Anda di halaman 1dari 9

BELEIDSREGEL ATAU PERATURAN KEBIJAKAN DALAM ADMINISTRASI

NEGARA

Oleh : Sakti Lazuardi, S.H

Banyak dari kita yang tidak mengetahui apakah yang dimaksud dengan beleidsregel
atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan peraturan kebijakan. Termasuk penulis, penulis
baru mengetahui setelah mendapatkan tanggung jawab sebagai moderator sebuah acara
pelatihan bagi Pemerintah Provinsi salah satu Daerah. Sekilas banyak yang mengira kalau
beleidsregel ini sejenis atau semarga dengan peraturan perundang-undangan lain seperti
UU,PP,Perpres dan lain-lain padahal sebenarnya tidaklah demikian. Lalu apakah yang
dimaksud dengan beleidsregel ini ?
Beleidsregel atau peraturan kebijakan ini sebenarnya adalah jenis Tindak
Administrasi Negara dalam bidang hukum publik yang bersegi satu (eenzijdige publiek
rechtelijke handelingen). Ia merupakan hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi
undang-undang atau hukum yang terkait pelaksanaan kebijakan (policy). Beleidsregel berasal
dari kewenangan diskresi yang pada umumnya digunakan untuk menetapkan kebijakan
pelaksanaan ketentuan undang-undang.[1]
Laica Marzuki menambahkan bahwa beleidsregel itu sendiri terdiri dari unsur-unsur
seperti berikut:
1. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai perwujudan freies ermessen
(discretionary power) dalam bentuk tertulis, yang setelah diumumkan keluar guna
diberlakukan kepada warga;
2. Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada nyatanya telah merupakan peraturan umum
(generale rule) tersendiri, jadi tidak sekedar sebagai petunjuk pelaksanaan operasional
sebagaimana tujuan semula dari peraturan kebijkan atau beleidsregel itu sendiri. Badan atau
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan kebijakan itu sama sekali tidak
memiliki kewenangan membuat peraturan umum (generale rule) namun tetap dipandang
legitimated mengingat beleidsregel adalah merupakan perwujudan freies ermessen yang
diberi bentuk tertulis.[2]

Bagir Manan menambahkan bahwa beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang tidak
termasuk dalam peraturan perundang-undangan, akibatnya karena bukan jenis peraturan
perundang-undangan maka tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijakan. Suatu
peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid), karena memang tidak
akan ada dasar peraturan perundang-undangan untuk keputusan membuat peraturan
kebijakan. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan ketiadaan wewenang
administrasi Negara yang bersangkutan untuk membuat peraturan perundang-undangan (baik
karena secara umum tidak berwenang maupun untuk obyek yang bersangkutan tidak
berwenang mengatur). Selanjutnya dikatakannya bahwa pengujian terhadap peraturan
kebijakan lebih diarahkan pada doelmatigheid dan karena itu batu ujiannya adalah asas-asas
umum penyelenggaraan pemerintah yang layak.[3]
Van Kreveld mengatakan (sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk dalam
bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara) walau didasarkan pada azas freies
ermessen, beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk kemudian dapat
berlaku. Syarat-syarat tersebut antara lain:

1. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang


diskresioner yang dijabarkannya;
2. Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;
3. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari instansi yang
berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan mempertimbangkan alternatif yang
ada;
4. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang terkena dan
ada kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan (kepastian
hukum formal);
5. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya; dan
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah diperoleh dari
warga yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah ditimbulkan jangan
sampai diingkari.[4]
Sehingga jelas kemudian jika kita melihat beleidsregel ini adalah jenis peraturan yang
tidak termasuk peraturan perundang-undangan, didasarkan atas asaz freies ermessen, dan
berlaku secara umum. Mengutip dari Bagir Manan bahwa beleidsregel ini tidak mempunyai
dasar peraturan perundang-undangan maka bisa kita katakana kalau beleidsregel ini berdiri
secara mandiri tanpa terikat dengan peraturan yang lebih tinggi baik itu UUD 1945, UU atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Sudah pasti kemudian karena ia tidak mempunyai
gantungan peraturan yang lebih tinggi maka ia terlepas dari prinsip peraturan perundang-
undangan yang umum seperti yang digariskan oleh Adolf Merkl.
Adolf Merkl mengemukakan suatu teori yang ia sebut sebagai das Doppelte
Rechtsanlitsz bahwa suatu hukum itu selalu mempunyai dua wajah. Baginya, suatu norma
hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia
juga menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya. Hal ini menyebabkan suatu norma
hukum mempunyai keberlakuan yang relatif sehingga jika norma hukum yang di atasnya
dihapus atau dicabut maka otomatis norma hukum yang ada di bawahnya terhapus juga.[5]
Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Hans Kelsen dengan Stufentheorie atau teori
jenjang norma hukum. Menurut Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang
dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih
tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipotetis dan fiktif (Grundnorm).[6]
Beleidsregel ini tidak mengikat hukum secara langsung namun mempunyai relevansi
hukum.[7] Hal ini dapatlah dipahami karena karakteristik dari beleidsregel yang memang
berbeda dengan norma hukum publik yang lain dimana Stufentheorie Hans Kelsen mengikat
secara erat. Beleidsregel ini dapat kita katakan bukan hukum tetapi ketentuan. Ketentuan
bukanlah hukum, ia tidak mempunyai dampak seperti norma hukum yang lain. Tentunya ini
adalah hal yang adil mengingat kedudukan beleidsregel yang tidak termasuk dalam jenis
peraturan perundang-undangan.
Karena sifatnya yang tidak legal formal tersebut, dampak daya ikat beleidsregel juga
tidaklah sekuat norma hukum pada biasanya. Ia dibentuk memang untuk tujuan
‘menyimpangi hukum positif’ yang berlaku. Tentunya seorang pejabat administrasi negara
kadangkala mengalami suatu kondisi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dengan
cepat dan tepat karena menyangkut masyrakat banyak. Namun disisi lain ia juga terikat oleh
peraturan-peraturan administrasi negara yang mengikat jabatannya sebagai seorang pejabat
administrasi negara. Dalam kondisi yang serba cepat seperti ini maka pejabat administrasi
negara dituntut untuk memiliki kecerdasan dan sikap tindak yang tepat lagi bertanggung
jawab untuk mengakomodir kepentingan masyarakat tersebut dengan cara mengeluarkan
beleidsregel. Seperti itulah kondisi yang melatar belakangi suatu beleidsregel biasanya lahir.
Karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan maka otomatis suatu
beleidsregel tidaklah dapat diuji secara hukum (wermatigheid). Namun walaupun begitu
beleidsregel bukan berarti ‘bebas murni’, menurut Van Kreveld (seperti telah dijelaskan di
atas) bahwa beleidsregel ini Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang
mengandung wewenang diskresioner yang dijabarkannya dan tidak dapat bertentang dengan
nalar sehat. Artinya tetap memiliki batasan-batasan tertentu.

Jakarta, 5 Oktober 2011

[1]Safri Nugraha dkk. Hukum Administrasi Negara. Depok: Badan Penerbit


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hlm.93

[2] http://cahwaras.wordpress.com/2010/05/20/gugatan-class-action-04/ diunduh


pada tanggal 5 Oktober pukul 22.00 WIB

[3] Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Varia Peradilan, Desember 2008 hlm 15

[4] Indroharto.Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata


sebagaimana dikutip dalam Nugraha, op.cit.,hlm.92-93

[5] Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan.Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. hlm.42

[6] Ibid.,hlm.41

[7] Nugraha, op.cit., hlm.94


Pengertian Peraturan Kebijaksanaan

Peraturan kebijaksanaan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintahan
berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau terhadap
instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak memiliki dasar yang
tegas dalam UUD dan undang-undang formal baik langsung maupun tidak langsung.

Ciri-ciri peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut:


1. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak
dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
3. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena memang tidak ada
dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan
tersebut.
4. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freies Ermessen dan ketiadaan wewenang
administrasi bersangkutan membuat peraturan perundang-undangan.
5. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada doelmatigheid
sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum pemerintahan yang layak.
6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan.

Peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna, yang berarti:

1. Sebagai sarana pengaturan yang melengkapi, menyempurnakan, dan mengisi


kekurangan-kekurangan yang ada pada peraturan perundang-undangan.
2. Sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vakum peraturan perundang-undangan.
3. Sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi
secara patut, layak, benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.
4. Sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang
sudah ketinggalan zaman.
5. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi administrasi
di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat cepat berubah atau memerlukan
pembaruan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sementara itu, penerapan atau penggunaan peraturan kebijaksanaan harus memperhatikan


hal-hal di antaranya:
1. Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan ruang
kebebasan bertindak.
2. Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku.
3. Sesuai dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai.
Perbedaan antara Regeling, Beleidsregel, Beschikking, dan Vonnis
Posted on Agustus 9, 2010 by saepudin

Regeling Beleidsregel Beschikking Vonnis


1. Bersifat 1. Mengikat secara 1. Ditujukan kepada 1.Ditujukan kepada
mengatur dan umum. individu (-individu) individu (individu)
mengikat secara tertentu. tertentu.
umum (algemeen 2. Bersifat abstrak-
bindende). umum atau 2. Bersifat final dan 2.Bersifat kongkrit.
abstrak-individual.
2. Bersifat abstrak- kongkrit, nyata. 3.Bersumber dari
3. Bersumber dari kekuasaan judisial
umum (tidak
kekuasaan eksekutif 3. Bersumber dari (judicial power).
ditujukan kepada
individu tertentu). (executive power). kekuasaan eksekutif
(executive power). 4.Berlaku sekali
4. Berlaku terus selesai, sesuai
3.Bersumber dari
menerus 4. Berlaku sekali dengan waktu yang
kekuasaan legislatif
(dauerhaftig). selesai (einmahlig). ditentukan.
(legislative power).
5. Kadangkala 5.Kadangkala 5.Formatnya telah
4. Berlaku terus
formatnya tidak formatnya tidak dibakukan.
menerus
baku. baku.
(dauerhaftig).

5. Mempunyai
bentuk/format
tertentu (baku).
HUKUM ACARA PTUN A.

NAMA : Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. POKOK BAHASAN : Perbuatan
Pemerintahan ( Bestuurshandelingen ) B.

DESKRIPSI SINGKAT. Bahasan tentang perbuatan pemerintahan mengandung maksud,


bahwa pemerintah disamping mempunyai fungsi melaksanakan undang-undang juga
mempunyai fungsi membuat undang-undang ( dalam arti luas ). Produk perundang-undangan
tersebut banyak macamnya. Bila menimbulkan kerugian , produk mana yang menjadi
kewenangan PTUN. C.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS. Diharapkan mahasiswa setelah mempelajari materi


yang disajikan dapat menyebutkan tiga macam perbuatan pemerintahan dalam bidang hukum
publik, serta dapat menjelaskan perbuatan mana yang menjadi kompetensi PTUN. D.

ISI POKOK BAHASAN 1.

Pendahuluan Terdapat beberapa pendapat tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan
pemerintahan , bagaimana sifat-sifatnya, serta perbuatan pemerintahan yang mana yang
merupakan kompetensi PTUN. Untuk memahami pengertian apakah perbuatan

SELF-PROPAGATING

pemerintahan itu kiranya dapat ditelusuri dari beberapa pendapat para ahli dan tentunya
menurut peraturan perundang-undangan. 2, Pengertian Perbuatan Pemerintahan. Dalam
melaksanakan tugas-tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum, Pemerintah
melakukan berbagai macam perbuatan pemerintahan. Pengertian menyelenggarkan
kepentingan umum oleh Kuncoro Purbopranoto dalam Amrah Muslimin, 1985 , meliputi
aktivitas-aktivitas : 1.

Memelihara pertahanan dan keamanan Negara terhadap serangan dari luar dan gangguan dari
dalam sendiri. 2.
Menyediakan fasilitas-fasilitas bagi rakyat mempermudah mendapatkan kebutuhan
primernya. 3.

Menyediakan atau menciptakan fasilitas-fasilitas kesempatan kerja bagi semua golongan


untuk memperoleh pendapatan dan meningkatkan penghasilan guna meningkatkan taraf
hidup rakyat. Amrah Muslimin , 1985, membagi tugas Pemerintah dalam arti luas yakni
meliputi kegiatan dalam bidang : 1.

Perundangan

undangan.. 2.

Pemerintahan ( eksekutif ), 3.

Peradilan. Pada masing-masing bidang kegiatan di atas mempunyai hasil akhir atau keluaran /
out put yang merupakan suatu tindakan hukum. Adapun dari bidang perundang-undangan
oleh pemerintah maka dihasilkan keluaran / out put berupa

“ undang

undang “ dalam arti formil dan / atau materiil ( melaksanakan

perbuatan legislative ). Sedangkan dalam bidang peradilan sebagai suatu

tindakan hukum dihasilkan keluaran / out put berupa “ vonnis” ( mela

ksanakan perbuatan judikatif ). Khusus dalam bidang pemerintahan , pemerintah dapat


melakukan 2 macam perbuatan, yaitu : 1.
Perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan perbuatan hukum , yakni perbuatan yang tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum, misalnya pemerintah menghadiri pembukaan resmi suatu
jalan baru, pemerintah menghimbau , mengundang dan sebagainya. 2.

Perbuatan-perbuatan yang merupakan perbuatan hukum, yakni perbuatan yang menimbulkan


akibat-akibat hukum, misalnya pemerintah mengangkat pegawai untuk menduduki jabatan
tertentu , pemerintah melakukan mutasi pegawai negeri, mengeliarkan keputusan dan
sebagainya. Masing-masing perbuatan pemerintahan mempunyai keluaran / out put yang
berbeda, terutama mengenai implikasinya. Pada tindakan yang kedua dihasilkan keluaran /
out put yang disebut dalam bahasa Belanda dengan istilah

“ beschikking “ atau “ penetapan “ dalam istilah bahasa Indonesia.

Pada umumnya sebagian besar dari penetapan-penetapan dibuat oleh alat-alat perangkat
dalam bidang ekskutif, akan tetapi ini tidak berarti bahwa hanya alat-alat perangkat dalam
bidang ekskutif saja yang dapat membuat suatu penetapan. Juga alat perangkat dalam bidang
perundang-undangan dapat membuat suatu penetapan. Sebagai contoh : DPR menunjuk
anggota-anggota komisi membuat penetapan berdasarkan peraturan tata tertib DPR. ( SF.
Marbun, 1988 ) menjelaskan bahwa Pemerintah sebagai salah satu organisasi Negara yang
diberi tugas menyelenggarakan kehidupan masyarakat diberi wewenang untuk melakukan
perbuatan Tata Usaha Negara, yang dapat dibedakan dalam 3 macam yakni :

Anda mungkin juga menyukai