Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rohsilia Gratia Simak

NIM : H071231087
Prodi : Sistem Informasi

Ketetapan MPR (TAP MPR)

I. Pendahuluan

Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa
sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan. Pasca era reformasi, dilakukan
amandemen terhadap UUD 1945 dan memiliki banyak perubahan dari sebelumnya. Salah
satu perubahan yang dapat kita lihat adalah perubahan pada pergeseran struktur
kelembagaan negara, yang awalanya Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR)
merupakan lembaga tertinggi negara, dan setelah diamandemen tidak lagi menjadi
Lembaga tertinggi negara bahkan MPR sejajar dengan lembaga lainnya seperti Presiden,
BPK, DPR, MA, MK dan KY. Dengan posisi MPR yang sejajar dengan lembaga lainnya
sehingga MPR berimplikasi pada dibatasinya tugas dan kewenangan terhadap MPR oleh
UUD 1945 yang telah diamandemen.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Perwakilan (TAP MPR) merupakan salah satu


wujud peraturan perundang-undangan yang sah dan berlaku di Indonesia. Dalam hierarki
peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. MPR mengeluarkan Ketetapan
MPR tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majalis
Permusyawaratan Perwakilan Republik Indonesia Tahun 1960 sampai Tahun 2002.
Peninjauan ini diperlukan untuk melakukan pengevaluasian terhadap TAP MPR yang
berlaku.

II. Pembahasan

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum sudah mendapatkan legitimasi secara
yuridis melalui TAP MPR Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang Republik Indonesia. Pada tatanan hukum atau dalam berhukum, kedudukan
Pancasila dipertegas sebagai sumber tertib hukum atau yang dikenal dengan sebutan
sumber segala sumber hukum melalui Ketetapan MPR Nomor XX/MPRS/1966 jo
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/1978. Maka dari
itu, Pancasila menjadi sumber utama dalam tatanan hukum sehingga walaupun terdapat
begitu banyak sumber. Sebelum amandemen terhadap UUD 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Posisi MPR sebagai
lembaga tertinggi lahir dari kedudukan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat menurut Pasal
1 ayat (2) UUD 1945. Kewenangan MPR untuk mengatur hal tersebut dituangkan dalam
produk hukum yang dinamakan sebagai Ketetapan MPR.

Pada masa reformasi, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum
masih memperoleh rumah hukum melalui TAP MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang
Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. TAP MPR merupakan
peraturan perundang-undangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di
atas undang-undang. Hal ini terlihat dalam TAP MPR No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR
No. III/MPR/2000. Dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang menyempurnakan TAP MPR
sebelumnya yaitu ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-undangan, tetapi tidak boleh mengubah
kedudukan TAP MPR dalam hierarki perundang-undangan yaitu tetap dibawah UUD
1945. Pada dasarnya TAP MPR atau MPRS yang bersifat mengatur dan juga mempunyai
kedudukan sebagai hukum konstitusi karena dibuat dan ditetapkan oleh lembaga yang
sama dengan menetapkan undang-undang dasar. Oleh karena itu, adanya ketetapan MPR
ini adalah sebagai produk hukum yang mengatur dan merupakan bentuk penafsiran MPR
atas UUD RI 1945 yang dikenal sangat ringkas.

Setelah amandemen UUD 1945, keberadaan TAP MPR telah mengalami inkonsistensi
dalam tata urutan perundang-undangan. TAP MPR tidak lagi menjadi bagian dari hierarki
perundang-undangan karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur lagi. Sesuai dengan
pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Hal ini dapat diketahui
mengingat MPR tidak lagi berwenang dalam menetapkan GBHN. Namun menurut TAP
MPR No. I/MPR/2003 masih terdapat ketetapan yang masih berlaku. Keberadaan TAP
MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dimuat dalam beberapa peraturan
mulai dari TAP MPRS, TAP MPR, dan Undang-undang. Beberapa kententuan TAP MPR
ada yang habis masa berlakunya, telah dicabut, berlaku sampai terbentuknya pemerintahan
hasil pemilu, ataupun berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang mengatur.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam pasal 7 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
kembali memasukkan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan
dibawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang. Dengan berlakunya kembali TAP MPR
sebagai produk hukum dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai pasal 7
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 memunculkan berbagai problem hukum tersendiri
mengingat MPR secara kelembagaan mengalami reduksi kewenangan setelah amandemen
UUD 1945 dengan tidak lagi diberikan kekuasaan untuk membuat produk yang bersifat
mengatur. Dengan dimasukkannya kembali TAP MPR jelas menyebabkan beberapa
konsekuensi logis dalam penataan sistem hukum Indonesia. Dengan berubahnya
kedudukan MPR inilah implikasi kepada tugas dan wewenang MPR tidak lagi mempunyai
untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, MPR juga tidak mempunyai
tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar pada haluan negara. Secara
konstitusional kewenangan MPR diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yaitu:

1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar


2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden
3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar.

III. Kesimpulan

Kedudukan ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan menimbulkan


implikasi yang sangat besar terhadap Indonesia, sebab ketetapan MPR yang bersifat
mengatur dan juga bersifat konkrit individual dan mengikat secara umum. Oleh karena
itu, Ketetapan MPR tidak dapat dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-
undangan. Kedudukan TAP MPR juga tidak sesuai dengan zaman era reformasi.
Berdasarkan salah satu asas perundang-undangan bahwa UU yang dibuat oleh penguasa
yang lebih tinggi akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi maka TAP MPR secara
teoritis akan lebih cocok setara dengan UU. Keanggotaan MPR terdiri atas DPR dan
DPD yang merupakan representatif dari rakyat, yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan memasukkan kembali TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-
undangan merupakan langkah yang tepat untuk menegaskan eksistensinya sebagai salah
satu perundang-undangan yang mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah dari UUD
1945.
Daftar Pustaka

Utami Argawati, (2023). TAP MPR Pernah Digagas Masuk dalam Hierarki Peraturan
Perundang-undangan. Diakses pada tanggal 19 September dari https://www.mkri.id

Humas, (2015). Pancasila: Sebuah Kesepakatan Sebagai Bangsa. Diakses pada tanggal
19 September 2023 dari https://setkab.go.id

K Kurnisar, (2011). Pancasila dari Segala Sumber Hukum di Indonesia. Diakses pada
tanggal 19 September 2023 dari https://ejournal.undiksha.ac.id
INTISARI VIDEO

Pancasila sebagai dasar negara dimasukkan dalam muatan aturan perundang-undangan.


Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pancasila perlu diamalkan
dalam kehidupan berbangsa. Hubungan Pancila dan Proklamasi adalah dalam persiapan
kemerdekaan Indonesia Proklamasi sudah merumuskan Pembukaan UUD 1945 yang
mana didalamnya terdapat dasar negara Indonesia atau Pancasila. Hubungan Pancasila
dengan pembukaan UUD 1945 yang dimana dalam pembukaan ada naskah Pancasila
yang disahkan oleh PPKI. Penjabaran Pancasila dalam Pasal UUD 1945 yang bersifat
abstrak dan konkrit yang melahirkan konstitusi atau dasar dan di dalam pasal tersebut
mengandung norma-norma. Pancasila adalah nilai fundamental sementara UUD adalah
nilai instrumental. Kedudukan pasal tersebut berbeda dengan kedudukan Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. UUD telah diamandemen beberapa kali karena dianggap tidak
dapat mengantar bangsa Indonesia ke dalam sistem yang efektif. Tata urutan perundang-
undangan hierarki yang tertulis dan bersifat mengikat. Norma juga tidak boleh
bertentangan satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai