Anda di halaman 1dari 28

BAB 5

PROSES PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN


HAM BERAT DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI
NEGARA BELANDA.

Pembahasan pada bab ini berkaitan dengan pemberlakuan asas retroaktif dilihat dari konteks
penegakan hukum terhadap perkara pelanggaran HAM berat dalam negara hukum di Indonesia.
Salah satu pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis komparatif yaitu dengan cara
membandingkan undang-undang dalam suatu negara atau dengan undang-undang negara lain atau
putusan pengadilan Indonesia dengan putusan pengadilan negara lain, termasuk membandingkan
mekanisme proses penyelesaian tindak pidana pelanggaran HAM berat dari suatu negara dengan
negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada bagian ini akan, dibahas proses penyelesaian
tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam sistem peradilan pidana di Negara Belanda.1

Negara Indonesia dan Negara Belanda yang sama-sama menganut sistem eropa continental
atau civil law, namun dalam perkembanganya, ternyata terjadi perbedaan baik dalam struktur
maupun Substansinya, dalam penyelesaian perkara, khususnya perkara pelanggaran HAM berat.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan situasi dan kondisi dari masing-masing negara, serta
adanya pengaruh perbedaan kultur atau budaya masyarakat di Negara Indonesia maupun di Negara
Belanda. Alasan mengapa penulis memilih Negara Belanda sebagai perbandingan dalam proses
penyelesaian tindak pidana pelanggaran HAM berat, salah satunya adalah sejarah. secara historis,
sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang berlaku di Negara Indonesia merupakan
peninggalan Negara Belanda dengan adanya asas konkordansi pada saat penjajahan Pemerintahan
Kolonial Belanda di Negara Republik Indonesia.2

Pembahasan pada bagian ini akan menguraikan sistem peradilan pidana di Negara Belanda,
peraturan perundang-undangan tentang HAM di Negara Belanda, asas berlaku surut (retroaktif)
dalam peraturan perundang-undangan di Negara Belanda dan proses penyelesaian tindak pidana

1
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 114
2
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 114-115
pelanggaran HAM berat, serta kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat yang terjadi di Negara
Belanda.3

A. Sistem Peradilan Pidana di Negara Belanda


a. Sejarah
Sejarah sistem peradilan pidana di Negara Belanda dimulai pada tahun 1810, ketika Kerajaan
Belanda dimasukkan ke dalam kekuasaan Perancis. Selanjutnya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) untuk Kerajaan Belanda yang berlaku sejak Tahun 1809 diganti dengan KUHP
Perancis Napoleon.4

Setelah kemerdekaan Belanda pada tahun 1813, peraturan perundang-undangan dari


kekuasaan Perancis untuk sementara masih tetap berlaku, namun dilakukan perubahan-perubahan
terhadap beberapa aturan yang dianggap perlu. Pada tahun 1813 dalam Konstitusi Belanda
ditetapkan bahwa substansi utama dari hukum danhukum acara pidana akan diatur dalam undang-
undang.5

Pada tahun 1870, sebuah komite reformasi hukum pidana telah merancang draft tentang KUHP
beserta nota penjelasannya. Kemudian pada tahun 1879, Modderman, selaku Menteri Kehakiman,
telah menyampaikan draft KUHP tersebut kepada Parlemen. KUHP (Wetboek Van Strafrecht)
yang telah diadopsi pada tahun 1881 tersebut, baru mulai diberlakukan pada tahun 1886 karena
harus diadakan perubahan termasuk perubahan sistem kepenjaraan sehingga harus dibangun
penjara baru terlebih dahulu.6

Hukum acara pidana Belanda yang disebut dengan The Code of Criminal Procedure (CCP)
yang mulai berlaku pada Tahun 1838 bukan merupakan suatu undang-undang hukum acara yang
baru, melainkan merupakan terjemahan dari Kode Etik Perancis. Hukum Acara Tahun 1838
ditandai dengan lemahnya kedudukan tersangka, sehingga tersangka dianggap sebagai objek
dalam tahap penyidikan tanpa adanya hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh tersangka. Berbagai

3
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 115
4
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 115
5
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 115
6
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 115
upaya untuk mereformasi Code Tahun 1833 tersebut selalu gagal dan baru pada tahun 1926
Hukum Acara Pidana (Wetboek Van Strafuordering) tersebut disahkan.7

b. Hukum Acara Pidana

Memori Penjelasan Hukum Acara Pidana Belanda (The Code of Criminal Procedure) yang
kemudian disingkat dengan CCP Tahun 1838, apabila dibandingkan dengan CCP yang baru
banyak mengalami perubahan. CCP baru telah banyak memberikan perlindungan berupa hak-hak
kepada pelaku atau tersangka untuk memperoleh keadilan dalam proses penyelesaian perkara.8

Pada tahap awal dalam proses penyidikan pelaku memperoleh hak untuk didampingi oleh
penasehat hukum, bebas untuk berbicara serta berkomunikasi lewat surat. Pada tahap prasidang,
pelaku juga punya hak untuk diam saat diinterogasi, dan pelaku juga mendapat hak atas informasi
tentang hasil investigasi oleh polisi atau pemeriksaan oleh hakim, tentunya dengan pembatasan
dalam rangka untuk mencegah penyalahgunaan hak-hak dari pelaku. Hak-hak yang dimiliki oleh
pelaku dapat dibatasi demi untuk kepentingan penyidikan oleh penuntut umum dan pemeriksaan
oleh hukum. Pembatasan tersebut dapat ditinjau kemb ali oleh peradilan yang lebih tinggi yang
berwenang.9

Hukum Acara Pidana (CCP) Negara Belanda dibagi dalam lima buku. Buku pertama berisi
ketentuan kompetensi dari Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Peradilan serta hak-hak terdakwa dan
masalah penahanan. Buku kedua berisi tentang ketentuan hukum prasidang dan tahap persidangan.
Buku ketiga berisi ketentuan mengenai upaya hukum seperti banding dan kasasi. Buku keempat
berisi ketentuan-ketentuan khusus mengenai hukum acara pidana. Sedangkan, buku kelima berisi
ketentuan mengenai pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).10

c. Organisasi kepolisian

Organisasi Kepolisian di Negara Belanda saat ini mengacu Pada ketentuan Undang-Undang
Kepolisian Tahun 1993. Dalam Undang-Undang Kepolisian diatur mengenai tugas kepolisian

7
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 115-116
8
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 116
9
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 116
10
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 116
yaitu untuk menegakkan tertib hukum, membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan
kepolisian. Penegakan di bidang tatanan hukum meliputi penegakan hukum pidana, penegakan
ketertiban umum dan pelayanan peradilan.11

Ketika bertugas dalam bidang penegakan ketertiban umum, jaksa beroperasi di bawah kewenangan
walikota, sedangkan tugas polisi dalam bidang penegakan hukum pidana dan tugas layanan
peradilan. Tindakan polisi di bawah wewenang layanan penuntutan.12

Undang-Undang Kepolisian Tahun 1993 merupakan hasil reformasi dari struktur dan layanan
kepolisian dengan alasan utama adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam
memerangi kejahatan terorganisir baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.13

d. Organisasi Kejaksaan

Layanan di bidang penuntutan adalah suatu organisasi nasional dari kejaksaan. Organisasi
kejaksaan diatur secara hierarki dan organisasi paling atas adalah Dewan Jaksa Umum. Organisasi
layanan penuntutan yang dilaksanakan oleh kejaksaan, diatur dalam Judicial Organization Act
(JOA) Tahun 1827; JOA tersebut kemudian direformasi pada tahun 1999.14

Jumlah Jaksa di Negara Belanda seki tar 500 orang dan seperempat dari jumlah Jaksa adalah
perempuan. Perekrutan Jaksa sama dengan perekrutan hakim, mereka tidak diangkat seumur hidup
melainkan pensiun dalam usia 65 tahun. Pelayanan di bidang penuntutan dilaksanakan dalam dua
lapisan sesuai dengan pengadilan yaitu tingkat pertama dan tingkat banding.15

Pada Pengadilan Tingkat Distrik/pertama terdiri dari 19 pengadilan, tugas penuntutan


dilakukan oleh Jaksa dengan pangkatjaksa Utama, jaksa senior dan jaksa pengganti. Dalam
persidangan tingkat pertama, jaksa penuntut umum adalah tunggal. Sedangkan dalam P?Hgadilan
tingkat banding terdiri dari lima pengadilan.16

Di bidang penuntutan dikenal juga Kantor Penuntutan Nasional (National Prosecutor office)
yang terletak di Rotterdam yang tugasnya tidak ada kaitannya dengan pengadilan distrik. Tugas

11
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
12
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
13
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
14
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
15
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
16
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 117
dari bagian ini untuk mengawasi kejahatan internasional seperti perdagangan manusia, terorisme,
pencucian uang. Selain itu Kantor Penuntutan Nasional juga bertugas untuk menuntut kasus-kasus
yang telah dilakukan penyidikan oleh unit itu. Unit itu juga bertugas untuk mengembangkan
kebijakan penyidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang terorganisasi dan berskala
Internasional.17

Organisasi tertinggi di bidang penuntutan adalah Dewan Jaksa Umum (The Board of Prosecu
tors General) yang berbentuk dewan yang berjumlah tiga sampai lima Jaksa umum (College Van
Procureurs General). Dewan Jaksa Umum dipimpin oleh seorang Ketua (Board) yang ditunjuk
dari kerajaan dan dewan ini memiliki kantor di Den Haag. Dewan ini bertugas memberikan
instruksi kepada kejaksaan di bidang penuntutan, administrasi dan kebijakan umum, masalah
pidana dan jaksa secara hukum terkait oleh petunjuk dari Dewan ini Kewenangan tertinggi selama
pelaksanaan penyidikan dan penuntutan berada pada Ketua (Board). Dewan juga bertugas
mengawasi pelaksanaan penyidikan dan penuntutan serta kebijakan yang berkaitan dengan
penuntutan dan investigasi.18

e. Pengadilan

Organisasi Sistem Pengadilan diatur dalam Undang-Undang Organisasi Yudisial (Wet op de


Rechterlijke) yang disahkan pada tahun 1827, kemudian Undang-Undang ini diadakan perubahan
pada tahun 2002. Jumlah Hakim di Belanda saat ini berjumlah sekitar 2.200 orang dan sekitar 50%
dari jumlah Hakim tersebut adalah hakim perempuan.19

Pengadilan di Negara Belanda dibagi dalam tiga tingkatan yaitu Pengadilan tingkat pertama
setingkat Kabupaten/Distrik berjumlah sembilan belas dan Pengadilan Banding (Gerecht Shaf)
yang berjumlah lima Pengadilan dan Pengadilan tingkat tertinggi adalah Mahkamah Agung (Hoge
Raad) yang berkedudukan di Den Haag. Mahkamah Agung tidak memeriksa fakta hukum, namun
bertugas meninjau atau menilai keabsahan penerapan hukum dari putusan pengadilan yang lebih
rendah.20

17
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 118
18
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 118
19
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 118
20
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm,118
Mahkamah Agung juga merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir bagi Anggota
Parlemen, Menteri, dan Wakil Menteri yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung tersebut sampai saat ini belum pernah terjadi.21

Perkara pelanggaran di sidang Pengadilan wilayah Distrik (Kantonrechter) biasanya diadili


dengan hakim tunggal. Sedangkan untuk perkara kejahatan biasanya akan disidangkan dengan
hakim majelis yang berjumlah tiga orang. Sistem peradilan pidana di Negara Belanda dalam
menangani perkara kejahatan yang dilakukan oleh remaja/anak-anak diadili dengan hakim tunggal
di pengadilan anak-anak (Kinderrechter).22

Pengadilan Banding memeriksa perkara banding dari Pengadilan Pertama dengan Majelis
Hakim berjumlah tiga orang. Adapun Mahkamah Agung sebagai Pengadilan tertinggi mempunyai
kewenangan untuk memeriksa perkara-perkara kasasi yaitu apakah hukum sudah diterapkan secara
benar, atau apakah cara mengadili sudah sesuai dengan proses atau prosedur atau ada
proses/prosedur yang tidak sesuai kewajaran atau telah dilanggar.23

Berdasarkan ketentuan Undang-undang, Mahkamah Agung dalam menyidangkan perkara


kasasi, terdiri dari lima orang Majelis Hakim, namun Mahkamah Agung dapat juga menyi dangkan
perkara kasasi dengan Majelis Hakim berjumlah tiga orang.24

Di Negara Belanda tidak dikenal adanya sistem juri. Proses peradilan untuk mencari keadilan
dilaksanakan oleh hakim karir, Jaksa Penuntut Umum maupun Kepolisian. Kecuali untuk perkara
yang terdakwanya adalah anggota militer ada hukum acara yang berbeda dengan hukum acara
biasa. Bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana akan diadili di Pengadilan Tingkat
Pertama yang berkedudukan di Amhem. Demikian pula untuk Pengadilan Banding, juga akan
diadili di Pengadilan Tingkat Banding yang berkedudukan di Amhem. Adapun untuk kasasi bagi
perkara anggota militer akan . diperiksa oleh Mahkamah Agung (Hoge Raad) yang berkedudukan
di Den Haag.25

21
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm,119
22
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 119
23
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 119
24
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 119
25
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 119
Penyidikan bagi Anggota Militer dilakukan oleh Polisi Militer, sedangkan penuntutannya
dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Adapun Hakim dalam persidangan tingkat pertama dan
banding bagi Anggota Militer di Pengadilan yang berkedudukan di Arnhem dengan Majelis Hakim
yang berjumlah tiga orang dengan komposisi dua dari Hakim Karir dan satu dari Hakim Militer.
26

Masalah bantuan hukum sesuai dengan hukum acara pidana, pada prinsipnya adalah terdakwa
setiap saat dapat didampingi oleh penasehat hukum dengan biaya dari terdakwa. Di samping itu,
pembela dapat juga diberikan oleh Bantuan Hukum Dewan Daerah berdasarkan permintaan dari
tersangka atau terdakwa dengan biaya murah/rendah. Berdasarkan aturan, tersangka harus
membayar keuangan kepada Dewan Daerah dengan penghasilannya. 27

Prinsip yang dianut dalam Pengadilan Pidana di Negara Belanda adalah prinsip legalitas, yang
diatur dalam Pasal IKUHP, yang pada pokoknya menyatakan, "Tiada suatu perbuatan yang dapat
dihukum, kecuali atas ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang telah ada sebelumnya."
Prinsip legalitas tersebut juga diatur dalam Pasal 16 Konstitusi Negara Belanda. 28

Prinsip legalitas yang dianut di Negara Belanda ini untuk menjamin tidak terjadi kesewenang-
wenangan, untuk memenuhi rasa keadilan dan menawarkan tingkat tinggi adanya suatu kepastian
hukum. Prinsip ini juga menjamin bahwa lembaga legislatif yang bisa mendefinisikan suatu tindak
pidana, pengadilan tidak boleh membuat suatu tindak pidana baru dengan menggunakan
interpretasi maupun analogi. Prinsip yang lebih jauh lagi adalah adanya jaminan bahwa ketentuan
hukum pidana yang baru tidak akan diberlakukan surut. Kecuali apabila ada perubahan peraturan
perundang-undangan akan diberlakukan yang menguntungkan bagi terdakwa. 29

B. Peraturan Perundang-Undangan tentang HAM di Negara Belanda

Seperti halnya dengan Negara Indonesia, Negara Belanda adalah juga negara hokum
(rechtsstaat), adapun salah satu ciri atau identitas dari negara hukum adalah adanya jaminan

26
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 120
27
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 120
28
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 120
29
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 120
perlindungan hak asasi manusia dari negara atau pemerintah terhadap warga negaranya. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa walaupun Indonesia dan Belanda yang sama-sama menganut
sisten civil law, namun dalam perkembanganya, khususnya dalam perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang diwujudkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang hak asasi
manusia sebagai hukum positif yang berlaku dalam negara terdapat perbedaan. Di Indonesia
pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan mengalami
perkembangan yang sangat pesat setelah memasuki era reformasi pada tahun 1997. Secara
kronologis berbagai produk peraturan perundang-undangan tentang HAM telah dikeluarkan antara
lain Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998
tentang HAM, pada tanggal 13 November 1998, selanjutnya diundangkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang HAM pada tanggal 23 September 1999. Konstitusi Negara Republik
Indonesia yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga
mengalami perubahan yaitu dalam Bab XA telah di atur tentang hak asasi manusia, yang
diamandemen pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000. Selanjutnya pada tanggal 23 Nopember
Tahun 2000 telah di undangkan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. 30

Di Negara Belanda jaminan perlindungan atas hak asasi manusia terhadap warga negaranya
oleh pemerintah atau negara, dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang HAM, yang dibuat oleh pemerintah bersama sama dengan parlemen untuk
diberlakukan sebagai hukum positif tidak ada sama sekali. Hal ini bukan berarti bahwa di Negara
Belanda, tidak ada jaminan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya oleh
negara. Pada hakekatnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah tidak pidana, sehingga
terhadap para pelakunya dapat diadili di pengadilan pidana biasa. Sedangkan untuk para pelaku
tindak pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes),
walaupun tidak ada undang-undang yang mengatur tentang Pengadilan HAM, pelakunya tetap
dapat disidangkan di Pengadilan biasa yang berkedudukan di Den Haag (District Court of The
Hague) dengan menggunakan hukum internasional. Menurut Pinar Olcer, dalam tindak pidana
yang digolongkan ke dalam pelanggaran hak asasi manusia berat (extraordinary crimes )
argumentasi tentang asas legalitas menjadi begitu penting. Walaupun peraturan perundang-

30
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 121
undangan dalam Negara Belanda belum ada atau tidak mengatur, namun apabila perbuatan yang
dilakukan secara faktual telah dinilai merupakan extraordinary crimes, pelakunya dapat diadili
sebagai pelaku kejahatan HAM berat dan akan diadili di Pengadilan biasa yang berkedudukan di
Den Haag ( District Court of The Hague)_ Adapun yang dijadikan dasar adalah ketentuan hukum
inter… nasional, karena seluruh ketentuan hukum internasional termasuk hukum yang mengatur
tentang hak asasi manusia berlaku di Negara Belanda. Dicontohkan oleh Pinar Olcer suatu kasus
yang sangat menarik yang pernah terjadi di Belanda adalah Kasus Van Anraat yang telah
disidangkan melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat ( extraordinary crimes)
berdasarkan ketentuan hukum internasinal. Bahkan Putusan Pengadilan tingkat pertama yang
berkedudukan di Den Haag tersebut, telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan tingkat Banding
maupun Putusan Pengadilan di tingkat Kasasi atau Mahkamah Agung ( Hoge Raad) Belanda. 31

Jadi, secara normatif dalam bentuk peraturan perundangundangan seperti Undang-Undang


tentang HAM, Undang-Undang tentang Pengadilan HAM, di N egara Belanda tidak akan di
ketemukan. Namun dalam' Konstitusi Negara Belanda pada Bab I di atur mengenai Hak-hak Dasar
dari warga negara (Fundamental Rights). Negara Belanda sebagai negara hukum dalam
pelaksanaanya pemerintah ataupun negara, tetap menjamin adanya perlindungan terhadap hakhak
warga negara atas hak asasi manusia yang merupakan hal yang fundamental dan bersifat universal
tersebut. Perlindungan atas hakhak asasi warga negara tersebut, tidak harus diwujudkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan dalam hukum positif yang berlaku dalam negara di
Belanda, namun lebih mengutamakan penegakan hukumnya atau law of enforcement. Hal tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa karena semua ketentuan hukum internasional, berlaku
sebagai hukum nasional Negara Belanda dan mengikat bagi semua warga negaranya.32

Walaupun dalam hukum internasional Negara Belanda, tidak ada ketentuan tentang hak asasi
manusia maupun Undang-Undang tentang Pengadilan HAM seperti negara Indonesia, hal ini tidak
berarti bahwa Negara Belanda mengabaikan tentang adanya prinsip legalitas dalam hokum atau
pertauran perundang-undangan di negaranya. Menurut Kenneth S. Gallant, Negara Belanda
termasuk salah satu negara saat ini dalam konstitusinya dan dalam aturan hukum negaranya
menerapkan prinsip legalitas (constitutional and other national provisions implementing the

31
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 121-122
32
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 122
principle of legality today). Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 16 dan Pasal 89 ayat (2)
Konstitusi Negara Belanda yang menganut asas legalitas, sebagai berikut :

- Netherlands Constitution Art. 16: Any ofense is punishable only ifit was a punishable
ojfense under the law at the time it was committed.
- Netherlands Constitution Art. 89 (2): Any regulations to which penalties are attached can
be enacted only on the basis of law. The penalties to be imposed are determined by law. 33

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 16 dan Pasal 89 Ayat (2) Konstitusi Negara Belanda
tersebut, jelas bahwa negara Belanda juga memberlakukan prinsip legalitas sebagai asas
fudamental dalam hukum pidana, dalam peraturan perundang-undangan di Negara Belanda.
Sebagai contoh dalam kasus Torture atau penyiksaan dalam perkara pelanggaran HAM berat
(extraordinary crimes), yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan yang
berkedudukan di Den Haag (District Court of The Hague), oleh Pengadilan Den Haag yang
mengadili perkara tersebut, telah menjatuhkan putusan menolak perkara tersebut dengan
pertimbangan bertentangan dengan Pasal 16 Konstitusi Negara Belanda. 34

Dalam pembuatan undang-undang di Negara Belanda, biasanya Rancangan Undang-Undang


(RUU) dipersiapkan oleh pemerintah, selanjutnya RUU tersebut kemudian disampaikan atau
disosialisasikan kepada parlemen. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyusun
suatu rancangan undang-undang, sebelumnya sudah berkonsultasi dengan suatu Komisi Ahli
(Commission of Experts). Menurut Nico Keijzer, walaupun di Negara Belanda secara khusus tidak
ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak asasi manusia, tetapi dalam
Konstitusi Belanda berisi atau memuat pula mengenai hak asasi manusia. Namun demikian, di
dalam praktik nya, menurut Keizer, The European Convention for the protection of Human Right
and fundamental freedoms (ECHR) sangat penting atau lebih kuat.35

Dalam pemberlakuan hukum internasional menjadi hukum nasional, di Negara Belanda


dikenal menggunakan asas monisme, artinya semua ketentuan hukum internasional juga sebagai

33
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm,123
34
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 123
35
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm,123
hukum nasional yang berlaku di Negara Belanda. Sebagai dasar (The Legal Basis) dalam
pemberlakuan hukum intemasional ke dalam hukum nasional adalah ketentuan Pasal 94 Konstitusi
Belanda yang menentukan sebagai berikut:

Statutory regulations in force within the Kingdom shall not be applicable if such application
is in coflict with provisions of treaties or of resolutions by in ternational institutions that are
binding on all persons. 36

Dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 94 Konstitusi Belanda (Constitution for The
Kingdom of the Netherlads) tersebut, maka semua aturan-aturan, undang-undang, tidak bisa
diaplikasikan atau diterapkan, apabila bertentangan dengan pasal-pasal suatu perjanjian, atau
resolusi-resolusi, yang dibuat oleh lembaga internasional yang mengikat untuk semua orang.
Dengan demikian hukum internasinal yang berupa konvensi, covenant, atau protokol, perj
anjianperjanjian, resolusi-resolusi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau lebih penting dari
pada hukum nasional yang berlaku di Negara Belanda. 37

Seperti halnya di Negara Indonesia, di Negara Belanda juga dikenal adanya hierarki peraturan
perundang-undangan yang dimulai dengan Hukum Internasional (Charter) sebagai hukum
tertinggi, kemudian di bawahnya ada Konstitusi (Constitution for the Kingdoms of the
Netherlands), kemudian diikuti dengan Undang-Undang (Act of Parliament) dan di bawahnya ada
peraturan pelaksanaan lainnya. Berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang' undangan ini,
Nico Keijzer, berpendapat bahwa apabila ada Undang' Undang yang telah disahkan oleh Parlemen
(Act of Parliament), kemudian ada aturan pelaksanaan dari undang-undang, sebagai contoh
Peraturan Daerah yang di tetapkan Pemerintahan Kotapraja atau Kota Madya, yang apabila dalam
pelaksanaanya secara luas dinilai bertentangan dengan hukum internasional, maka aturan tersebut
tidak bisa dilaksanakan. Hal tersebut karena adanya ketentuan dari Pasal 94 Konstitusi Belanda
(Constitution for the Kingdom of the Netherlands) sebagai dasar berlakunya hukum internasional
kedalam hukum nasional dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi atau lebih penting. Oleh
karena itu apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan nasional, yang apabila dalam
implementasinya, bertentangan dengan suatu Perjanjian atau Keputusan Badan atau Resolusi dari

36
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 124
37
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 124
Dewan Internasinal, sebagai contoh Keputusan atau Resolusi dari Dewan Keamanan PBB, maka
peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diberlakukan. 38

Adapun mekanisme yang harus di tempuh, apabila terjadi pertentangan atau konflik norma
antara undang-undang dan aturan pelaksanaanya dengan Charter (Hukum Internasibnal) Belanda,
maka Pengadilan akan mematuhi atau menghormati untuk tidak memberlakukan undang-undang
dan peraturan pelaksanaan tersebut. Akan tetapi jika terjadi Undang-Undang yang telah disahkan
cleh Parlemen (Act of Parliament), bertentangan dengan Konstitusi Belanda, maka yang akan
dimenangkan atau diberlakukan adalah Act of Paliament, sebagai kehendak rakyat akan berlaku
umum. Hal tersebut karena didasarkan pada ketentuan Pasal 120 dari Konstitusi Belanda yang
menyatakan bahwa Pengdilan tidak dapat menilai/meninjau dari suatu Undang-Undang dan
perjanjian internasional. Sedangkan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan suatu
undang-undang, maka pengadilan yang akan memutuskanya. Jika pengadilan dalarn putusannya
telah menafsirkan undang-undang yang berbeda atau bertentangan dengan adat atau kebiasaan
pada umumnya, maka Mahkamah Agung akan memutuskanya, sebagai keputusan yang terakhir
atau final. Jaksa Agung sebagai penuntut umum menyampaikan pertimbangan atau pendapat
mendasarkan pada kasus-kasus yang telah lama kepada Mahkamah Agung. Hal ini akan digunakan
dalam menjatuhkan atau memutuskan pokok persoalan dari hukum, tanpa terpengaruh akibat dari
hukum serta Para pihak yang berperkara.39

C. Asas Berlaku Surut (Retroaktif) dalam Peraturan Perundangq Undangan di Negara


Belanda

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di Negara Belanda tidak ada peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur tentang hak asasi manusia maupun mengenai pengadilan
hak asasi manusia. Namun dalam Konstitusi Negara Belanda (Constitution for the Kingdom of the
Netherlands), mengatur atau berisi pula mengenai hak asasi manusia, dan di dalam praktiknya
menurut Keijzer, The European Conventionfor the protection of Human Right and fundamental
freedoms (ECHR) sangat penting atau lebih kuat untuk dilaksanakan sebagai wujud perlindungan
atas HAM terhadap warga negara dalam Negara Belanda.40

38
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 124-125
39
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 125
40
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 126
Di Negara Indonesia ada beberapa peraturan perundangundangan yang menganut asas berlaku
surut ( retroaktzf) sebagai hukum positif atau hukum yang berlaku dalam Negara Indonesia. Dalam
Pasal 1 Ayat (2) KUHP apabila terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka
dapat diberlakukan yang menguntungkan/meringankan bagi terdakwa. Demikian pula dalam Pasal
43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan dalam Pasal 46
Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (sekarang menjadi
UU Nomor 15 Tahun 2003) juga mengatur asas berlaku surut (retroaktif). 41

Permberlakuan asas retroaktif dalam perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia sampai
dengan saat ini masih menimbulkan perdebatan pro dan kontra dengan alasan/argumentasi masing-
masing. Di Negara Belanda dalam peratuaran perundang-undanganya tidak dikenal adanya hukum
yang berlaku surut (retroaktif). Negara Belanda dalam Charter (Ketentuan Hukum Internasional)
maupun dalam Konstitusi Negara Belanda serta dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menganut asas legalitas.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hukum internasional merupakan dasar hukum yang
mempunyai kedudukan tertinggi dan penting dalam hukum nasional Negara Belanda, sebagaimana
telah di atur dalam Pasal 94 Konstitusi Negara Belanda. Berkaitan dengan masalah hukum hak
asasi manusia yang bersumber dari hukum internasional, menurut Nico Keijzer, ”European
Convention for The Protection of Human Rights and Fundmental Freedoms ” ( ECHR), adalah
merupakan dasar hukum yang sangat penting.42

Pasal 7 ECHR mengatur dasar hukum asas legalitas, dan hal ini dijadikan dasar hukum dalam
proses penyelesaian perkara pelanggaan HAM berat (extraordinary crimes). Ketentuan Pasal 7
ECHR pada pokoknya menentukan, ”Bahwa tidak seorangpun boleh dianggap bersalah karena
suatu pelanggaran pidana atas alasan perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan perbuatan
yang bukan merupakan suatu tindak pidana menurut hukum nasional atau internasional pada saat
terjadinya. Tidak boleh pula diberlakukan hukum yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat
terjadinya tindak pidana itu".43

41
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 126
42
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 126
43
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 127
Selain itu, Konstitusi Negara Belanda dalam Pasal 16 juga mengatur tentang asas legalitas yang
pada pokoknya menentukan bahwa ”Tidak ada kejahatan maupun kelalaian yang dapat dihukum,
kecuali berdasarkan suatu undang-undang yang berlaku pada saat perbuatan tersebut dilakukan.”
Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan yang di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP Negara
Belanda.44

Penerapan asas legalitas yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, di Negara
Belanda dalam proses penyelesaian perkara pidana, baik perkara pidana biasa maupun pelanggaran
HAM berat (extraordinary crimes) sangat di junjung tinggi. Sebagai contoh dalam kasus
penyiksaan (Torture), telah diatur dalam undangundang baru tentang Penyiksaan atau Torture
pada Tahun 1998. Walaupun tindakan penyiksaan ini jauh sebelum UU Penyiksaan, telah dapat
dihukum, akan tetapi tindakan penyiksaan yang terjadi sebelum tahun 1998 tidak dapat dikenakan
dengan UU Penyiksaan (Putusan Mahkamah Agung Kerajaan Belanda dalam Kasus Bouterse,
tanggal 18 September 2001, NJ 2002, 559). Dalam Putusan Mahkamah Agung Kerajaan Belanda
tersebut pada pokoknya melarang pemberlakuan hukum secara retroaktif dalam perkara
Bouterse.45

Menurut Nico Keijzer, pemberlakuan hukum secara retroaktif di Negara Belanda hanya
dimungkinkan sepanjang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan
adanya perubahan peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam Pasal 15 Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Menyatakan bahwa ”Apabila setelah terjadinya
tindak pidana atau Pelanggaran, ketentuan yang dibuat oleh undang-undang untuk Penuntutan
hukuman yang lebih ringan, maka pihak tersangka dapat/dibolehkan untuk mengambil keuntungan
dari hal tersebut." Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) KUHP Negara Belanda yang
menentukan bahwa "Apabila sebuah perubahan atas perundangan dilakukan setelah terjadinya
pelanggaran atau tindak pidana, maka ketentuan yang paling meringankan bagi tersangka dapat
diberlakukan.”46

Menurut Mahkamah Agung Kerajaan Belanda, berkaitan dengan adanya perubahan peraturan
perundang-undangan, hal ini hanya akan terjadi jika perubahan peraturan perundang-undangan

44
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 127
45
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 127
46
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 128
dihasilkan oleh sebuah perubahan pandangan dari pembuat undang-undang tentang karakter
kejahatan/kriminal dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Kerajaan
Belanda pada Tanggal 17 September 2002, Nomor N12002, 627, menyatakan bahwa sebuah
perubahan teknis di dalam sebuah peraturan melarang penggunaan j aring ikan yang terlalu ketat,
tidaklah dianggap sebagai hasil dari sebuah perubahan pendapat pihak pembuat undangundang
tentang karakter kriminal tindakan penangkapan ikan yang terlalu kecil. 47

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa di Negara Belanda secara normatif tidak
dikenal adanya peraturan perundangundangan baik dalam undang-undang yang mengatur tentang
tindak pidana biasa maupun tindak pidana tentang extraordinary crimes, yang memberlakukan
ketentuan secara retroaktif atau berlaku surut. Pemberlakuan ketentuan undang-undang secara
retroaktif, dapat terjadi sebatas adanya perubahan peraturan perundangundangan setelah tindak
pidana terjadi, sehingga ada pilihan untuk diberlakukan kepada tersangka ketentuan yang
menguntungkan/ meringankan baginya.48

D. Proses Penyelesaian Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat di Negara Belanda

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa di Negara Belanda tidak memiliki Undang-Undang
yang secara khusus mengatur tentang HAM, ataupun mengatur mengenai Pengadilan HAM.
Dengan demikian, mengenai aturan bagaimana mekanisme atau hukum acara dalam proses
penyelesaian tindak pidana pelanggaran HAM berat, di Negara Belanda, tidak ada undang-undang
yang secara khusus mengatur hal tersebut. Oleh karena itu proses penyelesaian perkara
pelanggaran HAM berat menggunakan hukum acara biasa (KUHAP) seperti dalam proses
penyelesaian tindak pidana biasa. Pada bagian ini tidak akan diuraikan secara mendetail, karena
hal tersebut telah dijelaskan pada bagian sebelumya yaitu dalam sistem peradilan pidana di Negara
Belanda (The Dutch Criminal ]ustice System).49

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nico Keijzer, bahwa berkaitan dengan masalah hak asasi
manusia, maka The European Conventionfor the protection of Human Right (ECHR) adalah
merupakan dasar aturan yang sangat penting di Negara Belanda. Dalam perkara pelanggaran HAM
berat di Belanda tidak diatur secara khusus mengenai penggolongan atau jenis-jenis dari tindak

47
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 128
48
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 128
49
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 128-129
pidana pelanggaran HAM berat (serious human right violation case). Menurut Nico Keijzer, yang
dapat digolongkan sebagai jenis-jenis tindak pidana pelanggaran HAM berat (serious human right
violations case) adalah sebagai berikut:

a. Genoside;
b. Crimes against humanity;
c. War crimes;
d. Torture.50

Berdasarkan ketentuan Statuta Roma 1998 (International Criminal Court), maka kewenangan
dari Pengadilan Mahkamah Pidana Internasional adalah untuk mengadili perkara tidak pidana
pelanggaran HAM berat (serious human right violations case) sebagai berikut:

a. Genoside;
b. Crimes against humanity;
c. War crimes;
d. Aggression. 51

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, juga
mengatur mengenai jenis-jenis dari tindak pidana pelanggaran HAM berat, yang mengadopsi
sebagian dari ketentuan Statuta Roma 1998, yaitu kejahatan genoside dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity). Mengenai bagaimana mekanisme proses penyelesaian
tindak pidana pelanggaran HAM berat di Indonesia, sudah di atur dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, selain berisi ketentuan mengenai hukum materiil, juga berisi mengenai hukum
formil, dan apabila tidak di atur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut, maka hukum formil
yang dipergunakan adalah Undang. Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.52

Tindak pidana yang digolongkan kedalam kejahatan pelang. garan HAM berat di Negara
Belanda (serious human right violations) meliputi kejahatan genoside, crimes against humanity

50
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 129
51
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 129
52
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 130
dan war crimes serta torture. Namun untuk menentukan bahwa suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang, merupakan suatu kejahatan pelanggaran HAM berat, dalam undang-undang tidak
mengatur. Menurut Pinar Olcer, walaupun undang-undang tidak menga tur, hal tersebut tidak
menjadikan persoalan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut ke pengadilan. Selain karena
hukum internasional dapat dijadikan dasar hukum dalam mengadili perkara tersebut, tentunya para
aparat penegak hukum dimulai dari pihak kepolisian selaku penyidik, merupakan lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk menentukan suatu perbuatan seseorang merupakan kejahatan
pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes) atau kejahatan biasa.53

Pandangan yang sama mengenai betapa sangat pentingnya hukum internasional di Negara
Belanda juga dikemukakan oleh Constantijin A.J.M. Kortmann dan Paul P.T. Bovend'Eert, yang
menyatakan sebagai berikut:

The most important treaties for the Netherlands in the sphere of fundamental right are: the
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and its protocols,
the E uropean Social Charter, the International Convention on Civil and Political Right with
its optional protocol and the International Treaty on Economic, Social, and Rights.54

Sehubungan dengan kewenangan pihak kepolisian sebagai penyidik untuk menentukan suatu
perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan pelanggaran HAM berat, maka harus benar-benar
menilai bahwa perbuatan yang dilakukanya, adalah sebagai kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes). Sebagai contoh dalam kasus Van Anraat, yang telah di proses melalui
Pengadilan Distrik di Den Haag (District Court of The Hague), dalam perkara kejahatan
pelanggaran HAM berat, dinyatakan telah terbukti mekakukan perbuatan mengirim bahan-bahan
kimia untuk persenjataan ke Iraq selama bertahun-tahun, dan karenanya oleh Pengadilan Distrik
di Den Haag diputus dengan pidana penjara selama tujuh belas tahun.55

Di Negara Belanda tidak dikenal adanya lembaga Commissionsfor Human Rights atau Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), seperti di Indonesia. Dengan demikian, lembaga
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah kepolisian.
Berbeda dengan di Indonesia setelah reformasi banyak lembaga-lembaga baru di bidang hukum di

53
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 130
54
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 130
55
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 130-131
bentuk seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang sering disebut dengan makelar
kasus (markus), dll. Mengenai bagaimana mekanisme proses penyelesaian perkara kejahatan
pelanggaran HAM berat, tentunya harus mengacu pada hukum acara pidana biasa yaitu The Dutch
Code of Criminal Procedure (CCP) yang berlaku di Negara Belanda. Hal ini karena tidak ada
hukum acara secara khusus yang mengatur tentang mekanisme proses penyelesaian tindak pidana
pelanggaran HAM berat seperti di Indonesia.56

Berdasarkan sejarah perkembanganya, The Dutch code of Criminal Procedure (CCP) di


Negara Belanda, menurut Peter J.P. Tak, berasal dari the Napoleonic Code d’instruction criminelle
yang diterapkan pada tahun 1838, dengan beberapa perubahan. Hukum acara tersebut bukan
merupakan undang-undang yang baru, melainkan merupakan sebuah terjemahan dari Hukum
Acara Pidana dari N egara Perancis. Hukum acara yang diberlakukan pada tahun 1838 tersebut,
lebih mengedepankan semacam investigasi pada tersangka, sehingga tersangka merupakan objek
dari penyelidikan, atau investigasi dan penyidikan, sehingga hak-hak dari tersangka kurang
mendapat perlindungan. Oleh karena itu terus dilakukan berbagai upaya untuk mereformasi hukum
acara yang diperlakukan pada tahun 1838 tersebut, namun mengalami kegagalan, dan akhirnya
berhasil diberlakukan hukum acara pidana (Wetboek van Strafoordering) pada tahun 1926.57

Penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat di Belanda dan di Negara Indonesia ada
perbedaan dalam hukum acaranya. Di Negara Indonesia penyelesaian perkara pelanggaran HAM
berat, bisa melalui dua cara, yaitu melalui proses Pengadilan HAM dan proses Pengadilan HAM
Ad hoc. Adapun proses melalui Pengadilan HAM, adalah untuk menyidangkan perkara-perkara
pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM (menganut asas legalitas). Sedangkan proses melalui Pengadilan HAM
Ad hoc, adalah untuk menyidangkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (menganut
asas retroaktif). Adapun penyelesaian melalui proses pengadilan HAM Ad hoc, dibagi juga dalam
dua jalur yaitu jalur penal (melalui proses pengadilan) dan jalur nonpenal yaitu penyelesaian

56
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 131
57
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 131
melalui jalur di luar proses pengadilan. Penyelesaian jalur nonpenal yaitu melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004.58

Penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terjadi sebelum belakunya
Undang-Undang N omor 26 Tahun 2000, untuk menentukan suatu perbuatan itu merupakan suatu
pelanggaran HAM berat atau bukan, diperlukan usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-M) sebagai representasi dari seluruh Bangsa Indonesia, untuk dibentuk
Pengadilan HAM Ad hoc dengan Keputusan Presiden. Sebagai contoh kasus pelanggaran HAM
berat di Timor-Timur pasca jajak pendapat Tahun 1999 dan kasus Tanjung Priok Tahun 1984, di
proses melalui Pengadilan HAM Ad hoc adalah atas usul dari DPR-RI kepada Presiden,
selanjutnya Presiden mengeluarkan Keppres untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc yang
berkedudukan di Pengadilan Negri Jakarta Pusat. Adapun untuk kasus-kasus seperti Trisakti dan
Semanggi Iserta semanggi II, menurut Panitia Khusus (Pansus) yang di bentuk oleh DPR-RI
merekomendasikan kepada Presiden bukan merupakan pelanggaran HAM berat. Keterlibatan
DPR-RI dalam menentukan perkara pelanggaran HAM berat di masa lalu ini merupakan hal yang
sangat unik di Indonesia, karena lembaga legislatif turut serta dalam masalah yang merupakan
kewenangan dari lembaga yudikatif. Demikian pula institusi yang diberi kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia
dibedakan, yaitu untuk penyelidikan dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM), sedangkan untuk penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung.59

Sedangkan di Negara Belanda proses penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat


(extraordinary crimes), selalu menggunakan mekanisme penyelesaian melalui proses persidangan
di Pengadilan Distrik yang berkedudukan di Den Haag (District Court of the Hague). Demikian
pula pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan, penuntutan serta proses
persidangan adalah lembagalembaga sebagaimana dalam penyelesaian perkara tindak pidana biasa
yaitu polisi selaku penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, serta para hakim yang
menyidangkan perkara dengan hakim majelis.60

58
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 131-132
59
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 132-133
60
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 133
Dalam proses penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes) di Negara
Belanda yang mendasarkan pada ketentuan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Pasal
94 Konstitusi Negara Belanda (Constitution for the Kingdom of the Netherlands), dalam
praktiknya Para Hakim juga tetap mendasarkan pada ketentuan mengenai asas legalitas yang
merupakan asas fundamental dalam hukum pidana di Negara Belanda. Sehingga perkara-perkara
pelanggaran HAM berat yang disidangkan di Pengadilan Distrik yang berkedudukan di Den Haag
adalah perkara-perkara yang terjadi setelah adanya peraturan perundang-undangan pada saat
tindak pidana tersebut terjadi.61

Sebagai contoh yang sangat menarik adalah kasus perkara pelanggaran HAM berat
(extraordinary crimes) Torture yaitu kasus penyiksaan yang dilakukan oleh Bouterse seorang yang
sangat berpengaruh di Suriname kepada lawan-lawan politiknya, yang dilakukan pada sekitar
bulan Desember tahun 1992 dan sebagian dari kejadian kasus tersebut berada di wilayah
kewenangan Pengadilan Negara Belanda. N amun kasus tersebut oleh pihak yang berwenang di
Suriname tidak dilakukan proses hukum, sehingga oleh Pengacara dari para pihak korban
mengajukan penuntutan kepada pihak Kejaksaan Belanda untuk mengadili kasus Bou terse
tersebut di Pengadilan Belanda.62

Dalam proses penyelesaian perkara tersebut di Pengadilan Distrik Yang berkedudukan di Den
Haag, hakim telah menjatuhkan Putusan menolak perkara tersebut, dengan pertimbangan bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh Bouterse sebagai terdakwa dalam tindak pidana pelanggaran HAM
berat (extraordinary crimes) kasus penyiksaan atau Torture, karena pada saat perbuatan tersebut
dilakukan, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perbuatan tersebut
sebagai tindak pidana pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes) dalam perkara penyiksaan
(Torture). Putusan Pengadilan Distrik Den Haa g tersebut mendasarkan pada ketentuan Pasal 16
dan 89 ayat (2) Konstitusi belanda serta ketentuan Pasal 7 dari The European Convention for the
Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (ECHR). Jadi, dalam hal ini Majelis
Hakim di Pengadilan Distik Den Haag Belanda dalam menolak perkara kasus penyiksaan atau
torture dengan menggunakan dasar hukum bertentangan dengan asas legalitas, sebagaimana diatur

61
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 133
62
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 133
dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP Belanda, Pasal 16 dan Pasal 89 Ayat (2) Konstitusi Belanda serta
Pasal 7 ECHR.63

Proses penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes) melalui


pengadilan, dalam sistem peradilan pidana di Negara Belanda (The Dutch Criminal justice
System), sebagaimana telah diuraikan lebih rinci pada pembahasan sebelumnya, akan dijelaskan
kembali secara singkat berkaitan dengan sistem organisasi pengadilan di Negara Belanda. Kalau
di Negara Indonesia dikenal ada empat lingkungan peradilan yaitu lingkungan peradilan umum,
peradilaan agama, dan peradilan militer serta peradilan tata usaha negara. Masing-masing
lingkungan peradilan memiliki tiga tingkatan peradilan yaitu peradilan tingkat pertama, peradilan
tingkat banding, dan sebuah pengadilan untuk kasasi yaitu Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan Pengadilan HAM adalah merupakan Pengadilan khusus
yang berkedudukan di Pengadilan Negeri, dan untuk sementara waktu baru dibentuk di empat
tempat yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri
Makassar serta Pengadilan Negeri Medan.64

Adapun di Negara Belanda, tidak dikenal adanya pengadilan khusus seperti Pengadilan HAM
yang ada di N egara Indonesia. Bagi para pelaku tindak pidana pelanggaran HAM berat diadili dan
dif proses di pengadilan biasa seperti tidak pidana biasa. Hanya saja tempatnya ditunjuk khusus
yaitu di Pengadilan Distrik yang berkedudukan di Den Haag atau setingkat Pengadilan Negeri di
Indonesia. Di Negara Belanda sama seperti di Indonesia pengadilan mempunyai tiga tingkatan
yaitu Pengadilan tingkat pertama atau District Courts (rechtbanken), setingkat Pengadilan Negeri
di Indonesia, yang berjumlah sembilan belas pengadilan. Kemudian ada pengadilan tingkat
banding atau Court Appeal (gerechtsbof) yang berjumlah lima pengadilan dan ada sebuah
Pengadilan Tingkat Kasasi yang disebut dengan The Supreme Court (Hoge Raad) yang
berkedudukan di Denhaaq, seperti Mahkamah Agung Republik Indonesia di Indonesia yang
berkedudukan di Jakarta.65

Untuk lebih jelasnya nanti pada saat membahas kasus-kasus tindak pidana pelanggaran HAM
berat di Negara Belanda, akan dijelaskan dalam contoh-contoh kasus tidak pidana pelanggaran

63
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 133-134
64
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 134
65
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 1134-135
HAM berat (serious human right violations case) seperti kasus torture (penyiksaan) dan kasus
Van Anraat yaitu kasus pengiriman bahanbahan kimia untuk persenjataan berbahaya ke Negara
Iraq. Kedua kasus tersebut sangat menarik untuk dibahas dilihat dari segi Putusan Hakim mengenai
argumentasi dan pertimbanganya serta dasar hukumnya. Mengapa dikatakan menarik, karena
kedua pekara tersebut sarna-sama merupakan tindak pidana pelanggaran HAM berat, namun
Pengadilan District di Den Haag memutuskan berbeda, yaitu Kasus Torture atau penyiksaan
dinyatakan ditolak, sedangkan dalam kasus Van Anraat dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan, bahkan dalam upaya hukum melalui putusan di tingkat banding maupun tingkat
kasasi di Makamah Agung (Hoge Raad), Putusan Pengadilan tingkat pertama di Pengadilan
District di Den Haag tersebut telah dikuatkan, sehingga Putusan Berkekuatan Hukum Tetap
(BHT).66

E. Kasus Tindak Pidana Pelanggaran HAM Berat di Negara Belanda

Berdasarkan ketentuan hukum internasional, telah banyak kasus atau kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crimes), telah disidangkan melalui Pengadilan yang bersifat ad hoc
(nonpermanent) seperti Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo dan International Criminal
Tribunalfor Former Yugoslavia (ICTY) serta International Criminal Tribunalfor Rwanda (ICTR).
Praktik pengadilan yang bersifat ad hoc tersebut untuk mengadili para pelaku penjahat Perang
Dunia ke-II dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) serta kejahatan genosida.67

Pengadilan Nuremberg, dibentuk untuk mengadili para pelaku penjahat Perang Dunia ke-Il,
oleh empat negara pemenang perang yaitu Inggris, Perancis dan Uni Soviet serta Amerika Serikat
dan didukung sebanyak sembilan belas negara lainya. Sedangkan Pengadilan ad hoc Tokyo
dibentuk pada Tahun 1946 juga untuk mengadili para pelaku penjahat perang Jepang, yang
didasarkan atas pernyataan dari Jenderal Mac Arthur Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu.
Adapun untuk ICTY, dibentuk atas Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor: 808 tanggal 22
Februari 1993 dan Nomor: 827 tanggal 25 Mei 1993 yang berkedudukan di Den Haag Belanda,
untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) di bekas wilayah
Yugoslavia pada Tahun 1991. Sedangkan ICTR dibentuk juga berdasarkan atas Resolusi Dewan

66
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 135
67
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 135
Keamanan PBB Nomor 955 Tanggal 8 Nopember 1994, berkedudukan di Aruska Tanzania, untuk
mengadili para pelaku kejahatan genosida yang dilakukan pada Tahun 1994 di Rwanda.68

Di Negara Indonesia sendiri, telah dua kali menyidangkan perkara pelanggaran HAM berat
yaitu kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur pasca jajak pendapat Tahun 1999 dan kasus
Tanjung Priok Tahun 1984. Kedua kasus tersebut disidangkan melalui Pengadilan HAM Ad hoc,
atas dugaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dengan
mendasarkan pada ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, yang menganut asas retroaktif. Pemberlakuan asas retroaktif tersebut menimbulkan pro dan
kontra sampai dengan sekarang, karena dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 huruf I
ayat (1) UUD Tahun 1945 setelah amandemen.69

Kasus pelanggaran HAM berat (serious human right violation case) di Negara Belanda, juga
telah disidangkan beberapa perkara, seperti kasus-kasus torture (penyiksaan), dan kasus Van
Anraat. Pada tahun 2008 telah dilakukan penuntutan terhadap warga Negara Rwanda atas
keterlibatanya melakukan kejahatan genoside di Rwanda, namun tidak berhasil, karena perbuatan
tersebut terjadi sebelum peraturan perundang-undangan diberlakukan oleh Pemerintah Belanda.
Dalam perkara kejahatan HAM berat torture (penyiksaan), ada yang dijatuhi pidana penjara oleh
Pengadilan Distrik di Den Haag selama 20 tahun. Sedangkan penuntutan terhadap terdakwa warga
Negara Belanda yang telah mengirimkan senjata api ke Liberia dan keterlibatanya dalam
melakukan kejahatan peran g dalam negara, masih menunggu keputusan pengadilan.70

Dalam membahas contoh kasus tidak pidana pelanggaran HAM berat (serious human right
violation case) di Negara Belanda, akan dipilih dua kasus pelanggaran HAM berat yaitu kasus
torture (penyiksaan) yang dilakukan oleh Bouterse dan kasus Van Anraat yang akan diuraikan
lebih lanjut di bawah.71

a. Kasus Torture (Penyiksaan)

Perkara Pelanggaran HAM berat (extraordinary crimes) yang sangat terkenal dan pernah
disidangkan di Pengadilan Distrik di Den Haag Belanda adalah kasus torture (penyiksaan) yang

68
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 136
69
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 136
70
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 136-137
71
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 137
dilakukan oleh Bouterse. Pada tanggal 8 atau 9 Desember Tahun 1982, sebanyak limabelas orang
tahanan terbunuh di dalam sebuah penjara di Suriname. Seluruh korban merupakan lawan politik
dari Bouterse, seorang politikus berpengaruh, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Suriname.
Berdasarkan kecurigaan umum, Bouterse telah memerintahkan untuk melakukan pembunuhan
terhadap lawanlawan politiknya tersebut. Atas kejadian tersebut tidak ada satupun tindakan
penuntutan oleh pihak yang berwenang di Suriname. Oleh karena itu pihak pengaca ra dari para
korban mengajukan penuntutan kepada pihak Kejaksaan Belanda untuk mengadili Kasus Bouterse
tersebut di Pengadilan Belanda atas keterlibatanya di dalam kasus yang dikenal dengan nama
Pembantaian Desember. Atas pengajuan dimaksud, pihak Kejaksaan Belanda memutuskan untuk
tidak melakukan penuntutan terhadap kasus Bouterse tersebut. Oleh karena pihak Kejaksaan
Belanda tidak mengajukan penuntutan atas kasus tersebut, maka pihak Pengacara dari para korban
melakukan banding atau keberatan kepada Pengadilan Banding di Amsterdam berdasarkan
ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Hukum Acara Belanda dengan permohonan agar Pengadilan
Banding memerintahkan kepada kejaksaan untuk melaksanakan penuntutan atas kasus tersebut.72

Atas permohonan tersebut, Pengadilan Banding mengabulkan permintaan dari para pengacara
korban dengan Keputusan tertanggal 20 Nopember 2000, memerintahkan kepada pihak Kejaksaan
di Amsterdam untuk mengajukan permohonan dimulainya penyelidikan dan penyidikan terhadap
Bouterse atas tuduhan keterlibatanya dalam tindakan penyiksaan (torture) terhadap para korban
sehingga korban meninggal dunia. Dalam kasus ini Bouterse adalah Warga negara asing dan bukan
warga negara Belanda, dan kasus tersebut berada di wilayah negara asing (bukan yurisdiksi
Pengadilan Belanda). N amun dalam pertimbangan Pengadilan Banding menyatakan bahwa
tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Bouterse dan orang-orang lain yang turut serta terhadap
para korban, diduga dilakukan juga dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Belanda. 73

Berdasarkan Putusan Pengadilan Tingkat Banding yang memerintahkan kepada Kejaksaan


untuk mengajukan penuntutan atas kasus Bouterse tersebut, maka dilaksanakan proses peradilan
secara berjenjang atas kasus Bouterse terebut mulai dari tingkat pertama hingga tingkat banding

72
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 137
73
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 138
yang berpendapat perkara tersebut dapat diterima dan memenuhi syarat formil maupun materiil
sehingga perkara dapat disidangkan sesuai dengan hukum acara Negara Belanda.74

Setelah proses persidangan yang telah dilaksanakan dengan menghabiskan banyak waktu dan
energi tersebut, kemudian diajukan kasasi ke Mahkamah Agung Belanda. Berdasarkan Putusan
Mahkamah Agung Belanda Nomor Put: NJ.2002, 559, yang dikeluarkan pada tanggal 18
September 2001, telah menganulir atau membatalkan Keputusan Pengadilan Banding Amsterdam
dengan menggunakan lima pertimbangan sebagai berikut:

1) Tindakan penyiksaan berdasarkan Konvensi Penyiksaan Tahun 1984, oleh Undang-Undang


Pidana Belanda dapat dihukum berdasarkan Undang-Undang Pelaksanaan Konvensi Tahun
1989. Sedangkan dalam Pasal 16 Konstitusi Belanda serta Pasal 1 KUHP Belanda, melarang
hukum berlaku surut (retroaktif). Selain itu tidak satupun dari Konvensi tentang Penyiksaan
Tahun 1984, maupun Konvensi Internasional lainya dapat memperoleh pengecualian dari
pelarangan ini. Berdasarkan uraian tersebut dan mendasari dari fakta-fakta berbuatan yang
dilakukan pada Tahun 1982, maka UU Pelaksanaan Konvensi tentang Penyiksaan Tahun 1989
tidak dapat diterapkan.
2) Pembunuhan bukanlah bentuk dari penyiksaan.
3) Dalam Pasal 5 UU Pelaksanaan Konvensi tentang Penyiksaan T ahun 1989 merupakan
yurisdiksi universal tentang penyiksaan. Akan tetapi, karena fakta-fakta berasal dari tahun
1982 dan tidak satupun dari ketentuan penuntutan maupun konvensi interv nasional yang
membolehkan penerapan asas retroaktif dari yurisdiksi Pasal 5 Pelaksanaan Konvensi tentang
Penyiksaan Tahun 1989. Sebagai konsekuensinya, Keputusan Pengadilan Tingkat Banding
Amsterdam yang menyebutkan bahwa tindak pidana terjadi berada di wilayah yurisdiksi
Belanda, dinyatakan sebagai sebuah kesalahan.
4) Berdasarkan ketentuan Pasal 70 dan seterusnya dari KUHP Belanda, terhadap kasus ini tidak
diperbolehkan untuk dilakukan penuntutan, oleh karena pembatasan waktu (tempos delicti)
tidak tepat.

74
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 138
5) Berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU Pelaksanaan Konvensi tentang Penyiksaan Tahun 1989,
yang merupakan dasar yurisdiksi inter nasional tentang penyiksaan, hanya berlaku terhadap
pihakpihak yang berada di wilayah Negara Belanda.75

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Belanda Nomor Put: N] 2002, 559 tanggal 18
September 2001, maka dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian tindak pidana pelanggaran
HAM berat (extraordinary crimes) di Negara Belanda menggunakan asas legalitas dan tidak
menerapkan hukum berlaku secara surut (retroaktif).76

b. Kasus Van Anraat

Kasus Van Anraat yaitu seorang pengusaha yang dengan tujuan untuk komersiil telah
menyediakan sejumlah besar Thiodyglicol (TDG) semacam bahan kimia yang berfungsi sebagai
prekursor untuk digunakan sebagai pembentuk pembuatan senjata kimia, untuk dikirim ke rezim
Saddam Hussein di Irak.77

Dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tingkat Pertama di Den Haag, senjata kimia yang
mengandung TDG yang telah disediakan oleh Van Anraat tersebut, selanjutnya oleh rezim Saddam
Hussein kemudian digunakan untuk melakukan kejahatan terhadap penduduk Kurdi di Irak serta
dalam perang di Iran. Van Anraat dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebenarnya tidak ada
hubungan balas dendam secara pribadi dengan warga Kurdi di Irak, dan tidak ada maksud untuk
melakukan kejahatan genosida maupun kejahatan perang.78

Van Anraat sebenarnya merupakan seorang tokoh pinggiran yang terlibat kejahatan secara
tidak langsung yaitu kejahatan genosida dan kejahatan perang. Situasi serta kejadian semacam ini
menghadapkan Pengadian dalam tugas yang sangat sulit untuk menilai apakah Van Anraat sebagai
orang yang harus bertanggung jawab sebagai kaki tangan untuk kejahatan genosida maupun
kejahatan perang.79

Dalam proses persidangan Pengadilan Distrik dan Pengadilan Banding mengambil pendekatan
yang sangat berbeda, khususnya yang berkaitan mengenai masalah pertanggungjawaban pidana

75
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 138-139
76
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 139
77
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 139
78
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 139
79
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 140
atas perbuatan Van Anraat dalam keterlibatannya melakukan kejahatan genosida. Meskipun
terdapat perbedaan dalam pendekatan, namun pada akhirnya Pengadilan Distrik dan Pengadilan
Banding pada umumnya mencapai kesimpulan yang sama. Hal ini membutuhkan penilaian yang
objektif berdasarkan fakta yang diperoleh di tempat kejadian pidana, yang telah membuktikan
apakah benar-benar kejahatan genosida telah terjadi. Menurut Pengadilan Distrik berpendapat
bahwa telah diketemukan bukti-bukti kejahatan genosida dilakukan terhadap Warga Kurdi oleh
Rezim Saddam Hussein. Namun demikian, Pengadilan Banding dalam petimbanganya lebih
berhatihati, karena walaupun ada indikasi kuat telah terjadinya kejahatan genosida yang dilakukan
oleh Pemimpin Pemerintahan di Irak, masih diperlukan suatu penyelidikan yang lebih menyeluruh.
Hal ini juga diperlukan untuk ditemukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh Van Anraat dalam
kejahatan genosida terhadap Warga Kurdi di Irak dan dalam Perang Irak dengan Iran. 80

Proses Persidangan di Pengadilan Distrik di Den Haag Belanda dalam perkara pelanggaran
HAM berat dengan Terdakwa Van Anraat, telah memutuskan bahwa terdakwa dinyatakan terbukti
bersalah melakukan tindak pidana kejahatan genosida dan kejahatan perang. Oleh karena itu
Pengadilan Distrik di Den Haag Belanda menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Van
Anraat selama limabelas tahun. Atas Putusan dari Pengadilan Distrik di Den Haag Belanda
tersebut, Para Pengacara pihak Terdakwa Van Anraat mengajukan Upaya Hukum Banding. 81

Dalam upaya hukum banding tersebut, Pengadilan Tingkat Banding telah memutuskan perkara
Terdakwa Van Anraat dengan pidana penjara dua tahun lebih berat yaitu selama tujuh belas tahun.
Pertimbangan mengapa Pengadilan Banding menjatuhkan putusan berupa pidana penjara lebih
berat dari Putusan Pengadilan Distrik, dengan alasan perbuatan yang dilakukan oleh Terdawa
adalah merupakan pelanggaran atau kejahatan yang serius (extraordinary crimes) dan konstribusi
Terdakwa sangat besar dalam terwujudnya tindak pidana tersebut serta kurangnya rasa penyesalan
dan belas kasihan dari Terdakwa terhadap para korban. Sementara dalam persidangan ditemukan
Terdakwa tidak ada keterlibatan dengan tujuan politik dari Rezim Saddam Hussein di Irak.
Terdakwa dalam melakukan pengiriman Thiodyglicol (TDG) untuk digunakan sebagai bahan
persenjataan kimia ke Irak semata-mata untuk mengejar keuntungan secara finansial saja.82

80
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 140
81
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 140
82
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 140-141
Berdasarkan hasil Putusan Banding atas Kasus Van Anraat ini, banyak dari mereka yang
mendukung dengan Putusan Banding tersebut sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi
kejahatan pada masa yang akan datang. Di samping itu, sidang Kasus Van Anraat dalam Putusan
Tingkat Banding memancarkan pesan kuat bahwa kejahatan atau kriminal telah meluas kepada
orang-orang pinggiran yang menikmati keuntungan secara finansial dari suatu kekejaman, maupun
adanya penilaian tentang kontribusi pada munculnya gambaran yang lebih komprehensif tentang
realitas adanya kejahatan internasional. Putusan Banding yang telah menjatuhkan pidana penjara
selama tujuhbelas tahun kepada Van Anraat tersebut, tentunya ada yang setuju dan ada juga yang
kurang sependapat. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar, namun dilihat dari tujuanya dari
peradilan pidana dalam kasus-kasus kejahaatan internasional adalah untuk mengakhiri impunitas
(kekebalan hukum) serta berusaha untuk menyelesaikan konflik dunia/internasional dengan baik
dan dengan cara melalui peradilan yang simpati.83

83
BAB V Pengantar Negara Hukum dan HAM, Joko sasmito, Setara Press, Malang, Maret 2018, hlm, 141

Anda mungkin juga menyukai