BELEIDSREGEL
Disusun oleh:
NIKO RASAKI AGUSTIO (181010200532)
DANDY
BUNGA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya
yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam suatu negara hukum yang moderen, pemerintah diwajibkan turut campur dalam
urusan-urusan warga negaranya sebagai bentuk pelayan publik (public servant) yang memiliki
tujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. hal tersebut dapat juga dikatakatan sebagai
sebuah otokritik terhadap bentuk negara hukum klasik (nachtwachterstaat), dimana negara hanya
berperan sebagai penjaga keamanan saja (negara penjaga malam).
B. RUMUSAN MASALAH
Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dalam studi Hukum Administrasi Negara
yang bertujuan agar kita dapat memahami materi tentang Beleidsregel serta ciri-ciri nya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BELEIDSREGEL
Beleidsregel atau peraturan kebijakan adalah jenis Tindak Administrasi Negara dalam
bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiek rechtelijke handelingen). Ia merupakan
hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi undang-undang atau hukum yang terkait
pelaksanaan kebijakan (policy). Beleidsregel berasal dari kewenangan diskresi yang pada
umumnya digunakan untuk menetapkan kebijakan pelaksanaan ketentuan undang-undang.
Laica Marzuki menambahkan bahwa beleidsregel itu sendiri terdiri dari unsur-unsur
seperti berikut:
1. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan freies ermessen
(discretionary power) dalam bentuk tertulis, yang setelah diumumkan keluar guna
diberlakukan kepada warga;
2. Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada nyatanya telah merupakan peraturan umum
(generale rule) tersendiri, jadi tidak sekedar sebagai petunjuk pelaksanaan operasional
sebagaimana tujuan semula dari peraturan kebijkan atau beleidsregel itu sendiri. Badan atau
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan kebijakan itu sama sekali tidak
memiliki kewenangan membuat peraturan umum (generale rule) namun tetap dipandang
legitimated mengingat beleidsregel adalah merupakan perwujudan freies ermessen yang
diberi bentuk tertulis.
Bagir Manan menambahkan bahwa beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak
termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Akibatnya. karena bukan jenis peraturan
perundang-undangan maka tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu peraturan
kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak akan ada dasar
peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan kebijakan. Peraturan
kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang administrasi Negara yang
bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik karena secara umum tidak
berwenang maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak berwenang mengatur). Selanjutnya
dikatakannya bahwa pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid
dan karena itu batu ujiannya adalah asas-asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak.
Van Kreveld mengatakan (sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk dalam bukunya
yang berjudul Hukum Administrasi Negara) walau didasarkan pada azas freies ermessen,
beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-
syarat tersebut antara lain:
1. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner
yang dijabarkannya;
2. Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;
3. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari instansi yang
berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan mempertimbangkan alternatif yang
ada;
4. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang terkena dan ada
kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian hukum
formal);
5. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya; dan
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah diperoleh dari warga
yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah ditimbulkan jangan sampai
diingkari.
Sehingga jelas kemudian jika kita melihat beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak
termasuk peraturan perundang-undangan, didasarkan atas asaz freies ermessen, dan berlaku secara
umum. Mengutip dari Bagir Manan bahwa beleidsregel ini tidak mempunyai dasar peraturan
perundang-undangan maka bisa kita katakan kalau beleidsregel ini berdiri secara mandiri tanpa
terikat dengan peraturan yang lebih tinggi baik itu UUD 1945, UU atau peraturan perundang-
undangan lainnya.
Beleidsregel ini tidak mengikat hukum secara langsung namun mempunyai relevansi
hukum. Hal ini dapatlah dipahami karena karakteristik dari beleidsregel yang memang berbeda
dengan norma hukum public lain yang mengikat secara erat. Beleidsregel ini dapat kita katakan
bukan hukum tetapi ketentuan. Ketentuan bukanlah hukum, ia tidak mempunyai dampak seperti
norma hukum yang lain. Tentunya ini adalah hal yang adil mengingat kedudukan beleidsregel
yang tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang tidak legal
formal tersebut, dampak daya ikat beleidsregel juga tidaklah sekuat norma hukum pada biasanya.
Ia dibentuk memang untuk tujuan ‘menyimpangi hukum positif’ yang berlaku. Tentunya seorang
pejabat administrasi negara kadangkala mengalami suatu kondisi dimana ia harus mengambil suatu
keputusan dengan cepat dan tepat karena menyangkut masyrakat banyak. Namun disisi lain ia juga
terikat oleh peraturan-peraturan administrasi negara yang mengikat jabatannya sebagai seorang
pejabat administrasi negara. Dalam kondisi yang serba cepat seperti ini maka pejabat administrasi
negara dituntut untuk memiliki kecerdasan dan sikap tindak yang tepat lagi bertanggung jawab
untuk mengakomodir kepentingan masyarakat tersebut dengan cara mengeluarkan beleidsregel.
Seperti itulah kondisi yang melatar belakangi suatu beleidsregel biasanya lahir. Karena tidak
termasuk dalam peraturan perundang-undangan maka otomatis suatu beleidsregel tidaklah dapat
diuji secara hukum (wermatigheid). Namun walaupun begitu beleidsregel bukan berarti ‘bebas
murni’, menurut Van Kreveld (seperti telah dijelaskan di atas) bahwa beleidsregel ini Tidak dapat
bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang diskresioner yang
dijabarkannya dan tidak dapat bertentang dengan nalar sehat. Artinya tetap memiliki batasan-
batasan tertentu.
Bentuk formal peraturan kebijakan dalam hal tertentu sering tidak berbeda atau tidak dapat
dibedakan dari format peraturan perundang-undangan. Menurut A. Hamid S Attamimi: “dilihat
dari bentuk dan formatnya, peraturan kebijakan sama benar dengan peraturan perundang-
undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans “menimbang” dan dasar hukum
“mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian dan bab-bab serta penutup,
yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan”. Selain memiliki persamaan
dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan diatas, ada juga peraturan
kebijakan yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan dari segi bentuk formalnya. Oleh
karena itu, peraturan-peraturan kebijakan tersebut dengan mudah dibedakan dari peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, format peraturan kebijakan tersebut tersebut lebih sederhana
daripada format peraturan perundang-undangan misalnya nota dinas, surat edaran, petunjuk
pelaksanaan, petunjuk teknis, pengumuman dan sebagainya. Meskipun ada bentuk peraturan
kebijakan yang memiliki persamaan dengan peraturan perundang-undangan, namun Bagir Manan
secara tegas mengemukakan bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-
undangan: “peraturan kebijakan bukan peraturan perundang-undangan, meskipun menunjukkan
sifat atau gejala sebagai peraturan perundang-undangan. Mengapa pelaksanaan kebijakan tersebut
(beleidsvrijheid) tidak dituangkan dalam bentuk peraturan perundangundangan? karena pembuat
peraturan kebijakan tidak mempunyai kewenangan perundang-undangan.”
Peraturan itu biasanya berkaitan dengan bagaimana suatu instansi pemerintah itu
melaksanakan kewenangan pemerintah.
3. Ciri-ciri beleidsregel menurut BAGIN MANAN :
Peraturan-peraturan (voorschriften).
Pedoman-pedoman (richtlijnen).
Petunjuk-petunjuk (regelingen).
Keputusan-keputusan (beschikkingen).
Pengumuman-pengumuman (enbekenmakingen).
Instruksi-instruksi (aanscrijvingen).
Segi bentuk dan format beleidsregel sering diketemukan sama dengan regeling
yang meliputi : konsideran, dasar hukum dan substansi (batang tubuh yang terdiri
dari bab-bab, pasal-pasal dan penutup).
Segi letak kajian dalam ilmu hukum beleidregel masuk kajian HAN, sedangkan
regeling masuk kajian HTN.
Dari segi uji materiil untuk regeling melalui MK yaitu UU terhadap UUD dan untuk
regeling dibawah UU melalui MA, sedangkan uji materiil untuk beleidsregel
melalui PTUN.
Merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “menampakkan
keluar suatu kebijakan tertulis”.
Berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintah.
PENUTUP
Berdasarkan dari uraian materi tentang Beleidsregel di atas kita dapat memahami tentang
pengertian Beleidsregel yang dimana Beleidsregel pun berperan dalam hal menjalankan kebijakan
dalam sebuah pemerintahan serta unsur unsur Beleidsregel, ciri ciri Beleidsregel serta beberapa
pemahaman [ara ahli terkait Beleidsregel. Dengan demikian makalah ini diharapkan dapat menjadi
sebuah materi untuk menambah pengetahuan terkait mata kuliah Hukum Administrasi Negara
terkait Beleidsregel.