Anda di halaman 1dari 12

Nama: Febby Achmad Farizzi

NIM: 010002112003

Mata Kuliah : HUKUM TATA NEGARA

Dosen: Dr. Tri Sulistyowati, SH, MH

UAS HUKUM TATA NEGARA

Soal

1. Pembentukan, kedudukan, tugas dan wewenang lembaga negara dapat


bersumber dan diatur pada:

a. UUD RI Tahun 1945

b. UU

c. Ketentuan lain

Berdasar hal tersebut, maka :

1) sebutkan masing-masing contoh lembaga negara berdasar (a,b,c) di atas,


dengan menyebutkan dasar hukumnya.

2) Sebutkan tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara dengan


ketentuan:

Kriteria (a): 8 lembaga negara Kriteria (b): 7 lembaga negara (c) Kriteria 5 lembaga

2. Jelaskan, apakah Presiden RI dapat diberhentikan sebelum habis masa


jabatannya menurut UUD NRI 1945? Apabila jawaban saudara "dapat", bagaimana
mekanisme pemberhentiannya? Penjelasan disertai dasar hukum

3. Jelaskan perbedaan keanggotaan, susunan, kedudukan, tugas dan wewenang


MPR RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI Tahun 1945

4. Jelaskan perbedaan Judicial Review yang menjadi kewenangan Mahkamah


Konstitusi dan Mahkamah Agung. Cantumkan juga dasar hukum dari masing-
masing kewenangan tersebut baik di dalam UUD 1945 maupun perundang-
undangan lainnya! Contoh pelaksanaannya
5. a. Jelaskan perbedaan antara sistim pemerintahan presidensiil dan sistim
pemerintahan parlementer.

b. Sebutkan contoh negara yang menganutnya, masing-masing 3 (tiga) negara

c. Jelaskan kelebihan dan kelemahan masing-masing sistim tersebut

6. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, maka setiap


daerah menjalankan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah dan tugas
pembantuan. Jelaskan perkembangan otonomi daerah di Indonesia setelah
reformasi, yaitu berdasar UU No.22 Tahun 1999, UU No.32 Tahun 2004 dan UU
No.23 Tahun 2014.

7. Pemilihan umum di negara Indonesia diselenggarakan setiap 5 (lima) tahun


sekali.

a. Jelaskan tujuan umum diseleggarakannya Pemilu, apabila dikaitkan dengan


tujuan secara filosofis, yuridis, dan politis

b. Jelaskan macam-macam sistim Pemilu

Jawaban

1. A. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 seperti


yang kita ketahui bahwa UUD RI tahun 1945 ini sebagai konstitusi Indonesia
mengatur keberadaan lembaga-lembaga negara mulai tugas, fungsi, wewenang
sampai pada susunan dan kedudukannya. Aturan dalam konstitusi ini dijabarkan
oleh undang-undang, yaitu dalam UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD, UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, kemudian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi, selanjutnya
UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dan UU Nomor 15 Tahun 2004
tentang BPK, Kekuatan suprastruktur politik yang tergolong ke dalam lembaga
tinggi negara Indonesia yaitu terdiri dari:

1.Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

2. Presiden dan wakil presiden

3. Perwakilan Rakyat (DPR)


4. Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK)

5. Mahkamah Agung (MA)

6. Mahkamah Konstitusi (MK)

7. Komisi Yudisial (KY).

8. Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

B. 1) MPR

Kewenangan MPR dipertegas, yaitu pada ranah mengubah dan menetapkan UUD,
melantik Presiden dan wakil Presiden, memberhetikan Presiden dan/atau wakil
Presiden dalam masa jabatanya menurut UUD. MPR berwenang juga memilih
wakil presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa
jabatanya.

2) DPR

kewenangnya, DPR memiliki kewenangan legislatif, yakni memegang kekuasaan


membetuk UU. Konsekuensi dan implikasi dari pergeseran itu adalah DPR harus
proaktif dalam proses pembentukan Undang- undang. Sikap proaktif tersebut
diwujudkan antara lain dengan membentuk Badan Legislasi DPR yang dari
masalah pembuatan Undang- undang, selain penggunaan hak ucul inisiatif DPR,
baik oleh anggota-anggota maupun melalui komisi atau gabungan komisi.

3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

DPD memiliki kedudukan yang sama dengan DPR sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Perbedaanya pada penekanan posisi anggota DPD sebagai wakil dan
reppresentasi dari daerah (propvinsi). Pembentukan DPD sebagai salah satu
institusi Negara bertujuan member kesempatan kepada orang-orang daerah untuk
ikut serta mengabil kebijakan dalam tinkat nasional, khususnya yang terkait
dengan kepentingan daerah.

4). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tugas dan kewenangan BPK diatur dalam bab VIIIA UUD Negara RI Tahun 1945
terdiri dari tiga 3 pasal dan 7 ayat. Seperti yang tertulis di dalamnya, BPK bertugas
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang
hasilnya akan diserahkan pada DPR, DPD, serta DPRD sesuai kewenangannya.
5) Mahkamah Agung (MA)

Sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung


bertugas menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan
sesuai dalam pasal 24 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.

Kewenangan yang dimiliki antara lain mengadili perkara pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan juga memberikan
pertimbangan kepada presiden jika hendak memberikan grasi dan rehabilitasi.

6) Mahkamah Konstitusi (MK)

Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menguji dan meluruskan setiap tindakan


lembaga-lembaga negara yang bertentangan dengan konstitusi melalui proses
peradilan. Dalam proses ini, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir ketika putusannya telah final.

7). Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial merupakan suatu badan kehakiman yang berada pada kekuasaan
kehakiman tetapi tidak menyelenggarakan peradilan. Lembaga negara dibentuk
dengan tujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran,
martabat, serta perilaku hakim agar kekuasaan kehakiman tetap terkontrol.

2. Presiden RI dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya menurut UUD


NRI 1945 dikarenakan setelah terjadinya empat kali perubahan UUD NRI 1945
membawa pengaruh besar terhadap kekuasaan Presiden di mana kedudukan
Presiden bukan lagi sebagai mandataris dan tidak lagi bertanggung jawab kepada
MPR. Kedudukan kedua lembaga tersebut baik Presiden maupun MPR adalah
sejajar dan untuk mempertegas sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia.
Presiden hanya dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya apabila
Presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang disebutkan dalam
konstitusi. Dalam Pasal 7A UUD NRI 1945 menjelaskan alasan-alasan
pemberhentian Presiden pada masa jabatannya yaitu berupa penghianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Dalam Pasal 7B UUD NRI 1945 menjelaskan tentang mekanisme pemberhentian


Presiden yaitu usulan pemberhetian Presiden tersebut dapat diajukan DPR kepada
MPR dengan terlebih dahulu meminta MK untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus pendapat DPR tersebut bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A UUD
NRI 1945.

3. Terdapat perbedaan keanggotaan, susunan, kedudukan, tugas dan wewenang


MPR RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sebelum
amandamen UUD NRI Tahun 1945 kedudukan, bentuk. tugas, maupun wewenang
MPR-RI amat tinggi dan besar dibandingkan pasca amandemen, hal ini
dikarenakan sebelum amandamen UUD NRI 1945 MPR-RI merupakan lembaga
tertinggi negara yang memeliki wewenang yang besar dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam UUD 1945 sebelum amandemen, MPR-RI
merupakan pelaku utama dan pelaksana penuh kedaulatan rakyat berdasarkan
rumusan Pasal 1 ayat (2) Bab 1 UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi
"Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat". MPR sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia
tercermin dari susunan keanggotaan MPR itu sendiri yang diatur dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, yaitu:

1) Seluruh wakil rakyat yang terpilih melalui DPR.

2) Utusan golongan yang dalam masyarakat menurut ketentuan perundang-


undangan yang berlaku.

3) Utusan daerah seluruh Indonesia menurut ketentuan peraturan perundang-


undangan yang berlaku. Dikarenakan MPR-RI sebelum amandemen merupakan
mandataris penuh kedaulatan rakyat berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
sebelum amandemen, MPR-RI memiliki kekuasaan yang besar, hal ini dapat dilihat
dari tugas dan wewenang yang MPR-RI miliki sebelum amandemen UUD 1945.
Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara tegas dicantumkan dalam
UUD 1945 sebelum amandemen, yaitu:

1) Berdasarkan Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 MPR-RI berwenang menetapkan


Undang- Undang Dasar.

2) Dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen MPR-RI juga
berwenang menetapkan Garis-garis Besar daripada Haluan Negara
3) MPR-RI juga berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden berdasrkan Pasal
6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945; dan

4) MPR-RI berwenang mengubah UUDberdasarkan Pasal 37.

Kemudian Pasca amandemen UUD 1945 baik kedudukan, bentuk, tugas, maupun
wewenang MPR RI cukup banyak berubah secara mendasar, dikarenakan MPR-RI
kedudukannya tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga tinggi
negara yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, tidak
seperti sebelum adanya perubahan atau amandemen yang terjadi dimana MPR-RI
merupakan lembaga tertinggi negara dan memiliki kekuasaan yang besar.

Pasca amandemen, MPR-RI kini menjadi lembaga negara yang dimana mempunyai
kedudukan yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, seperti DPR-RI, DPD-RI,
BPK. Presiden, Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

Tidak hanya kedudukan MPR-RI yang berbeda namun juga bentuk keanggotan
MPR-RI juga terjadi perubahan, dalam hal ini sebelum amandemen MPR-RI
beranggotakan Dewan Perwakilan Rakyat, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan.
Hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen, sedangkan
pasca amandemen MPR-RI hanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, hal ini mengacu pada Pasal 2 ayat (1) UUD
NRI 1945 pasca amandemen. Bahwa dengan ditetapkannya amandemen tersebut
maka kedaulatan berada di tangan rakyat, lembaga-lembaga negara melaksanakan
bagian-bagian dari wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan UUD NRI Tahun
1945, aturan dalam UUD tersebutlah yang menjadi rujukan utama dalam
menjalankan kedaulatan rakyat, sehingga MPR-RI tidak lagi berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi negara.

4. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir


yang putusannya bersifat final guna-antara lain-menguji undang-undang terhadap
UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI
Tahun 1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun
upaya hukum lainnya.

Berbeda halnya dengan hak uji (toetsingsrecht) undang-undang yang dimiliki


Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung diberi kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 24
AUUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan
yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung merupakan bagian dari fungsi
peradilan (justitieele functie) mahkamah dalam pemeriksaan tingkat kasasi namun
pengujian peraturan perundang-undangan sedemikian dapat pula dimohonkan
langsung kepada Mahkamah Agung (vide pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor
4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi


adalah menguji secara konstitusionalitas suatu undang-undang. menguji sejauh
mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan
(tegengesteld) dengan UUD. Constitutie is de hoogste wet. Manakala Mahkamah
Konstitusi memandang suatu undang-undang bertentangan dengan UUD maka
undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut
Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, terdapat 2 (dua) macam pengujian undang-undang.

Contoh pelaksanaan: Dalam hal suatu pembentukan undang-undang tidak


memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD maka
undang-undang tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Apabila suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau
bagian undang-undang dinyatakan mahkamah bertentangan dengan UUD maka
materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003].

5. A. sistem pemerintahan parlementer merupakan salah satu sistem


pemerintahan yang di mana para pelaku dari lembaga eksekutif bekerja serta
bertanggung jawab langsung kepada para parlemen. sedangkan Sistem
presidensial merupakan sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden
sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Maksudnya dalam
sistem ini, badan eksekutif yang diwakili oleh presiden, tidak bertanggung jawab
kepada badan legislatif, yang jika dicontohkan dalam sistem pemerintahan
Indonesia diwakilkan oleh DPR. Kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam
menghadapi badan legislatif.

Perbedaan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer dari pola


Pengawasan dan Pertanggungjawaban.

Sistem pemerintahan presidensial


a. Terdapat mekanisme check- and-balances antara eksekutif dan legislatif.

b. Legislatif menyusun perundangan, namun memerlukan pelaksanaan oleh


eksekutif.

c. Eksekutif bisa mem-veto kebijakan legislatif, atau menolak untuk melaksanakan


perundangan, namun legislatif memiliki hak untuk meng-impeach esksekutif.

Sistem pemerintahan parlementer

a. Terdapat mekanisme pemerintahan-oposisi dalam legislatif

b. Partai kekuatan kedua di parlemen membentuk oposisi

c. Kebijakan pemerintah diperdebatkan di parlemen dengan pihak oposisi sesuai


dengan lingkup masing-masing.

d. Legislatif dapat membubarkan pemerintahan dengan mosi tidak percaya,


dengan mendesakpemilu untuk memilih anggota Parlemen baru.

B. Contoh negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah,


Malaysia, Singapura dan Inggris.

Contoh negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial adalah Negara


Indonesia. Filipina, dan Amerika.

Kelebihan sistem pemerintahan presidensial

a. . Stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden.

b. Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih demokratis


dari pada pemilihan tidak langsung.

c. Pemisahan kekuasaan berarti pemerintahan yang dibatasi (perlindungan


kebebasan individu atas tirani pemerintah).

Kekurangan sistem pemerintahan presidensial

a. Konflik eksekutif-legislatif bisa berubah menjadi jalan buntu, adalah akibat dari
koeksistensi dari dua badan independen yang diciptakan oleh pemerintahan
presidensial yang mungkin bertentangan.
b. Masa jabatan presiden yang pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi
secara kaku dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan kesempatan
untuk melakukan berbagai penyesuaian yang dikehendaki oleh keadaan.

c. Sistem ini berjalan atas dasar aturan "pemenang menguasai semua" yang
cenderung membuat politik demokrasi sebagai sebuah permainan dengan semua
potensi konfliknya

Kelebihan sistem pemerintahan parlementer

a. Dalam sistem parlementer apabila ada ancaman kemundegan hubungan antara


eksekutif dan legislatif selalu menemukan jalan keluar karena parlemen dapat
membuat mosi terhadap eksekutif.

b. Sistem parlementer dipandang lebih fleksibel karena tidak ada pembatasan


masa jabatan yang pasti. Sepanjang parlemen masih memberikan dukungan
terhadap eksekutif, maka eksekutif dapat terus bekerja, namun sebaliknya apabila
parlemen tidak memberikan dukungannya, maka kahinet akan jatuh. Sistem ini
memberikan fleksibilitas untuk mengubah atau mengganti pemerintahan dengan
cepat ketika keadaan atau kegagalan eksekutif yang menuntut kepemimpinan
baru.

c. Sistem parlementer lebih demokratis karena kabinet yang dibentuk adalah


koalisi dari berbagai partai yang ada di parlemen.

Kelemahan sistem pemerintahan parlementer

a. Dalam sistem pemerintahan parlementer identik dengan instabilitas eksekutif.


Karena adanya ketergantungan kabinet pada mosi tidak percaya legislatif.

b. Pemilihan kepala eksekutif tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat, tetapi
oleh partai politik.

c. Tidak adanya pemisahan kekuasaan yang tegas antara legislatif dan eksekutif.
Hal ini dapat membahayakan kebebasan individu

6. Perrkembangan otonomi daerah di Indonesia pada Undang-undang No.22 tahun


1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini ditetapkan berdasarkan
UUD 1945 (sebelum amandemen), sebagai tindak lanjut dari Tap MPR RI No.
XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Undang-undang ini menganut prinsip pemberian otonomi yang seluas-
luasnya, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan undang-undang ini, ditetapkan
Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang masing- masing bersifat
otonom (asas desentralisasi). Provinsi tidak membawahi Kabupaten/Kota.
Penyebutan Provinsi DT I diubah dengan Provinsi, dan penyebutan
Kabupaten/Kotamadya DT II diubah dengan Kabupaten/Kota. Pada masa
pemberlakuan undang-undang ini, dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25
tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom.

Perkembangan otonomi daerah di Indonesia pada Undang-undang No. 32 tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini dikeluarkan berdasarkan
UUD 1945 yang telah diamandemen. Dengan undang-undang ini. NKRI dibagi atas
daerah provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten/kota. Pemberian otonomi
daerah dianut prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata, dan bertanggung
jawab. Yang dimaksud dengan otonomi yang seluas- luasnya ialah bahwa daerah
diberi wewenang untuk mengelola semua urusan pemerintahan kecuali urusan
yang tetap dipegang Pusat. Dalam ayat (3) pasal 10 UU No. 32/2004, urusan yang
wewenang sepenuhnya dipegang Pusat adalah 1) politik luar negeri, 2) pertahanan,
3) keamanan, 4) yustisi, 5) fiskal/moneter nasional dan 6) agama. Otonomi yang
nyata ialah bahwa daerah diberi tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Implikasinya, isi dan jenis otda setiap daerah dapat
tidak sama. Karena itu, selain urusan wajib, kepada Daerah tertentu diberikan
pula wewenang pengelolaan urusan pilihan.

Perkembangan otonomi daerah di Indonesia pada UU No. 23 tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah. Dengan undang- undang ini. Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah
kabupaten dan kota, sedangkan Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan
dan Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa. Prinsip pemberian otonomi
daerah adalah otonomi yang seluas-seluasnya berdasarkan prinsip negara
kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan
negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh
karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab
akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap berada di tangan
Pemerintah Pusat.

7. A. Tujuan umum diseleggarakannya Pemilu diikaitkan dengan tujuan secara


filosofis

Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan


untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari
rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara
dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan UUD 1945.

Tujuan umum diseleggarakannya Pemilu diikaitkan dengan tujuan secara yuridis

Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-


benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu
sarana legitimasi kekuasaan

Tujuan umum diseleggarakannya Pemilu diikaitkan dengan tujuan secara politis

Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan


pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI
Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota
DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah.

B. Macam macam sistem pemilihan umum:

1. sistem perwakilan distrik atau mayoritas atau single member constituencies

2. Sistem perwakilan proporsional.

Baik sistem perwakilan proporsional maupun sistem perwakilan distrik memiliki


perbedaan model. Untuk perwakilan proporsional, mendesain perwakilan
berimbang antara jumlah wakil dengan jumlah perolehan secara nasional,
sehingga apabila disimpulkan maka dapat diketahui terdapat korelasi antara
proporsi jumlah penduduk dan wakil yang duduk di lembaga perwakilan.
Proporsional di sini juga disesuaikan antara prosentase kursi di badan perwakilan
rakyat dengan prosentase jumlah suara yang diperoleh oleh partai politik secara
keseluruhan, bukan didasarkan pada siapa yang memperoleh suara terbanyak.
Berbeda dengan model sebagaimana di atas, sistem pemilihan distrik merupakan
sistem pemilihan mayoritas yang menentukan wakil terpilih berdasarkan siapa
calon yang mendapatkan jumlah suara terbanyak, namun konsep perwakilan
distrik juga kuat, yakni tem membagi wakil berdasarkan distrik pemilihan.

Referensi:

Adiwilaga, R., Alfian, Y., & Rusdia, U. (2018). Sistem Pemerintahan Indonesia. Deepublish.

Mahardika, M. R. (2021). STUDI KOMPARATIF KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA (MPR-RI) SEBELUM DAN PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Limbago: Journal of Constitutional Law, 1(3).

Mahanani, A. E. E. (2019). Resultan Sistem Pemilu dan Sistem Pemerintahan terhadap Pelaksanaan
Demokrasi di Indonesia. Jurnal Yustika: Media Hukum dan Keadilan, 22(02), 74-83.

Marzuki, L. (2018). Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Jurnal Legislasi Indonesia, 1(3), 1-6.

Sari, N. (2021). Pemberhentian Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Doctoral
dissertation, Universitas Muhammadiyah Gresik).

Saraswati, R. (2012). Desain sistem pemerintahan presidensial yang efektif. Masalah-Masalah


Hukum, 41(1), 137-143.

Anda mungkin juga menyukai