SOAL
1. Apa Tugas dan fungsi DPR dalam UUD 1945 sebelum amandemen?
2. Apa Tugas dan fungsi DPR dalam UUD 1945 sesudah amandemen?
3. Bagaimanna Kewenangan dan ruang lingkup DPR dalam UUD 1945 sebelum amandemen?
4. Bagaimana Kewenangan dan ruang lingkup DPR dalam UUD 1945 sesudah amandemen?
5. Bagaimana Hubungan antara DPR dengan keenam lembaga negara lain sebelum UUD 1945
diamandemen?
6. Bagaimana Hubungan antara DPR dengan keenam lembaga negara lain sesudah UUD 1945
diamandemen?
Jawab
1. Adapun terkait dengan kelembagaan DPR, dalam menjalankan tugasnya DPR mempunyai tiga
fungsi sesuai dengan Pasal 20A ayat 1 UUD NRI 1945 yaitu:
• Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan
pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA
dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah)
2. FUNGSI ANGGARAAN
• Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait
pajak, pendidikan dan agama
3. FUNGSI PENGAWASAN
• Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial terkait calon hakim agung yang
akan ditetapkan menjadi hakim agung oleh Presiden
Ini merupakan suatu penyimpangan yang sangat mendasar dalam prinsip penyelenggaran
ketatanegaraan dimana lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-
undang
yaitu berada pada kekuasaan legislatif bukan pada eksekutif. Tetapi yang terjadi justru
sebaliknya
Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan perpajangan tangan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan rakyat ternyata hanya berfungsi sebagai tukang stempel ”lembaga persetujuan”
terhadap rancangan undang-undang yang telah dibentuk oleh Presiden.
Akibat kekuasaan pembentukan yang begitu besar diberikan kepada eksekutif yang nota
bene merupakan kepala negara sekaligus juga merupakan kepala pemerintahan (eksekutif)
sehingga yang terjadi adalah banyak produk perundang-undangan yang isinya hanya untuk
kepentingan penguasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lord Acton, ”Power tends to corup
and absolute power corrups absolutely”, (kekuasaan selalu cendrung berkembang menjadi
sewenang-wenang, dan kekuasaan yang bersifat mutlak cendrung mutlak pula
kesewenangwenangannya)33. Negara identik dengan kekuasaan, cendrung korup, dalam arti
menyimpangi
kekuasaannya (Abuse of Power) karena negara juga memiliki kepentingan-kepentingan dan
tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum.
Undang-undang yang kita maksud dalam hal ini yaitu undang-undang dalam arti sempit
adalah “legislative act” atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan
persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Pasca amandemen Undang-Undang Dasar
Negara
Republik Indonesi tahun 1945, kewenangan pembentukan Undang-Undang ”legislatif act”
tersebut telah diserahkan kepada lembaga legislatif sebagaimana dalam perubahan pasal 5 ayat
(1)
juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan
tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945 dimana Presiden diberi kewenangan
berupa hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat
sedangkan kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang itu sendiri berada ditangan Dewan
Perwakilan Rakyat namun demikian pengesahan terhadap Undang-Undang itu sendiri ternyata
berada ditangan Presiden.
Adapun kewenangan Presiden dalam pembentukan undang-undang dalam arti ”eksekutif
act” yaitu kewenangan Presiden dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang lain
seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal
ikhwal kegentingan yang memaksa, Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya dan Peraturan Presiden yakni Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Kewenangan dalam pembentukan
undangundang ”eksekutif act” ini bersifat derivatif dari kewenangan legislatif. Artinya Presiden
tidak
boleh menetapkan suatu, misalnya Keputusan Presiden tidak boleh lagi bersifat mengatur secara
mandiri seperti dipahami selama ini.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tergambar jelas
bahwa fungsi legislatif berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
menegaskan, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi ” Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum
mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atau Pemerintah. Disemua negara
setiap rancangan undang-undang memang selalu dibahas bersama oleh Parlemen dan
Pemerintah,
karena Pemerintahlah kelak yang akan melaksanakan undang-undang itu, maka pemerintah pula
lah yang membahasnya bersama-sama dengan parlemen untuk mendapatkan persetujuan
bersama.
Setelah mendapat persetujuan bersama itu, setiap rancangan undang-undang itu akan disahkan
sebagaimana mestinya oleh Presiden
Tidak jauh beda sebagaimana yang diungkapkan oleh. Jimly Asshiddique diatas, Yusril
Izha Mahendra juga menegaskan bahwa keberadaan DPD, berawal dari upaya untuk mencari
kompromi antara gagasan untuk tetap mempertahankan susunan negara kesatuan, dengan
gagasan membentuk negara federal. Wacana negara federal sempat meramaikan diskusi selama
awal era
reformasi. Kesepakatan yang dicapai ialah, Indonesia tetaplah sebuah negara kesatuan, namun
sifat ekuasi federal tercermin dalam keberadaan DPD dan penegasan Undang-Undang Dasar
tentang otonomi daerah. Ada sejumlah tugas dan kewenangan DPD yang dirumuskan UUD 1945
pasca amandemen, antara lain dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga diberi kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal
22 D ayat (3) UUD 194545.
Ketidakseimbangan posisi antara DPD dengan DPR, DPD melakukan Judicial Review
terhadap kewenangan tersebut yang diatur dalam UU, sekarang dengan adanya lembaga yang
dapat memastikan bahwa ketentuan Undang-Undang yang dibuat pembentuk UU benar-benar
sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini judicial review adalah
wewenang
menyelidiki dan selanjutnya menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah
suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan peraturan tersebut (veroordenende macht)
5. Panjang banget buk literasinya. Jadi kamii mengambil kesimpulannya saja, sebaagai berikut
Sebenarnya kami sudah mendapatkan kesimpulan berdassarkan beberapa literasi yang kami baca
yaitu. Sebelum diamandemen, UUD 1945 mengatur kedudukan lembaga tertinggi dan lembaga
tinggi negara, serta hubungan antar lembaga-lembaga tersebut. Undang-Undang Dasar
merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR
(sebagai Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power)
kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Jadi dengan katta lain kedudukan DPR sebelum amandemenn UUD 1945 itu dibawah MPR
namun sejajar dengan Mahkamah agung (MA), presiden, Dewan perwakilan rakyyat (DPR),
Dewan pertimbangan agung (DPA), dan badan pemeriksa keuangan (BPK
Hubungan antara DPR dan Presiden tampak dalam kaitannya dengan fungsi presiden
dalam ranah legislatif, presiden membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, selain itu
dalam hal menyatakan perang membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus juga
dengan persetujuan DPR.
DPR menindak lanjuti pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK yang ditetapkan dengan
Undang Undang yang berdasarkan pasl 23 ayat (5).
6. Baiklah ini dia beberapa hubbungan antara DPR dengan keenam lembaga lainya yangg akann
dijelasskan secara rinci. Tentu saja dibawah ini kami dapat dari beberaapa literassi yang
akhirnya kami simpulkan. Dibawah inni:
Badan Pemeriksa Keuangan Negara sebagai badan memeriksa pengolahan dan tanggung
jawab tentang keuangan Negara yang bebas dan mandiri. Dapat dikatakan Badan Pemeriksa
Keuangan merupakan semacam alat dari Dewan Prewakilan Rakyat yang membantu Dewan
Prewakilan Rakyat dalam hal pengawasan keuangan. Jika dilihat dari segi keanggotaan, Badan
Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Prewakilan Rakyat, dengan memperhatikan
pertimangan dari Dewan Perwakilan Daerah. Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu
kota Negara dan mempunyai perwakilan di setiap provinsi.
Hubungan antara Dewan Prewakilan Rakyatdan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari
wewenang Dewan Prewakilan Rakyat, yaitu diantaranya mengajukan usul pemberhentian
Presiden dan /atau wakil Presiden kemada Majelis Permusyarawatan Rakyat. Dalam hal ini
Dewan Prewakilan Rakyat dapat mengundang siding istimewa kepada Majelis Permusyarawatan
Rakyat untuk meminta pertanggung jawaban presiden dan/atau berpendapat bahwa Pressiden
dan/atau wakil Presiden sungguh telah melakukan pelanggaran hokum berupa penghianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau
Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil
presiden.
Hubungan Antara DPR dan DPD tampak dalam hal ketika DPD dapat mengajukan
rancangan Undang-Undang kepada DPR, sehubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah. DPD ikut membahas rancangan Undang-Undang tersebut, serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang yang telah disahkan, di mana hasilnya
disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti. Selain itu DPD juga memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan Undang-Undang APBN, pajak, pendidikan dan agama.
Hubungan Antara DPR dan Presiden tampak dalam hal ketika setiap rancangan Undang-
Undang dibahas oleh DPR dan Presiden harus ada persetujuan bersama, jika tidak maka
rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Selain itu ketika
dalam keadaan genting dan memaksa maka Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
pengganti Undang- Undang dengan persetujuan DPR, jika tida maka harus dicabut