Anda di halaman 1dari 4

cccASPEK HUKUM YG SEJALAN DENGAN MOSI

 Tujuan Hukum oleh Lon L Fuller dalam tesis nya.

Pertama, legitimasi hukum tidak berdasarkan hukum semata tetapi dari moral masyarakat;

Kedua, hukum sebagai institusi untuk mencapai tujuan sehingga kita tidak akan mengerti
sepenuhnya dari sifat alami hukum tanpa mengetahui tujuan dari hukum itu sendiri;

Ketiga, tujuan dari hukum adalah untuk memberikan jalan kepada individu berkomunikasi
dan berkoordinasi satu sama lain;

Keempat, tujuan dari hukum memerlukan hubungan timbal balik (reciprocity) antara
penguasa dan masyarakat sehingga hukum bukanlah kekuasaan yang satu arah tetapi
berbentuk kerjasama;

 Asas Hukum yang dijadikan dasar pembentukan UU ASN.


Asas Profesionalitas, yaitu bahwa sistem kepegawaian menurut UUASN “mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Asas Netralitas, yaitu bahwa “setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk
pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.”

Asas Nondiskriminatif, yaitu bahwa dalam “penyelenggaraan Manajemen ASN, Komisi ASN
tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan”.

Asas Persatuan dan Kesatuan, yaitu bahwa “Pegawai ASN sebagai perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

 Alat bukti berupa tangkapan layar di media sosial.


Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 (Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik).
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA).

 Dinamika Ketatanegaraan SKB yang berkaitan dengan intoleransi dan radicalism atau
kegiatan keagamaan :
- Keputusan Bersama Menteri Agama No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor
Kep-033/A/JA/6/2008, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun
2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat;
- Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979
Tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama.
- Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor : 9 Tahun 2006 Dan Menteri Dalam Negeri
Nomor : 8 Tahun 2006 tentang Keputusan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam
Negeri No. 01/BER/Mdn-Mag/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan
Dalam Menjamin Ketertiban Dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Dan Ibadat
Agama Oleh Pemeluk-Pemeluknya.

 Background
Surat Keputusan Bersama, kedudukannya sebagai dasar hukum popular ketika tata urutan
peraturan perundangan diatur oleh Tap No XX/ M.P.R.S/ 1966 tentang Memorandum
D.P.R.G.R tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan R.I.
legal reasoningnya adalah, ketika substansinya akan dituangkan dalam bentuk keputusan
presiden (keppres) terlalu luas, tetapi jika hanya diatur berdasar satu keputusan menteri,
terlalu sempit karena sifatnya interdepartemental. Yang jelas, selama puluhan tahun sejak
1966, S.K.B menjadi dasar hukum yang popular untuk mengatasi permasalahan, khususnya
dalam penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral.

Era Tap No XX sudah lewat karena dicabut oleh Tap No: III/ MPR/ 2000 dan dicabut pula oleh
Tap No: I/ MPR/ 2003 yang mengamanatkan dituangkannya tata urutan peratutran
perundang-undangan dalam Undang- Undang. Undang- Undang dimaksud telah dibuat yaitu
Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, yang kemudian diganti dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam produk hukum yang mengikat
umum itu, tidak ada lagi judul “Keputusan”, apalagi “Surat”. Kompetensi peradilannya juga
jelas, Yaitu langsung ke M.A atau M.K berdasar kualifikasi sebagaimana disebut diatas.
Sementara untuk selain yang disebut dalam Undang- Undang itu, kompetensinya jelas di
P.T.U.N.

Dalam tataran konseptual, kebijakan yang kemudian dituangkan secara tertulis oleh pejabat
yang berwenang dibedakan menjadi dua, yaitu peraturan (regeling) dan keputusan
(beschiking). Peraturan merupakan rambu tertulis yang dibuat lembaga negara, berlaku
umum diseluruh wilayah negara, dan waktu tidak tertentu. Sementara itu, keputusan
merupakan bentuk kebijakan yang juga tertulis, sifatnya personal (individual) dan final.
Biasanya juga bersifat einmaalig (sekali pakai). Dalam tataran normatif, jika ada pihak yang
merasakan ketidakadilan atas produk hukum itu, harus mengacu pada kompetensi
peradilan. Keputusan berada pada ranah peradilan administrasi (P.T.U.N), sedangkan untuk
peraturan, ranahnya adalah judicial review oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Jika kedudukan peraturan itu di bawah undang-undang, maka pengajuan
keberatan dilakukan lewat judicial review ke Mahkamah Agung. Sedangkan untuk undang-
undang, kewenangannya ada pada Mahkamah Konstitusi.

Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundangan-Undangan, Bab XII Ketentuan Penutup Pasal 56 ada penegasan dalam hal
istilah sebutun wadah aturan yang menyebutkan, bahwa Semua Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan
pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah
ada sebelum undang-undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang ini. Selanjutnya dikuatkan dengan Undang-Undang
No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan asas
undang-undang “Lex Posterior Derogat Legi interiory”, maksudnya undang-undang yang
berlaku kemudian mengenyampingkan undang-undang yang berlaku terlebih dahulu.
Sebagai konsekuensinya istilah S.K.B (Surat Keputusan Bersama) tidak tepat digunakan lagi,
namun istilah yang tepat ialah Peraturan Menteri. Terlepas dari apakah peraturan itu
dikeluarkan sendiri-sendiri oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, atau secara
bersama-sama, semuanya tergantung kepada kebutuhan materi yang ingin diatur. Istilah
Keputusan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, hanya digunakan
untuk sebuah penetapan, seperti pengangkatan dan pemberhentian seseorang dalam
jabatan, bukan sesuatu yang berisi norma yang bersifat mengatur.

Dilihat dari sifatnya Surat Keputusan Bersama beraneka ragam dan dapat dibedakan
menjadi: (1) Surat Keputusan Bersama yang bersifat beschikking; (2) Surat Keputusan
Bersama yang bersifat regeling; dan (3) Surat Keputusan Bersama yang bersifat pseudo-
wetgeving (bleidregel)

bahwa setiap butir yang terkandung dalam SKB adalah materi peraturan
perundangundangan, karena memenuhi unsur-unsur yakni: 1) peraturan tertulis; 2) memuat
norma hukum; 3) berlaku dan 4) mengikat secara umum; dan 5) dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang.

apabila ditinjau dari teori perundang-undangan, SKB dapat dikategorikan sebagai peraturan
kebijakan, tetapi tidak tepat jika dikatakan atau dinamakan dengan “keputusan” karena SKB
ini tidak termasuk dalam keputusan, yang merupakan suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum
Administrasi Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkrit, individual ,dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
Badan Hukum Perdata. Bahkan, SKB ini bersifat umum-abstrak bukan lagi individual-konkrit.

 Untuk membuktikan bahwa SKB ini sebenarnya tidak termasuk dalam kategori “keputusan”
- Konkrit, gar dapat dikatakan sebagai suatu keputusan yang konkrtit, maka harus
ditujukan kepada individu secara khusus.
- individual, artinya bahwa keputusan tersebut tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Apabila terdapat sebuah keputusan yang
menyatakan kehendaknya dengan maksud terjadi perubahan dalam lapangan hukum
publik yang bersifat umum, maka seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan
(Regelling).
- Ketiga, final, yang artinya keputusan tersebut telah bersifat definitif, sehingga oleh
karena itu keputusan tersebut telah mempunyai akibat hukum.

dari segi nomenklaturnya adalah “keputusan” tetapi materi muatannya adalah “peraturan”.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa SKB ini apabila ditinjau dari hierarki peraturan
perundang-undangan, tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, tetapi masuk
dalam peraturan kebijakan. Tetapi, apabila ditinjau dari materi muatan yang ada di
dalamnya, maka SKB ini masuk dalam kategori “peraturan”.

Anda mungkin juga menyukai