Anda di halaman 1dari 11

Penerapan Safeguard Dalam Melindungi Industri Dalam Negeri

Abstrak

Safeguard adalah tindakan pengamanan yang dilakukan oleh pemerintah negara


pengimpor untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian
serius terhadap industri dalam negeri yang sebagai akibat terjadinya peningkatan
barang impor yang menimbulkan ancaman serius. Tindakan safeguard dimaksudkan
untuk menghindari keadaan dimana anggota WTO menghadapi suatu dilema antara
membiarkan pasar dalam negeri yang sangat terganggu oleh barang impor atau
menarik diri dari kesepakatan. Pengaturan safeguard mengacu pada article XIX
GAAT (Emergency Action on Imports of Particular Product) sebagaimana dalam
Agreement on Safeguard 1944. Tindakan safeguard diatur dalam sistem hukum
Indonesia melalui Keppres Nomor 84 Tahun 2002 tentang tindakan pengamanan
industri dalam negeri dari akibat kebijakan impor.

Pendahuluan

Perdagangan adalah suatu kegiatan transaksi jual-beli yang telah ada lama.
Saat ini kegiatan perdagangan merupakan hal yang sangat penting bagi negara.
Perdagangan antar negara telah semakin berkembang dan luas berkat kemajuan
teknologi. Pada batas-batas antar negara semakin borderless sehingga dapat
terjadinya lalu lintas perdagangan internasional yang ramai. Perdagangan
internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara
dengan penduduk lain berdasarkan kesepakatan.

Menurut Rafiqul Islam, batasan perdagangan internasional sebagai “a wide


ranging, transnational, comercial exchange of goods and services between
individual business persons, trading bodie and State”.1 Dalam perdagngan
internasional, kemajuan pesat sedang terjadi dengan semakin berkembangnya
peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antar negara. kegiatan tersebut
terjadi melalui hubungan ekspor, impor, incvestasi, perdagangan jasa, license and

1
Rafiqul Islam, International Trade Law, (NSW: LBC, 1999) hlm, 1.
franchise, Hak atas Kekayaan Intelektual, yang memberikan pengaruh terhadap
sektor lain yaitu perbankan, asuransi, dan perpajakan.

Dalam dunia perdagangan tentu terdapat resiko-resiko yang dapat terjadi,


seperti risiko terhadap perlindungan bagi industri dalam negeri ketika terjadi
kenaikan impor. Maka diperlukan suatu harmonisasi peraturan nasional dengan
aturan WTO (World Trade Organization) dalam memperlancar perdagangan dan
menghindari hambatan perdagangan (Trade Barrier).2 Indonesia telah meratifikasi
Agreement Establishing the WTO melalui ketentuan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia. Agar dapat dilaksanakannya kegiatan bisnis antar negara
diperlukan suatu insturmen hukum dalam bentuk regulasi nasional maupun
internasional. Konsekuensi dengan Indonesia telah melakukan ratifikasi Agreement
Establishing the WTO yaitu mematuhi hasil kesepakatan dalam forum WTO, dan
melakukan harmonisasi peraturan perundangn-undangan nasional dengan hasil
kesepakatan WTO.3

WTO didirikan pada tahun 1995, adalah organisasi lanjutan dari GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade). Adapun karena Indonesia telah
melakukan ratifikasi berdasarkan UU No. 7/1994, maka terikat dengan ketentuan-
ketentuan WTO. WTO memiliki prinsip-prinsip dasar yang melandasari persetujuan-
persetujuan WTO, yaitu:4

1. Most Favoured Nations Treatment (Perlakuan yang sama semua Anggota


WTO)
2. Tarrif Binding (Peningkatan Tarif)
3. National Treatment (Perlakuan Nasional)
4. Perlindungan hanya melalui tarif
5. Special and Different Treatment for Developing Countries (Perlakuan khusus
dan berbeda bagi negara-negara berkembang)

2
Hambali, Pemberlakuan Sertifikasi Halal Secara Wajib Terhadap Produk Asing Menurut Persetujuan
Tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Technical Barrier to Trade Agreement), Nurani
Hukum Jurnal Ilmu Hukum, Vol .2 No.2 Desember 2019. ISSN. 2655-7169 hlm.48
3
Muhammad Sood, 2012, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta, hal.1.
4
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (safeguard)
dalam GATT dan WTO, Ct,1., PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm.14
Selanjutnya WTO memiliki banyak perjanjian-perjanjian internasional terkait
perdagangan yang telah lahir sejak beridirinya organisasi ini, berikut adalah
perjanjian-perjanjian mengenai aspek-aspek khusus perdagangan barang: 5

a. Agreement on Agriculture (Perjanjian dalam bidang Pertanian)


b. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures
(Perjanjian mengenai Penerapan Tindakan Sanitasi dan Phytosanitary)
c. Agreement on Technical Barriers to Trade (Perjanjian mengenai hambatan-
hambatan teknis dalam perdagangan)
d. Agreement of Implementation of Article VI of the General Agreement on
Trafficts and Trade 1994 (Perjanjian mengenai Penerapan Pasal VI GATT
1994)
e. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Perjanjian mengenai
Subsidi dan Tindakan Imbalan)
f. Agreement on Safeguards (Perjanjian mengenai Safeguards)
g. General Agreement on Trade in Service (Perjanjian mengenai Perdagangan
di bidang jasa)

Berdasarkan Article XIX GATT 1947, bahwa salah satu syarat untuk
melakukan safeguard oleh negara-negara anggota WTO adalah melindungi industri
dalam negeri dan bersifat non diksriminatif. Bahwa tindakan safeguard melalui
pembatasan impor dilaksanakan sebagai akibat dari peningkatan produk impor yang
menimbulkan kerugian yang serius di dalam negara pengimpor. Maka dari itu
negara-negara pengekspor harus dibatasi perdaganganya di pasar negara
pengimpor. Adapun dari penjabaran pendahuluan, selanjutnya penulis akan
mengkaji bagaimana penerapan safeguard terhadap produk-produk industri dalam
negeri.

Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian


kepustakaan, dan pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Yuridis yang
mendasarkan pada aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan normatif. Pendekatan

5
Peter van den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal.
4.
yang digunakan pada tulisan ini adalah merujuk pada peraturan internasional GATT,
Safeguard Agreement, dan UU No. 7 Tahun 1994 yang merupakan bahan hukum
primer. Sedangkan baham hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan
memahami bahan hukum primer, yaitu beberapa pendapat dan pemikiran para
pakar yang tertuang dalam berbagai buku, jurnal, makalah atau literatur lain yang
terdapat kaitannya dengan penulisan ini.

Analisis

Didalam ketentuan umum yang diatur dalam Article XIX of GATT 1944
Agreement on Safeguard, telah diatur bahwa perjanjian safeguard menerapkan
peraturan untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus diartikan sebagai
tindakan yang diatur berdasarkan pasal tersebut. Penerapan tindakan safeguard
bertujuan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari membanjirnya produk
impor yang merugikan terhadap industri dalam negeri. 6 Selanjutnya pada
pengaturan Agreement on Safeguard (Safeguard Agreement) secara eksplisit
menerapkan kesetaraan terhadap negara-negara anggota yang bertujuan untuk: 7

1. Memperjelas dan memperkuat aturan-aturan safeguard dan menghilangkan


hal-hal yang terdapat dalam Article XIX;
2. Membangun kembali pengawasan multilateral melalui safeguard dan
menghilangkan hal-hal yang lepas dari pengawasan;
3. Menciptakan pengaturan secara struktural pada bagian yang memberikan
ancaman bagi industri-industri karena meningkatnya produk impor

Dalam ketetuan Article 2.1 Safeguard Agreement terdapat pedoman dalam


peningkatan impor, yaitu bahwa barang impor masuk dalam wilayah kepabeanan
suatu negara meningkat dalam jumlah secara absolut dan relatif dibandingkan
dengan produksi dalam negeri serta mengakibatkan kerugian serius bagi industri
yang menghasilkan barang yang serupa atau secara langsung tersaingi oleh barang

6
Muhammad Sood, 2012, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta, hal 224.
7
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (safeguard)
dalam GATT dan WTO, Ct,1., PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm.106
impor tersebut.8 Selanjutnya berdasarkan Article 2.1 Safeguard Agreement,
peningkatan impor dilihat dalam dua bentuk, yaitu secara absolut dan perbandingan
secara relatif terhadap produksi dalam negeri atas barang serupa atau barang yang
secara langsung tersaingi.9

Appellate Body (Badan Banding WTO) telah membuat guidance, bahwa


peningkatan impor yang terjadi dalam rentan waktu paling akhir, bersifat mendadak,
cukup tajam dan cukup signifikan dalam hal kuantitas impor yang menyebabkan
kerugian serius (serious injury) atau ancama kerugian serius (threaten serious
injury) terhadap industri dalam negeri. Sebelum safeguard dapat dilaksanakan,
harus dilakukan pembuktian terlebih dahulu dalam hal terjadinya kerugian serius
atau ancaman kerugian serius sebagai dampak barang yang akan diimpor. Menurut
Article 4.1 Safeguard Agreement, yaitu:

For the purpose of this Agreement:

a. ‘Serious injury’ shall be understood to mean a significant overall


impairment in the position of a domestic indusry. Ketentuan ini mengatur
kerugian serius dimana kerugian dikualifikasikan dengan menurunnya
secara keseluruhan indikator kinerja industri dalam negeri.
b. ‘threat of serious injury’ shall be understood to mean serious injury that is
clearly imminent, in accordance with provision of paragraph 2. A
determination of the existence of a threat of serious injury shall be based
on facts and not merely on allegation, conjectur or remote possibility.
Ketentuan ini menjelaskan mengenai pengertian tentang ancaman
kerugian serius harus dipahami sebagai terjadinya ancaman nyata dalam
waktu dekat dimana perlu segera dilakukan tindakan perlindungan
terhadap industri dalam negeri dalam mengidentifikasi kerugian serius
berdasarkan fakta dan bukan tuduhan semata.
c. In dtermining injury or threat thereof, a ‘domestic industry’ shall be
understood to mean the producers as a whole of the like or directly
competitive products constitutes a major proportion of the total domestic of
those products. Ketentuan ini berbunyi tentang pengertian industri dalam

8
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (safeguard)
dalam GATT dan WTO, Ct,1., PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2007, hlm 109.
9
Ibid.
negeri terdapat dua kriteria untuk menentukan pengertiannya, yaitu
industri dalam negeri sebagai produsen-produsen yang memproduksi
barang tertentu serupa atau secara langsung tersaingi dengan barang
impor yang diselidiki atau hasil produk sejenis yang secara langsung
tersaingi merupakan bagian besar dari seluruh produksi dalam negeri.

Berdasarkan ketentuan Article 4.2 (a) Safegard Agreement, bahwa faktor-


faktor dalam diberlakukannya safeguard, adalah angka jumlah peningkatan impor
barang yang bersangkutan dalam penyelidikan, pangsa pasar domestik yang
dikuasai oleh barang impor meningkat tersebut, perubahan dalam tingkat penjualan,
produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitan, keuntungan dan kerugian, dan
kesempatan kerja. Adapun dalam hubungan sebab akibat, negara impor harus dapat
membuktikan adanya keterkaitan antara peningkatan impor yang terjadi dengan
kerugian atau ancaman serius terhadap industri dalam negeri. 10

Article 4.2 (b) Safeguard Agreement:

“the determination referred to in subparagraph (a) shall not be made unless this
investigation demonstrates, on the basis of objective evidence, the existence of the
causal link between increased imports of the product concerned and serious injury
or threat thereof. When factor other than increased imports are causing injury to the
domestic industri at the same time, such injury shall not be attributed to increased
imports”.

Pada saat negara penerima impor menemukan suatu kerugian serius yang
disebabkan peningkatan impor, maka hendaknya melaporkan kepada Komite
safeguard. Sebelum menerapkan safeguard, negara anggota harus menempuh
suatu prosedur yaitu konsultasi. Konsultasi merupakan kewajiban negara anggota
dalam memberikan kesempatan yang cukup. Setelah konsuktasi dilakukan negara
anggota, selanjutnya akan diambil keputusan diberlakukannya tindakan safeguard
atau tidak. Tindakan safeguard diambil dalam bentuk:

1. Pemberlakuan Tarif
Dalam hal peningkatan kewajiban impor melalui tingkat batas, pembebanan
biaya pajak tambahan, pengganti pajak pada produk, pengenalan tarif kuota,

10
Ibid, hlm 113.
yaitu kuota impor pada suatu tarif yang lebih rendah dan pembebanan tarif
yang lebih tinggi untuk impor yang berada diatas kuota
2. Pemberlakuan Non-Tarif
Seperti penetapan kuota global untuk impor, pengenalan kemudahan dalam
perizinan, kewenangan impor dan tindakan lainnya yang mengendalikan
impor

Selanjutnya hal-hal utama terhadap ketentuan pengenaan tindakan safeguard


berdasarkan safeguard agreement, sebagai berikut:

1. Tindakan Safeguard Sementara


Apabila terbukti terjadinya peningkatan impor berdampak pada kerugian
serius bagi industri dalam negeri, tindakan safeguard sementara dapat
diterapkan. Menurut Article 6 safeguard agreement, tindakan safeguard
sementara diperulkan jika kondisi industri dalam negeri dalam keadaan krisis.
Krisis tersebut adalah keadaan dimana jika tidak dilakukan tindakan yang
cepat akan terciptanya suatu keadaan yang semakin sulit untuk dilakukan
pemulihannya. Safeguard sementara hanya dikenakan dalam bentuk bea
masuk, dan pengenaan bea masuk sementara berlaku paling lama 200 hari
sejak pengenaanya dan tidak dapat diperpanjang. Penerapan safeguard
sementara harus memenuhi persyaratan dalam Article 2, 7, dan Article 12
safeguard agreement.
2. Tindakan Safeguard Tetap
Tindakan ini dapat dilakukan dalam tiga (3) bentuk, yaitu peningkatan bea
masuk, penetapan kuota impor, dan kombinasi dari keduanya. Dalam hal
bentuk kuota, jumlah kuotanya tidak boleh lebih kecil dari data impor rata-rata
dalam tiga tahun terakhir. Negara yang menerapkan safeguard tetap dalam
bentuk kuota dapat membuat kesepakatan dengan negara pengekspor
mengenai kuota tersebut, dan jika tidak dilakukan kesepakatan maka kuota
masing-masing negara ditentukan berdasarkan pangsa pasar ekspor masing-
masing negara dalam waktu tertentu.
3. Jangka Waktu Pengenaan Tindakan Safeguard
Berdasarkan ketentuan article 7.1 Safeguard Agreement, penanganan
tindakan safeguard tidak dapat melebihi empat tahun, termasuk jangka waktu
pengenaan tindakan safeguard sementara. Tindakan tersebut dapat
diperpanjang menurut article 7.3, paling lama delapan tahun yang sudah
termasuk penerapan tindakan sementara, periode aplikasi awal dan
perpanjangannya. Persyaratan perpanjangan safeguard dalam article 7.2,
Safeguard Agreement, dimana dilakukan perpanjangan untuk mencegah atau
memulihkan keadaan akibat kerugian serius yang dialami dan adanya bukti
bahwa industri dalam negeri sedang dalam proses melakukan penyesuaian.

Di Indonesia terdapat aturan-aturan yang mengatur mengenai tindakan


safegyard yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri
dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor, Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 84/MPP/Kep/2/2003 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Pengamanan Industri Dalam Negeri
dari Akibat Lonjakan Impor dan yang terbaru Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-Dumping, Tindakan
Imbalan dan Tindakan Pengaman Perdagangan.

PP No. 34 Tahun 20011, pada Pasal 1 angka (3) mengatur tentang


pengertian tindakan safeguard (pengamanan) yaitu tindakan yang diambil
pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian
serius yang diderita oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah
impor barang baik secara absolut maupun relatif terhadap barang sejenis atau
barang yang secara langsung bersaing. Selanjutnya Pasal 1 angka 18
menyebutkan, bahwa Industri dalam negeri adalah keseluruhan barang sejenis atau
barang yang secara langsung bersaing yang beroperasi dalam wilayah Indonesia
atau yang kumulatif produksinya merupakan proporsi yang besar dari keseluruhan
produksi barang yang dimaksud.

Menurut ketentuan Pasal 70 Ayat (1), mengenai barang impor selain


dikenakan Bea Masuk dapat dikenakan tindakan safeguard jika:
1. Terjadi peningkatan jumlah impor secara absolut atau relatif atas barang
yang sama dengan berang sejenis atau barang yang secara langsung
bersaing;
2. Peningkatan jumlah impor barang menyebabkan terjadinya kerugian
serius atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri.

Sebelum Pemerintah menerapkan tindakan safeguard, maka terlebih dahulu


harus melaksanakan syarat-syarat yang tercantum dalam article II Agreement on
Safeguard. Kemudian terdapat beberapa tahapan yang harus dilaksanakan untuk
menerapkan safeguard. Tahapan tersebut yaitu penyidikan dan pembuktian,
penentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian, pengenaan tindakan
pengamanan, dan jangka waktu serta peninjauan tindakan pengamanan. Tahapan
pertama adalah penyidikan dan pembuktian. Penyidikan dalam tindakan
pengamanan (safeguard) dilakukan oleh Komite Pengamanan Perdagangan
Indonesia (KPPI). Pihak-pihak berkepentingan yang mengalami kerugian dapat
mengajukan permohonan penyelidikan atas pengamanan kepada KPPI atau atas
inisiatif dari KPPI. Pihak-pihak yang berkepentingan menurut Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI No. 85/MDP/Kep/2/2003, yaitu:

a. Produsen dalam negeri Indonesia yang menghasilkan barang sejenis barang


terselidik dan/atau barang yang secara langsung bersaing;
b. Asosiasi produsen barang sejenis barang terselidik dan atau barang yang
secara langsung bersaing;
c. Organisasi buruh yang mewakili kepentingan para pekerja industri dalam
negeri.

KPPI memberikan kesempatan yang sama pada pihak yang berkepentingan


untuk menyampaikan bukti- buktinya dalam proses pembuktian. Selanjutnya KPPI
melakukan verifikasi data yang diperoleh di negara pengekspor atau di negara asal
barang terselidik. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari, berdasarkan
penelitian dan bukti-bukti KPPI memberikan keputusan. Keputusan KPPI berupa
menolak permohonan dan menerima penyelidikan. KPPI dalam membuat keputusan
harus diberitahukan dengan cara tertulis disertai alasan-alasannya.

Tahapan yang kedua adalah penetapan adanya kerugian atau ancaman


kerugian. Pengertian kerugian dan ancaman kerugian diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan
Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Kerugian Serius adalah
kerugian menyeluruh yang signifikan yang diderita oleh Industri Dalam Negeri.
Ancaman Kerugian Serius adalah Kerugian Serius yang jelas akan terjadi dalam
waktu dekat pada Industri Dalam Negeri yang penetapannya didasarkan atas fakta-
fakta, bukan didasarkan pada tuduhan, dugaan, atau perkiraan. 11

Penentuan adanya kerugian yang serius diatur di dalam Pasal 12 Keputusan


Presiden Nomor 84 Tahun 2002 di mana penentuan harus didasarkan pada hasil
analisis dari seluruh faktor yaitu tingkat dan besarnya lonjakan barang impor yang
terselidik baik secara absolut maupun relatif terhadap barang sejenis yang bersaing.
Kedua pangsa pasar dalam negeri yang diambil dan yang terakhir perubahan tingkat
penjualan, produksi, produktivitas, pemanfaatan kapasitas, keuntungan, kerugian,
dan kesempatan kerja. Setelah terbukti menyebabkan kerugian yang serius, maka
tahapan yang selanjutnya adalah pengenaan tindakan pengamanan. Pengenaan
tindakan pengamanan (safeguard) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu tindakan
pengamanan sementara dan tindakan pengamanan tetap.

Kesimpulan

Perlindungan terhadap industri dalam negeri melalui tindakan safeguard telah


dilaksanakan dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota WTO. Kemudian
Pemerintah membentuk peraturan-peraturan yang mengatur tindakan safeguard
sebagai implikasi dari bergabung menjadi anggota WTO. Dengan semakin
meluasnya perdagangan barang, risikonyo tentu adalah merugikan atau ancaman
kerugian bagi industri dalam negeri. Peran Pemerintah yang dapat dimaksimalkan
adalah dengan mengoptimalkan peran dari KPPI. Dalam hal implementasi ketentuan
safeguard dalam perundang-undangan nasional telah berjalan konsisten dengan
ketentuan GATT dan Agreement on Safeguard.

Daftar Pustaka

11
PP 34/2011
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan
Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2007.

Hambali, Pemberlakuan Sertifikasi Halal Secara Wajib Terhadap Produk Asing


Menurut Persetujuan Tentang Hambatan Teknis dalam Perdagangan (Technical
Barrier to Trade Agreement), Nurani Hukum Jurnal Ilmu Hukum, Vol .2 No.2
Desember 2019. ISSN. 2655-7169.

Muhammad Sood, 2012, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers: Jakarta.

Peter van den Bossche dkk, Pengantar Hukum WTO, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2010.

Rafiqul Islam, International Trade Law, (NSW: LBC, 1999).

Anda mungkin juga menyukai