Anda di halaman 1dari 15

KEWENANGAN YUDIKATIF

DALAM PENGUJIAN PERATURAN KEBIJAKAN


Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2009

JUDICIAL AUTHORITY IN REVIEWING POLICY RULES


An Analysis on Supreme Court Decision Number 23P/HUM/2009

Victor Imanuel W. Nalle


Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika
Jl. Dr. Ir. H. Soekarno 201, Surabaya
Email: vicnalle@yahoo.com

Diterima tgl 14 Februari 2013/Disetujui tgl 11 Maret 2013

ABSTRAK Abstract

Berdasarkan konsep negara hukum, pemerintah Based on the rule of law concept, a government
melakukan tindakan pemerintahan berdasarkan atas should act in accordance with legislation and it
peraturan perundang-undangan, dan pemerintah can not produce any regulation without obtaining
tidak dapat membuat peraturan perundang-undangan delegation from the legislation. But in practice the
yang tidak didelegasikan oleh undang-undang. Pada government, based on the principle of discretion,
praktiknya, berdasarkan prinsip diskresi, pemerintah may issue a policy rule. Most of the scholars
dapat membentuk peraturan kebijakan. Sebagian besar categorize a policy rule not as legislation and
ahli hukum mengkategorikan peraturan kebijakan has no binding force. If so, Indonesia’s legal
bukan sebagai peraturan perundang-undangan dan system has no juridical institutions that can
tidak memiliki kekuatan mengikat. Jika demikian, review such a rule because the Supreme Court
tidak terdapat lembaga peradilan yang dapat and Constitutional Court can only examine
melakukan uji material karena Mahkamah Agung dan regulations or legislation. In fact, the judicial
Mahkamah Konstitusi hanya dapat menguji peraturan review of policy rules has been carried out by
perundang-undangan. Pada praktiknya uji material the Supreme Court to the Circular of the Director
peraturan kebijakan pernah dilakukan oleh Mahkamah General of Mineral, Coal and Geothermal. This
Agung terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal paper will analyze the decision of circular’s
Mineral Batubara dan Panas Bumi. Tulisan ini akan judicial review, that is the Decision No. 23 P/
menganalisis putusan pengujian surat edaran tersebut, HUM/2009. Through the analysis will be known,
yaitu Putusan Nomor 23 P/HUM/2009. Melalui analisis theoretically and legally, whether the Supreme
tersebut akan diketahui apakah Mahkamah Agung, Court authorized reviewing policy rules.
secara teoretis maupun yuridis, memiliki wewenang Keywords: discretion, policy rule, judicial
melakukan uji material terhadap peraturan kebijakan review.
atau justru sebaliknya.

Kata kunci: diskresi, peraturan kebijakan, uji material.

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 33


I. PENDAHULUAN ultra vires, yakni pemerintah tidak dapat
bertindak di luar kekuasaan yang diberikan.
Setiap negara yang menyatakan diri
Doktrin ultra vires menjadi prinsip utama dalam
sebagai negara hukum tidak dapat lepas dari
hukum administrasi yang menunjukkan betapa
peraturan perundang-undangan. Suatu hal yang
pentingnya hukum memberikan batasan bagi
wajar karena negara hukum menempatkan
kekuasaan (Wade, 1982: 38). Apakah negara
peraturan perundang-undangan sebagai panduan
hukum tidak memberikan celah bagi pemerintah
dalam menyusun struktur kenegaraan dan
untuk melakukan tindakan hukum atau membuat
menjalankannya dalam pemerintahan sehari-hari.
peraturan tanpa kewenangan yang diberikan?
Karena pemerintahan harus dijalankan dengan
Bagaimana jika dalam keadaan terpaksa harus
hukum, maka secara logis pemerintah tidak dapat
dilakukan tindakan hukum atau dikeluarkan suatu
melakukan tindakan yang menyimpang atau
peraturan sedangkan tidak ada dasar hukum yang
bahkan bertentangan dengan hukum. Implikasi
menjadi landasannya?
lainnya, pemerintah tidak dapat membuat
peraturan perundang-undangan atau keputusan Dalam kondisi demikian maka prinsip freies
tata usaha negara yang bertentangan dengan ermessen atau diskresi menjadi penting sebagai
konstitusi atau undang-undang. panduan bagi pemerintah untuk mengambil
tindakan. Sebagaimana halnya hakim yang
Pada dasarnya peraturan perundang-
tidak boleh menolak mengadili perkara dengan
undangan yang lebih rendah dari undang-undang
alasan tidak ada hukumnya, maka pemerintah
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
tidak dapat menolak mengambil tindakan dalam
selain itu peraturan perundang-undangan tersebut
keadaan genting dengan alasan tidak ada dasar
haruslah sebagai instrumen untuk melaksanakan
hukumnya. Produk hukum yang merupakan
undang-undang. Peraturan pemerintah misalnya,
keluaran dari diskresi tersebut berupa peraturan
berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor
kebijakan (beleidsregels atau policy rules). Secara
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
teoretis pemerintah bisa saja mengeluarkan suatu
Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011)
peraturan kebijakan dengan dasar diskresi namun
berisi materi untuk menjalankan undang-undang
bukan berarti tidak ada permasalahan secara
sebagaimana mestinya. Demikian pula materi
teoretis pula di dalamnya. Permasalahan yang
muatan dari peraturan presiden dan peraturan
dapat timbul adalah bagaimana jika ada pihak
daerah provinsi serta peraturan daerah kabupaten/
yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya
kota untuk lingkup daerah. Peraturan perundang-
suatu peraturan kebijakan? Jika peraturan
undangan tersebut tidak dapat mengatur hal yang
kebijakan dikategorikan sebagai peraturan
tidak berdasarkan pada peraturan perundang-
perundang-undangan maka jalur yang dapat
undangan yang lebih tinggi.
ditempuh adalah uji material ke Mahkamah
Contoh-contoh tersebut menunjukkan Agung (MA), tetapi arus besar pemikiran hukum
bahwa dalam negara hukum kekuasaan tidak mengkategorikan peraturan kebijakan
pemerintah dibatasi sedemikian rupa oleh sebagai peraturan perundang-undangan.
hukum agar tidak dijalankan secara sewenang-
Menurut Abdul Latief, kebutuhan untuk
wenang. Tradisi Anglo Saxon mengenal doktrin
melakukan uji material peraturan kebijakan

34 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


didasarkan pada dua alasan. Pertama, masyarakat lainnya yang berwenang dalam judicial review
mengharapkan adanya jaminan perlindungan adalah MA. Kewenangan MA dalam judicial
hukum dari tindakan badan atau pejabat pemerintah. review merupakan kewenangan atributif yang
Sebaliknya bagi badan atau pejabat pemerintah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 24A ayat (1)
uji material tersebut menjadi batasan atau dasar UUD NRI 1945: “Mahkamah Agung berwenang
untuk bertindak secara bebas dalam membentuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
peraturan kebijakan. Alasan kedua adalah alasan perundang-undangan di bawah undang-undang
teoretis yang didorong oleh perkembangan terhadap undang-undang, dan mempunyai
hukum administrasi, khususnya konsep besluit wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-
(keputusan) yang mendapat pengertian baru dan undang.” Peraturan perundang-undangan di
luas serta merupakan instrumen utama dalam bawah undang-undang, yang dimaksud dalam
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945, telah diatur
hukum (Latief, 2005: 239). jenis dan hierarkinya dalam UU No. 12 Tahun
2011. Berdasarkan hierarki dalam Pasal 7 ayat
Sampai saat ini belum terdapat kebulatan
(1) UU No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang-
pendapat dari ahli hukum Indonesia tentang
undangan di bawah undang-undang meliputi:
pengujian peraturan kebijakan. Bagir Manan
berpendapat bahwa suatu peraturan kebijakan a. peraturan pemerintah;
tidak dapat diuji secara hukum (wetmatigheid)
b. peraturan presiden;
karena peraturan kebijakan tidak didasarkan
pada peraturan perundang-undangan. Selain c. peraturan daerah provinsi;
itu peraturan kebijakan itu sendiri bukanlah
d. peraturan daerah kabupaten/kota.
peraturan perundang-undangan (Manan &
Magnar, 1997: 170-171). Serupa dengan Bagir Jenis peraturan di samping yang
Manan, Philipus Hadjon menyatakan bahwa disebutkan di atas, terdapat pula jenis peraturan
pengujian langsung terhadap peraturan kebijakan perundang-undangan lainnya yang berada di
tidaklah perlu dilakukan (Hadjon et.al, 2002: 153). bawah undang-undang sebagaimana diatur
Pertanyaannya, apakah ada lembaga peradilan dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.
yang berwenang untuk melakukan judicial review Jenisnya meliputi (dengan tidak menyebut nama
terhadap peraturan kebijakan? nomenklaturnya) peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Dalam sistem hukum Indonesia terdapat
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dua lembaga peradilan yang memiliki
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
kewenangan untuk melakukan judicial review.
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
lembaga tersebut, tetapi jika dikaitkan dengan
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
pengujian peraturan kebijakan MK tidak
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
berwenang. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
NRI 1945, MK hanya memiliki kewenangan
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
menguji undang-undang terhadap Undang-
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/
Undang Dasar. Selain MK, lembaga peradilan

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 35


Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. undangan agar dapat diketahui apakah MA
Pasal 8 ayat (2) memberikan batasan peraturan- berwenang atau tidak dalam melakukan uji
peraturan yang dikeluarkan oleh pejabat/lembaga material terhadap peraturan kebijakan.
tersebut dapat diakui keberadaannya, yaitu
pembentukannya diperintahkan oleh peraturan II. RUMUSAN MASALAH
perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan Apakah Mahkamah Agung, dengan
batasan yang diberikan oleh Pasal 8 ayat (2) mengacu pada Putusan Mahkamah Agung
tersebut, peraturan kebijakan dengan bentuk Republik Indonesia Nomor 23 P/HUM/2009,
surat edaran, instruksi, dan peraturan-peraturan memiliki wewenang untuk melakukan uji material
lain yang menggunakan nomenklatur peraturan terhadap peraturan kebijakan?
kebijakan tidak dapat diuji oleh MA karena bukan
peraturan perundang-undangan. III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

Pada praktiknya, MA pernah melakukan Pengertian peraturan kebijakan di Indonesia


pengujian terhadap peraturan kebijakan yang tidak dapat dirujuk pada peraturan perundang-
berbentuk surat edaran, yaitu terhadap Surat undangan. Hal ini disebabkan tidak adanya
Edaran Dirjen Mineral Batubara dan Panas peraturan perundang-undangan yang mengatur
Bumi Nomor 03/31/DJB/2009 (SE No.03/31/ peraturan kebijakan. Undang-Undang Nomor
DJB/2009). Berdasarkan Putusan Mahkamah 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Agung Republik Indonesia Perkara No. 23 P/ Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011)
HUM/2009 (selanjutnya disebut Putusan No. 23 tidak memberikan pengertian yang komprehensif
P/HUM/2009), MA menyatakan SE No. 03/31/ tentang peraturan kebijakan. Ketiadaan pengatur
DJB/2009 bertentangan dengan Undang-Undang tersebut sudah cukup menunjukkan bahwa
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan peraturan kebijakan bukanlah isu hukum yang
Mineral dan Batubara (UU No. 4 Tahun 2009) menjadi materi muatan dalam UU No. 12 Tahun
dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku untuk 2011. Mengkonstruksikan pengertian peraturan
umum. Putusan MA tersebut menunjukkan adanya kebijakan di Indonesia dapat dilakukan dengan
interpretasi yang memperluas ruang lingkup mengacu pada pendapat ahli hukum. Pendapat-
jenis peraturan perundang-undangan tetapi juga pendapat ahli hukum tentang konsep peraturan
sekaligus menyamarkan batasan konsep peraturan kebijakan akan dibandingkan sehingga dapat
kebijakan. Oleh karena itu diperlukan analisis mengarahkan konstruksi pengertian peraturan
kritis terhadap Putusan No. 23 P/HUM/2009. kebijakan secara komprehensif.

Analisis terhadap Putusan No. 23 P/ Pertama-tama perlu ditetapkan terlebih


HUM/2009 akan mengkonstruksikan ratio dahulu terminologi yang digunakan dalam
decidendi MA dalam uji material terhadap bahasa Indonesia sebagai padanan dari konsep
peraturan kebijakan, dalam konteks ini adalah beleidsregel di Belanda. Terdapat dua istilah yang
SE No. 03/31/DJB/2009. Ratio decidendi sering dipakai, yaitu peraturan kebijaksanaan
tersebut kemudian dianalisis dengan pendekatan dan peraturan kebijakan. Perlu dibedakan apakah
konseptual maupun peraturan perundang- kebijaksanaan dan kebijakan merupakan dua

36 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


hal yang sama ataukah berbeda berdasarkan Asshiddiqie (2010: 273), peraturan kebijakan
pengertiannya. Dengan demikian dapat secara formal bukanlah peraturan yang resmi
ditentukan terminologi mana yang lebih sesuai maka terminologinya menggunakan kata
untuk digunakan sebagai padanan bagi konsep kebijakan, beleids, atau policy. Jimly Asshiddiqie
beleidsregel. memberikan contoh surat edaran dari menteri
atau direktur jenderal yang ditujukan kepada
Menurut R.M. Girindro Pringgodigdo,
seluruh pegawai negeri sipil yang berada dalam
istilah ‘beleid’ atau ‘policy’ lebih sesuai untuk
lingkup tanggung jawabnya. Isi dalam surat
dipadankan dengan istilah ‘kebijaksanaan’,
tersebut bersifat mengatur (regelling) tetapi
sedangkan istilah ‘kebijakan’ merupakan padanan
tidak dituangkan dalam peraturan resmi seperti
kata dari ‘wijsheid’atau ‘wisdom’. ‘Kebijaksanaan’
Peraturan Menteri.
menurut Pringgodigdo adalah serangkaian
tindakan dan kegiatan yang direncanakan oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar
pemerintah atau dengan melibatkan pakar, non memberikan pandangan atas peraturan kebijakan
pemerintah atau swasta, untuk mencapai tujuan dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya
atau sasaran yang dicita-citakan. ‘Kebijakan’ salah satu ciri utama peraturan kebijakan adalah
menurut Pringgodigdo adalah keputusan yang tidak adanya wewenang pemerintah membuat
bersifat pengaturan (tertulis) atau keputusan peraturan tersebut (Manan & Magnar, 1997:
tertulis atau lisan yang berkaitan erat dengan 136). Tidak adanya wewenang dalam hal ini
kekuasaan atau wewenang diskresioner atau perlu diinterpretasikan sebagai tidak adanya
prinsip freies ermessen (Soebechi, 2010: 28). peraturan perundang-undangan yang secara tegas
memberikan kewenangan pada pemerintah untuk
Menurut penulis, Pringgodigdo
mengeluarkan peraturan kebijakan tersebut.
memberikan pengertian ‘kebijakan’ yang lazim
Walaupun tidak ada kewenangan yang diberikan
dikemukakan oleh ahli hukum lainnya, yaitu
namun seringkali permasalahan yang ada membuat
pengertian yang terkait dengan diskresi atau freies
pemerintah tidak dapat menyelesaikannya jika
ermessen. Tampaknya akan membingungkan
hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan
bahwa pengertian tersebut menjadi pengertian
yang ada. Dalam sudut pandang keadaan yang
dari ‘wijsheid’ atau ‘wisdom’ yang merupakan
mendesak inilah peraturan kebijakan menjadi
padanan istilah ‘kebijakan’. Padahal, sebagaimana
relevan untuk dibuat oleh pemerintah. Peraturan
diulas berikutnya dalam tulisan ini, pengertian
kebijakan, menurut Bagir Manan, tidak secara
tersebut merupakan ruang lingkup dari beleid
langsung mengikat secara hukum walaupun
atau policy. Oleh karena itu, menurut penulis,
tetap mengandung relevansi hukum. Kekuatan
pengertian ‘kebijakan’ yang dikemukakan oleh
mengikatnya hanya bagi badan atau pejabat
Pringgodigdo dapat menjadi salah satu acuan
administrasi negara sendiri.
tetapi bukan sebagai pengertian dari padanan
istilah ‘wisdom’. Philipus Hadjon, seperti halnya Jimly
Asshiddiqie dan Bagir Manan, menggolongkan
Istilah ‘kebijakan’ sebagai padanan kata
peraturan kebijakan bukan sebagai peraturan
‘beleid’ dalam konsep beleidsregel digunakan
perundang-undangan. Selain itu Hadjon
oleh Jimly Asshiddiqie. Menurut Jimly
menambahkan beberapa aspek penting yang

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 37


terkait dengan peraturan kebijakan. Pertama, memberikan solusi atas suatu masalah. Dua
bahwa peraturan kebijakan tidak mengikat hukum pengertian ini maknanya dapat bertentangan.
secara langsung namun mempunyai relevansi Dalam makna pertama, suatu keputusan yang
hukum. Tidak mengikatnya peraturan kebijakan diambil dapat bertentangan dengan keinginan
merupakan implikasi dari kedudukannya yang salah satu pihak. Dalam makna kedua, keputusan
bukan merupakan peraturan perundang-undangan. yang diambil merupakan keputusan yang saling
Kedua, peraturan kebijakan mengandung suatu menguntungkan bagi dua pihak yang terkait.
syarat pengetahuan yang tidak tertulis (Hadjon Dalam teori maupun praktik, konsep ‘beleid’
et.al, 2002: 153). Artinya manakala terdapat merupakan campuran dari kedua makna tersebut
keadaan khusus yang mendesak maka badan (Clark, 2007: 411-415).
tata usaha negara harus menyimpang dari
Pentingnya pemahaman konsep ‘kebijakan’
peraturan kebijakan guna kemaslahatan warga.
dalam peraturan kebijakan juga dikemukakan
Ketiga, peraturan kebijakan tidak dapat diuji di
oleh Hoogerwerf sebagaimana dikutip Tollenaar.
Mahkamah Agung karena termasuk dunia fakta.
Menurut Hoogerwerf, kebijakan adalah upaya
Hal ini berbeda dengan peraturan perundang-
untuk mencapai tujuan tertentu dengan berdasarkan
undangan.
atas pilihan-pilihan yang ada (Tollenaar, 2008:
Jika mengacu pada tujuan diskresi 10). Pengertian ‘kebijakan’ tersebut menunjukkan
menurut pendapat Darumurti (2012: 57-58), bahwa kebijakan terkait dengan dua aspek: tujuan
maka peraturan kebijakan merupakan produk dan pilihan. Aspek ‘pilihan’, menurut penulis,
dari tindakan pemerintahan yang berkaitan menunjukkan keterkaitan yang erat antara
dengan pelayanan publik yang harus diberikan ‘kebijakan’ dan ‘diskresi’. Diskresi dalam hal ini
pemerintah. Pemerintah dalam fungsinya merupakan wewenang pada badan atau pejabat
memberikan pelayanan publik harus aktif berperan pemerintah yang memungkinkan mereka untuk
mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi melakukan pilihan-pilihan dalam mengambil
masyarakat. Dengan demikian pemerintah tidak tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam
boleh menolak untuk bertindak dengan dalih lingkup tindakan pemerintah. Diskresi dimiliki
terjadi kekosongan pengaturan hukum. oleh pemerintah karena pemerintah harus aktif
berperan mencampuri bidang kehidupan sosial
Pengertian peraturan kebijakan
ekonomi masyarakat (public service) yang
(beleidsregels) di Belanda, menurut Bruinsma,
mengakibatkan pemerintah tidak boleh menolak
tidak dapat lepas dari konsep ‘beleid’ yang susah
untuk mengambil keputusan ataupun bertindak
untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lain karena
dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan
konsep tersebut adalah bagian integral dari
hukum (Darumurti, 2012: 57-58).
masyarakat Belanda. Terminologi ‘policy’ hanya
mencakup sebagian dari makna ‘beleid’. ‘Beleid’ Berdasarkan pendapat para ahli hukum
dapat berarti mengelola dan mengatur berdasarkan tersebut maka penulis mengkonstruksikan
prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan. Aspek konsep peraturan kebijakan di Indonesia dengan
ini berkaitan dengan perencanaan dari atas ke memberikan beberapa ciri untuk mempermudah
bawah (top-down). ‘Beleid’ juga dapat berarti identifikasi. Ciri-ciri tersebut antara lain:
mempertimbangkan segala aspek terkait dan

38 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


1. Peraturan kebijakan dibentuk bukan atas 5. Ciri terakhir merupakan implikasi dari
dasar kewenangan yang diberikan tetapi atas kedudukan peraturan kebijakan yang bukan
dasar diskresi. Karena atas dasar diskresi sebagai peraturan perundang-undangan,
maka peraturan kebijakan dikeluarkan yaitu peraturan kebijakan tidak dapat diuji
untuk mengatasi permasalahan yang belum material.
diatur oleh peraturan perundang-undangan
Berdasarkan ciri-ciri peraturan kebijakan
yang sudah ada.
tersebut maka seharusnya tidak ada lembaga
2. Isi peraturan kebijakan ditujukan pada peradilan, Mahkamah Agung (MA) maupun
badan atau pejabat administrasi bukan Mahkamah Konstitusi, yang memiliki
untuk masyarakat umum. Oleh karena kewenangan untuk melakukan judicial review.
itu peraturan kebijakan tidak memiliki Pada praktiknya justru berbeda. MA pernah
kekuatan mengikat secara langsung kepada melakukan uji material terhadap peraturan
masyarakat umum. kebijakan yang berbentuk surat edaran.

3. Peraturan kebijakan dituangkan secara MA di tahun 2009 pernah menguji SE No.


tertulis tetapi tidak dalam bentuk peraturan
03/31/DJB/2009. Pemohon Keberatan dalam uji
yang merupakan peraturan perundang- material ini adalah Isran Noor yang bertindak
undangan. Penulis tidak menyebut bentuk untuk dan atas nama Kabupaten Kutai Timur.
peraturan kebijakan sebagai bentuk yang Dalam Putusan MA No. 23 P/HUM/2009,
bukan peraturan resmi karena terminologi yang merupakan Yurisprudensi, SE No. 03/31/
“bukan resmi” akan membingungkan. DJB/2009 dinyatakan bertentangan dengan UU
No. 4 Tahun 2009. Oleh karenanya, SE No.
4. Terkait ketiga ciri sebelumnya, maka ciri
03/31/DJB/2009 dinyatakan tidak sah dan tidak
yang terakhir adalah peraturan kebijakan
berlaku umum. Jika putusan MA demikian,
bukan merupakan peraturan perundang-
maka suatu surat edaran dapat diposisikan
undangan. Klasifikasi sebagai bukan
sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi
peraturan perundang-undangan sesuai
sebelum menganalisis pertimbangan MA dalam
dengan pengertian peraturan perundang-
putusannya perlu dikaji terlebih dahulu substansi
undangan dalam Pasal 1 angka 2 UU No.
dari SE No. 03/31/DJB/2009.
12 Tahun 2011, yaitu “peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat SE No. 03/31/DJB/2009 diterbitkan
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan sehubungan dengan diundangkannya UU No. 4
oleh lembaga negara atau pejabat yang Tahun 2009, tetapi yang menjadi permasalahan,
berwenang melalui prosedur yang sebelum surat edaran tersebut diterbitkan belum
ditetapkan dalam peraturan perundang- ada peraturan pemerintah yang diterbitkan untuk
undangan.” Berdasarkan ketentuan mengatur lebih detail UU No. 4 Tahun 2009 agar
tersebut maka peraturan kebijakan tidak dapat diimplementasikan. Departemen Energi
dapat diklasifikasikan sebagai peraturan dan Sumber Daya Mineral kemudian menerbitkan
perundang-undangan karena tidak mengikat SE No. 03/31/DJB/2009. Dalam surat edaran
secara umum. tersebut, gubenur dan bupati/walikota di seluruh

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 39


Indonesia diminta memperhatikan beberapa hal, (enam) bulan sejak berlakunya UU No. 4
antara lain: Tahun 2009 harus menyampaikan rencana
kegiatan pada seluruh wilayah KP sampai
1. Kuasa Pertambangan (KP) yang telah ada
dengan jangka waktu berakhirnya KP untuk
sebelum berlakunya UU No. 4 Tahun 2009,
mendapatkan persetujuan pemberi KP,
termasuk peningkatan tahapan kegiatannya
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal
tetap diberlakukan sampai jangka waktu
Mineral, Batubara dan Panas Bumi.
berakhirnya KP dan wajib disesuaikan
menjadi IUP berdasarkan UU No. 4 Tahun 6. Surat Keputusan Kuasa Pertambangan yang
2009 paling lambat 1 (satu) tahun sejak diterbitkan Menteri, Gubernur, Bupati,
berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 ini. Walikota setelah tanggal 12 Januari 2009
dinyatakan batal dan tidak berlaku.
2. Menghentikan sementara penerbitan
Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru 7. Direktorat Jenderal Mineral, Batubara, dan
sampai dengan diterbitkannya peraturan Panas Bumi akan mengeluarkan format
pemerintah sebagai pelaksanaan UU No. 4 penerbitan IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Tahun 2009. Produksi.

3. Berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal 8. Permohonan baru Surat Izin Pertambangan


Mineral, Batubara, dan Panas Bumi atas Daerah bahan galian golongan C termasuk
semua Permohonan peningkatan tahap perpanjangannya yang diajukan sebelum
kegiatan Kuasa Pertambangan termasuk berlakunya UU No. 4 Tahun 2009, tetap
Perpanjangannya untuk diproses sesuatu diproses menjadi IUP sesuai dengan UU
dengan UU No. 4 Tahun 2009. No. 4 Tahun 2009 setelah berkoordinasi
dengan Gubernur.
4. Menyampaikan kepada Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral melalui Direktorat Terhadap materi muatan tersebut,
Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi Pemohon keberatan mendalilkan bahwa materi
semua permohonan Kuasa Pertambangan muatan tersebut bertentangan dengan peraturan
yang telah diajukan, dan telah mendapat perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan
Persetujuan pencadangan wilayah sebelum perundang-undangan yang lebih tinggi dalam
berlakunya UU No. 4 Tahun 2009, untuk hal ini adalah UU No. 4 Tahun 2009. Materi
dievaluasi dan diverifikasi dalam rangka muatan dalam surat edaran tersebut yang
mernpersiapkan Wilayah Izin Usaha didalilkan bertentangan adalah Bagian A Butir
Pertambangan (WIUP) sesuai dengan 2 yang meminta Gubernur dan Bupati/Walikota
ketentuan peraturan Perundang-undangan di seluruh Indonesia menghentikan sementara
di bidang tata ruang nasional, paling lama penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
1 (satu) bulan sejak Edaran ini diterbitkan. baru sampai dengan diterbitkannya peraturan
pemerintah sebagai pelaksanaan UU No. 4
5. Memberitahukan kepada para pemegang
Tahun 2009. Materi muatan surat edaran tersebut
KP yang telah melakukan tahapan kegiatan
didalilkan bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1)
eksplorasi atau eksploitasi paling lambat 6
huruf b dan Pasal 173 ayat (2) UU No. 4 Tahun

40 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


2009. Pasal 8 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa tetap berlaku. Pengaturan tersebut menunjukkan
pemberian IUP dan Izin Pertambangan Rakyat bahwa suatu Surat Edaran tidak dapat mencegah
(IPR) merupakan kewenangan pemerintah implementasi UU No. 4 Tahun 2009 dalam
kabupaten/kota. Pasal 173 ayat (2) menyatakan hal pemberian IUP dengan alasan menunggu
sebagai berikut: diterbitkannya peraturan pelaksana.

Pada saat Undang-Undang ini mulai SE No. 03/31/DJB/2009 selain bertentangan


berlaku, semua Peraturan Perundang- dengan peraturan perundang-undangan yang
undangan yang merupakan peraturan lebih tinggi, surat edaran tersebut juga didalilkan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor Pemohon tidak dikenal dalam sistem peraturan
11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam konteks
Pokok Pertambangan (Lembaran Negara saat itu adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun
Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
22, Tambahan Lembaran Negara Republik undangan (UU No. 10 Tahun 2004). Jenis dan
Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih hierarki peraturan perundang-undangan dalam
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, menurut
dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemohon, tidak mencantumkan adanya jenis surat
ini. edaran. Jika dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (4) UU
No. 10 Tahun 2004, jenis peraturan perundang-
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8
undangan selain yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1)
ayat (1) huruf b, Pemohon mendalilkan bahwa
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Direktur
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi,
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Menurut Pemohon, SE No. 03/31/DJB/2009
RI (atas nama Menteri Energi dan Sumber Daya
tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-
Mineral sekalipun) tidak dapat menghentikan
undangan yang lebih tinggi sehingga seharusnya
(untuk sementara sekalipun) kewenangan Bupati
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan
untuk menerbitkan/menerbitkan IUP. Pasal 173
keberadaannya tidak diakui.
ayat (2) merupakan ketentuan untuk mencegah
adanya “kekosongan hukum” di tataran peraturan Dalil Pemohon tersebut, menurut penulis,
pelaksana. Peraturan pelaksana yang mengatur mengandung kontradiksi. Jika Pemohon
hal tersebut belum ada, tetapi implementasi UU mendalilkan SE No. 03/31/DJB/2009 tidak
No. 4 Tahun 2009 dapat mengacu pada peraturan dikenal dalam sistem peraturan perundang-
pelaksana dari undang-undang sebelumnya asal undangan dengan mengacu pada Pasal 7 ayat
tidak bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2009. (1) dan ayat (4) maka seharusnya Pemohon
Karena tidak adanya “kekosongan hukum” dalam tidak perlu mendalilkan SE No. 03/31/DJB/2009
tataran peraturan pelaksana maka Peraturan bertentangan dengan peraturan perundang-
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 (PP No. 32 undangan yang lebih tinggi. Kedudukan SE No.
Tahun 1969) sebagai pelaksana dari ketentuan 03/31/DJB/2009 yang dianggap tidak diakui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang keberadaannya dan tidak mengikat karena tidak
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diperintahkan peraturan perundang-undangan

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 41


yang lebih tinggi mengakibatkan SE No. 03/31/ tersebut juga secara konseptual bertentangan
DJB/2009 tidak perlu dipertentangkan dengan dengan konsep surat edaran karena tidak adanya
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. hubungan struktural atasan dan bawahan antara
SE No. 03/31/DJB/2009, tanpa diputuskan oleh Direktur Jenderal Mineral, Batubara dan Panas
MA tidak mengikat karena bertentangan dengan Bumi dengan Gubernur dan Bupati/Walikota
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, di seluruh Indonesia. Selengkapnya MA dalam
sebenarnya sebelumnya tidak mengikat sejak Putusan No. 23 P/HUM/2009 menyatakan
dibentuk. sebagai berikut:

Permasalahannya adalah apakah dengan “…bahwa obyek keberatan Hak Uji


ketentuan Pasal 7 ayat (4) tersebut setiap peraturan Material berupa Surat Edaran Direktur
perundang-undangan yang tidak dibentuk atas Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas
dasar delegated legislation secara serta merta Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya
tidak mengikat sejak dikeluarkan? Atau apakah Mineral RI Nomor: 03.E/31/DJB/2009
tidak diakuinya keberadaan dan kekuatan walaupun tidak termasuk urutan peraturan
mengikat peraturan perundang-undangan tersebut perundang-undangan sebagaimana
perlu diputuskan dalam uji material? Jika pilihan dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang
pertama yang menjadi jawaban, maka uji material Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
terhadap SE No. 03/31/DJB/2009 merupakan Peraturan Perundang-undangan, akan tetapi
upaya hukum yang tidak perlu dilakukan. Jika berdasarkan Penjelasan Pasal 7 tersebut
pilihan kedua yang menjadi jawaban, maka dalil dapat digolongkan sebagai bentuk peraturan
pertama Pemohon dalam uji material SE No. perundang-undangan yang sah, sehingga
03/31/DJB/2009 tidak perlu dikemukakan karena tunduk pada ketentuan tata urutan dimana
Pemohon cukup mengemukakan bahwa surat peraturan yang lebih rendah tidak boleh
edaran terkait tidak dibentuk atas dasar perintah bertentangan dengan peraturan perundang-
perundang-undangan yang lebih tinggi. undangan yang lebih tinggi….”

MA dalam Putusan No. 23 P/HUM/2009 Penulis berpendapat, Penjelasan Pasal 7 UU


menunjukkan adanya kontradiksi tersebut. No. 10 Tahun 2004 yang menjadi pertimbangan
MA, berbeda halnya dengan dalil kedua MA dalam Putusan No. 23 P/HUM/2009 tersebut
yang diajukan, menganggap SE No. 03.E/31/ tidak memberikan konstruksi pemikiran yang
DJB/2009 merupakan peraturan perundang- logis sehingga bentuk surat edaran dapat dianggap
undangan yang sah. Karena merupakan sebagai peraturan perundang-undangan yang sah.
peraturan perundang-undangan yang sah maka Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun
SE No. 03.E/31/DJB/2009 perlu diuji terhadap 2004 hanya mengatur bentuk-bentuk peraturan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. perundang-undangan lain yang diakui namun
Argumentasi MA tersebut bertentangan dengan tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa surat
hakikat surat edaran yang merupakan tuntunan edaran yang dikeluarkan Dirjen dapat dianggap
bagi pejabat bawahan dan bukan ditujukan ke peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal
luar instansi atau lembaga yang mengeluarkan 7 ayat (4) menggunakan terminologi “peraturan”
surat edaran tersebut. SE No. 03.E/31/DJB/2009 yang bersifat regelling sehingga justru nyata-

42 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


nyata berbeda dengan surat edaran yang juga bukan ditujukan mengikat secara umum
substansinya bersifat mengarahkan. Penjelasan walaupun pada praktiknya seringkali dipaksakan
Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut untuk mengikat masyarakat umum di luar instansi
serupa dengan Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun yang mengeluarkannya.
2011. Selengkapnya Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
Berdasarkan pertimbangan dalam
UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan sebagai
putusannya, maka MA berpendapat bahwa materi
berikut:
muatan surat edaran tersebut bertentangan dengan
Jenis Peraturan Perundang-undangan PP No. 32 Tahun 1969 karena kewenangan
selain dalam ketentuan ini, antara lain, Bupati/Walikota untuk memberikan IUP apabila
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis dilarang atau dicabut seharusnya dalam bentuk
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Peraturan Pemerintah, bukan dengan surat
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan edaran. Hal ini mengacu pada asas contrarius
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah actus, yaitu suatu peraturan hanya dapat dicabut
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, menggunakan jenis peraturan yang sama. Oleh
Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, karena itulah MA memutuskan SE No. 03.E/31/
lembaga, atau komisi yang setingkat DJB/2009 bertentangan dengan UU No. 4 Tahun
yang dibentak oleh undang-undang atau 2009 dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku
pemerintah atas perintah undang-undang, untuk umum. MA juga memerintahkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat untuk membatalkan dan mencabut SE No.
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, 03.E/31/DJB/2009 sebelum terbitnya peraturan
Kepala Desa atau yang setingkat. pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU
No. 4 Tahun 2009.
Jika mengacu pada unsur-unsur peraturan
perundang-undangan dalam UU No. 10 Tahun Putusan No. 23 P/HUM/2009 tersebut
2004, surat edaran bukanlah peraturan perundang- menunjukkan bahwa MA menginterpretasikan
undangan. Pasal 1 Angka 2 UU No. 10 Tahun bentuk surat edaran sebagai salah satu bagian
2004 mendefinisikan peraturan perundang- dari peraturan perundang-undangan sebagaimana
undangan dengan unsur-unsur: peraturan tertulis, diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun
dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat 2004 sehingga dapat diuji material. Mutatis
yang berwenang, dan mengikat secara umum. mutandis interpretasi MA tersebut terhadap Pasal
Surat edaran, berdasarkan format penulisannya, 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 karena substansi
haruslah dianggap sebagai surat dan bukan Pasal 8 ayat (1) serupa dengan Pasal 7 ayat (4) UU
peraturan. Mengacu pada Penjelasan Pasal 7 No. 10 Tahun 2004. Oleh karena itu, jika mengacu
ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, sebagaimana pada interpretasi MA tersebut maka peraturan
telah dijelaskan sebelumnya, Dirjen dalam kebijakan dapat diuji material oleh MA.
suatu departemen/kementerian tidak memiliki
Menurut penulis, frasa “peraturan yang
kewenangan untuk membentuk peraturan
dikeluarkan oleh…” dalam UU No. 10 Tahun
perundang-undangan. Surat edaran, sebagaimana
2004 atau frasa “peraturan yang ditetapkan
telah dijelaskan sebelumnya, pada hakikatnya

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 43


oleh…” dalam UU No. 12 Tahun 2011 memiliki menurut penulis seharusnya digunakan dalam
ruang lingkup yang terbatas. Peraturan yang menginterpretasikan frasa “peraturan yang
dimaksud dalam hal ini adalah peraturan yang dikeluarkan oleh…” atau “peraturan yang
secara formil dapat memenuhi fungsinya sebagai ditetapkan oleh…”. Dengan demikian MA dalam
sumber pengenal (kenvorm). Menurut Maria Putusan No. 23 P/HUM/2009, menurut penulis,
Farida Indrati Soeprapto (1998: 157), agar telah keliru menginterpretasikan frasa tersebut
memenuhi fungsinya sebagai sumber pengenal (dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU No. 10
peraturan perundang-undangan suatu peraturan Tahun 2004) sebagai ratio decidendi sehingga
harus memiliki 4 (empat) bagian esensial yaitu sampai pada kesimpulan bahwa surat edaran
Penamaan, Pembukaan, Batang Tubuh, dan dapat diuji material oleh MA.
Penutup. Penamaan mencakup uraian singkat
Yurisprudensi MA ini menunjukkan tidak
tentang isi peraturan perundang-undangan yang
konsistennya MA dalam menguji peraturan
didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan
kebijakan berdasarkan undang-undang yang
tahun pembentukannya, serta kalimat singkat
mengatur tata peraturan perundang-undangan
yang mencerminkan isi peraturan perundang-
dan uji material. MA menginterpretasikan
undangan yang bersangkutan. Suatu surat edaran
kewenangannya dalam menguji peraturan
juga dapat memiliki unsur ini.
kebijakan dengan mengacu pada substansi
Tidak semua surat edaran memiliki unsur peraturan kebijakan tersebut. Jika substansinya
Pembukaan. Unsur Pembukaan mencakup bersifat mengatur sebagaimana peraturan
penyebutan lembaga yang membentuk, perundang-undangan, maka MA berhak untuk
konsiderans “Menimbang”, dasar hukum mengujinya. Padahal kewenangan uji material
“Mengingat”, kata-kata “Memutuskan” dan MA terhadap peraturan perundang-undangan di
“Menetapkan”, serta judul dari peraturan bawah undang-undang bukan hanya mengacu
perundang-undangan tersebut. Unsur lain pada substansi tetapi juga pada bentuk peraturan
yang pasti tidak dimiliki oleh semua peraturan tersebut. Acuan utama suatu peraturan disebut
kebijakan adalah Batang Tubuh yang biasanya peraturan perundang-undangan adalah dengan
dirumuskan dalam pasal-pasal. Batang Tubuh melihat bentuknya atau unsur pengenalnya
suatu peraturan perundang-undangan umumnya sebagai peraturan perundang-undangan.
meliputi Ketentuan Umum, Ketentuan materi
Menurut penulis, terdapat dua gagasan
yang diatur, Ketentuan Pidana (jika terdapat),
sebagai preskripsi bagi wewenang MA dalam
Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup. Hal
menguji peraturan kebijakan. Pertama, MA
yang juga dapat membedakan peraturan yang
berwenang menguji peraturan kebijakan dengan
merupakan peraturan perundang-undangan dan
tetap mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011
peraturan yang merupakan peraturan kebijakan
yang memberikan batasan peraturan perundang-
adalah bagian Penutup yaitu bilamana bagian
undangan. Dalam hal ini MA tidak perlu diberikan
tersebut memerintahkan pengundangan sedangkan
kewenangan secara eksplisit untuk menguji
peraturan kebijakan tidak diundangkan.
peraturan kebijakan. Kedua, MA diberikan
Aspek penanda/pengenal peraturan wewenang untuk menguji peraturan kebijakan
perundang-undangan secara formil itulah yang sehingga MA bukan hanya dapat menguji

44 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


peraturan dalam bentuk peraturan perundang- tidak mengikat. Pemerintah juga tidak dapat
undangan sebagaimana bentuknya terbatas pada memaksakan pelaksanaan surat edaran tersebut
UU No. 12 Tahun 2011 tetapi juga menguji secara langsung kepada masyarakat umum. Jika
peraturan berbentuk surat edaran atau instruksi.pemerintah kemudian memaksakan pelaksanaan
surat edaran tersebut kepada masyarakat umum
Jika pilihan kedua yang diambil
dan pelaksanaannya mengakibatkan kerugian,
justru akan mengaburkan perbedaan antara
maka pemerintah dalam hal ini bertanggung
peraturan kebijakan dan peraturan perundang-
gugat atas tindakan pemerintahan tersebut.
undangan. Keduanya akan dianggap setara dan
memiliki kedudukan yang sama. Penulis tidak Berdasarkan konsep tanggung gugat
sependapat dengan Abdul Latief (2005: 235) pemerintah secara luas, pemerintah harus
yang menginterpretasikan secara gramatikal, memberikan kompensasi untuk setiap kerugian
menyimpulkan bahwa peraturan kebijakan yang disebabkannya secara langsung atau tidak
sebagai keputusan yang bersifat mengatur dan langsung, secara material atau imaterial, terhadap
mengikat secara tidak langsung dan tingkatannya warganya (Zhang, 1999: 1). Dalam konteks
lebih rendah dari undang-undang dapat diuji kerugian yang disebabkan pelaksanaan peraturan
secara material oleh MA. kebijakan, gugatan terhadap pemerintah tidak
dapat dilakukan melalui peradilan administrasi.
Jika pilihan pertama yang digunakan, uji
Oleh karena itu gugatan terhadap pemerintah
material peraturan kebijakan oleh MA hanya
dapat dilakukan melalui peradilan umum
dapat dilakukan terhadap peraturan kebijakan
atas dasar perbuatan melanggar hukum oleh
berbentuk peraturan perundang-undangan, yaitu
pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
peraturan perundang-undangan yang dibentuk
atas dasar diskresi. Karena peraturan tersebut lahir Menurut Utrecht, pengawasan atas
dari diskresi maka dasar pengujian tidak dapat kebijakan dalam suatu tindakan pemerintahan
terbatas pada peraturan perundang-undangan (doelmatigheids-controle) tidak dapat diserahkan
yang ada di atasnya saja. Pengujian juga perlu kepada hakim, tetapi berada pada jajaran
didasarkan pada asas-asas atau prinsip dalam pemerintah sendiri. Alasan hakim tidak boleh
pemerintahan atau pembentukan peraturan. menilai kebijakan karena dengan menilai
kebijakan pemerintah maka hakim seolah-olah
Dengan mempertahankan konsep asal
duduk sebagai eksekutif. Hakim boleh menilai
peraturan kebijakan, yang tidak dapat diuji oleh
jika dalam tindakan pemerintah tersebut diduga
MA, tidak berarti menutup upaya perlindungan
telah terjadi tindakan melampaui wewenang
hukum bagi subjek hukum yang dirugikan.
atau sewenang-wenang. Seperti halnya
Menurut penulis, perlindungan hukum dalam
pendapat Utrecht, menurut Laica Marzuki,
pelaksanaan peraturan kebijakan harus
seseorang atau badan hukum perdata tidak dapat
dikembalikan kepada karakternya sebagai
mempermasalahkan peraturan kebijakan ke
tuntunan atau arahan dari pejabat atasan kepada
hadapan hakim. Alasannya, lembaga pengadilan
bawahan. Oleh karena itu, jika terdapat surat
tidak dapat mengadili kebijakan (Simanjuntak,
edaran dari pemerintah yang ditujukan kepada
2011: 41-42).
masyarakat umum maka surat edaran tersebut

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 45


Pendapat tersebut juga diadopsi di undang itulah dapat diatur kedudukan peraturan
Indonesia. Kompetensi pengadilan di Indonesia kebijakan ataupun bentuk-bentuknya dan juga
untuk mengadili tindakan pemerintah perlindungan hukum terhadap pelaksanaannya.
berdasarkan kebijakan, atas dasar onrechtmatige Dengan demikian tidak terdapat kebingungan
overheidsdaad, juga dibatasi. MA pernah ketika ada pihak yang dirugikan oleh tindakan
mengeluarkan Surat Edaran tanggal 25 Februari pemerintahan yang mengacu pada suatu surat
1977 No. MA/Pemb/0159/77 yang menyatakan edaran atau instruksi.
bahwa perbuatan kebijakan penguasa tidak
termasuk kompetensi pengadilan untuk IV. SIMPULAN
menilainya, kecuali ada unsur sewenang-wenang
dan penyalahgunaan wewenang (Hadjon, 2007: Para ahli hukum tata negara maupun
115). Konsep pembatasan ketat dalam pengawasan administrasi negara selama ini memiliki pendapat
kebijakan tidak lepas dari kritikan, salah yang seragam terkait uji material peraturan
satunya oleh B.J. Schueler. Menurut Schueler, kebijakan. Pandangan arus utama menganggap
keterbatasan wewenang hakim sebagai akibat uji material terhadap peraturan kebijakan tidak
tidak berwenangnya hakim menilai segi selain dapat dilakukan. Jika dilihat dari pendekatan
rechtmatigheid membuat sengketa administrasi perundang-undangan, uji material peraturan
menjadi sengketa yang tidak terselesaikan kebijakan adalah hal mustahil karena wewenang
(Simanjuntak, 2011: 43). uji material hanya ditujukan bagi uji material
peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup
Kalaupun tindakan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan telah dibatasi,
peraturan kebijakan tersebut digugat di peradilan sejak UU No. 10 Tahun 2004 hingga UU No.
umum atas dasar onrechtmatige overheidsdaad, 12 Tahun 2011, sehingga nomenklatur peraturan
terdapat beberapa kendala yang terkait spesialisasi kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai
hakim. Menurut Philipus Hadjon, perkara- peraturan perundang-undangan.
perkara terkait onrechtmatige overheidsdaad
tidak dapat dilepaskan dari hukum administrasi Dua perkembangan perlu dipertimbangkan
baik secara teoretis maupun berdasarkan hukum dalam kajian uji material peraturan kebijakan.
positif. Oleh karena itu dibutuhkan hakim yang Pertama, adanya sifat substansi, kekuatan
memiliki pemahaman terhadap ruang lingkup mengikat, dan nomenklatur peraturan kebijakan
hukum administrasi ketika memeriksa perkara yang menyerupai peraturan perundang-undangan.
onrechtmatige overheidsdaad (Simanjuntak, Kedua, perkembangan MA yang telah menguji
2011: 132-133). bahkan mengabulkan permohonan uji material
peraturan kebijakan. Kedua perkembangan
Menurut penulis, untuk jangka waktu ke tersebut telah menempatkan isu hukum uji
depan Indonesia seharusnya segera memiliki material terhadap peraturan kebijakan menjadi
undang-undang yang mengatur hukum isu hukum yang sulit.
administrasi secara umum, seperti halnya
Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) yang dimiliki Menurut penulis, aspek uji material
oleh Belanda dan Administrative Procedure terhadap peraturan kebijakan bukan hanya
Act (APA) di Amerika Serikat. Dalam undang- harus dilihat dari pendekatan konseptual tetapi

46 | Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 1 April 2013: 33 - 47


tetap berpegang pada pendekatan perundang- to the Indonesian Administrative Law).
undangan. Pengaturan dalam UU No. 12 Tahun Yogyakarta: Gadjah Mada University
2011 secara jelas telah menempatkan peraturan Press.
kebijakan sebagai peraturan kebijakan yang tidak
Hadjon, Philipus M. 2007. Perlindungan
dapat diuji material oleh MA. Oleh karena itu,
Hukum bagi Rakyat di Indonesia:
secara konseptual maupun yuridis, uji material
Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya,
MA terhadap suatu surat edaran tidak dapat
Penanganannya oleh Pengadilan dalam
dibenarkan. Walaupun uji material peraturan
Lingkungan Peradilan Umum dan
kebijakan tidak dapat dilakukan, tetapi bukan
Pembentukan Peradilan Administrasi.
berarti tidak ada perlindungan hukum yang
Surabaya: Peradaban.
diberikan kepada pihak-pihak yang dirugikan
oleh adanya peraturan kebijakan. Jika, misalnya, Latief, Abdul. 2005. Hukum dan Peraturan
terdapat surat edaran dari pemerintah yang Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
ditujukan kepada masyarakat umum maka surat Pemerintahan Daerah. Yogyakarta: UII
edaran tersebut tidak mengikat. Pemerintah Press.
juga tidak dapat memaksakan pelaksanaan
Manan, Bagir & Kuntana Magnar. 1997. Beberapa
surat edaran tersebut secara langsung kepada
Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.
masyarakat umum. Jika pemerintah kemudian
Bandung: Alumni.
memaksakan pelaksanaan surat edaran tersebut
kepada masyarakat umum dan pelaksanaannya Simanjuntak, Enrico. 2011. PeradilanAdministrasi
mengakibatkan kerugian, maka pemerintah dan Problematika Peraturan Kebijakan.
dalam hal ini bertanggung gugat atas tindakan Varia Peradilan Tahun XXVI, Nomor 305,
pemerintahan tersebut. April.

Soebechi, Imam. 2010. Judicial Review di


DAFTAR PUSTAKA Indonesia, Varia Peradilan Tahun XXVI,
Nomor 299, Oktober 2010.
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Perihal Undang-
Undang. Jakarta: Rajawali Pers. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 1998. Ilmu
Perundang-undangan. Yogyakarta: Kanisius.
Clark, David S. Ed. 2007. Encyclopedia of
Law and Society: American and Global Tollenaar, Albertjan. 2008. Gemeentelijk Beleid en
Perspectives Volume 1. Los Angeles: Sage Beleidsregels. Disertasi. Rijksuniversiteit
Publications. Groningen.

Darumurti, Krisha D. 2012. Kekuasaan Diskresi Wade, H.W.R. 1982. Administrative Law (Fifth
Pemerintah. Bandung: PT. Citra Aditya Edition). Oxford: Oxford University Press.
Bakti. Zhang, Yong. Ed. 1999. Comparative Studies
Hadjon, Philipus M., et.al. 2002. Pengantar Hukum on Governmental Liability in East and
Administrasi Indonesia (Introduction Southeast Asia. Den Haag, London, Boston:
Kluwer Law International.

Kewenangan Yudikatif dalam Pengujian Peraturan Kebijakan (Victor Imanuel W. Nalle) | 47

Anda mungkin juga menyukai