Anda di halaman 1dari 18

KONSEP PENDAYAGUNAAN BENDA WAKAF

MAKALAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Hukum Zakat & Wakaf Semester Genap Tahun Akademik 2010/2011 Dosen : H. Aden Rosadi, M.Ag

Nama - Nama Kelompok : 1. Ahmad Ridwan Fauji (1209304002) 2. Entis Sutisna (1209304005) 3. Nurmulya (1209304015)

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2011 M / 1432 H
1

BAB I PENDAHULUAN Dalam pandangan Islam, harta bukanlah milik pribadi. Pemilik harta yang hakiki adalah Allah. Manusia hanyalah sebagai pemegang amanah atas harta itu. Oleh karenanya dalara mengelola kekayaan itu, manusia hanyalah wakil Allah yang terikat oleh ketentuan-ketentuan sebagaimana firman-Nya dalam surat al Hadid ayat 7 yang artinya: Nafkahkanlah sebahagaian dari harta yang kamu jadikan sebagai penguasanya. Salah satu institusi atau pranata sosial Islam di Indonesia yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah lembaga perwakafan sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid yang berarti bahwa segala sesuatu berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah SWT. Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam agama Islam. Prinsip pemikiran harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan dikuasai oleh sekelompok orang yang akan melahirkan eksploitasi kelompok minoritas terhadap mayoritas dan berdampak pada kecemburuan sosial. Maka dalam Islam dikenal lembaga zakat, shadaqah, infaq, perwakafan, dan lembaga lainnya. Keberadaan lembaga wakaf menjadi suatu solusi. Wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi. Karena itu, pendefisinian ulang terhadap wakaf adalah untuk memiliki makna yang lebih relavan dengan kondisi yang rill persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting. Berkaitan dengan masalah wakaf erat kaitannya dengan bagaimana cara menggunakan benda wakaf sehingga benda-benda wakaf tersebut bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis. Pada tulisan yang singkat ini dicoba untuk diungkap persoalan penggunaan benda wakaf di Indonesia, dan beberapa Negara-negara Islam yang lainnya sebagai perbandingan.

BAB II

KONSEP PENDAYAGUNAAN BENDA WAKAF A. Cara-cara Memanfaatkan Benda Wakaf


Objek wakaf tidak bisa menjadi milik penerima wakaf kecuali rnenurut pendapat madzhab Syafii dan Hambali. Hal ini karena maksud utama dari wakaf ini adalah untuk dipergunakan oleh penerima wakaf baik benda bergerak atau benda tidak bergerak. Oleh sebab itu pada dasarnya benda wakaf seperti sebidang tanah tidak boleh dijual, diwarisi dan diberikan kepada orang lain, tetapi ada kekecualian jika benda wakaf itu rusak, tidak dapat lagi diambil manfaalnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lain yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk mengambil manfaat wakaf itu. Hal tersebut didasarkan untuk menjaga kemaslahatan. Apabila wakaf dalam akad wakafnya tidak menjelaskan cara-cara penggunaan barang wakaf maka barang wakaf tersebut harus dipergunakan sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku baik dalam syariat maupun urf.1 Jika wakaf itu berupa mushaf al Quran, buku-buku maka

menggunakannya dengan dibaca, wakaf berupa senjata harus digunakan untuk mempersenjatai tentara, wakaf berupa tepung harus dijual dan dicari keuntungan sesuai dengan kondisi barang tersebut, wakaf berupa mata uang boleh dipinjamkan kepada orang yang butuh dengan menggunakan jaminan tertentu agar bisa bayar tepat pada waktunya atau bisa juga dipergunakan sebagai modal dagang secara mudharabah agar bisa diperoleh keuntungan bersama.2 Wakaf berupa tanah pertanian harus digunakan untuk menanam baik dengan cara mengupahi orang atau dengan jalan musyarakah (paroh) yang hasilnya dibagi bersama antara pemilik wakaf (maukuf alaih) dan buruhnya; sedangkan wakaf non pertanian maka boleh digunakan untuk bangunan penerima wakaf atau dikomersilkan yang keuntungannya dibagi dua.3 Lain halnya jika seorang wakif menuliskan dalam akadnya tentang tata cara penggunaan wakaf maka harus dialokasikan sesuai dengan tulisan tersebut
1

Muhammad Mustafa Stibly, Muhadharat fi al-Waqfi wa al-Washiyat, Dar al Talif, Mesir, 1957, hlm. 120. 2 Ibid. 3 Ibid., hal. 121.

selama tidak bertentangan dengan syara. Seandainya yang tercantum dalam tulisan tersebut satu bentuk saja tentang cara penggunaan wakaf maka harus disesuaikan dengan tulisan tersebut. Tetapi jika barang wakaf itu memiliki beberapa cara tentang penggunaan wakaf yang ditetapkan wakif, maka bagi mauquf alaih boleh memihki cara-cara yang dikehendakinya; misalnya jika seorang wakif menuliskan dalam akadnya syarat-syarat khusus kepada mauquf alaih, bahwa rumah yang diwakafkannya itu untuk para pelajar yang mengembara atau boleh untuk dikomersilkan. Jika mauquf alaih memilih salah satu dari dua alternatif tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat : Menurut madzhab Hanafi jika barang wakaf telah ditetapkan untuk perumahan maka tidak boleh mengkomersilkannya, sedangkan apabila telah ditetapkan untuk komersil atau penggunaan yang berbentuk apa saja maka boleh bagi mauquf alaih memilih salah satu dari keduanya tersebut.4 Menurut madzhab Hanabilah bentuk apapun yang telah ditetapkan waqif apabila untuk dijadikan rumah tempat tinggal para pelajar dari luar negeri; dikomersilkan atau bentuk penggunaan lain, mauquf alaih boleh memilih salah satu bentuk dari penggunaan di atas asal sesuai dengan tujuan wakaf yaitu memanfaatkan benda wakaf oleh para penerima wakaf.5 Misalnya undang-undang wakaf di Mesir banyak mengadopsi madzhab Hanabilah pada pasal 31 membolehkan menggunakan rumah wakaf sebagai tempat tinggal dan boleh juga rumah yang berasal dari wakaf tersebut untuk dikomersialkan selama belum ditetapkan oleh pengadilan dan hal itu pun jika terjadi sesuatu kemudian dilaporkan ke pengadilan misalnya dalam ikrar wakaf disyaratkan bahwa rumah yang diwakafkan untuk komersil, tetapi oleh mauquf alaih dijadikan tempat tinggal dengan cara-cara yang merusak tujuan wakaf, pasal tersebut secara jelas bahwa penerima wakaf tidak terikat oleh syarat-syarat penggunaan wakaf oleh wakif.6 Jika melihat lebih lanjut dari itu wakaf yang lebih cenderung menggunakan madzhab Hanabilah dari pada madzhab Hanafiyah, maka pada madzhab Hanafiyah cenderung mengindikasikan banyaknya madharat bagi barang
4 5

Ibid. Ibid. 6 Ibid., hlm. 122.

wakaf itu sendiri misalnya jika rumah wakaf yang ditetapkan sebagai tempat tinggal tersebut tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal dari aspek kesehatan, maka tujuan wakaf dari aspek ini kurang memenuhi sesuatu karena tidak akan mewujudkan kemaslahatan tetapi sebaliknya yang ada akan memunculkan kemadharatan. Terlepas dari problema di atas pada gilirannya akan dikemukakan tentang cara-cara penggunaan benda wakaf berdasarkan kajian ulama-ulama madzhab berkaitan dengan benda wakaf yang sudah tidak ada manfaatnya atau sudah berkurang manfaatnya misalnya ada perubahan pada benda wakaf itu misal menjual, merubah bentuknya, memindahkan ke tempat lain, menukar dengan benda lain. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Imam Syafii dan Imam Malik berpendapat jika benda wakaf sudah tidak berfungsi (tidak dapat dipergunakan) atau kurang berfungsi maka benda tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diganti/ditukar, tidak dibiarkan tetap dalam keadaan semula. Alasan yang dikemukakan adalah berdasarkan hadis dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa benda wakaf tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwarisi.7 Perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf sangat ketat pengaturannya dalam madzhab Syafii walaupun demikian berdasarkan keadaan darurat dan prinsip mashlahat di kalangan para ahli hukum Islam madzhab lain. Perubahan tersebut disandarkan pada pandangan agar manfaat wakaf tersebut tetap terus berlangsung sebagai shadaqah jariyah, tidak menjadi mubadzir karena rusak atau tidak berfungsi lagi dan sebagainya seperti terlihat pada pendapat ulama fiqh dibawah ini. Imam Ahmad ibn Hambal, Abu Tsaur, Ibnu Taimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, merubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf yang sudah tidak berfungsi atau kurang berfungsi seperti rusak atau sebab lain. Kebolehan tersebut baik dengan alasan supaya benda wakaf tersebut bisa berfungsi/maslahat sesuai dengan tujuan wakaf atau untuk mendapatkan maslahat
7

Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibnu Abbas Ibn Utsman Ibn Syafii al Syafii, (tt). Al-Umm, jilid I, hlm. 5I-61.

yang lebih besar atau lebih baik bagi kepentingan manusia umumnya.8 Sebagaimana ijtihad Umar bin Khattab r.a. telah mengganti masjid Kufah dengan masjid yang baru dan tempatnya pun oleh beliau dipindah ke tempat yang yang baru, sebab tempat yang lama telah dijadikan pasar sebagai tempat jual beli umum.9 Abu Yusuf, salah seorang murid Abu Hanifah berpendapat bahwa benda wakaf tersebut tidak boleh dijual dan menggunakan hasil penjualan tersebut, sementara Muhammad murid Abu Hanifah juga berpendapat bahwa kalau benda wakaf tersebut rusak atau tidak berfungsi lagi maka benda tersebut kembali pada pemilik pertama atau wakif.10 Hal ini erat kaitannya dengan pengertian milik dalam teori Abu Hanifah bahwa milik adalah miik sepenuhnya, oleh karenanya muwakif si-wakif sebagai pemilik benda wakaf mempunyai hak menggunakan sepenuhnya; sementara ulama yang lain bahwa benda-benda wakaf itu adalah manfaat bendanya. Ungkapan di atas tidak terlepas dari pengertian wakaf yang dikemukakan oleh masing-masing imam madzhab sehingga berdampak pada bagaimana cara menggunakan/memanfaatkan benda wakaf itu sendiri, misalnya: Abu Hanifah menilai bahwa wakaf sesungguhnya merupakan benda yang menurut hukum tetap milik wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan,11 berdasarkan difinisi ini maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan boleh menjuafiya. Hal ini karena wakaf itu identik dengan pinjam meminjam (Ariyah). Malikiyah mengatakan wakaf itu sesungguhnya merupakan perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf walaupun yang dimiliki tersebut berupa upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Madzhab ini juga menganggap bahwa wakaf boleh dalam masa tertentu.12 Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan
8
9

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Daral Fikr, Bairut, 1975, hlm. 387. Abdul Ghafur Ansharari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 36. 10 Ibid. 11 Wahbah al Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr, Damsyik, 1984, hlm. 153156. 12 Ibid.

hasilnya untuk tujuan kebaikan yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik wakif. Sementara menurut Syafiiyah dan Hanabilah wakaf itu sesungguhnya merupakan penahanan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya sedang bendanya tidak terganggu. Hasil benda tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itu benda tersebut lepas dari pemilikan di wakif dan menjadi hak Allah. Kewenangan wakaf itu hilang bahkan ia wajib mensedekahkannya sesuai dengan tujuan wakaf.13 Tentang penggantian/perubahan benda wakaf di atas menurut pendapat imam madzhab yang erat kaitannya dari pengaruh pengertian wakaf yang dikemukakannya, maka berikut ini menurut pendapat Ibnu Taimiyah bahwa mengganti apa yang diwakafkan dengan sesuatu yang lebih baik ada dua macam: 1) Penggantian karena kebutuhan, misalnya karena macet maka dijual dan hasilnya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya; misal kuda yang diwakafkan untuk perang bila tidak mungkin lagi dimanfaatkan dalam peperangan maka ia dapat dijual dan hasilnya dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya; masjid jika rusak dan tidak mungkin diramaikan maka tanahnya dijual dan hasil penjualannya dapat dipergunakan untuk membeli apa yang dapat menggantikannya. 2) Penggantian karena kepentingan yang lebih kuat, misalnya menggantikan hadiah dengan apa yang lebih baik dari padanya, masjid bila dibangun masjid lain yang lebih layak bagi penduduk kampung dan masjid yang lama boleh dijual.14 Pendapat ini identik dengan pendapat pmam Ahmad ibn Hambal di atas. Karena beralasan pada sebuali hadis Umar ibn Khattab, yang memindahkan masjid Kufah yang lama ke tempat yang baru, dan tempat yang lama dijadikan pasar bagi penjual-penjual Tamar. Contoh lain adalah bahwa Umar ibn Khattab dan Utsman ibn Affan pernah membangun masjid Nabawi tanpa mengikuti konstruksi pertama dan dengan memberi tambahan. Berdasarkan fenomena tersebut maka

13

14

Ibid. Sayid Sabiq, op.cit., hlm. 376-377.

diperbolehkan mengubah bangunan wakaf dari satu bentuk ke bentuk lainnya demi maslahat yang mendesak. B. Prinsip Prinsip Pendayagunaan Wakaf15 1) Asas Keabadian manfaat Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh nabi yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat nabi lainnya yang sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedahkahkan hasil dari pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna dari maksud nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya(wakaf), tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan kebijakan umum. 2) Asas Pertanggungjawaban Bentuk dari pertanggung jawaban tersebut adalah pengelolaan secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasari oleh:

a. Tanggung jawab kepada Allah SWT Yaitu atas perilaku perbuatannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturanNya. b. Tanggung jawab Kelembagaan Yaitu tanggung jawab kepada pihak yang memberikan wewenang (lembaga yang lebih tinggi). c. Tanggung jawab Hukum Yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. d. Tanggung jawab Sosial Yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat. 3) Asas Profesional Manajemen

15

http://hendrakholid.net/blog/2009/06/10/wakaf/, di akses pada tanggal 21 Maret 2011, jam 10.00 WIB.

Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentuka benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Harus memiliki sifat Nabi yang 4 yaitu: 4) Amanah yaitu dapat dipercaya Shiddiq yaitu jujur Fathanah yaitu cerdas/pandai Tabligh yaitu menyampaikan informasi yang tepat dan benar Asas Keadilan Sosial Penegakan keadila social dalam islam merupakan kemurnian dan legalitas agama. Orang yang menolak prinsip keadilan social ini dianggap sebagai pendusta agama (QS. 147/ Al-Maun). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf ini sangat tampak adanya semangat menegakkan keadilan social melalui penerimaan harta untuk kebajikan umum.

C. Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf16 Dalam melaksanakan kewajibannya selaku Nazhir, Tabung Wakaf Indonesia harus melakukan pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf yang dihimpunnya sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya dengan prinsip-prinsip syariah Islam, dimana pengelolaannya dilakukan berdasarkan dua pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Produktif Yaitu Tabung Wakaf Indonesia akan mengelola harta wakaf untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan menghasilkan keuntungan. Lalu keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan tetap

mempertahankan nilai pokok dari harta wakaf yang bersangkutan. Contoh : Tabung Wakaf Indonesia mengalokasikan dana wakaf-nya untuk investasi pendirian rumah sakit yang komersial. Dari hasil rumah sakit tersebut, keuntungannya dapat digunakan untuk membiayai rumah sakit yang gratis.
16

Ibid.

2. Pendekatan Non Produktif Yaitu Tabung Wakaf Indonesia akan mengelola harta wakaf untuk hak-hal yang sifatnya tidak menghasilkan keuntungan (non produktif). Manfaat yang ditimbulkan dari harta benda wakaf yang bersangkutan adalah karena nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai pemetik manfaat wakaf. Contoh : Tabung Wakaf Indonesia mengalokasikan dana wakaf-nya untuk investasi pendirian sebuah rumah sakit cuma-cuma alias gratis. Ini berarti tidak ada pemasukan sama sekali dan dengan demikian biaya operasional rumah sakit cuma-cuma tersebut harus dicarikan dari sumber lainnya.

D. Cara-cara Penggunaan Benda Wakaf di Indonesia


Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan suatu yang menggembirakan di bidang perwakafan sebab pada dasarnya peraturan pemerintah tersebut jiwanya paralel dengan ketentuan hukum Islam yakni tidak dapat dilakukan perubahan terhadap penggunaannya tanah wakaf, tetapi sebagai kekecualian dan adanya beberapa kemungkinan dalam keadaan khusus penyimpangan dapat dilakukan perubahan dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari menteri Agama secara tertulis, yaitu: 1) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif. 2) Karena kepentingan umum. Prosedur penyimpangan dalam keadaan khusus tersebut diatur dalam pasal 11 Peraturan Pemerintah 28/1977 jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, yaitu nadzir mengajukan permohonan kepada kepala kantor wilayah Departemen Agama cq. kepala bidang urusan Agama Islam propinsi melalui Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan dan kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kotamadya setempat untuk permohonan perubahan status tanah wakaf. Kepala kantor wilayah Departemen Agama meneruskan kepada menteri Agama c.q. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam disertai pertimbangannya. Perubahan ini diizinkan apabila secara hukum menyebutkan alasannya dengan

10

kuat, yaitu apabila diberikan penggantian yang sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf. Kemudian seperti yang ditentukan padas 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 perubahan status tanah milik dan penggunaan tanah wakaf harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati / Wali Kotamadya c.q. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat untuk diproses lebih lanjut dan tuntas.17 Sesungguhnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) khususnya pasal 14 ayat (1) a) yang berbunyi: pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia membuat suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan lainnya sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu yang menyangkut hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial tercantum dalam Pasal 49 UUPA yang berbunyi: 1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. 2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai. 3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.18 Dengan munculnya ketentuan Pasal 14 dan Pasal 49 UUPA kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan hal yang sangat penting bagi perwakafan di Indonesia walaupun di dalamnya

17

18

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Bab IV pasal 11. Lihat Juhaya S. Praja, op.cit., hlm. 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Lihat Ibid. hlm. 34.

11

hanyalah bentuk wakaf khairi dan bentuk wakafnya hanyalah wakaf tanah milik, benda-benda yang lain belum diatur. Hal ini karena pada masa pengaturan tentang tanah milik belum diatur secara tuntas memudahkan terjadirtya penyimpangan dari hakekat tujuan wakaf itu sendiri raisalnya beralihnya status wakaf menjadi milik perorangan yang diwariskan turun-temurun. Untuk mengantisipasi fenomena tersebut maka peraturan pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 pasal 14 merupakan ketentuan pidana untuk menjamin pelaksanaan tanah wakaf menurut perundang-undangan yang berlaku, maka terhadap pihak-pihak yang melanggarnya diancam sanksi-sanksi tertentu misalnya barang siapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan pada pasal 5, pasal 6 ayat (3), pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), pasal 9, pasal 10, dan pasal 11 ditentukan ancaman hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 10.000,00-. Pasal-pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 1) Pasal 5 tentang keharusan wakif mengikrarkan kehendaknya di hadapan PPAIW. 2) Pasal 6 ayat (3) tentang keharusan pendaftaran nadzir pada KUA kecamatan untuk mendapatkan pengesahan. 3) Pasal 7 ayat (1) tentang kewajiban nadzir untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf sert hasil-hasilnya. 4) Pasal 7 ayat (2) tentang kewajiban nadzir untuk membuat laporan berkala. 5) Pasal 9 tentang tata cara perwakafan tanah milik. 6) Pasal 10 tentang pendaftaran wakaf tanah milik. 7) Pasal 11 tentang perubahan perwakafan tanah milik. Dengan adanya penyimpangan terbadap ketentuan-ketentuan tersebut terhadap pelaksanaan atau penggunaan/pemanfaatan perwakafan tanah sudah dapat dituntut sebagai tindak pidana dan untuk lebih menjamin efektifnya pelaksanaan perwakafan tanah ini maka sudah barang tentu perlu adanya pengawasan yang ketat serta administrasi yang tertib baik di tingkat kecamatan sampai ke tingkat pusat.

12

Adapun pengaturan perwakafan dengan lahinnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dan merupakan pengembangan dan penyempuraaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam, bahkan perwakafan dalam KHI lebih menekankan sosialisasi hukumhukum perwakafan bagi masyarakat Islam Indonesia serta mencerminkan suatu keinginan untuk menerapkan difinisi itu secara bertahap bahkan lebih penting lagi KHI mengarah pada pembentukan hukum Islam yang khas Indoneia atau fiqh Indonesia. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf maka pemanfaatan benda wakaf harus dilakukan oleh Nadzir untuk mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya. Pemanfaatan tersebut dikelola secara produktif antara lain dengan cara pengumpulan, investasi, penanaman modal, produksi, kemitraan, perdagangan, agrobisnis, pertambangan, perindustrian, pengembangan teknologi, pembangunan gedung, apartemen, rumah susun, pasar swalayan, pertokoan, perkantoran, sarana pendidikan ataupun sarana kesehatan dan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan syariah. Untuk pengelolaan dan pengembangan benda wakaf tersebut harus digunakan penjamin yaitu lembaga penjamin syariah dan yang dimaksud lembaga penjamin syariah adalah badan hukum yang menyelenggarakan penjaminan atas suatu kegiatan usaha yang dapat dilakukan antara lain : melalui skim asuransi syariah, perbankan syariah, atau skim lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Cara-cara Pemanfaatan Benda Wakaf di Negara Lain


Sebagai studi banding tentang pemanfaatan dan penggunaan benda-benda wakaf pada makalah ini dikemukakan cara pemanfaatan benda-benda wakaf di beberapa negara lain terutama di negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam di mana wakaf mendapat perhatian pemerintah setempat. Negara-negara tersebut antara lain sebagai berikut:

13

1. Mesir
Harta wakaf di Mesir diurus oleh kementerian khusus yang namanya Wizaratul Awqaf (Departemen-departemen wakaf) yang mengurus harta wakaf baik berupa tanah rumah/bangunan dan benda-benda wakaf. Untuk mengatur harta wakaf di Mesir telah dikeluarkan undangundang perwakafan yaitu Undang-undang Nomor 48 Tahun 1946 yang mulai berlaku sejak tahun 1946. Berkaitan dengan cara-cara pengalokasian benda wakaf dan juga cara-cara pendistribusiannya, maka jika wakaf menetapkannya harus diikuti dan tidak boleh menyalahinya kecuali jika tindakan menyalahinya tersebut tidak menghilangkan esensi maksud dari wakaf; namun jika wakaf tidak menjelaskan arah pengalokasian dan bersifat umum, maka kandisikondisi tersebut harus dikonfirmasikan kepada undang-undang wakaf. Dalam pasal 1 ayat (19) menyebutkan bahwa barang-barang wakaf boleh dialokasikan kepada orang-orang yang butuh walaupun dari kelauarga wakif atau kedua orang tua wakif setelah itu kepada orang-orang yang pantas disumbang atas dasar izin dari pengadilan.19 Alasan tersebut karena wakaf merupakan shadaqah dan izin dari pengadilan ini adalah agar penerima barang wakaf harus taat dan tepat dalam melaksanakan pengalokasiannya walaupun demikian undang-undang ini banyak memberikan regulasi yang rasional misalnya dalam pasal 1 yang berbunyi : jika wakif tidak menentukan arah pengalokasiannya atau jenis yang belum ada wujudnya atau ada tetapi terdapat pula arah pengalokasian yang lebih pantas maka dalam hal ini boleh menteri wakaf dengan mendapat persetujuan majelis tertinggi wakaf dn pengadilan agama untuk mengalokasikan seperempat dari wakaf kepada arah pengalokasian yang tidak terlihat sama sekali dengan syarat-syarat dari wakif.20 Berdasarkan undang-undang ini sesuatu yang dilakukan kementerian wakaf untuk mengoperasikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan wakaf tersalurkan secara syari dan tidak memberi kesempatan bagi eksploitor sesuai dengan kehendaknya.

19
20

Muhammad Mustafa as Tsibly, op.cit., hlm. 124-127. Ibid.

14

Bentuk realisasi dari wakaf sebagai salah satu contoh adalah Universitas al Azhar di Kairo, yang mengembangkan harta wakaf dengan baik dn teratur. Al Azhar tidak pernah membutuhkan subsidi dari pemerintah tetapi dapat membiayai sendiri dengan kekayaan harta wakafnya, bahkan tidak hanya memberikan manfaat bagi Mesir saja namun untuk seluruh ummat dan dunia Islam dengan pemberian beasiswa kepada ribuan rnahasiswa dari berbagai bangsa dan sanggup mengirimkan guru-guru besarnya ke berbagai negara untuk mengajar yang dibiayai dari harta wakaf tersebut.21

2. Turki Sejak tahun 1840 suatu kementerian yang mengurus perwakafan semacam wazaratul awqaf sudah ada, tetapi pengaruh sekularisme pada znman Kamal at Tatruk (1924) kementerian ini dihapuskan dan diganti hanya dengan sebuah komite atau badan wakaf yang langsung dibawah pengawasan menteri. Berdasarkan data pada tahun 1928 di Turki terdapat tanah wakaf yang jumlahnya hampir separoh dari seluruh tanah-tnah subur yang ada di negara tersebut baik itu sawah, kebun anggur, rumah-rumah, gedung yang disewakan dan lain sebagainya; dimana pengurusannya ada yang diurus langsung oleh negara, ada pula tanah-tanah wakaf yang diurus oleh masing-masing badan hukum/ masyarakat tetapi tetap dalam pengawasan negara.22 3. Pakistan Pada tahun 1913 telah dikeluarkan undang-undang wakaf nomor VI tahun 1913 tanggal 7 Maret 1913. Undang-undang ini disebut dengan Musalman wakf validating act 1913 yang berlaku untuk seluruh daerah India jajahan Inggris. Pemanfaatan benda-benda wakaf di negeri ini adalah untuk tempat-tempat peribadatan dan lembaga-lembaga sosial, tempat istirahat, kuburan, hanaqiah yaitu lembaga agama Islam tempat berkumpul ulama Islam, Imambara yaitu perumahan perseorangan yang dipergunakan golongan Syiah,

21

22

A.A. Fyzel, Outlines of Muharnmadan Law. Desain oleh Arifien Bey, Tinta Mas, Jakarta, 1966, hlm. 140. Ibid. hlm. 141-192

15

khusus untuk melakukan upacara tertentu, qadli yaitu untuk kepentingan para hakim di pengdilan.23 Selain di negara-negara tersebut baik di Timur Tengah seperti Libanon, Syiria, Irak atau di Afrika Utara seperti Maroko, Aljazair, Libiya; demikian juga di negara-negara Asia seperti Malaysia, Singapura, Brunai, banyak terdapat harta benda wakaf digunakan untuk kepentingan atau pembiayaan kepentingan umat Islam pada umumnya.

BAB III PENUTUP


Pada prinsipnya wakaf itu kekal, baik status bendanya maupun penggunaannya, walaupun demikian dalam kasus-kasus tertentu perubahan terhadap pemanfaatan benda wakaf bisa terjadi. Dalam masalah ini muncul berbgai madzhab fiqh yang menyelesaikan persoalan-persoalan tadi dengan sejumlah alasan masing-masing. Madzhab Syafii mengklasifikasikannya dengan prinsip kehati-hatian dan memasukkannya dalam kategori darurat; madzhab Hanafi menyelesaikannya dengan metode istihsan; madzhab Maliki dan Hambali menyelesaikannya dengan metode al mashlahah al mursalah. Sekalipun ada ulama-ulama fiqh yang membolehkan wakaf tersebut dijual, dipindahkan, dirubah atau diganti, hal ini sejalan dengan pemanfaatan benda tersebut bagi kepentingan umum sesuai dengan tujuan wakaf. Landasan berfikir mereka adalah agar benda tersebut tetap memberikan kemaslahatan bagi umat manusia, sepanjang yang dibolehkan dalam syariat Islam.

23

Maulana Muhamad Ali, The Religion of Islam. Terjemahan R. Kaelan dan H.M. Bahrun. PT Ikhtiar Baru, Jakarta, 1980, hlm. 468.

16

DAFTAR PUSTAKA
A.A. Fyzee, Outlines of Muharnmadan Law, Desain oleh Arifien Bey, Tinta Mas, Jakarta, 1966. Abdul Ghafur Ansharari, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Pilar Media, Yogyakarta, 2006 Abdurrahman. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni, Bandung, 1084. Abu Wahab Khallaf, Ahkam fi al-Waqf, Matbaah al Nasy, Mesir, 1951. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991. http://hendrakholid.net/blog/2009/06/10/wakaf/, diakses pada tanggal 21 Maret 2011, jam 10.00 WIB. http://ppm-uinsgd.com/cara-cara-pemanfaatan-benda-wakaf/, diakses pada tanggal 21 Maret 2011, jam 10.00 WIB. Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Yayasan Tiara, Bandung, 1995. Maulana Muhamad Ali, The Religion of Islam, Terjemahan R. Kaelan dan H.M. Bahrun, PT Ikhtiar Baru, Jakarta. Muhammad Ibn Idris Ibn Abbas Ibnu Abbas Ibn Utsman Ibn Syafii al Syafii, AlUmm, Jilid I, (Beirut:Dar al-Fikr, t.th). Muhammad Mustafa Shibly, Muhadharat fi al-Waqfi wa al-Washiyati, Dar alTalif, Mesir, 1957.

17

Mustafa Al-Syibai, Al-Istirkiyah al-Islamiyah, Alih bahasa. H.A. Malik Ahmad CV. Mulia, Jakarta, 1964. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Bab IV. Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Daral Fikr, Bairut, 1971. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria . Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, Damsyik, 1984.

18

Anda mungkin juga menyukai