Anda di halaman 1dari 6

Tugas.

3 Hukum Tata Negara


NAMA : M ZAKY ALFIANSYAH
NIM : 048639003

Pertanyaan:

1. Berikan analisis anda, setelah amandemen Undang-Undang Dasar


Republik Indonesia 1945 sistem parlemen apa yang dianut di
Indonesia?

Setelah reformasi dan dilakukan perubahan terhadap Konstitusi, bentuk negara


Indonesia adalah Negara Kesatuan. MPR telah bersepakat untuk tidak melakukan
perubahan terhadap bentuk negara dan tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berkaitan dengan sistem parlemen terjadi perdebatan yang panjang,
Indonesia dapat dikatakan menganut sistem parlemen bikameral atau
trikameral. Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah-olah
mengarah pada pembentukan sistem parlemen dua kamar (bikameral), tetapi dilihat
dari susunan yang menyebutkan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan
DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Bikameral tidak tercermin dalam MPR
karena ketika anggota DPR dan anggota DPD melebur menjadi anggota MPR, hanya
akan ada satu lembaga. yaitu anggota MPR, tidak dibedakan lagi antara anggota DPR
dan anggota DPD. Dalam susunan parlemen bikameral, bukan anggota yang menjadi
unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Seperti Congress Amerika Serikat yang terdiri
dari Senate dan House of Representatives. Jika anggota yang menjadi unsur, MPR
adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD. Masing-masing lembaga
negara tersebut (MPR, DPR, dan DPD) mempunyai kewenangan yang berbeda satu
sama lain. Dengan kewenangan yang berbeda tersebut dapat dikatakan bahwa parlemen
Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memperkenalkan sistem
parlemen trikameral atau trikameralisme
2. Jelaskan kedudukan MPR, DPR, dan DPD di parlemen dalam
mengubah/menyusun UUD dan undang-undang.

Dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah membuat perubahan besar


pada lembaga negara. Dalam hal tersebut ada lembaga negara yang bertambah
kewenangannya, ada juga lembaga yang dikurangi kewenangannya dan ada lembaga
yang dihilangkan, karena dianggap sudah tidak efektif lagi untuk kemajuan bangsa
Indonesia kedepannya. Melihat hal tersebut, lembaga perwakilan paling kelihatan
perubahannya. Dibentuknya DPD sebagai lembaga tingkat pusat yang mengurusi
kepentingan daerah. Maka yang melatar belakangi dibentuknya DPD adalah perubahan
UUD 1945 yang dimaksudkan untuk mereformasi sistem unikameral, dimana MPR
memiliki kedudukan paling tinggi dari lembaga lainnya, dengan berubahnya dari
sistem unikameral menjadi sistem bikameral, MPR tidak lagi terdiri dari anggota DPR
dan utusan golongan-golongan, melainkan terdiri dari para anggota DPR dan DPD.
Tetapi dalam hal tersebut tidak menunjukkan bahwa adanya sistem dua kamar, hal ini
dikarenakan wewenang DPD sangat terbatas dalam pembentukan undang-undang.
Bahkan pembentuk undang-undang berpendapat bahwa DPD merupakan pelengkap dari
DPR. Pada dasarnya DPD memang tidak memiliki kekuasaan dalam hal membentuk
undang- undang. Hal ini dikarenakan DPD terkunci dalam bunyi Pasal 20 ayat (2) UUD
NRI tahun 1945,

bahwa rancangan undang-undang dibahas dan disetujui oleh DPR dan Presiden.
Mengingat DPD merupakan badan perwakilan tingkat pusat yang mengurusi
kepentingan daerah yang seharusnya ikut ambil bagian dalam persetujuan mengenai
RUU tentang otonomi daerah. Pada kenyataannya hanya bisa mengajukan usul dan
memberikan RUU kepada DPR. Melihat hal tersebut, membuat DPD tidak memiliki hak
yang mandiri didalam proses pembentukan undang-undang, yang secara sistematik hal
tersebut ada kaitannya dengan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang menyatkan
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang”
berdasarkan ketentuan ini sangat logis kalau DPD bukan merupakan badan pembentuk
undang-undang dan tidak mempunyai hak secara mandiri untuk mengajukan rancangan
undang-undang, dengan demikian DPD hanya bisa mengajukan RUU lewat DPR.
Melihat dari ketentuan itu, terdapat suatu kekeliruan yang terjadi yaitu pertama : terletak
pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Bahwa yang memiliki kekuasaan dalam membentuk
undangundang adalah DPR, ketentuan ini sudah ada sebelum dibentuknya DPD (dalam
perubahan UUD yang pertama, tahun 1999). Yang dimana pada Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 semestinya dilakukan peninjauan kembali pada saat membentuk
lembaga DPD. Terlebih kalau dilihat dari gagasan dua kamar, hal yang terjadi adalah
pemotongan kewenangan terhadap DPD, sehingga terdapat substansi yang menyimpang
bila dilihat dari kedudukan DPD sebagai badan perwakilan. Kekeliruan yang kedua, bila
dilihat dari pertalian sistem dua kamar (bicameral) wewenang tersebut seharusnya ada
dalam wadah tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan,
dengan demikian penyusun perubahan UUD tentu saja mengatakan bahwa hadirnya
lembaga DPD tidak dimaksudkan pada kerangka sistem dua kamar. Akibat dari hal
tersebut, membuat berbagai rumusan menjadi rancu baik secara teknis maupun secara
konseptual. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, setidak-tidaknya secara hukum
posisi utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lebih baik karena
sederajat dengan (anggota) DPR.

Dewan Perwakilan Daerah merupakan salah satu lembaga negara yang tentunya
memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lainnya, karena mengalami
suatu keterbatasan jadi yang membedakannya adalah kewenangannya dalam hal
pembentukan undang-undang. Kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-
undang masih lemah, hanya bisa turut serta dalam hal mengajukan dan membahas
rancangan undangundang dan tidak dapat ikut serta dalam hal persetujuan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang karena yang memiliki kuasa dalam persetujuan
hanya DPR dan Presiden.

Sumber ;HKUM 4201, Hukum Tata Negara,Universitas Terbuka


Widayati , SISTEM PARLEMEN BERDASARKAN KONSTITUSI INDONESIA
,Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), MMH, Jilid 44 No. 4,
Oktober 2015
Agus Sadiantara, Jimmy Z. Usfunan, KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG,
Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Pertanyaan No 2:

1. Berikan analisis anda, perubahan apa yang terjadi pascaamandemen


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 terhadap kekuasaan
presiden dalam membentuk undang-undang.

Presiden yang memiliki kekuasaan sangat besar ketimbang legislatif maupun yudikatif
pada saat sebelum perubahan cenderung diantisipasi. Antisipasi terhadap
kecenderungan Presiden menjadi otoriter dilakukan dengan sangat sederhana yakni
dengan mengurangi kekuasaan atau hak-hak dasar Presiden. Untuk mewujudkan
konsekuensi-konsekuensi setelah perubahan UUD 1945, prioritas pertama adalah
mengurangi dan membatasi kekuasaan presiden.
Terhadap hasil perubahan pertama UUD 1945 banyak masyarakat yang kecewa karena
MPR tidak maksimal mengerjakannya. Disamping itu, pembahasan perubahan UUD
1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc (PAR) I MPR dianggap kurang transparan.
Sekalipun mengundang sejumlah pakar, menggelar seminar di beberapa daerah, serta
menyatakan rapat PAH terbuka untuk umum, tetapi pembahasan rancangan perubahan
konstitusi tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Dan yang paling meresahkan
masyarakat adalah kentalnya warna kepentingan politik dan anggota MPR yang
merupakan wakil partai politik dalam pembahasan perubahan UUD 1945, sehingga ada
yang menyarankan supaya perubahan UUD dibawa keluar dan gedung MPR/DPR dan
dikerjakan oleh para pakar yang betulbetul memahami masalah ketatanegaraan. Banyak
kalangan yang menilai hasih perubahan pertama UUD 1945 adalah permulaan
terjadinya pergeseran dari executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal ini terlihat dari
pergeseran kekuasaan presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam
Pasal 5, berubah menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undangundang, dan
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20)
memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan
Presiden, beralih ke tangan DPR.

Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya


ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip
supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip
checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih
jauh dan kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial.

2. Berikan analisis anda hubungan antara presiden dan parlemen


pasca amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Dalam sistem yang digunakan Indonesia setalah perubahan UUD 1945 fungsi legislasi
pada hakekatnya dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Melalui proses Checks and Balance tidak saja terjadi diantara
parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.

Sebelum diubah, ketentuan yang mengatur kekuasaan DPR dalam membentuk Undang-
Undang terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 20 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan
ayat (2). Setelah diubah, ketentuan itu tetap diatur dalam satu pasal tetapi dengan lima
ayat, yaitu Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pada Perubahan Pertama (tahun 1999) diputuskan ayat (I), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4). Adapun ayat(5) diputuskan pada perubahan Kedua (tahun 2000), dengan rumusan
perubahan sebagai berikut:
Rumusan perubahan: Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk UndangUndang.
(2) Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Penvakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang.

Rumusan naskah asli: Pasal 20 (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan


Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu Rancangan Undang- Undang tidak
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Perubahan pasal ini dimaksudkan untuk memberdayakan DPR sebagai lembaga


legislatif yang mempunyai kekuasaan membentuk UndangUndang. Perubahan pasal ini
mengubah peranan DPR yang sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan
persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang yang dibuat oleh Presiden (kekuasaan
eksekutif). Pasal ini juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan
Rancangan Undang-Undang. Pergeseran kewenangan membentuk Undang-Undang,
yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah
konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk
Undang-Undang (kekuasaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana
Undang-Undang (kekuasaan eksekutif). Namun, UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif,
antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap Rancangan Undang-Undang (RUU)
oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.

Sumber ;HKUM 4201, Hukum Tata Negara,Universitas Terbuka

Andar Rujito, PENGATURAN SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA SESUDAH


AMANDEMEN UUD 1945 ( Studi Atas Kekuasaan Presiden ), PROGRAM MAGISTER ILMU
HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2011

Pertanyaan No 3:

1. Berdasarkan pernyataan 1, teori manakah yang sesuai dengan teori kekuasaan


kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
2. Berdasarkan pernyataan 2, teori manakah yang sesuai dengan teori
kekuasaan kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
3. Berikan analisis anda terhadap pentingnya independensi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
1. Kebebasan hakim merupakan salah satu prinsip penting sehingga diwajibkan kepada
hakim untuk menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya. Yaitu bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk
tekanan. Kebebasan hakim dalam pelaksanaan tugas peradilan tidak boleh dipengaruhi
oleh kekuasaan apapun, bahkan ketua yang lebih tinggi, tidak berhak untuk ikut campur
dalam soal peradilan yang dilaksanakan
Menurut pendapat saya Pernyataan diatas sesuai dengan teori Kemerdekaan hakim, karena
hakim haruslah bebas dari segala bentuk tekanan dan tidak boleh dipengaruhi oleh
kekuasaan apapun .
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakakan Bagir manan dan Kutana Magdar bahwa
kemerdekaan dan kebebasan hakim mengandung 2 segi yaitu :
a. Hakim itu merdeka dan bebas dari pengaruh siapapun artinya bukan hanya bebas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Merdeka dan bebas mencakup merdeka
dan bebasdari unsur yuridisil itu sendiri, demikian pula merdeka dan bebas dari
pengaruh kekuatan-kekuatan diluar jaring-jaring pemerintah seperti pendapat umum
Pers dsb
b. Kemerdekaan dan kebebasan hakim hanya terbataspada fungsi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan yudisiil, dengan perkataan lain, kemerdekaan dan kebebasan
kehakiman dan pada fungsi yudisiil yaitu menetapkan hukum dalam keadaan konkret
2. Dikemukakan oleh Montesquieu bahwa jika kekuasaan yudisial tidak dipisahkan dengan
kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif maka kekuasaan atas kehidupan dan
kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi
pembuat hukum, dan jika hakim disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim
bisa jadi penindas. Dalam perkembangannya kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif,
legislatif, dan yudisial tidak diperbolehkan hanya dilaksanakan secara penuh oleh
masing-masing lembaga tersebut karena harus ada kontrol konstitusional terhadap
pelaksanaan kekuasaan tersebut. Menurut pendapat saya Pernyataan diatas sesuai
dengan teori pemisahan kekuasaan
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti independen tersebut, telah ditegaskan pada
Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sebagai berikut:
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan Militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi
. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
Apabila dikaji lebih jauh tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti
independen, terbebas dari interfensi pengaruh kekuasaan lainnya, maka penegasan Hukum
Dasar Negara tersebut, lebih lanjut dikembangkan di dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, demikian juga dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah dirubah dengan UU. No. 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas UU. No. 14 Tahun 1985 juncto Undang-Undang No. 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pada Pasal 1 Butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan:
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
hukum Republik Indonesia. Pada Penjelasan Resmi Angka I UU No. 48 Tahun 2009
memuat klarifikasi yang lebih tegas tentang adanya independensi badan-badan peradilan
dalam penyelenggaraan peradilan. Hemat penulis perihal tersebut adalah: “UUD NRI
Tahun 1945 menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan
tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan
lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Penegasan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut di atas, secara struktural dan
vertikal berpuncak pada Mahkamah Agung. Hal itu diatur dalam pasal 2 UU No. 14 Tahun
1985 (Perubahannya dengan UU No. 5 Tahun 2004 Junto UU. No. 3 Tahun 2009), bahwa:
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan,
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lainnya.
Jadi adanya independensi hakim dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman
melalui badan-badan peradilan negara, dimaksudkan agar hakim benar-benar dapat
mandiri, bebas dan merdeka dari segala sesuatu campur tangan yang dapat mempengaruhi
fungsinya dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang dihadapkan
kepadanya. Dengan demikian, secara normatif (yuridis-formal), negara melalui konstitusi
dan peraturan perundang- undangan di bawahnya, telah memberi jaminan tentang
independensi Hakim dalam melaksanakan fungsi yudisialnya demi penegakan hukum dan
keadilan.

Sumber:
HKUM 4201, Hukum Tata Negara,Universitas Terbuka
Andi Suherman, IMPLEMENTASI INDEPENDENSI HAKIM DALAM PELAKSANAAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN, Program Pascasarjana, Universitas Muslim Indonesia, Makassar,
SIGn Jurnal Hukum Vol. 1, No. 1 (September 2019)

Anda mungkin juga menyukai