Anda di halaman 1dari 10

PERAN, FUNGSI, DAN KINERJA MPR ERA REFORMASI

(SETELAH AMANDEMEN UUD 1945)

Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi

Tugas Mata Kuliah Studi Parlemen 08

Dosen Pengampu: Dr. Supratiwi

Disusun Oleh:

1. Airin Hapsari 14010121140171


2. Ahmad Syauqi Sandi 14010121130103
3. Kana Kautsar Khadja 14010121140112
4. Alif Triadi 14010121130095

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


DEPARTEMEN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dilaksanakan dalam 4 tahap pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 untuk beberapa
perubahan besar. Perubahan tersebut meliputi: Penghapusan atau pembentukan lembaga
negara, Tugas dan Wewenang, Susunan dan Kedudukan Lembaga Negara serta lembaga
nasional. Salah satu perubahan mendasar yang berdampak pada struktur ketatanegaraan
Indonesia adalah perubahan posisi, tugas dan wewenang Majelis Rakyat (MPR). Posisi
MPR secara langsung mempengaruhi produk terutama Ketetapan MPR (TAP MPR). Oleh
karena itu kami ingin tahu bagaimana nasib posisi MPR dan keputusan setelah
amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Status Hukum Ketetapan
MPRS dan Ketetapan MPR 1966-2002 dituangkan dalam TAP MPR RI No. 1/MPR/2003
tentang Pengujian Bahan dan Status Hukum.TAP MPRS dan TAP MPR  1960-2002
Menciptakan kepastian hukum bagi TAP MPRS/MPR yang masih berlaku.
Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) sebelum
Perubahan Tahun 1945 ditemukan dalam TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang
Tata Tertib Peraturan Perundang-undangan yang kemudian dicabut oleh TAP MPR RI
No. III/MPR /2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Tertib Peraturan Perundang-
undangan Berdasarkan kedua ketetapan tersebut, TAP MPRS dan TAP MPR
berkedudukan berdasarkan UUD 1945 ke atas yang mempunyai arti, bahwa TAP MPRS
atau TAP MPR akan mengatur secara langsung pokok-pokok aturan dalam UUD 1945,
serta yang berkaitan langsung dengan penentuan kursus negara. Hal ini juga terlihat pada
awal penyebutan TAP MPR, meskipun UUD 1945 yang asli tidak mengenal istilah TAP
MPR, istilah TAP MPR muncul dari sidang pertama MPRS yang bersumber dari Pasal 3
UUD 1945 aslinya yang menyatakan bahwa MPR berwenang menetapkan UUD,
menetapkan GBHN dalam arti luas, dan memilih presiden dan wakilnya.
Menurut A. Hamid Atamimi, TAP MPR berfungsi untuk mengatur lebih lanjut
hal-hal yang belum diatur dalam UUD, karena Konstitusi hanya mengatur hal-hal yang
mendasar. Pengaturan lebih lanjut ini adalah untuk mengarahkan Haluan Negara yang
dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain itu, menurut Rosjidi
Ranggawidjaja, TAP MPR bersama dengan Pembukaan, Badan UUD 1945 adalah hukum
positif aturan dasar yang diterjemahkan dari Pancasila sebagai Norma Dasar (staats
fundamental norm), namun jika ditelaah lebih lanjut materi TAP MPR mengandung
norma hukum yang pada hakikatnya sama tetapi setingkat lebih rendah dari norma hukum
UUD 1945.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini. Rumusan makalah tersebut adalah: Apa peran, fungsi, serta
kinerja MPR pada era Reformasi setelah amandemen UUD 1945?

1. Apa peran MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD 1945?
2. Apa fungsi MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD 1945?
3. Bagaimanakah kinerja MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD’45?

1.3 Tujuan Penulisan

Bersumber pada perumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan penulisan
sebagai berikut:

1. Memaparkan peran MPR dalam ketatanegaraan pasca era reformasi setelah amandemen
UUD’45.
2. Memaparkan fungsi MPR dalam proses penyelenggaraan konstitusi pasca era reformasi
setelah amandemen UUD 1945.
3. Menjelaskan bagaimana kinerja MPR dalam negara Indonesia pasca era reformasi
setelah amandemen UUD 1945.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Peran MPR setelah Amandemen 1945

Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan
ini mengisyaratkan bahwa MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi
menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut menyebabkan wewenang MPR
menjadi sangat berkurang, sebab lembaga ini tidak lagi berhak mengangkat presiden dan
wakil presiden karena sudah dipilih langsung. Secara kedudukan, maka MPR telah sama
dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga
tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang
lebih tinggi dari yang lain. MPR tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif karena
MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Berdasarkan pernyataan di atas, maka MPR masih
memiliki wewenang untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sebab sebagai salah satu
lembaga politik MPR masih memiliki wewenang yang cukup signifikan. Perbedaannya, saat
ini MPR bukan merupakan lembaga satu-satunya yang berhak menjalankan kedaulatan
tersebut, melainkan mesti berbagi dengan lembaga-lembaga poltik dan pemerintahan yang
lain. Selain itu MPR memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lain seperti
DPR, DPD dan Presiden.

Belakangan ini juga muncul gagasan untuk memperkuat peran MPR, menghidupkan
kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan menggunakan kembali GBHN yang
pernah menjadi kewenangan MPR, sebagai arah pembangunan nasional. Peningkatan peran
MPR kini muncul dengan kebangkitan tradisi Rapat Tahunan MPR. Dengan demikian,
kinerja presiden dan lembaga negara lainnya dapat dipantau dan berperan sebagai checks and
balances. Setiap pembahasan penggunaan kembali GBHN harus mempertimbangkan:
Pertama, harus ada pengaturan yang jelas tentang siapa yang berhak membuat GBHN.
Kedua, dalam bentuk apa GBHN akan muncul? Jika itu adalah keputusan MPR, keputusan
MPR harus dikembalikan. Untuk itu perlu dilakukan pengecekan terhadap substansi dan
status hukum dari aturan-aturan MPR dalam sistem hukum Indonesia, termasuk aturan-aturan
MPR/S yang berlaku saat ini. Jika Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat bertempat tinggal
dalam waktu yang bersamaan dan MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan
amanat konstitusi, maka GBHN harus digunakan karena Presiden dan Wakil Presiden
“dipilih oleh MPR.

2.2 Fungsi MPR setelah Amandemen 1945

Adapun fungsi MPR setelah terdapat perubahan UUD 1945 atau pada era reformasi,
antara lain:

1. Melakukan pembentukan UUD yang baru


2. Menetapkan Perubahan UUD yang telah dilakukan
3. Melakukan pelantikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan hasil pemilu
maupun sidang paripurna MPR
4. Melakukan pelantikan terhadap Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden berhenti
maupun diberhentikan sebelum masa jabatan berakhir
5. Memberikan keputusan terhadap berbagai usulan yang diberikan oleh DPR dan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan pemberhentian masa jabatan Presiden
atau Wakilnya
6. Melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti
7. Memutuskan dan mengeluarkan peraturan maupun kode etik yang berlaku untuk MPR.

Berdasarkan beberapa fungsi yang telah disebutkan di atas, dapat dianalisis fungsi –
fungsi MPR setelah amandemen UUD 1945. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2, MPR hanya
memiliki wewenang melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. MPR tidak lagi berwenang
mamilih Presiden dan Wakil Presiden seperti yang terjadi pada era orde baru. Pelantikan
disini hanya bahasa umum, bukan bahasa yang mempunyai arti atau akibat hokum.
Kekuasaan MPR dalam memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bersifat incidental.
MPR baru dapat memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terjadi peristiwa, seperti
yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3.

Meskipun Wakil Presiden sebagai pasangan Presiden sebelumnya dipilih melalui


pemilu, dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden, pemilihan hanya dilakukan
melalui pemilihan oleh MPR. Menurut Bagi Manan, mekanisme ini didasarkan pada dua hal.
Pertama, jabatan wakil presiden harus segera diisi (tidak boleh kosong). Kedua, tidak
mungkin menyelenggarakan pemilihan umum hanya untuk memilih Wakil Presiden.
Demikian pula, dalam hal terjadi Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap (mangkat,
berhenti, diberhentikan, dan tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatan),
MPR melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru yang tata caranya ditentukan
dalam Pasal 8 ayat 3.

Selain dari melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, MPR juga memiliki fungsi
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang –
undang dasar, khusus untuk fungsi ini, penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya
dapat dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR. Lembaga
MPR diatur dalam Pasal 3. Pada pasal ini tampak bahwa kekuasaan lembaga MPR
mengalami reduksi setelah amandemen UUD 1945. Pasal 3 ayat 1 memberikan kekuasaan
kepada MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD dan ini tidak berbeda dengan kekuasaan
MPR sebelum amandemen. Tetapi, jika dikaji lebih lanjut Pasal 3 ini masih menunjukan
bahwa MPR memiliki “kedaulatan”, yaitu kedaulatan hukum sebab MPR masih memiliki
kekuasaan yang tidak dimiliki lembaga tinggi negara lainnya, yaitu kekuasaan menetapkan
dan mengubah UUD.

2.3 Kinerja MPR setelah Amandemen 1945

Akhir-akhir ini ada gagasan untuk memperkuat kiprah Majelis Permusyawaratan


Rakyat, mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi Lembaga Tertinggi
Negara, bahkan akan balik memakai GBHN menjadi arah pembangunan nasional yang dulu
berwenang memutuskan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penguatan kiprah Majelis
Permusyawaratan Rakyat sekarang telah mulai terlihat dengan dihidupkannya kembali tradisi
Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan kinerja Presiden dan lembaga - lembaga negara
lainnya bisa dikontrol dan bekerja sebagai checks and balances. Wacana untuk menggunakan
kembali GBHN perlu mempertimbangkan rakyat, dengan cara ini hal menjadi berikut:
Pertama, harus diatur secara kentara siapa yang dibuat. Kedua, pada bentuk aturan apa
GBHN? apabila pada bentuk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib dihidupkan kembali. Untuk itu perlu adanya
penegasan mengenai materi dan status ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada
sistem aturan Indonesia termasuk ketetapan MPR/S yang masih dinyatakan berlaku. Ada
apabila permanen memakai GBHN sebab, apabila Presiden & Wakil Presiden berhalangan
tetap bersamaan dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat menentukan Presiden & Wakil
Presiden sesuai amanat konstitusi, maka Presiden & Wakil Presiden "pilihan Majelis
Permusyawaratan Rakyat" bisa melanjutkan acara pembangunan yang bersumber dari GHBN
tanpa adanya visi dan misi. Untuk itu, pengaturannya wajib dikembalikankaan Undang-
Undang Dasar, amandemen ulang merupakan suatu keniscayaan. Selain itu, amandemen
(kelima) wajib dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhan, pertimbangan yg mendalam, &
grand design yang kentara.

Sebagai lembaga negara, sebenarnya MPR menempati posisi yang kuat dan sentral
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut konsepsi aslinya, MPR adalah badan
nasional yang diberi wewenang untuk membahas dan memutuskan semua masalah penting
dan strategis negara. Namun dalam praktiknya, lembaga MPR telah menyimpang dan bahkan
menurunkan perannya. MPR gagal memenuhi mandat konstitusionalnya sebagai lembaga
negara pusat di banyak masa kritis di negara. MPR seringkali hanya berfungsi sebagai saluran
gagasan dan permintaan dari lembaga negara lain. Padahal, praktik ini merugikan, namun
MPR lebih dari sekadar pelengkap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab, MPR masih
memegang kewenangan pusat dan strategis untuk menentukan arah dan karakter sistem
ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 UUD 1945, MPR berwenang mengubah dan
menetapkan UUD, bersumpah kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden selama masa jabatannya. Melanggar UUD
1945 atau undang-undang apapun. Kekuasaan ini lebih lanjut dijelaskan dalam UU 17/2014
tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3). Selanjutnya, UU No. 17/2014 memberikan
tugas-tugas berikut kepada MPR: (a) mempromosikan peraturan MPR; (b) memajukan
Pancasila, UUD 1945, konsep negara kesatuan Republik Indonesia, dan konsep Vinneka
Tungal Ika; (c) Tinjauan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, UUD 1945 dan
pelaksanaannya. (d) Aspirasi rakyat terkait dengan pelaksanaan UUD 1945. Oleh karena itu,
MPR memiliki tugas yang sangat penting dan sulit dalam memahami, menafsirkan, dan
melaksanakan UUD 1945 yang berwibawa MPR. MPR khususnya MPR 2014-2019
dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab oleh rakyat. MPR sebenarnya adalah sumber
informasi pertama dan terpenting yang harus memiliki keputusan akhir dalam semua aspek
memahami, menafsirkan dan menegakkan UUD 1945. Aneh dan ironis ternyata Anda tidak
bisa, dalam berbagai masalah pemerintahan. Antara lain, upaya MPR untuk memperdebatkan
di antara para pemilih di tanah air apakah pemimpin daerah dipilih langsung oleh rakyat atau
oleh DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18(4) UUD 1945 tampaknya tidak mampu
menyelesaikan perdebatan yang berkecamuk. MPR perlu menyediakan layanan produktif dan
berkualitas tinggi yang tidak terbatas pada layanan rutin, seperti yang telah dilakukan MPR di
masa lalu. MPR harus mengambil peran korektif dan aktif dalam memahami, menafsirkan,
dan melaksanakan UUD 1945 yang merupakan amanat konstitusi. Sungguh naif dan ironis
bahwa MPR belum mengakui cacat konstitusi dalam Amandemen Pertama, Kedua, Ketiga
dan Keempat.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah Majelis


Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi
menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut menyebabkan wewenang MPR
menjadi sangat berkurang, sebab lembaga ini tidak lagi berhak mengangkat presiden dan
wakil presiden karena sudah dipilih langsung. Secara kedudukan, maka MPR telah sama
dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga
tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang
lebih tinggi dari yang lain. MPR tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif karena
MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan
sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Alasan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan dan ditempatkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada
posisi di bawah UUD 1945 dan di atas Undang- Undang sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah karena hingga saat ini, masih
terdapat Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku sebagai produk
peraturan yang mengikat untuk umum. Berdasarkan salah satu asas perundang-undangan
bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan mempunyai kedudukan lebih
tinggi maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di
atas UU. Karena keanggotaan MPR terdiri dari DPR dan DPD yang merupakan representatif
dari rakyat, karena dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, memasukkan kembali Tap
MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah langkah tepat untuk
menegaskan eksistensinya sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya berada setingkat lebih rendah dari UUD 1945.
Terdapat wacana untuk menggunakan kembali GBHN perlu mempertimbangkan hal-
Rakyat, dengan cara ini hal menjadi berikut: pertama, harus diatur secara kentara siapa yang
dibuat. Kedua, pada bentuk aturan apa GBHN? apabila pada bentuk ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib
dihidupkan kembali. Untuk itu perlu adanya penegasan mengenai materi dan status ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada sistem aturan Indonesia termasuk ketetapan MPR/S
yang masih dinyatakan berlaku. Ada apabila permanen memakai GBHN sebab, apabila
Presiden & Wakil Presiden berhalangan tetap bersamaan dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat menentukan Presiden & Wakil Presiden sesuai amanat konstitusi, maka Presiden &
Wakil Presiden "pilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat" bisa melanjutkan acara
pembangunan yang bersumber dari GHBN tanpa adanya visi dan misi.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah saya buat, maka saya
memberikan saran agar fungsi kelembagaan MPR perlu diperjelas bukan hanya sebagai
lembaga tempat bertemunya anggota-anggota DPR dengan DPD. Selain untuk menerapkan
mekanisme cheks and balances, sebaiknya sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia
lebih memperhatikan kepada kemauan dan partisipasi seluruh rakyatnya yang diwakili oleh
DPD sebagai pewakilan dari daerah-daerah di Indonesia. Dengan kata lain sebaiknya
pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kepentingan daerah agar usul yang diajukan oleh
DPD yang menguntungkan bagi daerah tetapi tidak mengganggu atau merugikan kepentingan
nasional ditindaklanjuti.

Amandemen ke-V UUD merupakan angka terakhir apabila tidak dapat dipenuhinya
angka-angka lainnya, MPR dapat untuk melakukan mengademen UUD memerlukan waktu
yang lama dan memiliki persyaratan yang sulit sekali, tapi dengan amandemen dan
memperbaiki hukum yang semerawut dalam ketatatanegaraan maka amandemen adalah
suatu-satunya langka yang sangat urgen sekali, dan dalam amandemen tersebut maka dapat
diberikan opsi, antara lain:

● Menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam amandemen tersebut agar dapat


menguji Ketetapan yang masih berlaku tersebut
● MPR diberikan lagi kewenangannya untuk membuat Ketetapan MPR guna menguji
Ketetapan MPR yang masih berlaku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI, cetakan keenam, 1985.

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju,

cetakan I, 1998.

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir - Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum, Kompas, Jakarta, November 2007.

Sekretariat Jenderal MPR-RI, Materi Sosialisasi Putusan MPR-RI, 2006.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar 1945 beserta Perubahan/Amandemen.

Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
TAP MPRS

dan TAP MPR tahun 1960-2002.

Anda mungkin juga menyukai