NIM : 22.C1.0029
Mata Kuliah : Hukum Perburuhan 01
Jawab
1. Perjanjian sendiri secara umum mempunyai arti secara luas dan sempit. Dalam
arti luas, perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk
didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit,
perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan
hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku III BW/KUHPerdata.
Perjanjian dengan 5 (lima) orang sebagai tenaga pemasaran dan promosi selama
pameran di Marina Mall untuk 10 hari kalender.
Subjek hukum: PT Griya Tenan dan 5 (lima) orang sebagai tenaga pemasaran
dan promosi.
Objek perjanjian: tenaga pemasaran dan promosi selama pameran di Marina
Mall.
Dasar hukum: PP No.29 Tahun 2021.
Kuasa dan perjanjian dengan kantor Firma Hukum Suto untuk menyelesaikan
sengketa kerjasama dengan PT Citra Surya.
Subjek hukum: PT Griya Tenan dan kantor Firma Hukum Suto.
Objek perjanjian: penyelesaian sengketa kerjasama dengan PT Citra Surya.
Dasar hukum: UU No. 30 Tahun 1999
Secara umum untuk suatu perjanjian harus berdasarkan pada Pasal 1320
KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata
2. Sebagai penasehat hukum keluarga Mukidi, hal pertama yang harus dituntut kepada
PT Resik Tenan adalah Uang Kompensasi sesuai Pasal 61A UU No.6 Tahun 2023
(Lampiran: PERPU CK dan Psl 15 sd Psl 17 PP No.35 Thn 2021) sejumlah :
8 2
×(Upah Pokok +tunjangan pokok ) = ×( Rp 3.100.000+ ( 21× Rp 10.000 ) )
12 3
= Rp 2.207.000,00 ( Pembulatan keatas )
Sebenarnya Mukidi wajib membayar ganti rugi sisa hari kerja, tetapi sebagai penasehat
hukumnya nilai tersebut terlalu besar sehingga kami menolak untuk memberikan ganti
kerugian yang dialami pengusaha
Upaya selanjutnya adalah memastikan apakah Perusahaan Alih daya tetap menanggung
segala pengobatan Mukidi ( karena Mukidi dalam kondisi koma ) walaupun Mukidi
sudah diberhentikan dari Perusahaan tempatnya bekerja.
Terkait PHK,
Mengenai pemutusan hubungan kerja (“PHK”), menurut Pasal 151 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan),
pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Jika segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud dari
PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh (Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa PHK merupakan pilihan terakhir,
dan hal tersebut harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Dalam melakukan PHK terhadap pekerja, pengusaha harus mengetahui bahwa ada
beberapa hal yang tidak boleh dijadikan alasan dilakukannya PHK, yaitu (Pasal 153
ayat (1) UU Ketenagakerjaan):
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Melihat pada ketentuan dalam Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, ini berarti
pengusaha tidak dapat mem-PHK Mukidi karena cacat tetap akibat kecelakaan kerja.
Apalagi dalam kasus Mukidi, kondisinya dalam keadaan koma
Jika PHK dilakukan atas dasar cacat yang diderita oleh pekerja, maka sebagaimana
diatur dalam Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, PHK tersebut batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang
bersangkutan ketika kondisinya sudah pulih
Jika pengusaha berusaha melakukan perundingan dengan pekerja mengenai PHK atas
dasar cacat, dan tidak ditemui kata sepakat, maka pengusaha tidak dapat melakukan
PHK terhadap pekerja. Jika tidak tercapai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja,
pengusaha hanya dapat mem-PHK pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan).
3. Total jam kerja pada saat lembur :
08.00 – 12.00 Kerja
12.00 – 12.30 Istirahat
12.30 – 16.30 Kerja
16.30 – 17.00 Istirahat
17.00 – 18.00 Kerja
a. Total kerja = 9 Jam Kerja (karena hari libur keagamaan seharusnya hari itu
Trimbil)
75 % × 5.815.000 = 4.361.250