DI SUSUN OLEH:
1.Kurnia Nova S. (0219053221)
2.Muhammad Rozikin (0219054931)
3.Faroit (0219053501)
4.Moh Rifai (0219054241)
5.Ahmad Kamal (0219053371)
6.Dafit Dwi Saputra (0215045351)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan lembaga MPR muncul
pertama kalinya pada saat sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dewasa ini MPR mempunyai andil yang cukup besar dalam menjalankan
fungsi kepemerintahan RI. Salah satu produk hukum yang dikenal lahir dari lembaga negara
tersebut ialah Ketetapan MPR / TAP MPR . Namun TAP MPR dalam beberapa dekade terakhir
mengalami suatu kondisi yang kontradiktif. Sebelumnya, dalam UU No. 10/2004 TAP MPR
dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat
masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS
No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari
hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004. Namun , Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
12/2011, Tap MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yakni
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB II
PEMBAHASAN
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tataran
implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan lembaga-lembaga
negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara tergantung kepada tugas dan wewenang
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak
perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama tampak pada kedudukan, tugas dan
wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang memegang dan melaksanakan
sepenuhnya kedaulatan rakyat. Walaupun demikian, dalam hal pelaksanaan fungsi
konstitusional, hanya MPR yang dapat merubah dan menetapkan peraturan perundang-undangan
tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempunyai
tugas dan wewenang yaitu memilih dan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
berhalangan dalam masa jabatannya.
Kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan), berdasarkan ketentuan Pasal 1
ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 37, dan Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan
merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
a. menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan garis-garis
besar dari pada haluan negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. menetapkan garis-garis besar haluan negara;
c. memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d. membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk
penetapan garis-garis besar haluan negara;
e. memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis;
f. menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
g. meminta pertanggungjawaban dari Presiden mengenai pelaksanaan garis-garis besar haluan
negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
h. mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannys dan wewenang
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Akan tetapi, jika dilihat pada TAP MPR Nomor I/MPR/2003 khususnya dalam ketentuan
Pasal 4, maka Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap TAP
MPR. Hal tersebut mengingat ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, secara tersirat
telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk Undang-undang yang diharuskan untuk
dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya. Kecuali TAP MPR
yang disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang mengujinya sebab ketentuan Pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan perubahan atau
pencabutan melalui Undang-undang sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 4.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lahir seiring dengan berdirinya negara
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum
terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. Hal
inilah yang kemudian menjadikan KNIP adalah cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di
Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan
Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) merupakan lembaga permusyawaratan rakyat
yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dahulunya MPR merupakan lembaga tertinggi
negara. Kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan presiden dan juga DPR. Salah satu
produk hukum yang dikenal lahir dari lembaga negara tersebut ialah Ketetapan MPR / TAP MPR
.
Akan tetapi saat reformasi bergulir, MPR berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi
negara yang kedudukannya sama dengan presiden dan juga DPR dan lembaga tinggi negara
lainnya ( UU No. 27 tahun 2009 pasal 2 ). Oleh karena itu, sebagai konsekuensi MPR yang tidak
lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi
cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi
bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
Selain itu, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat
mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam
membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). MPR kini tidak lagi berwenang
menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat
mengatur.
Kemudian, apabila kita menanyakan bagaimana bentuk penyelesaian masalah apabila
munculnya pertentangan antara TAP MPR terhadap UUD RI 1945 dan pertentangan antara UU
terhadap TAP MPR ? Maka jawabannya adalah apabila timbul pertentangan antara TAP MPR
terhadap UUD RI 1945, Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap
TAP MPR. Hal tersebut dapat kita lihat pada ketentuan pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003,
yang secara tersirat telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk UU yang
diharuskan untuk dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya.
Kecuali, TAP MPR yang disebutkan dalam pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang mengujinya sebab ketentuan pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan
perubahan atau pencabutan melalui UU sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pasal 4.
Kemudian, apabila dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP
MPR, maka hal tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU 12/2011. MPR pun tidak
punya wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP MPR.
Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan
UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
DAFTAR PUSTAKA