NIM : 22.C1.0029
Mata Kuliah : Legal Drafting 01
Soal Wajib
1. a). Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPRS dan
Ketetapan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/2003. Dengan demikian tidak semua ketetapan MPR yang pernah
ada lalu menjadi berlaku berdasarkan UU ini, tetapi hanya sebatas pada ketetapan
MPR yang masih berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor
I/MPR/2003
- Pasal 2: TAP MPRS dan TAP MPR dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan
masing-masing
- Pasal 4: TAP MPRS dan TAP MPR tetap berlaku sampai dengan terbentuknya
undang-undang1.
1
https://peraturan.bpk.go.id/Download/86368/ketetapan-mpr-ri-nomor-i-mpr-
2003-1325650924.pdf
MPR. Masuknya Ketetapan MPR sebagai jenis produk hukum di bawah UUD 1945
menimbulkan pertanyaan bagaimana jika terdapat ketentuan dalam Ketetapan MPR
yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, padahal MPR sudah tidak lagi
memiliki wewenang untuk membentuk Tap MPR yang mencabut atau
mengubahnya. MK yang memiliki fungsi dalam pengujian terhadap peraturan-
peraturan tentu diragukan kewenangannya untuk menguji Ketetapan MPR karena
Ketetapan MPR bukan Undang-Undang dan kedudukannya berada di atas UU. Jauh
sebelum ditetapkannya UU No. 12 Tahun 2011 pertanyaan ini sesungguhnya telah
muncul pada saat Ketetapan MPR tidak masuk dalam hierarki peraturan
perundang-undangan. Namun pertanyaan itu dapat dijawab dengan merujuk
kepada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003. MK memiliki wewenang menguji Tap
MPR, khusus untuk Ketetapan MPR yang disebut di dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor
I/MPR/2003, karena ketentuan pasal itu telah menyamakan kedudukan Ketetapan
MPR terkait dengan UU. Sedangkan terhadap Ketetapan MPR yang ditentukan
dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor I/MPR/2003, MK tidak memiliki wewenang menguji
karena ketentuan Pasal 2 itu sendiri tidak memungkinkan adanya perubahan atau
pencabutan dengan UU. Ketetapan-ketetapan MPR dalam Pasal 2 Tap MPR Nomor
I/MPR/2003 dapat diposisikan sebagai bagian dari konstitusi secara luas.
2
Indonesia, “Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan".
3
Gede Marhendra Wija Atmaja et al., Hukum Perundang-Undangan, ed. oleh Fungky, Cetakan 1 (Ponorogo:
Uwais Inspirasi Indonesia, 2018),72.
4
Rokilah Rokilah dan Sulasno Sulasno, “Penerapan Asas Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan,” Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum 5, no. 2 (2021): 180, https://doi.org/10.30656/ ajudikasi.v5i2.3942.
undangan menurut Ahmad Redi dalam bukunya, dapatlah berupa perintah atau
yang disebut juga dengan gebod, pemberian izin atau disebut juga toestemming,
larangan atau verbod serta vrijstelling atau pengecualian.5
5
Ahmad Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ed. oleh Tarmizi (Jakarta: Sinar Grafika,
2018), 76
6
Indonesia, "Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011...".
Telah diketahui bahwa kedudukan Peraturan Daerah diatur secara jelas
dalam Peraturan Perundang-undangan. Apabila ditelaah lebih dalam lagi, dalam
hierarki yang ada di setiap regulasi, Peraturan Daerah diletakkan di posisi bawah
yang artinya memiliki kekuatan hukum rendah. Hal ini dikarenakan Peraturan
Daerah baik itu Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota hanya berada di tingkat daerah saja. Dengan begitu kedudukan
Peraturan Daerah ialah di tingkat daerah, sedangkan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya kedudukan Peraturan Menteri berada di tingkat pusat.
Soal Bonus
4. Suatu penjenjangan hukum (hierarki norma hukum).
Teori tersebut pertama kali kemukakan oleh Adolf Merkl yang kemudian disebut
oleh Zoran Jaliae dalam tulisannya A Note on Adolf Merkl’s Theory of Administrative
Law sebagai stairwell structure of legal order.
Menurut Adolf Merkl hukum adalah suatu sistem tata urutan hierarkis. Lebih lanjut
dikatakan, norma hukum selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz).
Norma hukum ke atas akan selalu berdasar dan bersumber pada norma hukum di
atasnya, sedangkan ke bawah maka akan menjadi dasar dan sumber bagi norma
hukum di bawahnya.
Oleh karena itu norma hukum memiliki masa berlaku yang relatif, tergantung pada
keberlakuan norma yang di atasnya. Jika norma hukum yang di atasnya dihapuskan
maka norma hukum yang di bawahnya akan terhapus pula.
Secara teoritik, mengenai penjenjangan hukum (yang bermula dari Merkl) lebih
populer sebagai pemikiran Hans Kelsen melalui Teori Hukum
Berjenjang (Stufenbau des Recht). Kelsen berpendapat, norma yang lebih rendah
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu hierarkis.
Maksudnya setiap norma yang lebih rendah bersumber, berlaku, dan berdasar pada
norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi bersumber dari norma yang lebih
tinggi lagi. Begitu seterusnya hingga sampailah pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yakni norma dasar
(Grundnorm).7
Grundnorm merupakan suatu asas hukum yang bersifat abstrak, umum, dan
hipotesis yang menjadi landasan segala sumber hukum dalam arti formal. Dengan
kata lain merupakan norma yang paling tertinggi, jika diilustrasikan sebagai suatu
piramida maka ia terletak pada posisi puncak piramida tersebut.
Untuk itulah Kelsen menganggapnya sebagai suatu meta juristic yakni suatu norma
yang di luar sistem hukum atau algemene verbindende voorschrifften (bukan bagian
daripada peraturan perundang-undangan). Ia adalah the source of the source dari
tatanan peraturan yang ada di bawahnya.
Teori di atas dikembangkan lebih lanjut oleh Hans Nawiasky yang juga menjadi
murid dari Kelsen. Teori yang diperkenalkan adalah Die Stufenordnung der
Rechtsnormen. Dalam pandangannya, Nawiasky mengaitkan hirarki tersebut
dengan suatu negara. Pada intinya sama dengan yang dikemukakan Kelsen, bahwa
suatu norma hukum dalam negara senantiasa berjenjang dan berlapis-lapis. Setiap
norma yang lebih tinggi menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum yang lebih
rendah atau yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasarkan norma yang
lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yaitu Norma
Dasar.8
7
Ni’matul Huda. 2011. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Jakarta: Nusa Media.
8
Maria Farida Indrati S. 2017. Ilmu Perundang-Undangan 1. Yogyakarta: PT Kanisius.
Dalam gagasan Nawiasky, norma hukum suatu negara tidak hanya berjenjang,
namun juga berkelompok-kelompok. Adapun klasifikasinya terbagi menjadi 4
(empat) bagian sebagai berikut:
1. Staatsfundamentalnorm;
2. Staatsgrundgesetz;
Melihat uraian di atas, tentunya kedua pemikiran (Kelsen dan Nawiasky) memiliki
persamaan. Bahwa norma itu berjenjang dan berlapis serta bersumber dari norma
yang lebih tinggi. Hingga akhirnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri
lagi sumber asalnya sebab ia pre-supposed.
-Terima Kasih-
-- Luiziao Assen DPL_22C10029 --
9
FX. Adji Samekto, Kajian Teori Hukum : Menggugat Relasi Filsafat Positivisme Dengan Ajaran Hukum
Doktrinal, Makalah Bahan Matrikulasi Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Fak.
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hal. 11.
10
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi..., hal. 76- 77