A. Pendahuluan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan nama resmi dari UUD 1945 yang
telah diubah pada tahun 1999-2002. Meski UUD ini sudah lama tidak diamandemen, baru-baru
ini di tahun 2007, suara untuk melakukan perubahan UUD 1945 mulai bermunculan. Konstitusi
ini juga disebabkan tidak adanya momentum yang kuat sebagai momentum amandemen UUD
1999-2002.
Pengunduran diri Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 19983,
yang disusul dengan runtuhnya mitos atau pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden
Soeharto pada waktu itu bahwa UUD 1945 adalah “sakral”4, menjadi titik tolak bagi momentum
yang mendorong lokomotif perubahan hukum. basis. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945
satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, PPKI membentuk suatu undang-undang dasar yang
diberi nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Pada tahun 1949, UUD 1945 diganti dengan UUD RIS, dan setahun kemudian diganti
dengan UUD Sementara 1950. Beberapa tahun kemudian UUDS itu diganti oleh UUD 1945
melalui keputusan Presiden yang dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan demikian,
konstitusi Indonseia yang berlaku hingga sekarang ini adalah UUD 1945 atau dapat juga disebut
”UUD Dekrit 1959”. Konstitusi inilah yang mengalami amandemen.
Jadi jumlah total pasal UUD 1945 hasil perubahan pertama sampai keempat itu adalah 75
pasal, namun demikian jumlah nomor pasalnya tetap sama yaitu 37 . Hal ini karena cara
penulisan nomor pasal itu dilakukan dengan menambah huruf setelah nomor angkanya. Kondisi
semacam inilah yang menjadikan sistematika amandemen UUD 1945 tidak teratur. Jumlah
babnya juga mengalami penambahan dari 16 bab menjadi 21 bab, tetapi nomor angka bab itu
juga tetap sama jumlahnya yaitu 16 bab, karena penambahan bab itu dilakukan dengan cara
menambah huruf setelah nomor angka. UUD 1945 yang semula berisi 16 judul Bab kemudian
ditambah lagi 5 judul Bab dan dicabut 1 judul Bab, sehingga setelah perubahan tersebut jumlah
judul babnya menjadi 21. Judul bab yang dicabut itu hanya satu yaitu Dewan Pertimbangan
Agung. Sementara substansi yang mengatur dewan pertimbangan yang memberikan nasehat dan
pertimbangan kepada Presiden tetap diatur dalam Pasal 1612, akan tetapi ia bukan lagi
merupakan lembaga tinggi negara seperti sebelumnya.
1. Ketentuan yang dicabut Beberapa ketentuan hukum yang dicabut oleh Perubahan UUD 1945
antara lain:
1) Kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan meminta
pertanggungjawaban presiden dan penyusunan Garis Besar Haluan Negara. Dengan
pencabutan kekuasaan ini posisi MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, tetapi
sebagai lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga tinggi lainnya
seperti Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
2) Kekuasaan pembentukan undang-undang ini berdasarkan Pasal 20 Perubahan pertama
UUD 1945, tidak lagi dipegang Presiden, melainkan dipegang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Demikian juga kewenangan Presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan
duta negara lain serta pemberian amnesti dan abolisi. Demikian juga kewenangan
Presiden dalam hal pengangkatan dan penerimaan duta negara lain serta pemberian
amnesti dan abolisi. Perwakilan Rakyat.
3) Penjelasan UUD 1945 secara de fakto penjelasan itu sudah ada setelah enam bulan
pengesahan Undang Undang Dasar tersebut oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan secara resmi dicantumkan dalam lampiran Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pasal yang meniadakan
Penjelasan itu juga tidak secara langsung menyebutkan bahwa Penjelasan dicabut. Jadi
rumusan pasal itu sangat tepa
D. Tinjauan Beberapa Ketentuan Hukum Baru Dalam UUD 1945 Setelah Diamandemen
Dengan adanya ketentuan-ketentuan baru seperti disebut di atas maka dapat dikatakan
bahwa bangsa Indonesia telah melakukan suatu perubahan yang fundamantal, suatu terobosan
baru di bidang ketatanegaraan18 menuju kepada suatu negara yang demokratis. Untuk lebih
mengetahui bagaimana isi ketentuan-ketentuan tersebut, secara singkat akan dilakukan tinjauan
terhadanya. Mengingat banyaknya materi yang diatur dalam ketentuan-ketentuan di atas, maka
dalam tinjauan ini hanya dibatasai pada beberapa hal saja yang penulis anggap penting antara
lian: reposisi Majelis Permussyawaratan Rakyat; kekuasaan membentuk undang-undang yang
merupakan representatif kekuasan legislatif; kekuasaan Presiden yang menjalankan kekuasaan
ekskutif; serta kekuasaan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, yang melaksanakan
kekuasaan yudikatif, serta Komisi Yudisial.
1. Reposisi MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia dalam sidang tahunan 2002
telah melakukan langkah bijak dengan mengubah posisinya yang semula sebagai lembaga
tertinggi negara dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, menjadi lembaga tinggi biasa
Anggota MPR terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilu. Anggota Dewan Perwakilan Daerah ini dapat dipandang
sebagai pengganti «Utusan Derah» yang dikenal dalam naskah asli UUD 1945 selain utusan
golongan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Mejelis Permusyawaratan Rakyat
bersidang minimal satu kali dalam lima tahun. Kewenangan MPR mencakup:
1) mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar,
2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden,
3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang Undang Dasar,
4) memilih presiden dan wakil presiden pengganti ”ditengah jalan”
Ukuran kebenaran dalam demokrasi Indonesia adalah norma hukum tata negara. Di sinilah
posisi MK sebagai pengawal konstitusi, harus selalu menjaga demokrasi sebagai
implementasi norma konstitusi. Keberatan warga negara terhadap norma hukum yang telah
disahkan oleh pembuat undang-undang dapat dikabulkan apabila Mahkamah Konstitusi
menemukan adanya pelanggaran terhadap konstitusi dalam norma hukum. Demikian pula
untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, MPR sebagai lembaga politik tidak
dapat lagi bertindak sendiri seperti yang terjadi dalam kasus pemberhentian Presiden
Soekarno pada tahun 1965 dan Presiden Adurrahman Wahid pada tahun 2001, tetapi harus
melibatkan lembaga peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi akan menentukan apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden benar-
benar melanggar undang-undang atau tidak. Dengan ketentuan ini maka kedudukan Presiden
menjadi lebih kuat, karena penafsiran atau penafsiran atau penetapan apakah Presiden dan
atau Wakil Presiden melanggar undang-undang, akan tergantung pada putusan Mahkamah
Konstitusi yang beranggotakan 9 orang, tiga di antaranya yang diusulkan oleh Presiden. Jika
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak melakukan
dugaan pelanggaran hukum, maka MPR tidak berwenang memberhentikan yang
bersangkutan. Masalah yang mungkin timbul di kemudian hari, misalnya, Mahkamah
Konstitusi memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara objektif melanggar undang-
undang, tetapi MPR tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Nampaknya di sini UUD 1945 Amandemen 1945 masih setengah hati menyerahkan
pemakzulan presiden dan wakil presiden hanya kepada rezim yang sah, karena eksekusi tetap
diserahkan kepada MPR.
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk disetujui bersama.
Rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden menjadi undang-
undang tidak lagi final, tetapi dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan pihak-
pihak tertentu.
3. Kekuasaan Presiden
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan Presiden oleh amandemen UUD 1945
banyak dikurangi. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini antara lain:
(1) Hakim agung tidak lagi diangkat oleh Presiden melainkan diajukan oleh Komisi Yudisial
untuk diminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya ditetapkan oleh
Presiden.
(2) Demikian juga anggota Badan Pemeriksaan Keuangan tidak lagi diangkat oleh Presiden
tetapi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden.
(3) Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses pengangkatan Panglima Tentara
Nasional dan Kepala Poliri Republik Indonesia. Keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam hal pengangkatan pejabat-pejabat tersebut mencerminkan suatu mekanisme
ketatanegaraan yang mengarah kepada keseimbangan dan demokratisasi.
(4) Rancangan Undang-undang yang telah dibahas dan disetujui bersama antara Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden apabila dalam waktu tigapuluh (30) hari semenjak.
Namun, di sisi lain, posisi Presiden semakin kuat karena ia tidak akan mudah
digulingkan oleh MPR, meski dalam kondisi berbeda pandangan dalam penyelenggaraan
pemerintahannya dengan 'parlemen'. Selama Presiden tidak dinyatakan melanggar hukum
oleh Mahkamah Konstitusi, maka posisi Presiden akan aman. Selain itu, Presiden tidak
lagi bertanggung jawab kepada MPR karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Jadi putusan MK semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum.
MPR juga dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden pengganti apabila terjadi
kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden di tengah masa jabatannya secara
serentak Pasal 8 ayat. Sebaiknya dalam hal ini dikaitkan dengan sisa masa jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Misalnya, Majelis dapat memilih Presiden dan/atau
Wakil Presiden pengganti jika sisa masa jabatannya adalah 12 bulan atau kurang.
4. Kekuasaan Kehakiman
Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman ini selain dilaksanakan di atas juga dilakukan
oleh Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial adalah lembaga baru yang sengaja dibentuk
untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan hakim agung dan untuk
menegakkan kehormatan, martabat, dan perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan.
E. Penutup
Berdasarkan uraian di atas secara umum dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 dan
Bahkan bukan hanya terjadi checks and balances antar lembaga negara, melainkan juga antara
warga negara dengan lembaga negara. Setiap pengangkatan pejabat negara seperti Hakim
Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Polisi
Republik Indonesia , anggota Komisi Yudisial, anggota Badan Pemeriksaan Keuangan, dan
Gubernur Bank, selalu melibatkan peran Dewan Perwakilan Rakyat. Kondisi demikian sejalan
dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Jadi dilihat dari segi konstitusi, Indonesia adalah
negara demokratis.
F. Pekerjaan Rumah
Namun demikian, amandemen UUD ini masih meninggalkan sisa pekerjaan rumah, yang
perlu diselesaiakan agar tidak menghambat penerapannya dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaraan di kemudian hari. Sebagai contoh antara lain:
a. posisi jaksa agung yang masih berada di bawah kekuasaan eksekutif. Akan lebih tepat
apabila posisi kejaksaan dilebur dalam lembaga yang independen semacam Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
b. Benturan antar peraturan perundangan-undangan bisa saja terjadi karena mungkin norma
hukumnya tidak singkron atau saling bertentangan baik vertikal maupun herisontal.
Seringkali sebuah ketentuan hukum dalam UU yang telah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, tidak diikuti oleh peraturan
di bawahnya. Demikian juga munculnya perda sebagai bagian dari peraturan
perundanganundangan, serigkali mengundang kontroversial apabila dihadapkan dengan
munculnya Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri yang tidak disebut dalam UUD .
c. Aplikasi demokrasi dalam pemilihan kepala daerah langsung baik pemilihan gubernur
dan pemilihan bupati/walikota ternyata menyedot anggaran daerah yang tidak sedikit,
apalagi jika pemilu kada itu diulang. Untuk itu kedepan perlu juga ditegaskan dalam
UUD cukup pemilihan bupati/walikota yang dilaksanakan secara langsung, sedang untuk
pemilihan gubernur dikembalikan saja kepada DPRD dan Presiden., agar terjadi checks
and balnces antara presiden dan lembaga perwakilan daerah.
Komentar:
Dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 yang menghasilkan sistem check and balance
dalam pemerintahan dinilai adalah hal yang tepat, sebagaimana sebelum amandemen MPR
adalah lembaga negara tertinggi sehingga memberikan kewenangan dan otorisasi tertinggi.
Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap lembaga negara
berada pada kedudukan atau posisi yang setara sehingga memberikan kewenangan yang
setara bagi setiap lembaga negara untuk saling mengawasi dan sekaligus berada pada hierarki
yang sama yang pada akhirnya pemerintahan dapat berjalan dengan baik karena kekuasaan
yang lebih tinggi antar lembaga negara telah tereliminasi.
2. IMPLIKASI AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TERHADAP SISTEM
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
POLITIKA, Vol. 4, No. 1, April 2013, Sofia L. Rohi
A. Pendahuluan
1) Latar Belakang
Menurut Jimly Asshiddiqie empat tahap perubahan UUD 1945 telah merubah hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat
ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945, hanya 25 butir ketentuan yang
tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174 butir ketentuan merupakan
materi yang baru atau telah mengalami perubahan.
2) Metode Penelitian
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian
yang objeknya adalah permasalahan hukum , maka tipe penelitian yang dipergunakan
adalah yuridis normatif. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan ,
pendekatan konsep, dan pendekatan sistem hukum atau proses hukum. Pendekatan
tersebut merupakan penelitian untuk melakukan pengkajian terhadap Implikasi
Perubahan UUD 1945 terhadap Strategi
3) Kerangka Teori
Teori Hukum Pembangunan dicetuskan oleh Mochtar Kusumaatmaja yang sampai saat
ini adalah teori hukum ini sangat eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang
Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu,
dengan tolok ukur dimensi teori hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam
aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang
pluralistik. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum
Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja dipengaruhi cara berpikir dari Herold D.
Laswell dan Myres S. Mc Dougal ditambah dengan teori Hukum dari Roscoe Pound .
Sehingga teori hukum pembangunan sangat dibutuhkan dalam memaknai sistem
perencanaan pembangunan yang akan diterapkan secara nasional.
B. Pembahasan
1) Strategi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Menggunakan GBHN
(Sebelum Amandemen UUD 1945).
Era Repelita telah berlangsung sampai dengan Repelita ke VI yang berakhir pada
tahun 1998. Pada masa tersebut mekanisme perencanaan dan pengendalian
pembangunan nasional, terutama pembangunan daerah, antara lain mengacu kepada
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. Pedoman ini pada dasarnya menganut perencanaan
berjenjang dari bawah keatas dari mulai tingkat desa sampai dengan tingkat nasional.
Dapat dianalisis bahwa tidak adanya GBHN merupakan akibat langsung dari hilangnya
eksistensi lembaga tertinggi negara atau MPR. Oleh karena itu tidak akan ada lagi
ROPENAS yang merupakan penjabaran dari GBHN, dan tidak akan ada lagi PROPEDA
yang merupakan penjabaran dari PROPENAS. Hilangnya koridor perencanaan makro yang
selama ini, telah menjadi arahan dan panduan bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan
bisa menimbulkan kesemrawutan yang semakin parah. Perubahan ini bisa menimbulkan
kebingungan terutama ditingkat lokal dan di level operasional. Beberapa pihak tetap
merasa optimis karena pada dasarnya GBHN tidak hilang namun akan digantikan oleh
program-program pembangunan yang telah disampaikan oleh Presiden terpilih pada saat
Pemilu.
Namun tentunya masih harus dikaji kembali apakah keberadaan program kerja Presiden
tersebut dapat menggantikan peranan GBHN atau bahkan menjadi lebih efektif.
Program-program yang diajukan oleh para calon presiden pada dasarnya merupakan
komoditas politik yang ditujukan untuk memperoleh suara. Namun program-program
seperti ini umumnya cenderung terfokus pada kepentingan-kepentingan jangka pendek dan
kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan yang sifatnya mendasar dan jangka
panjang. Akibatnya kita bisa terjebak pada permasalahan yang sebenarnya hanya gejala
dan bukan merupakan akar masalah.
Dalam kondisi demikian peluang salah pilih akan menjadi tinggi
Setiap calon presiden mempunyai kendaraan politik dalam bentuk partai politik.
Sebagai akibatnya program-program yang akan ditawarkan dalam pemilu pada dasarnya
merupakan paltform dari partai yang bersangkutan.
Keempat hal ini akan membuat program-program yang ditawarkan oleh seorang calon
presiden menjadi sulit untuk dijadikan kerangka makro yang bisa menjadi panduan dalam
dalam penyelenggaraan sistem perencanaan pembangunan terutama di tingkat lokal dan di
level operasional. Perencanaan yang sifatnya jangka panjang akan menjadi sulit untuk
diterapkan terutama dalam rangka menjamin kesinambungan program. Perencanaan akan
dilakukan sesuai dengan isu-isu dan konstalasi politik yang berkembang. Perubahan
konstalasi politik bisa mengakibatkan terjadinya instabilitas dalam perencanaan
pembangunan. Bagi pelaku usaha, situasi ini akan sangat merugikan karena investasi dalam
jumlah besar dan jangka panjang akan memiliki tingkat uncertainty yang tinggi.
C. Penutup
1) Simpulan
Sebagai bagaian akhir dari penulisan ini, penulis merumuskan kesimpulan adalah
sebagai berikut: Implikasi Sistem Perencanaan Nasional dengan tidak menggunakan
GBHN pasca Amandemen UUD 1945 menunjukkan bahwa strategi sistem perencanaan
pembangunan Nasional menggunakan GBHN sebelum amandemen UUD 1945 masih
menjadi harapan setiap penyelenggara negara, namun dengan tidak menggunakan
GBHN atau setelah Amandemen 1945 menceritakan permasalahan pada tataran
implementasi antara visi dan misi dari presiden terpilih dan setiap organ-organ negara
yaitu Pertama, lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif; Kedua
sistem perencanaan pembangunan di tingkat pemerintahan daerah seperti DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota. dan Bupati/Walikota serta ditingkat
pemerintahan desa dalam kerangka Negara.
Komentar:
Undang undang sebagai sebagai acuan negara adalah hal yang penting termasuk juga bagi
Indonesia. Haluan negara yang secara jelas tertera dalam konstitusi dapat membantu negara dan
para pemerintah yang menjalankan tatanan negara mampu mencapai tujuan bersama bangsa, oleh
karena peranan GBHN memiliki fungsi signifikan dalam pelaksanaan pemerintahan. Dengan
dilakukannya amandemen kini GBHN telah digantikan dengan RPJPN yang memili fungsi yang
sama yaitu sebagai haluan negara, maka diharapkan pemerintah dan para jajarannya memegang
teguh isi dari RPJPN yang berlaku dan menjaga stabilitas pemerintahan sesuai dengan yang
tertera dalam RPJPN dan konstitusi