Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH HTN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

DI SUSUN OLEH:
1.Kurnia Nova S. (0219053221)
2.Muhammad Rozikin (0219054931)
3.Faroit (0219053501)
4.Moh Rifai (0219054241)
5.Ahmad Kamal (0219053371)
6.Dafit Dwi Saputra (0215045351)
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau yang lebih dikenal dengan lembaga MPR muncul
pertama kalinya pada saat sidang kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Dewasa ini MPR mempunyai andil yang cukup besar dalam menjalankan
fungsi kepemerintahan RI. Salah satu produk hukum yang dikenal lahir dari lembaga negara
tersebut ialah Ketetapan MPR / TAP MPR . Namun TAP MPR dalam beberapa dekade terakhir
mengalami suatu kondisi yang kontradiktif. Sebelumnya, dalam UU No. 10/2004 TAP MPR
dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. TAP MPR memang sempat
masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS
No. XX Tahun 1966 dan TAP MPR No. III Tahun 2000. Akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari
hierarki dengan berlakunya UU No. 10/2004. Namun , Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
12/2011, Tap MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan yakni
sebagai berikut:
a.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.      Peraturan Presiden;
f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Keadaan tersebut menimbulkan suatu keadaan kegamangan mengenai bagaimana kedudukan


tap MPR tersebut setelah amandemen UUD 1945 . Mengapa bisa terjadi hal demikian ? . Apa yang
menyebabkan TAP MPR kembali dimasukkan kedalam Hirarki perundang-undangan di Indonesia.
Serta bagaimana pula apabila TAP MPR itu sendiri yang dikeluarkan oleh MPR bertentangan
dengan UUD RI 1945 dan juga bila UU bertentangan dengan TAP MPR. Lembaga manakah yang
berwenang untuk menguji materiel dalam menanggapi fenomena tersebut. Hal tersebutlah yang
akan kami bahas didalam bentuk makalah formal berikut sebagai bentuk kritis dalam hal
menanggapi tentang TAP MPR RI dewasa ini.
B.        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kedudukan TAP MPR setelah amandemen UUD 1945 ?
2.      Apabila TAP MPR yang dikeluarkan bertentangan dengan UUD 1945 dan apabila UU bertentangan
dengan TAP MPR , bagaimana proses hukum yang dapat diupayakan serta lembaga mana yang
berwenang dalam menanggapi fenomena hukum tersebut?

C.       Tujuan dan Manfaat


            Tujuan dibuatnya makalah ini antara lain;
         Membantu mahasiswa untuk menganalisa lebih tajam mengenai kisruh / problematika TAP MPR
yang saat ini dikembalikan dalam susunan hirarki perundang undangan.
         Membuka wawasan mahasiswa agar dapat berfikir secara objektif dalam menganalisa problematika
TAP MPR tersebut.

Manfaat dari makalah ini antara lain;


         Memberikan mahasiswa pengetahuan yang up-todate mengenai TAP MPR RI saat ini.
         Bagi penulis sebagai salah satu pemenuhan komponen nilai.

BAB II
PEMBAHASAN

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tataran
implementasi, membawa perubahan baik penghapusan maupun pembentukan lembaga-lembaga
negara, kedudukan masing-masing Lembaga Negara tergantung kepada tugas dan wewenang
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dampak
perubahan terhadap MPR sebagai lembaga negara terutama tampak pada kedudukan, tugas dan
wewenangnya. Kedudukan MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik
Indonesia Tahun 1945 tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang memegang dan melaksanakan
sepenuhnya kedaulatan rakyat. Walaupun demikian, dalam hal pelaksanaan fungsi
konstitusional, hanya MPR yang dapat merubah dan menetapkan peraturan perundang-undangan
tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempunyai
tugas dan wewenang yaitu memilih dan melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila
berhalangan dalam masa jabatannya.
Kedudukan, tugas dan wewenang MPR sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan), berdasarkan ketentuan Pasal 1
ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 37, dan Penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan
merupakan lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Tugas dan wewenang MPR sebelum UUD 1945 diamandemen ialah:

a.       menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan garis-garis
besar dari pada haluan negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b.      menetapkan garis-garis besar haluan negara;
c.       memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
d.      membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk
penetapan garis-garis besar haluan negara;
e.       memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis;
f.       menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden;
g.      meminta pertanggungjawaban dari Presiden mengenai pelaksanaan garis-garis besar haluan
negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut;
h.      mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannys dan wewenang
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Tugas dan wewenang MPR setelah UUD 1945 diamandemen ialah:

a.       mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;


b.      melantik Presiden dan Wakil Presiden;
c.       memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d.      melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, atau
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.       memilih dan melantik Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f.       memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
Partai Politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai habis
masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.      menetapkan Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik;
h.      memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis;
i.        membentuk alat kelengkapan Majelis.

A.           KEDUDUKAN KETETAPAN MPR SETELAH UUD 1945 DIAMANDEMEN


Kedudukan TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan MPR
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa
konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah satu
perubahan penting dalam UUD 1945 yang mempengaruhi kedudukan dan kewenangan MPR
adalah perubahan pada bagian bentuk dan kedaulatan Negara khususnya pada Pasal 1 ayat (2)
UUD. Sebelum amandemen disebutkan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Sedangkan setelah amandemen
dirubah menjadi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. Perubahan yang signifikan juga terlihat pada Pasal 3 UUD 1945. Jika sebelum
amandemen MPR diberikan kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis Besar daripada Haluan
Negara (GBHN), maka pasca amandemen kewenangan tersebut sudah tidak diberikan lagi.
Dimasa lalu, konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-
Garis Besar daripada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S) sebagai
salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal ini kemudian
semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 yang
menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki
derajat di bawah UUD. Namun menurut Mahfud MD, Penempatan TAP MPR sebagai peraturan
perundang-undangan dalam derajat kedua (di bawah UUD 1945) sebenarnya hanyalah tafsiran
MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak menyebutkan bahwa TAP MPR itu harus berisi pengaturan
(regeling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan. Menetapkan itu sebenarnya dapat
hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang bersifat konkret, individual.
Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat
perubahan kedudukan dan kewenangan MPR pula. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi
mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :
1.      MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 ayat 2 UUD
1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia. MPR pasca
perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan lembaga tinggi Negara
lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
2.      Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR
bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR
dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah
dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada
atau diadakan jika berkenaan dengan kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ
MPR itu sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya
sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh Indonesia,
supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan DPR dan DPD bukan
ditangan MPR lagi.
3.      MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur
(regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam membuat
ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya kewenangan MPR untuk
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara
singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI
Tahun 1945 yang bersifat mengatur.
Sejalan dengan point ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR tidak
bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat regeling
(pengaturan). Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan MPR boleh saja ada, tetapi ia
bukan peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebatas penetapan (beschikking).
Pandangan tersebut kemudian diterima dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945[7].
Sama halnya dengan pendapat Mahfud MD, bahwa TAP MPR tetap saja boleh ada dan
dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat beschikking (kongret
dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP tentang pemberhentian
Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai sumber hukum yang bersifat
materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD, bahwa sebagai sumber hukum, TAP
MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil (bahan pembuatan hukum), namun bukan
sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP
MPR bisa menjadi bahan hukum seperti halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat, keadaan social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan
budaya bangsa dan lain-lain.
Dapat kita lihat dalam teori piramida hukum (stufentheorie) yang diperkenalkan oleh
Hans Kelsen. Teori tersebut memberikan kategorisi atau pengelompokan terhadap beragam
norma hukum dasar yang berlaku. Teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh Hans
Nawiasky melalui teori yang disebut dengan “theorie von stufenufbau der rechtsordnung”. Teori
ini memberikan penjelasan susunan norma sebagai berikut :
1.      Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung)[13].

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi mencoba


mengaplikasikannya kedalam struktur hierarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, maka tata urutan perundang-undangan di Indonesi adalah
sebagai berikut :
1.      Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.      Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3.      Formell gesetz : Undang-Undang.
4.      Verordnung en Autonome Satzung : Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga
Keputusan Bupati atau Walikota[14].
Puncak dari agenda “sunset clouse” dan “sapu jagat”  adalah diterbitkannya Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang tidak
memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum. Namun tidak dimasukkannya TAP
MRP dalam undang-undang tersebut, bukan berarti roh dan keberadaan TAP MPR benar-benar
hilang sama sekali dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Melainkan  eksistensi TAP
MPR seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda.
Muncullah UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagai pengganti dari UU sebelumnya dan memasukkan kembali Tap MPR kedalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat 1, yang terdiri atas :
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.      Peraturan Pemerintah;
5.      Peraturan Presiden;
6.      Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1)  Undang-udang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui
penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun
1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor
I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun
1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.

TAP MPR yang masih berlaku, adalah :


1.      Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia dan larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau
Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
2.      Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi.
3.      Ketetapan MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
4.      Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam
perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan)
5.      Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
6.      Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
7.      Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
8.      Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Indonesia.
9.      Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
10.  Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
11.  Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
12.  Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan KKN.
13.  Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber
Daya Alam.

B.            PENYELESAIAN YANG TERJADI APABILA MUNCULNYA PERTENTANGAN


ANTARA TAP MPR TERHADAP UUD NRI 1945 DAN PERTENTANGAN ANTARA UU
TERHADAP TAP MPR

a.       Pertentangan antara Tap MPR terhadap UUD NRI 1945


Jika berdasarkan kepada sistem kekuasaan kehakiman Indonesia dewasa ini, uji materi
dibebankan kepada Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi kewenangan Mahkamah Konsitusi
sebatas uji materi UU terhadap UUD. Tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tata cara
pengujian TAP MPR terhadap UUD atapun UU terhadap TAP MPR. Mahkamah Konstitusi tidak
boleh serta merta melakukan pengujian terhadap TAP MPR, kecuali Mahkamah Konstitusi
melakukan upaya hukum progresif seperti yang dilakukan selama ini.

Akan tetapi, jika dilihat pada TAP MPR Nomor I/MPR/2003 khususnya dalam ketentuan
Pasal 4, maka Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap TAP
MPR. Hal tersebut mengingat ketentuan Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, secara tersirat
telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk Undang-undang yang diharuskan untuk
dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya. Kecuali TAP MPR
yang disebutkan dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang mengujinya sebab ketentuan Pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan perubahan atau
pencabutan melalui Undang-undang sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 4.

b.      Pertentangan antara UU terhadap Tap MPR


Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP MPR, maka hal
tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU 12/2011. MPR pun tidak punya
wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP MPR. Karena
berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, serta
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. 
Kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang
mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly
Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru.
Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika
bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.
Pendapat yang sama juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan
Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang menilai masuknya TAP MPR ke dalam
hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu TAP MPR sudah
dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Sonny menilai kembalinya TAP MPR
ke dalam hierarki lebih kental muatan politisnya daripada ilmiahnya.
            Jauh sebelumnya, mengenai kedudukan TAP MPR Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Padjadjaran Prof. Sri Soemantri pernah berpendapat bahwa setelah amandemen UUD 1945
terjadi perubahan mendasar atas kedudukan MPR. Menurutnya, MPR tidak lagi sebagai lembaga
negara tertinggi dan tidak akan ada lagi bentuk hukum yang namanya ketetapan MPR. Dalam
kesempatan yang sama, pakar Ilmu Peraturan Perundang-undangan UI yang kini adalah hakim
MK Maria Farida Indrati juga menyatakan bahwa karena sekarang presiden dipilih oleh rakyat,
maka Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR sehingga untuk selanjutnya tidak boleh ada
lagi TAP yang memberikan mandat ke presiden. MPR, menurutnya, tidak berwenang membuat
ketetapan yang bersifat mengatur, tapi sebatas ketetapan MPR yang bersifat beshicking.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

            Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lahir seiring dengan berdirinya negara
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum
terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. Hal
inilah yang kemudian menjadikan KNIP adalah cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di
Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan
Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat ( MPR ) merupakan lembaga permusyawaratan rakyat
yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Dahulunya MPR merupakan lembaga tertinggi
negara. Kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan presiden dan juga DPR. Salah satu
produk hukum yang dikenal lahir dari lembaga negara tersebut ialah Ketetapan MPR / TAP MPR
.
Akan tetapi saat reformasi bergulir, MPR berubah kedudukannya menjadi lembaga tinggi
negara yang kedudukannya sama dengan presiden dan juga DPR dan lembaga tinggi negara
lainnya ( UU No. 27 tahun 2009 pasal 2 ). Oleh karena itu, sebagai konsekuensi MPR yang tidak
lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi
cendrung menjadi “joint sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi
bersifat lembaga konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar.
Selain itu, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat
mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan dalam
membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). MPR kini tidak lagi berwenang
menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat
mengatur.
Kemudian, apabila kita menanyakan bagaimana bentuk penyelesaian masalah apabila
munculnya pertentangan antara TAP MPR terhadap UUD RI 1945 dan pertentangan antara UU
terhadap TAP MPR ? Maka jawabannya adalah apabila timbul pertentangan antara TAP MPR
terhadap UUD RI 1945, Mahkamah Konstitusi sebenarnya dapat melakukan pengujian terhadap
TAP MPR. Hal tersebut dapat kita lihat pada ketentuan pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003,
yang secara tersirat telah menyamakan kedudukan TAP MPR dengan produk UU yang
diharuskan untuk dibuat sebagai pengganti norma yang diatur dalam TAP MPR sebelumnya.
Kecuali, TAP MPR yang disebutkan dalam pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003, Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang mengujinya sebab ketentuan pasal 2 tersebut tidak mensyaratkan
perubahan atau pencabutan melalui UU sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pasal 4.
Kemudian, apabila dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP
MPR, maka hal tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU 12/2011. MPR pun tidak
punya wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP MPR.
Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan
UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. 
DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta : Konstitusi


Pers (cetakan ke-3). Hal. 87
Mahfud MD, Moh. 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Rajawali Pers
: Jakarta. Hal. 32
Diana Kusumasari, S.H.,M.H dalam situs Hukum Online.com
Website WWW.MPR.go.id
UUD 1945 dengan Naskah Asli
UUD 1945 Amandemen
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003

[1] Undang-undang Dasar 1945 dengan Naskah Asli


[2] Amandemen ketiga Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[3] Moh. Mahfud MD, 2010. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Rajawali Pers :
Jakarta. Hal. 32
[4] Kata “Menetapkan” disini merujuk ke kata menetapkan yang tertulis dalam Pasal 3 UUD 1945 dengan
naskah asli
[5] Jimly Asshidiqie, 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta : Konstitusi Pers
(cetakan ke-3). Hal. 87
[6] Op.cit. Moh. Mahfud MD. Hal. 32
[7] Ibid,-
[8] Op.cit. Moh. Mahfud MD. Hal. 34
[9] Ibid,- Hal. 35
[10] Sumber Hukum disini dimaknai sebagai rujukan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya
[11] Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
[12] Jawaban dari Diana Kusumasari, S.H.,M.H dalam situs Hukum Online.com

Anda mungkin juga menyukai