.

b. Mengganti atau menukar karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya di

suatu kampung dibangun sebuah masjid sebagai pengganti masjid lama

yang telah rusak dan letaknya tidak strategis. Kemudian, masjid lama itu

dijual maka hukumnyaboleh menurut Imam Ahmad. Alasan Imam Ahmad

bersandar kepada perilaku Umar bin Khattab yang memindahkan masjid

Kufah yang lama ke tempat yang baru karena tempat yang lama itu

dijadikan pasar bagi penjual tamar. Adapun pada kasus penggantian

bangunan dengan bangunan yang lain, Umar dan Usman pernah

membangun masjid Nabawi tanpa menurut bangunan yang pertama dan

dengan diberi tambahan demikian juga yang terjadi bagi masjidil haram.

Tindakan di atas didasari oleh hadits Nabi yang berkata kepada Aisyah

yang intinya “seandainya kaummu tidak dekat dengan jahiliyyah, tentulah

ka’bah itu akan aku runtuhkan dan aku jadikan dalam dua bentuk yang
39

lebih rendah dan aku jadikan baginya dua pintu: satu pintu untuk masuk

dan satu pintu lagi untuk keluar”.34

Atas dasar ini, maka boleh mengubah bangunan wakaf karena ada

maslahat yang mendesak.Adapun mengganti benda wakafdengan sesuatu yang

lebih produktif yang hasilnya lebih besar, hal ini diperbolehkan menurut Abu

Tsaur.

Akan tetapi, terdapat sahabat yang melarang menggantikan masjid atau

tanah yang diwakafkan.Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan juga Malik.

Mereka beralasan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Umar:

‫اليباع وال يوهب وال يورث‬

Artinya: “Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak

boleh diwariskan”.35

Jumhur ulama menetapkan boleh menggantikan benda wakaf berdasarkan

semangat nash dan qiyas yang lebih cenderung menghendaki kebolehan

menggantikannya karena ada maslahat didalamnya.

Mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbalah

membolehkan penggantian atau perubahan pemanfaatan harta wakaf dengan

beberapa persyaratan, seperti apabila harta wakaf tidak dapat dipertahankan sesuai

dengan tujuan semula dan atau adanya manfaat yang lebih besar dari wakaf

semula.Akan tetapi golongan Syafi'iyah berpendapat bahwa wakaf mesti

34

Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiuddin Shidiq, Fiqh Muamalat, Cet. I,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 143.
35

Ibid, hal. 144.


40

dipertahankan a'in-nya meskipun telah hancur sebagiannya, sedangkan sebagian

lainnya masih dapat dimanfaatkan. Dengan kata lain, menurut golongan Syafi'iyah

harta wakaftidak dapat dialihfungsikan atau dijual dan ganti dengan harta yang

lain.36

Mengenai masalah penggantian barang wakaf, ulama Ja’fariyah sama

dengan ulama Syafi’iyah yang sangat hati-hati dalam membolehkannya. Mereka

berpegangan pada prinsip bahwa hukum asal dari menjual barang wakaf adalah

haram.

Pada dasarnya wakaf adalah abadi dan untuk kesejahteraan.Pada

prinsipnya, wakaftidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual dan tidak boleh

dihibahkan. Menurut Imam Syafi’i, harta wakaf selamanya tidak boleh

ditukarkan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, harta benda wakaf dapat

ditukar jika harta wakaf tersebut sudah tidak dapat dikelola sesuai yang diinginkan

kecuali dengan ditukar atau karena kemaslahatan umum.37

Jadi jelaslah dari beberapa pernyataan diatas bahwa apabila mengganti

tanah wakaf yang tidak sesuai dengan ketentuan Wakif adalah tidak

diperbolehkan.Seperti apabila yang dikehendaki Wakif adalah mewakafkan tanah

untuk dibangun masjid, maka haruslah masjid yang dibangun pada tanah tersebut.

36

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah … hal. 530.


37

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Terjemahan Ahrul Sani


Faturrahman (Depok : Iman Press, 2004), Cet. I, hlm.349-383.

Anda mungkin juga menyukai