NIM: D1A020003
KELAS: HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Analisis kasus DS-477 dan DS-478 Indonesia melawan Selandia Baru dan Amerika Serikat
berdasarkan putusan WTO
Kasus DS-477 dan DS-478 Indonesia melawan Selandia Baru dan Amerika Serikat
terkait dengan (PerMenTan) Nomor 86 Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura (RIPH) dan PerMenDag Nomor 47 Tahun 2013 jo PerMenDag No. 16 Tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. yang Selanjutnya, mengenai impor hewan dan
produk hewan yang dipermasalahkan merupakan PerMenDag No. 57 Tahun 2013 jo PerMendag
No. 46 Tahun 2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, juga terkait
dengan jangka waktu penerbitan izin impor, kewajiban serap lokal, serta pembatasan jenis daging
yang diperbolehkan masuk ke Indonesia.
Ketentuan yang ada di dalam dua aturan ini mengundang ketidakpuasan dari negara mitra
impor Indonesia yakni selandia baru dan amerika serikat (sebenarnya ada beberapa negara lagi
namun saya hanya akan membahas negara yang mengajukan pembuatan panel saja).
Kemudian kedua negara tersebut mengajukan pembentukan panel pada tanggal 18 Maret
2015 dengan dasar 18 aturan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat 1 GATT dan pasal
4 ayat 2 Agreement on Agricultural, yang pada intinya menentang hambatan non tarif kuantitatif
yang diberlakukan Indonesia terhadap produk pangan dan hewani. Hal ini kemudian dibantah
oleh Indonesia dengan alasan bahwa Indonesia sejatinya telah mengadopsi peraturan perizinan
impor yang menyeimbangkan tanggung jawabnya untuk menjaga pasokan pangan yang aman
dan memadai dengan menjunjung tinggi kewajiban WTO-nya.
Perlu kita pahami Bersama sejatinya ada beberapa pengecualian terhadap prinsip
penghapusan hambatan non tarif kuantitatif tersebut:
SARAN
Saya sebagai penganalisis sangat paham bahwa tujuan Indonesia memberlakukan aturan
seperti itu adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat indonesia dengan cara
membatasi peredaran produk impor. Tetapi cara seperti ini dilarang oleh WTO khususnya dalam
pasal 11 ayat (1) yang melarang hambatan non tarif (Kuantitatif) yang hanya akan menyebabkan
masalah. Sayapun yakin kalau Menteri yang pada saat itu membuat peraturan ini telah
memikirkan dengan matang terkait dengan pemberlakuan aturan ini.
Namun untuk kebaikan Indonesia kedepannya dari pada kita memikirkan untuk
memberlakukan hambatan tarif dan non tarif sebaiknya kita lebih perhatian terhadap pemenuhan
kualitas komoditi local kita, karena sebenarnya kita mempunya semua yang dibutuhkan untuk
berprogres lebih tinggi. Karena kalaupun kita menerapkan hambatan tarif yang cukup tinggi
kalau kualitasnya berada lebih tinggi bahkan terlalu timpang maka para konsumen akann tetap
memilih produk IMPOR tersebut