Anda di halaman 1dari 7

BUKUJAWABANTUGASMATAKULIAHT

UGAS2

NamaMahasiswa : Bayu Setyawan

NomorIndukMahasiswa/NIM : 049325524

Kode/NamaMataKuliah : HKUM4403/Ilmu Perundang-Undangan

Kode/NamaUPBJJ : 45/UPBJJ-UT Yogyakarta

MasaUjian : 2023/2024Ganjil(2023.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN


KEBUDAYAANUNIVERSITASTERBUKA
1a. Jawaban
Kedudukan Ketetapan MPR (TAP MPR) yaitu berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai produk peraturan perundang-
undangan yang berada di bawah UUD 1945 (UUD 1945) dan berada
satu tingkat di atas Undang-Undang. Penempatan Ketetapan MPR
tersebut di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang hanya
bertujuan untuk memberikan pengakuan dan status hukum
terhadap Ketetapan MPR yang masih berlaku, karena menurut UUD
1945 setelah perubahan MPR tidak lagi memiliki kewenagan untuk
mengeluarkan Ketetapan yang sifatnya mengatur keluar (regeling)
dan hanya bisa mengeluarkan Ketetapan yang sifatnya penetapan
(beschikking) atau mengatur ke dalam. Sehingga dengan
ditempatkannya Ketetapan MPR berada di bawah UUD 1945 dan di
atas Undang-Undang, hal tersebut berarti bahwa Ketetapan MPR
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Sejalan dengan asas
tingkatan hierarki yang menyebutkan bahwa suatu peraturan
perundang-undangan isinya tidak boleh bertentangan dengan isi
peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatan atau
derajatnya.

1b. Jawaban
Ada beberapa alasan mengapa beberapa Ketetapan MPR masih
berlaku meskipun MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk
membuat Ketetapan MPR. Berikut adalah beberapa alasan yang
mungkin:

Ketetapan MPR yang masih berlaku belum diubah atau dicabut oleh
lembaga yang berwenang: Meskipun MPR tidak lagi memiliki
kewenangan untuk membuat Ketetapan MPR, tetapi lembaga atau
badan yang memiliki kewenangan untuk mengubah atau mencabut
Ketetapan MPR tersebut belum melakukannya. Oleh karena itu,
Ketetapan MPR tersebut masih berlaku sampai ada tindakan resmi
untuk mengubah atau mencabutnya.
Ketetapan MPR yang masih berlaku dianggap memiliki kekuatan
hukum: Beberapa Ketetapan MPR mungkin dianggap memiliki
kekuatan hukum yang mengikat, meskipun MPR tidak lagi memiliki
kewenangan untuk membuatnya. Hal ini bisa terjadi jika Ketetapan
MPR tersebut telah diadopsi atau diimplementasikan dalam
undang-undang atau peraturan yang berlaku. Dalam hal ini,
meskipun MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat
Ketetapan MPR, tetapi undang-undang atau peraturan yang
mengadopsi Ketetapan MPR tersebut masih berlaku dan mengikat.
Ketetapan MPR yang masih berlaku dianggap memiliki nilai historis:
Beberapa Ketetapan MPR mungkin dianggap memiliki nilai historis
atau simbolis yang penting bagi negara atau masyarakat. Meskipun
MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat Ketetapan
MPR, tetapi Ketetapan MPR tersebut tetap dipertahankan sebagai
bagian dari sejarah atau identitas nasional. Dalam hal ini, meskipun
Ketetapan MPR tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat, tetapi masih dihormati dan dijadikan acuan dalam
konteks historis atau simbolis.
Penting untuk dicatat bahwa status hukum Ketetapan MPR yang
masih berlaku dapat berbeda-beda tergantung pada konteks dan
peraturan hukum yang berlaku di negara tertentu. Jika Anda ingin
mengetahui lebih lanjut tentang Ketetapan MPR yang spesifik,
disarankan untuk merujuk pada peraturan hukum yang berlaku dan
konsultasikan dengan ahli hukum yang berwenang.

2a. Jawaban
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat hierarki peraturan
perundang-undangan yang mengatur kedudukan dan kekuatan
hukum suatu peraturan. Hierarki ini menentukan tingkat keabsahan
dan kekuatan hukum suatu peraturan dalam sistem hukum
Indonesia.

Berikut adalah hierarki peraturan perundang-undangan di


Indonesia, dari tingkat tertinggi hingga terendah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD
1945): Merupakan hukum dasar tertinggi di Indonesia. Semua
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan UUD 1945.
Undang-Undang (UU): Merupakan peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan
oleh Presiden. UU memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi
daripada peraturan perundang-undangan lainnya.
Peraturan Pemerintah (PP): Merupakan peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Presiden atas dasar UU. PP
mengatur lebih rinci pelaksanaan UU.
Peraturan Presiden (Perpres): Merupakan peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Presiden untuk mengatur hal-hal
yang tidak diatur dalam UU atau PP.
Peraturan Menteri (Permen): Merupakan peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Menteri untuk mengatur
pelaksanaan UU, PP, atau Perpres di bawah lingkup
kewenangannya.
Peraturan Daerah (Perda): Merupakan peraturan perundang-
undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan disahkan oleh kepala daerah. Perda mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Peraturan Kepala Daerah (Perkada): Merupakan peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh kepala daerah untuk
mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam Perda.
Maklumat Polri, sebagai peraturan yang dikeluarkan oleh
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), berada di bawah hierarki
Peraturan Presiden (Perpres). Namun, perlu dicatat bahwa
Maklumat Polri tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
UU, PP, atau Perpres. Maklumat Polri biasanya digunakan untuk
mengatur tata tertib internal Polri dan memberikan petunjuk
operasional kepada anggota Polri dalam menjalankan tugasnya.
Sekiranya terdapat ketidaksesuaian antara Maklumat Polri dengan
UU, PP, atau Perpres, maka yang berlaku adalah ketentuan yang
lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan
tersebut.
2b. PEMERINTAH melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum
dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung,
Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang
Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut, serta
Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). Kepala Kepolisian
RI menindaklanjutinya dengan menerbitkan Maklumat Nomor
Mak/1/I/2021 yang mengatur kepatuhan terhadap larangan
kegiatan, penggunaan simbol, dan atribut serta penghentian FPI
pada Jumat, 1 Januari 2021.

1. Berikan analisis anda apakah Surat Keputusan Bersama yang


dibuat oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dapat
dikategorikan sebagai Keputusan Menteri.

Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh Menteri


Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan
Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak dapat dikategorikan
sebagai Keputusan Menteri.
Keputusan Menteri biasanya dikeluarkan oleh satu Menteri yang
memiliki kewenangan dalam bidang tertentu. Namun, SKB ini
dikeluarkan oleh beberapa Menteri dan pejabat terkait yang
memiliki kewenangan dalam bidang yang berbeda. SKB merupakan
bentuk keputusan bersama yang diambil oleh beberapa pihak yang
memiliki kewenangan terkait masalah yang dibahas.

Dalam hal ini, SKB tersebut merupakan hasil kesepakatan dan


koordinasi antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk
mengeluarkan kebijakan terkait larangan kegiatan, penggunaan
simbol, dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela
Islam (FPI). SKB ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan
keputusan menteri, namun karena dikeluarkan oleh beberapa
pihak, tidak dapat dikategorikan sebagai Keputusan Menteri.

3a. Dalam membuat rancangan undang-undang, melibatkan kedua


lembaga, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan presiden,
memiliki beberapa alasan yang mendasar. Berikut adalah analisis
mengapa rancangan undang-undang DPR harus bersama dengan
presiden:

Prinsip Pembagian Kekuasaan: Dalam sistem pemerintahan


demokratis, prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga
eksekutif (presiden) dan lembaga legislatif (DPR) sangat penting.
Melibatkan presiden dalam pembuatan rancangan undang-undang
memastikan adanya keseimbangan kekuasaan antara kedua
lembaga ini.
Perspektif Eksekutif: Presiden sebagai kepala eksekutif memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam menjalankan
pemerintahan. Melibatkan presiden dalam pembuatan rancangan
undang-undang memungkinkan perspektif eksekutif untuk
diperhatikan, sehingga undang-undang yang dihasilkan dapat lebih
efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Koordinasi Kebijakan: Melibatkan presiden dalam pembuatan
rancangan undang-undang memungkinkan koordinasi kebijakan
antara eksekutif dan legislatif. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa undang-undang yang dihasilkan tidak bertentangan dengan
kebijakan pemerintah dan dapat diimplementasikan dengan baik.
Legitimasi: Melibatkan presiden dalam pembuatan rancangan
undang-undang memberikan legitimasi yang lebih kuat terhadap
undang-undang tersebut. Dengan adanya persetujuan presiden,
undang-undang tersebut dianggap mewakili kepentingan
pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan.

3b. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan presiden memiliki peran


dan kekuasaan yang berbeda dalam sistem pemerintahan. Berikut
adalah analisis mengenai kekuasaan legislatif DPR dan presiden:
DPR: DPR merupakan lembaga legislatif yang memiliki kekuasaan
untuk membuat undang-undang. DPR memiliki hak inisiatif dalam
pembuatan undang-undang, artinya mereka dapat mengajukan
rancangan undang-undang. DPR juga memiliki hak untuk
mengubah, menyetujui, atau menolak rancangan undang-undang
yang diajukan oleh pemerintah.
Presiden: Presiden merupakan kepala negara dan kepala
pemerintahan. Meskipun presiden tidak memiliki kekuasaan
legislatif secara langsung, presiden memiliki peran penting dalam
proses pembuatan undang-undang. Presiden memiliki hak veto
terhadap undang-undang yang disetujui oleh DPR. Presiden juga
dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR dan
memiliki kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah
yang memiliki kekuatan undang-undang.
Kekuasaan Bersama: Meskipun DPR dan presiden memiliki peran
dan kekuasaan yang berbeda, ada juga kekuasaan legislatif yang
bersama-sama dimiliki oleh keduanya. Misalnya, DPR dan presiden
sama-sama memiliki kekuasaan untuk mengesahkan undang-
undang. Undang-undang yang disetujui oleh DPR harus
mendapatkan persetujuan presiden agar dapat berlaku sebagai
undang-undang.
Dalam kesimpulannya, DPR dan presiden memiliki peran dan
kekuasaan yang berbeda dalam sistem pemerintahan. DPR memiliki
kekuasaan legislatif yang lebih dominan dalam pembuatan undang-
undang, sementara presiden memiliki peran penting dalam proses
tersebut melalui hak veto dan inisiatif undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai