Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini. Rumusan makalah tersebut adalah: Apa peran, fungsi, serta
kinerja MPR pada era Reformasi setelah amandemen UUD 1945?
1. Apa peran MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD 1945?
2. Apa fungsi MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD 1945?
3. Bagaimanakah kinerja MPR pada era reformasi setelah amandemen UUD’45?
Bersumber pada perumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan penulisan
sebagai berikut:
1. Memaparkan peran MPR dalam ketatanegaraan pasca era reformasi setelah amandemen
UUD’45.
2. Memaparkan fungsi MPR dalam proses penyelenggaraan konstitusi pasca era reformasi
setelah amandemen UUD 1945.
3. Menjelaskan bagaimana kinerja MPR dalam negara Indonesia pasca era reformasi
setelah amandemen UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
Salah satu hasil amandemen UUD 1945 adalah pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Perubahan
ini mengisyaratkan bahwa MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak lagi
menjadi pemegang kedaulatan rakyat. Perubahan tersebut menyebabkan wewenang MPR
menjadi sangat berkurang, sebab lembaga ini tidak lagi berhak mengangkat presiden dan
wakil presiden karena sudah dipilih langsung. Secara kedudukan, maka MPR telah sama
dengan lembaga negara yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga
tinggi Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga Negara yang
lebih tinggi dari yang lain. MPR tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif karena
MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR masih bisa dikategorikan
sebagai lembaga perwakilan rakyat. Berdasarkan pernyataan di atas, maka MPR masih
memiliki wewenang untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, sebab sebagai salah satu
lembaga politik MPR masih memiliki wewenang yang cukup signifikan. Perbedaannya, saat
ini MPR bukan merupakan lembaga satu-satunya yang berhak menjalankan kedaulatan
tersebut, melainkan mesti berbagi dengan lembaga-lembaga poltik dan pemerintahan yang
lain. Selain itu MPR memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lain seperti
DPR, DPD dan Presiden.
Belakangan ini juga muncul gagasan untuk memperkuat peran MPR, menghidupkan
kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dan menggunakan kembali GBHN yang
pernah menjadi kewenangan MPR, sebagai arah pembangunan nasional. Peningkatan peran
MPR kini muncul dengan kebangkitan tradisi Rapat Tahunan MPR. Dengan demikian,
kinerja presiden dan lembaga negara lainnya dapat dipantau dan berperan sebagai checks and
balances. Setiap pembahasan penggunaan kembali GBHN harus mempertimbangkan:
Pertama, harus ada pengaturan yang jelas tentang siapa yang berhak membuat GBHN.
Kedua, dalam bentuk apa GBHN akan muncul? Jika itu adalah keputusan MPR, keputusan
MPR harus dikembalikan. Untuk itu perlu dilakukan pengecekan terhadap substansi dan
status hukum dari aturan-aturan MPR dalam sistem hukum Indonesia, termasuk aturan-aturan
MPR/S yang berlaku saat ini. Jika Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat bertempat tinggal
dalam waktu yang bersamaan dan MPR memilih Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan
amanat konstitusi, maka GBHN harus digunakan karena Presiden dan Wakil Presiden
“dipilih oleh MPR.
Adapun fungsi MPR setelah terdapat perubahan UUD 1945 atau pada era reformasi,
antara lain:
Berdasarkan beberapa fungsi yang telah disebutkan di atas, dapat dianalisis fungsi –
fungsi MPR setelah amandemen UUD 1945. Berdasarkan Pasal 3 ayat 2, MPR hanya
memiliki wewenang melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. MPR tidak lagi berwenang
mamilih Presiden dan Wakil Presiden seperti yang terjadi pada era orde baru. Pelantikan
disini hanya bahasa umum, bukan bahasa yang mempunyai arti atau akibat hokum.
Kekuasaan MPR dalam memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bersifat incidental.
MPR baru dapat memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila terjadi peristiwa, seperti
yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 dan ayat 3.
Selain dari melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, MPR juga memiliki fungsi
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang –
undang dasar, khusus untuk fungsi ini, penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya
dapat dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR. Lembaga
MPR diatur dalam Pasal 3. Pada pasal ini tampak bahwa kekuasaan lembaga MPR
mengalami reduksi setelah amandemen UUD 1945. Pasal 3 ayat 1 memberikan kekuasaan
kepada MPR untuk menetapkan dan mengubah UUD dan ini tidak berbeda dengan kekuasaan
MPR sebelum amandemen. Tetapi, jika dikaji lebih lanjut Pasal 3 ini masih menunjukan
bahwa MPR memiliki “kedaulatan”, yaitu kedaulatan hukum sebab MPR masih memiliki
kekuasaan yang tidak dimiliki lembaga tinggi negara lainnya, yaitu kekuasaan menetapkan
dan mengubah UUD.
Sebagai lembaga negara, sebenarnya MPR menempati posisi yang kuat dan sentral
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut konsepsi aslinya, MPR adalah badan
nasional yang diberi wewenang untuk membahas dan memutuskan semua masalah penting
dan strategis negara. Namun dalam praktiknya, lembaga MPR telah menyimpang dan bahkan
menurunkan perannya. MPR gagal memenuhi mandat konstitusionalnya sebagai lembaga
negara pusat di banyak masa kritis di negara. MPR seringkali hanya berfungsi sebagai saluran
gagasan dan permintaan dari lembaga negara lain. Padahal, praktik ini merugikan, namun
MPR lebih dari sekadar pelengkap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebab, MPR masih
memegang kewenangan pusat dan strategis untuk menentukan arah dan karakter sistem
ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 UUD 1945, MPR berwenang mengubah dan
menetapkan UUD, bersumpah kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden selama masa jabatannya. Melanggar UUD
1945 atau undang-undang apapun. Kekuasaan ini lebih lanjut dijelaskan dalam UU 17/2014
tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (MD3). Selanjutnya, UU No. 17/2014 memberikan
tugas-tugas berikut kepada MPR: (a) mempromosikan peraturan MPR; (b) memajukan
Pancasila, UUD 1945, konsep negara kesatuan Republik Indonesia, dan konsep Vinneka
Tungal Ika; (c) Tinjauan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, UUD 1945 dan
pelaksanaannya. (d) Aspirasi rakyat terkait dengan pelaksanaan UUD 1945. Oleh karena itu,
MPR memiliki tugas yang sangat penting dan sulit dalam memahami, menafsirkan, dan
melaksanakan UUD 1945 yang berwibawa MPR. MPR khususnya MPR 2014-2019
dijalankan dengan baik dan bertanggung jawab oleh rakyat. MPR sebenarnya adalah sumber
informasi pertama dan terpenting yang harus memiliki keputusan akhir dalam semua aspek
memahami, menafsirkan dan menegakkan UUD 1945. Aneh dan ironis ternyata Anda tidak
bisa, dalam berbagai masalah pemerintahan. Antara lain, upaya MPR untuk memperdebatkan
di antara para pemilih di tanah air apakah pemimpin daerah dipilih langsung oleh rakyat atau
oleh DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18(4) UUD 1945 tampaknya tidak mampu
menyelesaikan perdebatan yang berkecamuk. MPR perlu menyediakan layanan produktif dan
berkualitas tinggi yang tidak terbatas pada layanan rutin, seperti yang telah dilakukan MPR di
masa lalu. MPR harus mengambil peran korektif dan aktif dalam memahami, menafsirkan,
dan melaksanakan UUD 1945 yang merupakan amanat konstitusi. Sungguh naif dan ironis
bahwa MPR belum mengakui cacat konstitusi dalam Amandemen Pertama, Kedua, Ketiga
dan Keempat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alasan dimasukkannya kembali Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan
perundang-undangan dan ditempatkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada
posisi di bawah UUD 1945 dan di atas Undang- Undang sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah karena hingga saat ini, masih
terdapat Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regeling) dan berlaku sebagai produk
peraturan yang mengikat untuk umum. Berdasarkan salah satu asas perundang-undangan
bahwa UU yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi akan mempunyai kedudukan lebih
tinggi maka TAP MPR secara teoritis akan lebih cocok setara dengan UU, bukan setingkat di
atas UU. Karena keanggotaan MPR terdiri dari DPR dan DPD yang merupakan representatif
dari rakyat, karena dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, memasukkan kembali Tap
MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah langkah tepat untuk
menegaskan eksistensinya sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya berada setingkat lebih rendah dari UUD 1945.
Terdapat wacana untuk menggunakan kembali GBHN perlu mempertimbangkan hal-
Rakyat, dengan cara ini hal menjadi berikut: pertama, harus diatur secara kentara siapa yang
dibuat. Kedua, pada bentuk aturan apa GBHN? apabila pada bentuk ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib
dihidupkan kembali. Untuk itu perlu adanya penegasan mengenai materi dan status ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada sistem aturan Indonesia termasuk ketetapan MPR/S
yang masih dinyatakan berlaku. Ada apabila permanen memakai GBHN sebab, apabila
Presiden & Wakil Presiden berhalangan tetap bersamaan dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat menentukan Presiden & Wakil Presiden sesuai amanat konstitusi, maka Presiden &
Wakil Presiden "pilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat" bisa melanjutkan acara
pembangunan yang bersumber dari GHBN tanpa adanya visi dan misi.
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah saya buat, maka saya
memberikan saran agar fungsi kelembagaan MPR perlu diperjelas bukan hanya sebagai
lembaga tempat bertemunya anggota-anggota DPR dengan DPD. Selain untuk menerapkan
mekanisme cheks and balances, sebaiknya sistem bikameral yang diterapkan di Indonesia
lebih memperhatikan kepada kemauan dan partisipasi seluruh rakyatnya yang diwakili oleh
DPD sebagai pewakilan dari daerah-daerah di Indonesia. Dengan kata lain sebaiknya
pemerintah dan DPR lebih memperhatikan kepentingan daerah agar usul yang diajukan oleh
DPD yang menguntungkan bagi daerah tetapi tidak mengganggu atau merugikan kepentingan
nasional ditindaklanjuti.
Amandemen ke-V UUD merupakan angka terakhir apabila tidak dapat dipenuhinya
angka-angka lainnya, MPR dapat untuk melakukan mengademen UUD memerlukan waktu
yang lama dan memiliki persyaratan yang sulit sekali, tapi dengan amandemen dan
memperbaiki hukum yang semerawut dalam ketatatanegaraan maka amandemen adalah
suatu-satunya langka yang sangat urgen sekali, dan dalam amandemen tersebut maka dapat
diberikan opsi, antara lain:
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara FHUI, cetakan keenam, 1985.
cetakan I, 1998.
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir - Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum, Kompas, Jakarta, November 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Ketetapan MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum
TAP MPRS