Pertanyaan:
bahwa rancangan undang-undang dibahas dan disetujui oleh DPR dan Presiden.
Mengingat DPD merupakan badan perwakilan tingkat pusat yang mengurusi
kepentingan daerah yang seharusnya ikut ambil bagian dalam persetujuan mengenai
RUU tentang otonomi daerah. Pada kenyataannya hanya bisa mengajukan usul dan
memberikan RUU kepada DPR. Melihat hal tersebut, membuat DPD tidak memiliki hak
yang mandiri didalam proses pembentukan undang-undang, yang secara sistematik hal
tersebut ada kaitannya dengan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI tahun 1945 yang menyatkan
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang”
berdasarkan ketentuan ini sangat logis kalau DPD bukan merupakan badan pembentuk
undang-undang dan tidak mempunyai hak secara mandiri untuk mengajukan rancangan
undang-undang, dengan demikian DPD hanya bisa mengajukan RUU lewat DPR.
Melihat dari ketentuan itu, terdapat suatu kekeliruan yang terjadi yaitu pertama : terletak
pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Bahwa yang memiliki kekuasaan dalam membentuk
undangundang adalah DPR, ketentuan ini sudah ada sebelum dibentuknya DPD (dalam
perubahan UUD yang pertama, tahun 1999). Yang dimana pada Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 semestinya dilakukan peninjauan kembali pada saat membentuk
lembaga DPD. Terlebih kalau dilihat dari gagasan dua kamar, hal yang terjadi adalah
pemotongan kewenangan terhadap DPD, sehingga terdapat substansi yang menyimpang
bila dilihat dari kedudukan DPD sebagai badan perwakilan. Kekeliruan yang kedua, bila
dilihat dari pertalian sistem dua kamar (bicameral) wewenang tersebut seharusnya ada
dalam wadah tempat DPR dan DPD bernaung, bukan pada masing-masing badan,
dengan demikian penyusun perubahan UUD tentu saja mengatakan bahwa hadirnya
lembaga DPD tidak dimaksudkan pada kerangka sistem dua kamar. Akibat dari hal
tersebut, membuat berbagai rumusan menjadi rancu baik secara teknis maupun secara
konseptual. Terlepas dari kelemahan-kelemahannya, setidak-tidaknya secara hukum
posisi utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lebih baik karena
sederajat dengan (anggota) DPR.
Dewan Perwakilan Daerah merupakan salah satu lembaga negara yang tentunya
memiliki kedudukan yang setara dengan lembaga negara lainnya, karena mengalami
suatu keterbatasan jadi yang membedakannya adalah kewenangannya dalam hal
pembentukan undang-undang. Kedudukan DPD dalam proses pembentukan undang-
undang masih lemah, hanya bisa turut serta dalam hal mengajukan dan membahas
rancangan undangundang dan tidak dapat ikut serta dalam hal persetujuan rancangan
undang-undang menjadi undang-undang karena yang memiliki kuasa dalam persetujuan
hanya DPR dan Presiden.
Pertanyaan No 2:
Presiden yang memiliki kekuasaan sangat besar ketimbang legislatif maupun yudikatif
pada saat sebelum perubahan cenderung diantisipasi. Antisipasi terhadap
kecenderungan Presiden menjadi otoriter dilakukan dengan sangat sederhana yakni
dengan mengurangi kekuasaan atau hak-hak dasar Presiden. Untuk mewujudkan
konsekuensi-konsekuensi setelah perubahan UUD 1945, prioritas pertama adalah
mengurangi dan membatasi kekuasaan presiden.
Terhadap hasil perubahan pertama UUD 1945 banyak masyarakat yang kecewa karena
MPR tidak maksimal mengerjakannya. Disamping itu, pembahasan perubahan UUD
1945 yang dilakukan oleh Panitia Ad Hoc (PAR) I MPR dianggap kurang transparan.
Sekalipun mengundang sejumlah pakar, menggelar seminar di beberapa daerah, serta
menyatakan rapat PAH terbuka untuk umum, tetapi pembahasan rancangan perubahan
konstitusi tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Dan yang paling meresahkan
masyarakat adalah kentalnya warna kepentingan politik dan anggota MPR yang
merupakan wakil partai politik dalam pembahasan perubahan UUD 1945, sehingga ada
yang menyarankan supaya perubahan UUD dibawa keluar dan gedung MPR/DPR dan
dikerjakan oleh para pakar yang betulbetul memahami masalah ketatanegaraan. Banyak
kalangan yang menilai hasih perubahan pertama UUD 1945 adalah permulaan
terjadinya pergeseran dari executive heavy ke arah legislatif heavy. Hal ini terlihat dari
pergeseran kekuasaan presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam
Pasal 5, berubah menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undangundang, dan
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20)
memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang semula berada di tangan
Presiden, beralih ke tangan DPR.
Dalam sistem yang digunakan Indonesia setalah perubahan UUD 1945 fungsi legislasi
pada hakekatnya dimiliki oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah. Melalui proses Checks and Balance tidak saja terjadi diantara
parlemen dengan pemerintah tetapi juga diantara sesama parlemen sendiri.
Sebelum diubah, ketentuan yang mengatur kekuasaan DPR dalam membentuk Undang-
Undang terdiri dari 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 20 dengan dua ayat, yaitu ayat (1) dan
ayat (2). Setelah diubah, ketentuan itu tetap diatur dalam satu pasal tetapi dengan lima
ayat, yaitu Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pada Perubahan Pertama (tahun 1999) diputuskan ayat (I), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4). Adapun ayat(5) diputuskan pada perubahan Kedua (tahun 2000), dengan rumusan
perubahan sebagai berikut:
Rumusan perubahan: Pasal 20 (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk UndangUndang.
(2) Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika Rancangan Undang-Undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
Rancangan Undang-Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan
Penvakilan Rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang.
Pertanyaan No 3:
Sumber:
HKUM 4201, Hukum Tata Negara,Universitas Terbuka
Andi Suherman, IMPLEMENTASI INDEPENDENSI HAKIM DALAM PELAKSANAAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN, Program Pascasarjana, Universitas Muslim Indonesia, Makassar,
SIGn Jurnal Hukum Vol. 1, No. 1 (September 2019)