Anda di halaman 1dari 6

Baik atas kepentingan politik maupun hukum, adakalanya peraturan

perundang-undangan yang telah diundangkan kembali dipertanyakan


karena alasan-alasan tertentu, misalnya dianggap tidak sesuai atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.

Adanya pengujian peraturan perundang-undangan ini, juga berkaitan


dengan adanya hieraki peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 7
Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan).1

Dalam pengujian peraturan perundang-undangan tentu berdasarkan


asas lex superior derogat legi inferior yang artinya peraturan yang lebih
tinggi mengesampingkan yang rendah (asas hierarki), Dalam kerangka
berfikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, pasti
tidak terlepas dalam benak kita menganai Teori Stuffen Bow karya Hans
Kelsen (selanjutnya disebut sebagai ”Teori Aquo”). Hans Kelsen dalam Teori
Aquo mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki tata susunan.Yaitu digunakan apabila terjadi pertentangan,
dalam hal ini yang diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-
undangan, misalnya ketika terjadi pertentangan antara Peraturan
Pemerintah (PP) dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah
Undang-undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya.Teori Aquo

1 Lihat Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan. Lihat juga Sony Maulana Sikumbang Maria Farida Indrati S, Fitriani
Ahlan Syarif, M. Yahdi Salampessy, Ilmu Perundang-Undangan (Tangerang Selatan:
Penerbit Universitas Terbuka, 2018), h. 3.15-3.19.
semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk undang-
undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Contohnya adalah Pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam


Negeri membatalkan 3.143 peraturan daerah atau perda yang dianggap
bermasalah. Perda tersebut dianulir karena dianggap bertentangan dengan
peraturan diatasnya.2 Namun pembatalan ini menuai kontroversi, karena
dianggap menyalahi hukum yang berlaku. Semestinya pembatalan Perda
tersebut harus dengan Peraturan Pemerintah, setelah terpenuhi tiga syarat
perda untuk dapat dibatalkan, yaitu:

Pertama, dalam melakukan evaluasi Mendagri harus menemukan unsur


Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai Pasal 136 ayat (4) UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Kedua, pembatalan harus dilakukan oleh presiden melalui Peraturan


Presiden (Perpres), tidak dapat dilakukan dengan instrumen hukum
lainnya.

Ketiga, pembatalan Perda oleh presiden ini hanya dapat dilakukan 60 hari
sejak diterimanya pemberitahuan dari Pemerintah Daerah.

Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut


wewenang Mendagri membatalkan perda, baik perda kota, kabupaten atau
provinsi. Putusan ini belakangan dipersoalkan karena dinilai menghambat
program deregulasi pemerintah.

2 Daftar lengkap dari semua Peraturan daerah yang dianulir oleh Pemerintah
tersebut dapat dilihat dalam
https://www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/21/b/a/batal_perda_21_juni_2016.p
df
Berikut 5 alasan MK mencabut wewenang Mendagri itu, sebagaimana
dinukil dari putusan MK Nomor 137 PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016 ;

1. Keberadaan judicial review di dalam suatu negara hukum, merupakan


salah satu syarat tegaknya negara hukum itu sendiri, sebagaimana
tersurat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Peraturan perundang-
undangan hanya layak diuji oleh suatu lembaga yustisi. Dengan bahasa
lain, suatu produk hukum hanya absah jika diuji melalui institusi hukum
bernama pengadilan. Itulah nafas utama negara hukum sebagaimana
diajarkan pula dalam berbagai teori pemencaran dan pemisahan
kekuasaan yang berujung pada pentingnya mekanisme saling mengawasi
dan mengimbangi (checks and balances). Deskripsi pengaturan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di atas
merupakan bukti nyata bahwa mekanisme judicial review bahkan sudah
diterapkan sebelum dilakukan perubahan UUD 1945.
2. Menurut UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Perda jelas disebut sebagai salah satu bentuk
peraturan perundang-undangan dengan hierarki di bawah UU. Maka
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945,
pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan oleh
lembaga lain.
3. Eksekutif bisa membatalkan Perda menyimpangi logika dan bangunan
negara hukum Indonesia sebagaimana amanah Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 juga menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai
lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU in casu Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945
4. Ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif
dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 251 ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme
putusan pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda
terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.
5. Jika peraturan daerah itu sudah mengikat umum, maka sebaiknya yang
mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama
sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan peraturan daerah yang
bersangkutan sesuai dengan sistem yang dianut dan dikembangkan
menurut UUD 1945 yakni "centralized model of judicial review", bukan
decentralized model", seperti ditentukan dalam Pasal 24A ayat (1) dan
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.3

Saya berasumsi bahwa perda-perda yang dibatalkan tersebut, karena


dianggap menghalangi program pemerintah lainnya. Merujuk kepada
ketentuan Pasal 250 dan 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah (UU Pemda), hanya ada tiga alasan suatu perda dapat dibatalkan
baik secara komulatif maupun alternatif. Yakni apabila perda tersebut
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi; kepentingan umum dan/atau; kesusilaan. Namun juga perlu dipahami
bahwa pemerintah tidak boleh semena-mena dalam membatalkan dan
menganulir perda yang menjadi aspirasi rakyat setempat, karena mereka
lebih faham tentang maslahah dan mudharatnya, karena sebelum menjadi
perda tentulah sudah melalui kajian yang mendalam. Misalnya ada sebuah
perda yang melarang ada pembukaan tambang di daerah Kalimantan
Selatan, karena menurut studi AMDAL apabila tambang tetap dikerjakan
maka akan terjadi dampak lingkungan yang sangat parah. Tetapi apabila
perda ini dianulir karena pemerintah beranggapan perda tersebut
menghambat investasi dan target pemasukan pemerintah, maka pemerintah

3 Lihat putusan MK Nomor 137 PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-


XIV/2016
telah salah dan berbuat tidak benar meskipun sesuai dengan hukum
perundang-undangan, hierarki pengujian sebuah peraturan.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana


diubahn terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan


Produk Hukum Daerah.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek


Strategis Nasional, Diktum Kedelapan.

Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/476/SJ tentang Pencabutan/Perubahan


Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
yang Menghambat Birokrasi dan Perizinan Investasi.

Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 582/1107/SJ tentang Penegasan Intruksi


Menteri Dalam Negeri Nomor 582/476/SJ Tentang Pencabutan/Perubahan
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
yang Menghambat Birokrasi dan Perizinan Investasi.

Putusan MK Nomor 137 PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016

Maria Farida Indrati S, Sony Maulana Sikumbang, Fitriani Ahlan Syarif, M. Yahdi
Salampessy. Ilmu Perundang-Undangan. Tangerang Selatan: Penerbit
Universitas Terbuka, 2018.

Anda mungkin juga menyukai